- Beranda
- Stories from the Heart
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
...
TS
yanagi92055
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
Selamat Datang di Thread Gue
(私のスレッドへようこそ)
(私のスレッドへようこそ)
TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI DUA TRIT GUE SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT SELANJUTNYA INI, GUE DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK GUE DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DISINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR
Spoiler for Season 1 dan Season 2:
Last Season, on Muara Sebuah Pencarian - Season 2 :
Quote:
INFORMASI TERKAIT UPDATE TRIT ATAU KEMUNGKINAN KARYA LAINNYA BISA JUGA DI CEK DI IG: @yanagi92055 SEBAGAI ALTERNATIF JIKA NOTIF KASKUS BERMASALAH
Spoiler for INDEX SEASON 3:
Spoiler for LINK BARU PERATURAN & MULUSTRASI SEASON 3:
Quote:
Quote:
Quote:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 83 suara
Perlukah Seri ini dilanjutkan?
Perlu
99%
Tidak Perlu
1%
Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 10:25
al.galauwi dan 142 lainnya memberi reputasi
133
342.8K
4.9K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
yanagi92055
#2088
Pencerahan Simpang Jalan
Wajah orientalnya yang tetap bersinar dan sekarang makin hot setelah menjadi seorang ibu menjadi ciri khas dari cewek yang satu ini. Istri seorang pilot yang entah kenapa bisa ketemu di tempat yang super random kayak gini. Udah kayak sinetron aja ini, serba kebetulan.
Anin.

Mulustrasi Anin saat ini
Seorang yang sudah lama sekali nggak gue dengar kabarnya. Gue hanya tau perkembangan dia melalui sosial media. Tapi gue nggak nyangka ternyata Anin udah memiliki anak. Gue taksir anaknya berumur sekitar satu tahun lebih sedikit. Dia nggak pernah posting apapun yang berhubungan dengan anaknya ini.
“Gue nggak lagi ngimpi kan ini?” kata gue dari jauh, senyum terulas dari bibir gue.
“Nggak lah.” Katanya, dia membalas senyum gue.
Dia membentangkan tangannya ke arah gue, dan otomatis gue mendekat dan lalu berpelukan dengannya.
“Apa kabar lo, Nin?” tanya gue di telinga kanan Anin.
“Baik Ja. Lo sendiri gimana?” balasnya.
“Gue baik, Nin. Lo lagi ngapain disini? Gila, gue nggak nyangka banget ini asli deh.”
“Haha. Apalagi gue Ja. jauh-jauh kesini, ternyata ketemunya sama lo juga.”
“Yuk duduk disitu dulu Nin. Apa mau ngobrol dikamar gue aja?”
“Haha. Gila aja lo ngobrol dikamar lo. Yang ada lo gue serang abis-abisan nanti.” Ujarnya sambil tergelak.
“Ya kali aja biar private Nin. Hahaha. Lagian lo gila amat, masih nafsu sama gue emang?”
“Masih. Kan gue bilang gue masih penasaran. Hahaha.”
“Gila lo. udah ada buntut juga. hahaha.”
“Hehehe iya, santai aja Ja. selama main aman, semua nyaman kok.”
“Sakit lo nggak ilang-ilang ya Nin? Haha.” Kata gue, lalu memegang keningnya, mengecek dia beneran waras atau nggak.
“Ngapain lo megang kening gue? disangka gue gila ya? haha. Gue sadar kok ngomong gitu. Santai aja. haha.”
“Iya lo santai, gue yang repot ntar ketauan sama laki lo. Hahaha. Yaudah ah duduk dulu yuk.”
“Ayo deh. Hehehe.”
Kami akhirnya duduk di restoran yang berada didalam hotel. Makanan dan minumannya harganya selangit semua. Gue mau jajan dari luar terus dibawa kedalam kan nggak enak. Hehe.
“Lo ada urusan apaan Nin kesini?” Gue membuka obrolan dengan pertanyaan.
“Gue lagi ngikut suami. Suami gue kan lagi stay disini beberapa lama. Entah kenapa tuh maskapainya.”
“Oh gitu. Terus udah berapa lama lo disini?”
“Sekitar dua harian. Lo sendiri udah berapa lama disini?”
“Sama, sekitar dua hari. Besok gue balik, tapi paginya kerja dulu Nin.”
“Masih jadi freelance lo?”
“Iya masih.”
“Sayang amat S2 lo Ja.”
