- Beranda
- Stories from the Heart
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
...
TS
yanagi92055
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
Selamat Datang di Thread Gue
(私のスレッドへようこそ)
(私のスレッドへようこそ)
TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI DUA TRIT GUE SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT SELANJUTNYA INI, GUE DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK GUE DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DISINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR
Spoiler for Season 1 dan Season 2:
Last Season, on Muara Sebuah Pencarian - Season 2 :
Quote:
INFORMASI TERKAIT UPDATE TRIT ATAU KEMUNGKINAN KARYA LAINNYA BISA JUGA DI CEK DI IG: @yanagi92055 SEBAGAI ALTERNATIF JIKA NOTIF KASKUS BERMASALAH
Spoiler for INDEX SEASON 3:
Spoiler for LINK BARU PERATURAN & MULUSTRASI SEASON 3:
Quote:
Quote:
Quote:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 83 suara
Perlukah Seri ini dilanjutkan?
Perlu
99%
Tidak Perlu
1%
Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 10:25
al.galauwi dan 142 lainnya memberi reputasi
133
342.8K
4.9K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
yanagi92055
#2104
Manggung Rame
Adityo alias Tyo sangat cepat beradaptasi dengan band gue. Mungkin sebelumnya memang dia sudah berpengalaman manggung bersama band metalnya, lalu kami semua kebetulan seumuran, kecuali Emi, dan dia adalah teman gue dari kecil dan merupakan rekan satu almamater Drian ketika kuliah dulu.
Panggungan sudah didepan mata, tapi ternyata rencana kejutan gue untuk Emi nggak berjalan lancar. Gue sudah berulang kali konfirmasi dengan Vanda mengenai urusan mobil yang nggak kunjung datang ini.
“Mbak Vanda, ini kan showroom udah menjanjikan buat satu minggu ngirim mobilnya. Kok ini nggak sampai-sampai? Padahal waktunya udah lewat dari satu minggu.” Ujar gue di telpon.
“Mohon maaf Mas Ija, tapi dari warehouse-nya yang belum siap, Mas.” Katanya.
“Saya sih nggak mau tau ya. Mau warehouse kek, stockport-kek, mau office-nya kek, saya nggak peduli. Saya udah bayar, kalian udah menjanjikan, dan sekarang saya mau nagih janji yang kalian bilang.” Nada bicara gue mulai naik.
“Iya mas, mohon maaf sekali lagi. Tapi ini saya sedang usahakan buat diurus.”
“Dari kemarin-kemarin diusahakan melulu tapi nggak ada hasilnya, Mbak. Memang bagian sales marketing itu cuma mbak doang? Kan banyak. Saya juga tau kalau mbak pegang klien yang lain, tapi ya profesional lah. Segala macam alasan nggak akan berlaku ketika kalian menjanjikan sesuatu.”
“Iya mas. Sekali lagi saya mohon maaf banget ya. Saya sedang usahakan untuk push bagian tekniknya Mas.”
Beberapa hari belakangan, gue disibukkan untuk mengurusi masalah mobil ini. Ini menurut gue ada yang nggak beres. Supply chain showroom mereka itu gimana coba? Seperti nggak ada koordinasi. Nggak profesional. Apalagi menangani pelanggan yang terhitung prioritas menurut mereka seperti gue. Terlebih, perusahaan ini punya nama yang besar di tanah air.
Akibatnya adalah, gue tetap menggunakan motor gue untuk latihan yang hampir selalu berakhir dini hari. Hal ini juga yang membuat gue menjadi semakin sering batuk dan sesak napas. Diagnosa dokter terakhir adalah gue menderita asma ringan. Sebuah penyakit yang terhitung baru tapi lama sebenarnya.
Keluarga gue dari Papa memang membawa penyakit ini. Kakek gue adalah seorang yang mengidap asma akut. Itu yang turun langsung ke Om Reza, Papanya Emir, dan kemudian turun juga ke Emir-nya. Sedangkan Papa gue, baru diketahui membawa penyakit ini jelang kepergiannya beberapa tahun lalu. Ketika sudah mulai intensif dirawat. Ternyata gue pun sama. Ada bawaan penyakit yang nggak pernah gue rasakan sebelumnya, sekarang jadi berasa karena selalu terpicu dengan beragam kegiatan yang gue lakukan.