“Gue nyamannya begini sih Nin. Hehee. Toh dengan itu gue malah bisa dapet pekerjaan nggak dari satu tempat doang.”
“Tapi lo mesti inget umur Ja. Emang lo nggak mau menikah?”
“Ya mau sih.”
“Nah, makanya itu lo pikirin deh. Nanti kalau udah nikah itu kan tanggung jawab lo itu nggak cuma diri lo doang, ada anak orang yang mesti lo kasih makan. Belum lagi kalau lo udah punya buntut. Lain lagi nanti ceritanya.”
“Iya, gue udah mikir kesana kok. Tapi saat ini sih gue masih nyaman begini.”
“Ya, namanya pekerjaan, makin lo bertambah umur dan spesifikasi lo tinggi, nanti makin susah loh dapetnya. Bukan apa-apa, gue aja ngelola resto keluarga gitu nyari staf. Yang nggak terlalu tua, tapi spesifikasi sedang. Kenapa? Biar bisa diajarin lagi. Nah kalo lo kan spesifik banget. apalagi lo ada sertifikasi profesi juga.”
“Hmm. Bener Nin. Cewek gue juga pernah ngomong begitu.”
“Wah lo masih sama Emi itu kan? Apa udah ganti lagi?”
“Masih sama dia kok Nin. Gila juga lo, kan gue jarang publish. Kok lo tau aja sih?”
“Hahaha. Kan kebiasaan gue dari dulu Ja. Mengikuti perkembangan lo itu udah kayak budaya dalam benak gue. hahaha.”
“Geblek lo yak. Hahaha. Ini si kecil mukanya mirip lo Nin baidewei.”
“Hehe iya, orang-orang juga pada bilang gitu. Mungkin karena dia cowok kali ya. jadi mirip ibunya, kalau cewek, mungkin malah mirip bapaknya. Nah, ceritain dong Ja, gimana sama cewek lo, boleh kan gue tau? Atau lo buru-buru mau ke kamar, capek, istirahat gitu?” Anin mendadak pingin tau urusan gue dengan Emi.
“Hmm. Ceritain nggak ya? hehe.”
“Ya bebas sih Ja.”
“Iyeee Nin. Elaaaah.”
Anin seperti tau celah yang ada dalam pikiran gue. Dan dengan perlahan tapi pasti, gue menceritakan hampir keseluruhan perjalanan cinta gue dengan Emi. Termasuk dalam proses bubaran kemarin. Gue menceritakan apa adanya. Karena gue yakin Anin sudah tau juga watak gue seperti apa.
Kemudian Anin berpindah mendekat ke gue. Posisi gue masih duduk di sofa dan Anin berdiri dihadapan gue. dia jadi terlihat tinggi banget didepan gue sekarang. Raut mukanya plain. Ini anak mau gila lagi apa gimana? Gue berpikir geer dulu aja.
PLAAAAAKKKKKK!!!!
Sebuah tamparan keras dengan tangan kanannya mendarat mulus di pipi kiri gue tanpa hambatan sama sekali. gue sangat kaget dengan momen yang baru saja terjadi. Apa-apaan ini Anin? Main pukul aja. Untung aja saat itu tidak terlalu banyak orang, tapi gue jelas melihat beberapa karyawan hotel melihat kearah kami.
“NIN! LO APA-APAAN?” hardik gue nggak terima, sekaligus kaget banget.
“GOBL*K BANGET LO JADI ORANG TAU NGGAK!!!!” jerit Anin nggak kalah keras dengan suara gue.
Oke. Hal ini sekarang membuat kami berdua jadi pusat perhatian beberapa orang yang ada disekitar gue dan Anin. Wah parah ini sih. Berasa seorang suami yang sedang ketahuan selingkuh dan sedang dalam proses pembelaan.
“Nin. Tenang. Please. Bikin malu!” ujar gue tegas, tapi lebih tenang.
“Maaf Ja. Ekspresi gue berlebihan ya? hehe.” katanya santai, sambil mengelus pipi kiri gue yang sudah gue pegangi karena cukup perih.
“Ayo duduk lagi. Ah geblek lo. hancur sudah citra gue. hehe.”
Kemudian Anin duduk disebelah gue. Dia mengambil HP miliknya dan meminta asisten rumah tangganya untuk menjemput si kecil yang sepertinya nggak kuat untuk menemani ibunya memarahi gue. mungkin juga Ibunya mau ngomel-ngomel sama gue kali, tapi nggak enak kalau terlihat sama anaknya.
Nggak berapa lama, asistennya datang dan kemudian membawa si kecil naik ke kamarnya.
“Lo itu tol*l apa gimana sih Ja? Hah? Itu cewek paling sempurna dari semua cewek yang pernah lo ceritain ke gue Ja. bahkan dari sahabat gue sekalipun, si Zalina. Dia jauh-jauh lebih baik. Dan apa? dia klop banget dengan apa yang lo butuhin. Gilanya, dia baik dan sabar banget. bahkan setelah mengetahui beberapa fakta yang udah kejadian.”
“Iya Nin. Gue tau gue banyak menyakiti dia. tol*l emang gue. Tapi, lo tau nggak sih, selalu nih ya, kalau ketika gue sedang memperjuangkan perasaan gue, ada aja godaan yang masuk. Gue tau itu salah, tapi gimana? Gue merasa selama bermain aman itu nggak salah. Gimana sih? Gobl*k banget emang gue. Apa karena gue tau dia pasti maafin gue makanya gue jadi begini, Nin? Gue tau cinta gue ke dia tulus dan nggak pernah berubah. Tapi selalu aja goyah dan ada godaan. Gue emang nggak menganggap selingan-selingan itu serius, seperti apa yang pernah terjadi sama kita dulu Nin. Cobaan gini-gini amat. Gue sampai kebingungan bersikap. Jadinya gue anggap yang seperti ini seperti normal dan selalu mengiringi kehidupan gue.”
“Terus lo mau kalau nanti nikah, sama siapapun, walaupun itu bukan sama Emi, lo akan tetep begini? Ja, menikah itu bukan urusan selangkangan yang dihalalin, lebih dari itu. Gue bisa cerita begini karena gue udah ngerasain namanya ribet dengan pernikahan. Bukan ijab qobulnya, tapi kehidupan setelahnya. Banyak masalah yang ketika kita hadapi dalam status masih pacaran, itu bisa jadi sesuatu yang sangat rumit ketika kita berubah status menjadi suami atau istri orang Ja. Menikah itu bukan hanya urusan lo dengan istri lo, tapi lo itu menjalin koneksi dengan keluarga istri lo juga. itulah yang membuat segala sesuatu yang awalnya terlihat mudah, menjadi rumit dan nggak bisa lo diemin gitu aja nanti juga beres. Nggak bisa. Dengan begitu, lo akan terus menambah masalah baru dan pada akhirnya berakhir sama perpisahan. Apalagi tadi lo bilang juga kan, kalau lo hanya mau menikah sekali seumur hidup. Tapi sikap lo begini? Gobl*k lo tau nggak!”
“Iya Nin gue ngerti. Makanya gue kadang bingung sama pemikiran gue sendiri. Emi itu segalanya buat gue. tapi justru dia yang selalu gue sakitin. Gue banyak salah Nin sama dia. Masalahnya ya itu tadi. selalu aja ada godaannya.”
“Makanya lo tahan dong, b*go! Lo mesti teges sama perasaan lo sendiri. Sekarang umur kita udah nggak muda lagi. Mau sampai kapan lo menuhin hasrat petualang cinta lo? Dulu gue juga begitu. Bahkan gue ngelakuin hal-hal nggak masuk akal biar bikin drama di hubungan lo, buat dapetin cinta lo. Tapi apa? gue bisa berubah. Dari yang awalnya lo udah nggak respek lagi sama gue, sampai sekarang gue ada disini sebagai teman dekat lo, bahkan waktu kebencian lo dibanding waktu kebaikan lo ke gue itu lebih banyak baiknya daripada bencinya, ya kan? Proses-proses seperti itu diniatin, Ja. Dari hati lo. Kalau emang lo cinta sama dia, ya lo yang mulai berubah lebih baik demi cinta terbaik lo. Susah lagi Ja nyari gantinya Emi kalau dia benar-benar nyerah sama lo suatu saat.”
“Gue malah berpikir Emi itu nggak ada yang bisa gantiin, dalam keadaan apapun, Nin, buat gue.”
“Nah makanya jangan disia-siain dong gobl*k!” katanya sambil mencubit lengan kanan gue, saking gemasnya.
“Iya Nin. Ah, sakit bangs*t!” kata gue mengerang kesakitan.