Hal ini pula yang akhirnya kadangkala menyulitkan gue. Posisi gue sebagai vokalis menjadikan pengaturan pernapasan menjadi salah satu hal yang penting. Tetapi dengan munculnya penyakit baru tapi lama ini, membuat gue harus beradaptasi. Untungnya gue nggak pernah menyentuh rokok seumur hidup gue, jadi nggak membuat penyakit gue ini semakin parah.
Bedanya adalah, ketika gue memainkan lagu-lagu metal yang lebih banyak variasi vokalnya dalam sekali panggungan, itu akan menjadi kesulitan tersendiri untuk gue saat ini. Begitu pula dengan panggungan yang sebentar lagi akan gue lakukan bersama dengan personil additional baru.
Selain harus menyamakan ritme, chemistry juga harus dibangun. Ketika Pamuji, rekan kami yang menggantikan Arko di posisi drum sudah beberapa kali manggung bareng membantu band gue, Tyo adalah orang yang benar-benar baru.
Awalnya sulit, tapi pada akhirnya kami bisa benar-benar nemu chemistry-nya, dengan segala keterbatasan gue yang gue rasakan saat ini. Munculnya penyakit yang suka bikin gue sesak nafas ini awalnya menyulitkan, apalagi aksi panggung gue selalu enerjik dan nggak bisa diam disatu spot panggung.
Lama kelamaan semuanya bisa diatasi. Gue mulai bisa menyesuaikan dengan keadaan fisik gue yang sekarang. Walaupun kadang kala ketika latihan suka batuk-batuk yang cukup kencang, tapi itu nggak menjadi halangan buat gue nge-blend dengan formasi sementara ini.
--
Hari H manggung setelah pergantian personil sementara akhirnya tiba. Gue harus mengalah dengan keadaan, dimana seharusnya gue dan Emi memakai mobil baru yang sudah gue pesan dan rencanakan untuk dipakai, tapi malah harus sewa mobil untuk akomodasi kami yang cukup jauh. Dan kami pun mengajak Vino untuk berangkat bareng, karena kebetulan sewa mobilnya berada didekat rumahnya.
Sepanjang perjalanan, Emi lebih banyak diam, menjawab pertanyaan atau candaan gue juga seadanya saja. Persis seperti seorang cewek yang sedang datang bulan di hari pertama. Entah kenapa dalam pikiran gue selalu terlintas kalau Emi ini sebenarnya sudah tau dengan yang namanya Wila. Sebenarnya kalaupun dia tau nggak apa-apa juga. Toh gue dan Wila nggak ngapa-ngapain. Nggak ada juga sesuatu yang spesial. Buat gue. Nggak tau ya kalau buat Wila.
Pada hari H ini pula gue mengabari Wila yang terus menerus menanyakan kabar gue setelah kepulangan gue dari Malang tempo hari. Sesuai dengan kebiasaan gue, setelah gue mengetahui dan meyakini kalau cewek sudah suka dengan gue, gue akan perlahan mundur. Lalu pada akhirnya menghilang. Nggak baik dan nggak patut ditiru sebenarnya. Anin pun sudah mengingatkan gue soal ini.
Ya, banyak masukan berharga yang sudah Anin kasih buat gue malam itu. Anin menjadi orang yang sangat berbeda. Pendewasaannya terlihat dari keberanian dia untuk menikah, punya anak, dan sekarang menjadi seorang full time mom, sesuatu yang nggak gue bayangkan bisa dilakukan Anin selama gue mengenal dia.
Selama perjalanan gue merasakan HP yang bergetar berulang kali tanda beberapa kali chat masuk. Gue yakin ada chat dari Anin dan Wila. Anin terus menerus mengingatkan gue. sementara Wila seperti terus menerus menggoda gue. Sungguh lucu kelihatannya ketika membaca chat mereka atas bawah, yang satu wanti-wanti, satunya terus menggoda.
Gue lebih tertarik membaca chat dari Anin. Karena ya itu tadi. lebih banyak nasehat dan peringatan-peringatan yang berguna bagi pola pikir gue saat ini. Gue perlahan mulai mengikuti apa yang Anin selalu ingatkan. Tapi, perubahan itu nggak bisa sekejap dilakukan. Apalagi hal seperti ini sudah gue lakukan bertahun-tahun lamanya. Sedangkan kalau Wila, gue hanya godain aja, mana tau bisa dapet foto plus-plus kan. Soalnya gue juga nggak ada niatan buat ngapa-ngapain dia. haha.
Yang Anin tekankan adalah, kesempatan mendapatkan Emi itu hanya sekali seumur hidup karena nggak ada lagi orang yang bisa mengakomodir kebutuhan dan keinginan seorang Ija yang pemikirannya kompleks, rumit dan nggak biasa. Gue sempat bilang kalau Ara sebenarnya bisa. Tapi entah kenapa Anin nggak pernah benar-benar meyakini kalau Ara memiliki kemampuan serta kesabaran seperti Emi dalam menghadapi sikap dan keinginan-keinginan gue.
Setelah melalui perjalanan kurang lebih dua jam, kami sampai ditujuan di SMA AB. Ketika itu masih cukup sepi pengunjung. Kami membiasakan diri datang lebih awal untuk check sound kalau dulu. Tapi kalau sekarang, manggung itu jarang sekali ada check sound. Pokoknya kaidah mengadakan sebuah pementasan musik dengan instrumen lengkap diatas panggung itu udah nggak ada lagi deh. Semuanya digarap seadanya. Tapi dikasih masukan nggak mau. Mungkin sifat-sifat dasar Gen-Z memang seperti itu.
Semakin mendekati waktu kami manggung, semakin banyak pula orang yang datang. Senangnya lagi, banyak dari penonton yang memang sengaja datang untuk menonton band gue manggung. Ini karena promosi yang dilakukan Emi. Emi membocorkan sedikit playlist yang akan dibawakan. Hanya teaser, tapi sukses membuat penasaran, sehingga atensi orang menjadi banyak.
“Ingat, crowd-nya rame banget nih. Jarang-jarang begini. Dan kalian nanti bawain lagu-lagu asik yang dikenal semua orang. Jadi, gue mohon banget ekspresif dan aktif di panggungnya oke? Jangan monoton atau asik sendiri sama alat. Dan lo, Bang Ija, ada interaksi lah sama penonton. Pokoknya gue nggak mau kalian basi di panggung!” kata Emi memberi komando.
“Lah, kan gue selalu begitu kalo manggung. Ngapain lo ingetin lagi? Itu mah udah otomatis, Mi. kayak nggak tau gue aja.” balas gue ketus.
Gue merasa Emi seperti meragukan kemampuan gue sehingga harus diingatkan seperti itu. Sebenarnya bagus, tapi gaya gue manggung kan emang seperti itu, atraktif, ekspresif dan membuat berbeda dari band-band lain. Dengan omongan Emi itu, gue seperti amatiran yang harus disetir. Inilah yang membuat gue sedikit aneh. Sepertinya dia ada membawa urusan pribadi di omongannya itu.
Kebiasaan kami adalah menitipkan seluruh barang yang kami bawa ke Emi. HP, dompet, kacamata, jam dan lainnya selalu kami titipkan sebelum manggung. Dan Emi selalu memegang HP gue untuk mengabadikan panggungan kami. HP gue selalu diandalkan untuk mendokumentasikan seluruh panggungan kami, dari mulai persiapan sampai setelah turun panggung.
Penonton yang sudah ramai ini membuat Adityo sangat bersemangat, dan juga gugup. Ini adalah kali pertama dia manggung bareng band gue, dan di skena musik yang berbeda. Dia biasa menguasai panggung acara metal, sementara ini acara jepangan dimana banyak WIBU serta pecinta anime atau tokusatsu serta cosplayer berkumpul. Sangat berbeda, dan tentunya cara menyajikan atraksi panggungnya pun berbeda.
“Anjir, rame banget ini Ja. Mana udah ditungguin lagi. Haha.” Ujar Tyo bersemangat.
“Haha iya bro. gue juga kaget nama band ini cukup dikenal di daerah sini.” Kata gue.