“Lo itu udah dewasa banget. seharusnya lo mengesampingkan ego lo buat memperjuangkan dia yang udah berjuang juga buat lo. Gue emang belum pernah ketemu langsung dengan Emi, tapi dari deskripsi lo, gue udah kebayang kayak apa Emi. sosoknya mirip sekilas dengan Ara, jadi gue kebayang. Ini Ara versi yang terbaik buat lo. yang jauh lebih sempurna, sangat menyempurnakan lo sebagai individu Ja. Sebelum terlambat, buruan sadar. Baidewei, gue juga tau kok lo disini ketemu cewek juga kan?”
“Iya Nin. Maafin gue. Eeeh, kok lo tau?”
“Kan gue ngeliat tadi lo di Mall. Orang gila. Dan lo pasti nggak bilang kan sama dia?”
“Ya nggak, Nin.”
“Apa yang lo harapin dari cewek yang tadi lo temuin?”
“Nggak ada yang spesifik sebenernya. Hanya seneng aja. tapi yaitu tadi, ketika gue berjuang untuk Emi, selalu ada aja godaannya. Kayak cewek ini, tiba-tiba dia masuk. Urusannya dari band. Dia sama-sama vokalis. Dan gue bingungnya, walaupun gue nggak nemu yang spesial lebih dari Emi, gue seneng aja kayak gitu.”
“Nah itu ketol*lan lo dari dulu sebenernya. Gue udah bisa nebak itu dari awal dulu gue godain lo. awalnya kan gue biasa aja sama lo. tapi gue melihat peluang kalau cowok ini mudah tergoda, karena dia selalu ramah sama siapapun. Gilanya, dengan keramahan lo ini, bikin hampir semua cewek yang kenal atau pernah dekat dengan lo jadi susah buat move on. Orang-orang jadi pada nyaman deket sama lo, makanya jadi agresif, termasuk gue Ja. dulu mungkin jadi wajar karena masih kuliah, kita masih sama-sama nakal dan bodoh. Tapi sekarang, kalau lo masih b*go aja kayak dulu, itu mah namanya lo nya kebangetan. Nggak tau arti cinta. Lo petualang hasrat, bukan petualang cinta. Walaupun lo bilang lo nggak ngapa-ngapain sama dia, hanya ngobrol biasa.”
“Maaf Nin. Iya gue selama ini memang sadar banget kalau ini salah.”
“Minta maafnya sama Emi sebelum telat lah b*go. Dan kalo lo tau salah, ya jangan terus-terusan.”
“Ngerti. Itu yang bikin gue bingung dan bimbang.”
“Teges sama perasaan lo Ija. Aah b*go banget sih lo!”
“Nah lo tadi ngapain masiih becandain gue kayak gitu?”
“Itu mah becanda doang ngapain lo tanggepin serius? Lo kira gue masih mau sama lo? sori. Hehehe.”
“Haha iya Nin.”
“Udahlah, mau sampai kapan otak lo ngaco kayak nggak ada puasnya gitu?”
“Alasan masa lalu sih Nin. Lo tau bagaimana gue dulu abis-abisannya perasaan gue dikikis.”
“Ngerti. Tapi sekarang lo udah nemuin penawar. Mau apa lagi? Mau berapa banyak lagi yang lo habisin? Nggak akan kelar sampai lo mati Ja.”
“Iya Nin.”
Sesuai yang gue duga. Anin telah banyak berubah. Obrolan tentang filosofi berhubungan antara cewek dan cowok dalam ikatan cinta itu adalah tema utama kami malam itu. Dia memberikan nasihat, sekaligus tamparan telak serta gambaran gimana lika liku dua insan yang mengikatkan diri dalam sebuah janji suci. Itu berat buat gue, tapi dengan adanya obrolan berbobot bersama Anin ini perlahan membuka pikiran gue. Gue terlalu banyak menyiakan waktu dan menyakiti banyak perasaan orang lain.
“Awas kalau gue malah denger lo bubaran sama Emi ya Ja, lo mendingan nggak usah temenan lagi sama gue.”
“Iya Nin. Jangan gitu lah, nggak enak amat ngancemnya.”
“Ja, lo itu salah satu orang yang paling cerdas yang pernah gue kenal selama kuliah. Dan Emi ini gue baca jauh berkali lipat lebih cerdas dari lo. Lo kan nyari cewek yang lebih pinter, makanya lo selalu pacaran atau meleng sama orang-orang yang asalnya dari kampus kita, karena lo tau cewek-cewek yang udah masuk ke kampus kita seb*go-b*gonya, itu pasti cerdas. Mereka jadi keliatan b*go karena ada yang lebih cerdas lagi dari mereka.”