“Gila sih ini, nervous banget gue.”
“Sama. jangankan lo, gue aja jiper bener ini. Soalnya, dari awal gue bikin lagi band ini, baru kali yang penontonnya bener-bener membludak, rame banget. udah gitu playlistnya sesuai dengan request mereka lagi kan.”
“Nah iya, makanya itu. Hahaha. Gila dah. Bismillah aja gue. semoga aman dipanggung.”
Setelah melakukan doa bersama di pinggir panggung, kami pun menaiki panggung satu persatu dengan lagu intro khas band ini. Lagu intro ini gue buatkan karena terinspirasi dari band-band jepang favorit gue ketika akan memulai konser mereka. Hal ini juga bisa membantu mengakali waktu untuk menyesuaikan alat yang kami bawa dengan alat yang ada diatas panggung. Karena ya nggak ada check sound itu tadi.
Manggung perdana bersama Tyo ini berjalan sangat lancar. Gue juga sangat takjub dengan penonton yang ada. Luar biasa rame dan apresiasinya sangat bagus untuk band ini. Hal yang sebelumnya belum pernah kami rasakan setelah band ini dibentuk.
Kebiasaan penonton dikomunitas ini pada saat sekarang, kalau lagunya nggak cocok atau nggak suka, mereka nggak akan maju didepan panggung dan mengapresiasi. Mereka akan bergerombol sesuai dengan perkumpulannya aja dan tidak mengapresiasi orang lain yang menyuguhkan lagu-lagu diluar kesukaan mereka. Berbeda dengan era band gue dulu dimana para penonton mengapresiasi siapapun yang manggung, walaupun lagu yang dibawakan nggak dikenal.
Emi yang begitu dingin membuat gue jadi nggak terlalu mempedulikannya. Gue lebih asyik menikmati acara yang ada sampai jelang akhir. Disana banyak juga yang seru untuk disimak. Gue lebih banyak mengenalkan kembali ke Adityo soal komunitas ini.
Tyo sebenarnya sudah pernah manggung diacara komunitas ini. Dulu saat gue masih merintis bersama band gue yang lama, dia pun sempat manggung bersama dengan kami disalah satu kafe di selatan ibukota. Saat itu demam lagu jepangan sedang melanda komplek rumah gue yang sekarang. Sementara gue nggak terlalu mengikuti perkembangannya karena sudah pindah kerumah baru kala itu.
Gue tetap berhubungan baik dengan teman-teman komplek yang kebetulan diracuni lagu-lagu jepang oleh salah satu teman gue yang bapaknya bekerja disalah satu label rekaman besar ditanah air. Sayang sekali band teman gue ini kalah oleh Nidji yang saat itu juga sedang merintis. Sekarang, kita bisa lihat ada dimana Nidji.
Racun yang masif ini membuat anak-anak yang tergabung dikarang taruna RW komplek gue menjadi suka lagu-lagu jepang dan berinisiatif untuk membentuk sebuah band yang pada akhirnya manggung bareng sama band gue di sebuah acara yang gue sebutkan diatas tadi. tyo merupakan bassist dari band tersebut.
Tentunya, lain dulu lain sekarang. Penonton yang dulu seru sudah hampir punah digantikan penonton dengan gaya baru yang agak kurang bersahabat dengan para anak band, kecuali anak band yang membawakan lagu-lagu kesukaan mereka. Gue juga menjelaskan ke Tyo inilah yang menyebabkan sekarang penikmat band itu terkotak-kotak karena alasan tersebut. Makanya gue juga agak terkejut dengan penonton diacara ini yang membawa memori kejayaan masa lalu band gue di komunitas ini.
“Nggak nyesel gue bantuin band lo dah. Gokil ini crowd-nya. Asli. Haha.” Kata Tyo bersemangat.
“Iya bro. Gue aja seneng banget ini dapet penonton rame dan antusias kayak gini. Hoki kayaknya kalau formasinya gini haha.” Sahut gue.
“Mudah-mudahan band lo kedepannya lancar-lancar yak. Gila nggak nyangka band lo udah segede ini dikomunitas.”
“Tapi di belantika musik kagak ada apa-apanya bro. haha.”