“Iya emang Nin. Hehe.”
“Nah yaudah. Dia udah memenuhi kriteria otak, selera musik, hobi, pola pikir, fisik, apa lagi terusnya yang lo cari, hah? Lo mau yang kayak gue? banyak Ja. tapi kalau yang kayak Emi? seribu satu. Dan lo masih mau nyia-nyiain? Tol*l lo kebangetan. Ija yang cerdas yang bikin gue abis-abisan kepingin jadi pendamping lo dulu, seperti nggak lagi gue temuin sekarang kalau sikap lo masih kayak gini tau nggak.”
“Padahal gue nggak pernah berubah loh Nin.”
“Justru itu. Dari banyak hal yang udah lo lewatin, lo nggak bisa mengaktualisasi diri. Alasannya kembali ke luka lama yang sebenarnya udah disembuhin total sama Emi, bahkan dipoles jadi makin keren. Eh, feedbackyang diterima Emi kaya gitu doang. Gue aja kalau jadi Emi belum tentu bisa kuat Ja.”
“……..” gue seperti kehabisan kata-kata, bingung.
“Sekarang nih ya, terakhir gue tanya….”
“Apa Nin?”
“Lo cinta tulus sama Emi?”
“Cinta banget. Dari awal gue ketemu sampai detik ini, cinta gue nggak pernah berubah barang 1% sekalipun.”
“Tapi dengan banyak selingan-selingan yang lo bilang cari variasi lah, iseng lah. Itu tandanya ada ketidaksempurnaan. Karena apa? lo cari-cari celah, entah karena bosan, atau sesuai yang lo ceritain, dia terlalu ngekang lo. Tapi sadar nggak sih? Dengan cara seperti itu dia ngekang, ngatur dan sebagainya, beberapa impian lo terwujud kan? Lo mau ngomong apa? ngeband? Band lo dimanajerin sama orang yang lo cinta, kemampuannya bahkan lebih dari Ara. Sama mantan-mantan lo mana ada yang support sampai sebegitunya? Nah sekarang giliran lo udah mulai punya nama besar lagi, gara-gara konsep band yang dia rancang, lo malah meleng karena peluang dari nama besar band lo. Nanti kalau ini ketauan sama komunitas kecil lo, atau minimal kelakuannya sama kayak adik kelas yang dulu pernah fitnah lo itu, yang rugi dan kena imbas bukan lo doang, tapi band lo abis pasti. Sia-sia usaha Emi Ja. Terus lo mau ngomong apa lagi? Diskusi ilmiah? Dia sama lo sejurusan dan pola pikir kalian itu sama persis, minimal miripnya sampai 98%. Hal yang nggak pernah lo dapatin dari mantan-mantan sama selingan-selingan lo dulu kan, walaupun sama-sama satu almamater? Dan banyak hal lainnya. Ayolah, gue sebagai sahabat lo, nggak terima lo bakalan rontok di masa depan karena ulah lo sendiri yang nggak mau berubah.”
“Iya Nin.”
“Jangan iya-iya aja lo. Mikir kali.”
“Iya ini gue mikir kok Nin.”
Diskusi dengan Anin ini sangat luar biasa. Dia benar-benar membuka pikiran dan juga menyadarkan gue. Memang dalam pemikiran gue juga gue menyadari kalau ini salah. Tapi di sisi lain, ada banyak bisikan diotak gue yang menyuruh untuk memanfaatkan kesempatan. Mumpung masih ada. Dan mungkin nggak datang dua kali. Itu aja yang selalu mutar-mutar di kepala gue.
Pada akhirnya setelah berpamitan sama Anin untuk balik ke kamar, gue banyak merenung. Berhenti begini, apa masih coba cari peluang ya? Disini gue juga sadar kalau selama ini banyak salah ambil keputusan yang mengakibatkan kerugian bagi diri gue sendiri dan orang lain.
Kesempatan mungkin nggak datang dua kali, tapi kalau kesempatannya merugikan apa iya gue ambil terus? Karena kadang kesempatan yang berimbas negatif itu sendiri seperti selalu memuaskan dahaga misi gue dulu.
Misi yang bilang,
“kalau cewek aja bisa dapetin semua cowok dan kemudian merusak mindset positifnya, gue juga bisa kayak begitu.”
by
Anin.

Mulustrasi Anin saat ini
Seorang yang sudah lama sekali nggak gue dengar kabarnya. Gue hanya tau perkembangan dia melalui sosial media. Tapi gue nggak nyangka ternyata Anin udah memiliki anak. Gue taksir anaknya berumur sekitar satu tahun lebih sedikit. Dia nggak pernah posting apapun yang berhubungan dengan anaknya ini.
“Gue nggak lagi ngimpi kan ini?” kata gue dari jauh, senyum terulas dari bibir gue.
“Nggak lah.” Katanya, dia membalas senyum gue.
Dia membentangkan tangannya ke arah gue, dan otomatis gue mendekat dan lalu berpelukan dengannya.
“Apa kabar lo, Nin?” tanya gue di telinga kanan Anin.
“Baik Ja. Lo sendiri gimana?” balasnya.
“Gue baik, Nin. Lo lagi ngapain disini? Gila, gue nggak nyangka banget ini asli deh.”
“Haha. Apalagi gue Ja. jauh-jauh kesini, ternyata ketemunya sama lo juga.”
“Yuk duduk disitu dulu Nin. Apa mau ngobrol dikamar gue aja?”
“Haha. Gila aja lo ngobrol dikamar lo. Yang ada lo gue serang abis-abisan nanti.” Ujarnya sambil tergelak.
“Ya kali aja biar private Nin. Hahaha. Lagian lo gila amat, masih nafsu sama gue emang?”
“Masih. Kan gue bilang gue masih penasaran. Hahaha.”
“Gila lo. udah ada buntut juga. hahaha.”
“Hehehe iya, santai aja Ja. selama main aman, semua nyaman kok.”
“Sakit lo nggak ilang-ilang ya Nin? Haha.” Kata gue, lalu memegang keningnya, mengecek dia beneran waras atau nggak.
“Ngapain lo megang kening gue? disangka gue gila ya? haha. Gue sadar kok ngomong gitu. Santai aja. haha.”
“Iya lo santai, gue yang repot ntar ketauan sama laki lo. Hahaha. Yaudah ah duduk dulu yuk.”
“Ayo deh. Hehehe.”
Kami akhirnya duduk di restoran yang berada didalam hotel. Makanan dan minumannya harganya selangit semua. Gue mau jajan dari luar terus dibawa kedalam kan nggak enak. Hehe.
“Lo ada urusan apaan Nin kesini?” Gue membuka obrolan dengan pertanyaan.
“Gue lagi ngikut suami. Suami gue kan lagi stay disini beberapa lama. Entah kenapa tuh maskapainya.”
“Oh gitu. Terus udah berapa lama lo disini?”
“Sekitar dua harian. Lo sendiri udah berapa lama disini?”
“Sama, sekitar dua hari. Besok gue balik, tapi paginya kerja dulu Nin.”
“Masih jadi freelance lo?”
“Iya masih.”
“Sayang amat S2 lo Ja.”
“Gue nyamannya begini sih Nin. Hehee. Toh dengan itu gue malah bisa dapet pekerjaan nggak dari satu tempat doang.”
“Tapi lo mesti inget umur Ja. Emang lo nggak mau menikah?”
“Ya mau sih.”
“Nah, makanya itu lo pikirin deh. Nanti kalau udah nikah itu kan tanggung jawab lo itu nggak cuma diri lo doang, ada anak orang yang mesti lo kasih makan. Belum lagi kalau lo udah punya buntut. Lain lagi nanti ceritanya.”
“Iya, gue udah mikir kesana kok. Tapi saat ini sih gue masih nyaman begini.”
“Ya, namanya pekerjaan, makin lo bertambah umur dan spesifikasi lo tinggi, nanti makin susah loh dapetnya. Bukan apa-apa, gue aja ngelola resto keluarga gitu nyari staf. Yang nggak terlalu tua, tapi spesifikasi sedang. Kenapa? Biar bisa diajarin lagi. Nah kalo lo kan spesifik banget. apalagi lo ada sertifikasi profesi juga.”
“Hmm. Bener Nin. Cewek gue juga pernah ngomong begitu.”
“Wah lo masih sama Emi itu kan? Apa udah ganti lagi?”
“Masih sama dia kok Nin. Gila juga lo, kan gue jarang publish. Kok lo tau aja sih?”