“Itu bisa ngikutin nanti, Ja. hahaha.”
Gue mencari kemana-mana Emi nggak ketemu. Akhirnya gue meminjam ponsel Vino untuk menelpon Emi karena sekarang sudah waktunya pulang. Jawaban Emi pun ketus sekali saat itu. Dan gue hanya bisa menyimpulkan satu saja jawaban. Selama HP gue dipegang dia, pastilah chat gue dibuka-buka sama dia. Ini yang kurang gue setujui sebenarnya, karena ikatan kita belum resmi menikah. Lain kalau udah menikah. Dan karena privasi seperti ini lah yang membuat gue dulu sempat bubaran sama Emi. Gue nggak mau lagi ini terjadi.
Panggungan sudah didepan mata, tapi ternyata rencana kejutan gue untuk Emi nggak berjalan lancar. Gue sudah berulang kali konfirmasi dengan Vanda mengenai urusan mobil yang nggak kunjung datang ini.
“Mbak Vanda, ini kan showroom udah menjanjikan buat satu minggu ngirim mobilnya. Kok ini nggak sampai-sampai? Padahal waktunya udah lewat dari satu minggu.” Ujar gue di telpon.
“Mohon maaf Mas Ija, tapi dari warehouse-nya yang belum siap, Mas.” Katanya.
“Saya sih nggak mau tau ya. Mau warehouse kek, stockport-kek, mau office-nya kek, saya nggak peduli. Saya udah bayar, kalian udah menjanjikan, dan sekarang saya mau nagih janji yang kalian bilang.” Nada bicara gue mulai naik.
“Iya mas, mohon maaf sekali lagi. Tapi ini saya sedang usahakan buat diurus.”
“Dari kemarin-kemarin diusahakan melulu tapi nggak ada hasilnya, Mbak. Memang bagian sales marketing itu cuma mbak doang? Kan banyak. Saya juga tau kalau mbak pegang klien yang lain, tapi ya profesional lah. Segala macam alasan nggak akan berlaku ketika kalian menjanjikan sesuatu.”
“Iya mas. Sekali lagi saya mohon maaf banget ya. Saya sedang usahakan untuk push bagian tekniknya Mas.”
Beberapa hari belakangan, gue disibukkan untuk mengurusi masalah mobil ini. Ini menurut gue ada yang nggak beres. Supply chain showroom mereka itu gimana coba? Seperti nggak ada koordinasi. Nggak profesional. Apalagi menangani pelanggan yang terhitung prioritas menurut mereka seperti gue. Terlebih, perusahaan ini punya nama yang besar di tanah air.
Akibatnya adalah, gue tetap menggunakan motor gue untuk latihan yang hampir selalu berakhir dini hari. Hal ini juga yang membuat gue menjadi semakin sering batuk dan sesak napas. Diagnosa dokter terakhir adalah gue menderita asma ringan. Sebuah penyakit yang terhitung baru tapi lama sebenarnya.
Keluarga gue dari Papa memang membawa penyakit ini. Kakek gue adalah seorang yang mengidap asma akut. Itu yang turun langsung ke Om Reza, Papanya Emir, dan kemudian turun juga ke Emir-nya. Sedangkan Papa gue, baru diketahui membawa penyakit ini jelang kepergiannya beberapa tahun lalu. Ketika sudah mulai intensif dirawat. Ternyata gue pun sama. Ada bawaan penyakit yang nggak pernah gue rasakan sebelumnya, sekarang jadi berasa karena selalu terpicu dengan beragam kegiatan yang gue lakukan.
Hal ini pula yang akhirnya kadangkala menyulitkan gue. Posisi gue sebagai vokalis menjadikan pengaturan pernapasan menjadi salah satu hal yang penting. Tetapi dengan munculnya penyakit baru tapi lama ini, membuat gue harus beradaptasi. Untungnya gue nggak pernah menyentuh rokok seumur hidup gue, jadi nggak membuat penyakit gue ini semakin parah.
Bedanya adalah, ketika gue memainkan lagu-lagu metal yang lebih banyak variasi vokalnya dalam sekali panggungan, itu akan menjadi kesulitan tersendiri untuk gue saat ini. Begitu pula dengan panggungan yang sebentar lagi akan gue lakukan bersama dengan personil additional baru.