“Hahaha. Kan kebiasaan gue dari dulu Ja. Mengikuti perkembangan lo itu udah kayak budaya dalam benak gue. hahaha.”
“Geblek lo yak. Hahaha. Ini si kecil mukanya mirip lo Nin baidewei.”
“Hehe iya, orang-orang juga pada bilang gitu. Mungkin karena dia cowok kali ya. jadi mirip ibunya, kalau cewek, mungkin malah mirip bapaknya. Nah, ceritain dong Ja, gimana sama cewek lo, boleh kan gue tau? Atau lo buru-buru mau ke kamar, capek, istirahat gitu?” Anin mendadak pingin tau urusan gue dengan Emi.
“Hmm. Ceritain nggak ya? hehe.”
“Ya bebas sih Ja.”
“Iyeee Nin. Elaaaah.”
Anin seperti tau celah yang ada dalam pikiran gue. Dan dengan perlahan tapi pasti, gue menceritakan hampir keseluruhan perjalanan cinta gue dengan Emi. Termasuk dalam proses bubaran kemarin. Gue menceritakan apa adanya. Karena gue yakin Anin sudah tau juga watak gue seperti apa.
Kemudian Anin berpindah mendekat ke gue. Posisi gue masih duduk di sofa dan Anin berdiri dihadapan gue. dia jadi terlihat tinggi banget didepan gue sekarang. Raut mukanya plain. Ini anak mau gila lagi apa gimana? Gue berpikir geer dulu aja.
PLAAAAAKKKKKK!!!!
Sebuah tamparan keras dengan tangan kanannya mendarat mulus di pipi kiri gue tanpa hambatan sama sekali. gue sangat kaget dengan momen yang baru saja terjadi. Apa-apaan ini Anin? Main pukul aja. Untung aja saat itu tidak terlalu banyak orang, tapi gue jelas melihat beberapa karyawan hotel melihat kearah kami.
“NIN! LO APA-APAAN?” hardik gue nggak terima, sekaligus kaget banget.
“GOBL*K BANGET LO JADI ORANG TAU NGGAK!!!!” jerit Anin nggak kalah keras dengan suara gue.
Oke. Hal ini sekarang membuat kami berdua jadi pusat perhatian beberapa orang yang ada disekitar gue dan Anin. Wah parah ini sih. Berasa seorang suami yang sedang ketahuan selingkuh dan sedang dalam proses pembelaan.
“Nin. Tenang. Please. Bikin malu!” ujar gue tegas, tapi lebih tenang.
“Maaf Ja. Ekspresi gue berlebihan ya? hehe.” katanya santai, sambil mengelus pipi kiri gue yang sudah gue pegangi karena cukup perih.
“Ayo duduk lagi. Ah geblek lo. hancur sudah citra gue. hehe.”
Kemudian Anin duduk disebelah gue. Dia mengambil HP miliknya dan meminta asisten rumah tangganya untuk menjemput si kecil yang sepertinya nggak kuat untuk menemani ibunya memarahi gue. mungkin juga Ibunya mau ngomel-ngomel sama gue kali, tapi nggak enak kalau terlihat sama anaknya.
Nggak berapa lama, asistennya datang dan kemudian membawa si kecil naik ke kamarnya.
“Lo itu tol*l apa gimana sih Ja? Hah? Itu cewek paling sempurna dari semua cewek yang pernah lo ceritain ke gue Ja. bahkan dari sahabat gue sekalipun, si Zalina. Dia jauh-jauh lebih baik. Dan apa? dia klop banget dengan apa yang lo butuhin. Gilanya, dia baik dan sabar banget. bahkan setelah mengetahui beberapa fakta yang udah kejadian.”
“Iya Nin. Gue tau gue banyak menyakiti dia. tol*l emang gue. Tapi, lo tau nggak sih, selalu nih ya, kalau ketika gue sedang memperjuangkan perasaan gue, ada aja godaan yang masuk. Gue tau itu salah, tapi gimana? Gue merasa selama bermain aman itu nggak salah. Gimana sih? Gobl*k banget emang gue. Apa karena gue tau dia pasti maafin gue makanya gue jadi begini, Nin? Gue tau cinta gue ke dia tulus dan nggak pernah berubah. Tapi selalu aja goyah dan ada godaan. Gue emang nggak menganggap selingan-selingan itu serius, seperti apa yang pernah terjadi sama kita dulu Nin. Cobaan gini-gini amat. Gue sampai kebingungan bersikap. Jadinya gue anggap yang seperti ini seperti normal dan selalu mengiringi kehidupan gue.”