Selain harus menyamakan ritme, chemistry juga harus dibangun. Ketika Pamuji, rekan kami yang menggantikan Arko di posisi drum sudah beberapa kali manggung bareng membantu band gue, Tyo adalah orang yang benar-benar baru.
Awalnya sulit, tapi pada akhirnya kami bisa benar-benar nemu chemistry-nya, dengan segala keterbatasan gue yang gue rasakan saat ini. Munculnya penyakit yang suka bikin gue sesak nafas ini awalnya menyulitkan, apalagi aksi panggung gue selalu enerjik dan nggak bisa diam disatu spot panggung.
Lama kelamaan semuanya bisa diatasi. Gue mulai bisa menyesuaikan dengan keadaan fisik gue yang sekarang. Walaupun kadang kala ketika latihan suka batuk-batuk yang cukup kencang, tapi itu nggak menjadi halangan buat gue nge-blend dengan formasi sementara ini.
--
Hari H manggung setelah pergantian personil sementara akhirnya tiba. Gue harus mengalah dengan keadaan, dimana seharusnya gue dan Emi memakai mobil baru yang sudah gue pesan dan rencanakan untuk dipakai, tapi malah harus sewa mobil untuk akomodasi kami yang cukup jauh. Dan kami pun mengajak Vino untuk berangkat bareng, karena kebetulan sewa mobilnya berada didekat rumahnya.
Sepanjang perjalanan, Emi lebih banyak diam, menjawab pertanyaan atau candaan gue juga seadanya saja. Persis seperti seorang cewek yang sedang datang bulan di hari pertama. Entah kenapa dalam pikiran gue selalu terlintas kalau Emi ini sebenarnya sudah tau dengan yang namanya Wila. Sebenarnya kalaupun dia tau nggak apa-apa juga. Toh gue dan Wila nggak ngapa-ngapain. Nggak ada juga sesuatu yang spesial. Buat gue. Nggak tau ya kalau buat Wila.
Pada hari H ini pula gue mengabari Wila yang terus menerus menanyakan kabar gue setelah kepulangan gue dari Malang tempo hari. Sesuai dengan kebiasaan gue, setelah gue mengetahui dan meyakini kalau cewek sudah suka dengan gue, gue akan perlahan mundur. Lalu pada akhirnya menghilang. Nggak baik dan nggak patut ditiru sebenarnya. Anin pun sudah mengingatkan gue soal ini.
Ya, banyak masukan berharga yang sudah Anin kasih buat gue malam itu. Anin menjadi orang yang sangat berbeda. Pendewasaannya terlihat dari keberanian dia untuk menikah, punya anak, dan sekarang menjadi seorang full time mom, sesuatu yang nggak gue bayangkan bisa dilakukan Anin selama gue mengenal dia.
Selama perjalanan gue merasakan HP yang bergetar berulang kali tanda beberapa kali chat masuk. Gue yakin ada chat dari Anin dan Wila. Anin terus menerus mengingatkan gue. sementara Wila seperti terus menerus menggoda gue. Sungguh lucu kelihatannya ketika membaca chat mereka atas bawah, yang satu wanti-wanti, satunya terus menggoda.
Gue lebih tertarik membaca chat dari Anin. Karena ya itu tadi. lebih banyak nasehat dan peringatan-peringatan yang berguna bagi pola pikir gue saat ini. Gue perlahan mulai mengikuti apa yang Anin selalu ingatkan. Tapi, perubahan itu nggak bisa sekejap dilakukan. Apalagi hal seperti ini sudah gue lakukan bertahun-tahun lamanya. Sedangkan kalau Wila, gue hanya godain aja, mana tau bisa dapet foto plus-plus kan. Soalnya gue juga nggak ada niatan buat ngapa-ngapain dia. haha.
Yang Anin tekankan adalah, kesempatan mendapatkan Emi itu hanya sekali seumur hidup karena nggak ada lagi orang yang bisa mengakomodir kebutuhan dan keinginan seorang Ija yang pemikirannya kompleks, rumit dan nggak biasa. Gue sempat bilang kalau Ara sebenarnya bisa. Tapi entah kenapa Anin nggak pernah benar-benar meyakini kalau Ara memiliki kemampuan serta kesabaran seperti Emi dalam menghadapi sikap dan keinginan-keinginan gue.
Setelah melalui perjalanan kurang lebih dua jam, kami sampai ditujuan di SMA AB. Ketika itu masih cukup sepi pengunjung. Kami membiasakan diri datang lebih awal untuk check sound kalau dulu. Tapi kalau sekarang, manggung itu jarang sekali ada check sound. Pokoknya kaidah mengadakan sebuah pementasan musik dengan instrumen lengkap diatas panggung itu udah nggak ada lagi deh. Semuanya digarap seadanya. Tapi dikasih masukan nggak mau. Mungkin sifat-sifat dasar Gen-Z memang seperti itu.
Semakin mendekati waktu kami manggung, semakin banyak pula orang yang datang. Senangnya lagi, banyak dari penonton yang memang sengaja datang untuk menonton band gue manggung. Ini karena promosi yang dilakukan Emi. Emi membocorkan sedikit playlist yang akan dibawakan. Hanya teaser, tapi sukses membuat penasaran, sehingga atensi orang menjadi banyak.
“Ingat, crowd-nya rame banget nih. Jarang-jarang begini. Dan kalian nanti bawain lagu-lagu asik yang dikenal semua orang. Jadi, gue mohon banget ekspresif dan aktif di panggungnya oke? Jangan monoton atau asik sendiri sama alat. Dan lo, Bang Ija, ada interaksi lah sama penonton. Pokoknya gue nggak mau kalian basi di panggung!” kata Emi memberi komando.
“Lah, kan gue selalu begitu kalo manggung. Ngapain lo ingetin lagi? Itu mah udah otomatis, Mi. kayak nggak tau gue aja.” balas gue ketus.
Gue merasa Emi seperti meragukan kemampuan gue sehingga harus diingatkan seperti itu. Sebenarnya bagus, tapi gaya gue manggung kan emang seperti itu, atraktif, ekspresif dan membuat berbeda dari band-band lain. Dengan omongan Emi itu, gue seperti amatiran yang harus disetir. Inilah yang membuat gue sedikit aneh. Sepertinya dia ada membawa urusan pribadi di omongannya itu.
Kebiasaan kami adalah menitipkan seluruh barang yang kami bawa ke Emi. HP, dompet, kacamata, jam dan lainnya selalu kami titipkan sebelum manggung. Dan Emi selalu memegang HP gue untuk mengabadikan panggungan kami. HP gue selalu diandalkan untuk mendokumentasikan seluruh panggungan kami, dari mulai persiapan sampai setelah turun panggung.
Penonton yang sudah ramai ini membuat Adityo sangat bersemangat, dan juga gugup. Ini adalah kali pertama dia manggung bareng band gue, dan di skena musik yang berbeda. Dia biasa menguasai panggung acara metal, sementara ini acara jepangan dimana banyak WIBU serta pecinta anime atau tokusatsu serta cosplayer berkumpul. Sangat berbeda, dan tentunya cara menyajikan atraksi panggungnya pun berbeda.
“Anjir, rame banget ini Ja. Mana udah ditungguin lagi. Haha.” Ujar Tyo bersemangat.
“Haha iya bro. gue juga kaget nama band ini cukup dikenal di daerah sini.” Kata gue.
“Gila sih ini, nervous banget gue.”
“Sama. jangankan lo, gue aja jiper bener ini. Soalnya, dari awal gue bikin lagi band ini, baru kali yang penontonnya bener-bener membludak, rame banget. udah gitu playlistnya sesuai dengan request mereka lagi kan.”
“Nah iya, makanya itu. Hahaha. Gila dah. Bismillah aja gue. semoga aman dipanggung.”
Setelah melakukan doa bersama di pinggir panggung, kami pun menaiki panggung satu persatu dengan lagu intro khas band ini. Lagu intro ini gue buatkan karena terinspirasi dari band-band jepang favorit gue ketika akan memulai konser mereka. Hal ini juga bisa membantu mengakali waktu untuk menyesuaikan alat yang kami bawa dengan alat yang ada diatas panggung. Karena ya nggak ada check sound itu tadi.
Manggung perdana bersama Tyo ini berjalan sangat lancar. Gue juga sangat takjub dengan penonton yang ada. Luar biasa rame dan apresiasinya sangat bagus untuk band ini. Hal yang sebelumnya belum pernah kami rasakan setelah band ini dibentuk.
Kebiasaan penonton dikomunitas ini pada saat sekarang, kalau lagunya nggak cocok atau nggak suka, mereka nggak akan maju didepan panggung dan mengapresiasi. Mereka akan bergerombol sesuai dengan perkumpulannya aja dan tidak mengapresiasi orang lain yang menyuguhkan lagu-lagu diluar kesukaan mereka. Berbeda dengan era band gue dulu dimana para penonton mengapresiasi siapapun yang manggung, walaupun lagu yang dibawakan nggak dikenal.
Emi yang begitu dingin membuat gue jadi nggak terlalu mempedulikannya. Gue lebih asyik menikmati acara yang ada sampai jelang akhir. Disana banyak juga yang seru untuk disimak. Gue lebih banyak mengenalkan kembali ke Adityo soal komunitas ini.
Tyo sebenarnya sudah pernah manggung diacara komunitas ini. Dulu saat gue masih merintis bersama band gue yang lama, dia pun sempat manggung bersama dengan kami disalah satu kafe di selatan ibukota. Saat itu demam lagu jepangan sedang melanda komplek rumah gue yang sekarang. Sementara gue nggak terlalu mengikuti perkembangannya karena sudah pindah kerumah baru kala itu.
Gue tetap berhubungan baik dengan teman-teman komplek yang kebetulan diracuni lagu-lagu jepang oleh salah satu teman gue yang bapaknya bekerja disalah satu label rekaman besar ditanah air. Sayang sekali band teman gue ini kalah oleh Nidji yang saat itu juga sedang merintis. Sekarang, kita bisa lihat ada dimana Nidji.
Racun yang masif ini membuat anak-anak yang tergabung dikarang taruna RW komplek gue menjadi suka lagu-lagu jepang dan berinisiatif untuk membentuk sebuah band yang pada akhirnya manggung bareng sama band gue di sebuah acara yang gue sebutkan diatas tadi. tyo merupakan bassist dari band tersebut.
Tentunya, lain dulu lain sekarang. Penonton yang dulu seru sudah hampir punah digantikan penonton dengan gaya baru yang agak kurang bersahabat dengan para anak band, kecuali anak band yang membawakan lagu-lagu kesukaan mereka. Gue juga menjelaskan ke Tyo inilah yang menyebabkan sekarang penikmat band itu terkotak-kotak karena alasan tersebut. Makanya gue juga agak terkejut dengan penonton diacara ini yang membawa memori kejayaan masa lalu band gue di komunitas ini.
“Nggak nyesel gue bantuin band lo dah. Gokil ini crowd-nya. Asli. Haha.” Kata Tyo bersemangat.
“Iya bro. Gue aja seneng banget ini dapet penonton rame dan antusias kayak gini. Hoki kayaknya kalau formasinya gini haha.” Sahut gue.
“Mudah-mudahan band lo kedepannya lancar-lancar yak. Gila nggak nyangka band lo udah segede ini dikomunitas.”
“Tapi di belantika musik kagak ada apa-apanya bro. haha.”
“Itu bisa ngikutin nanti, Ja. hahaha.”
Gue mencari kemana-mana Emi nggak ketemu. Akhirnya gue meminjam ponsel Vino untuk menelpon Emi karena sekarang sudah waktunya pulang. Jawaban Emi pun ketus sekali saat itu. Dan gue hanya bisa menyimpulkan satu saja jawaban. Selama HP gue dipegang dia, pastilah chat gue dibuka-buka sama dia. Ini yang kurang gue setujui sebenarnya, karena ikatan kita belum resmi menikah. Lain kalau udah menikah. Dan karena privasi seperti ini lah yang membuat gue dulu sempat bubaran sama Emi. Gue nggak mau lagi ini terjadi.
itkgid dan 24 lainnya memberi reputasi
25