“Terus lo mau kalau nanti nikah, sama siapapun, walaupun itu bukan sama Emi, lo akan tetep begini? Ja, menikah itu bukan urusan selangkangan yang dihalalin, lebih dari itu. Gue bisa cerita begini karena gue udah ngerasain namanya ribet dengan pernikahan. Bukan ijab qobulnya, tapi kehidupan setelahnya. Banyak masalah yang ketika kita hadapi dalam status masih pacaran, itu bisa jadi sesuatu yang sangat rumit ketika kita berubah status menjadi suami atau istri orang Ja. Menikah itu bukan hanya urusan lo dengan istri lo, tapi lo itu menjalin koneksi dengan keluarga istri lo juga. itulah yang membuat segala sesuatu yang awalnya terlihat mudah, menjadi rumit dan nggak bisa lo diemin gitu aja nanti juga beres. Nggak bisa. Dengan begitu, lo akan terus menambah masalah baru dan pada akhirnya berakhir sama perpisahan. Apalagi tadi lo bilang juga kan, kalau lo hanya mau menikah sekali seumur hidup. Tapi sikap lo begini? Gobl*k lo tau nggak!”
“Iya Nin gue ngerti. Makanya gue kadang bingung sama pemikiran gue sendiri. Emi itu segalanya buat gue. tapi justru dia yang selalu gue sakitin. Gue banyak salah Nin sama dia. Masalahnya ya itu tadi. selalu aja ada godaannya.”
“Makanya lo tahan dong, b*go! Lo mesti teges sama perasaan lo sendiri. Sekarang umur kita udah nggak muda lagi. Mau sampai kapan lo menuhin hasrat petualang cinta lo? Dulu gue juga begitu. Bahkan gue ngelakuin hal-hal nggak masuk akal biar bikin drama di hubungan lo, buat dapetin cinta lo. Tapi apa? gue bisa berubah. Dari yang awalnya lo udah nggak respek lagi sama gue, sampai sekarang gue ada disini sebagai teman dekat lo, bahkan waktu kebencian lo dibanding waktu kebaikan lo ke gue itu lebih banyak baiknya daripada bencinya, ya kan? Proses-proses seperti itu diniatin, Ja. Dari hati lo. Kalau emang lo cinta sama dia, ya lo yang mulai berubah lebih baik demi cinta terbaik lo. Susah lagi Ja nyari gantinya Emi kalau dia benar-benar nyerah sama lo suatu saat.”
“Gue malah berpikir Emi itu nggak ada yang bisa gantiin, dalam keadaan apapun, Nin, buat gue.”
“Nah makanya jangan disia-siain dong gobl*k!” katanya sambil mencubit lengan kanan gue, saking gemasnya.
“Iya Nin. Ah, sakit bangs*t!” kata gue mengerang kesakitan.
“Lo itu udah dewasa banget. seharusnya lo mengesampingkan ego lo buat memperjuangkan dia yang udah berjuang juga buat lo. Gue emang belum pernah ketemu langsung dengan Emi, tapi dari deskripsi lo, gue udah kebayang kayak apa Emi. sosoknya mirip sekilas dengan Ara, jadi gue kebayang. Ini Ara versi yang terbaik buat lo. yang jauh lebih sempurna, sangat menyempurnakan lo sebagai individu Ja. Sebelum terlambat, buruan sadar. Baidewei, gue juga tau kok lo disini ketemu cewek juga kan?”
“Iya Nin. Maafin gue. Eeeh, kok lo tau?”
“Kan gue ngeliat tadi lo di Mall. Orang gila. Dan lo pasti nggak bilang kan sama dia?”
“Ya nggak, Nin.”
“Apa yang lo harapin dari cewek yang tadi lo temuin?”
“Nggak ada yang spesifik sebenernya. Hanya seneng aja. tapi yaitu tadi, ketika gue berjuang untuk Emi, selalu ada aja godaannya. Kayak cewek ini, tiba-tiba dia masuk. Urusannya dari band. Dia sama-sama vokalis. Dan gue bingungnya, walaupun gue nggak nemu yang spesial lebih dari Emi, gue seneng aja kayak gitu.”
“Nah itu ketol*lan lo dari dulu sebenernya. Gue udah bisa nebak itu dari awal dulu gue godain lo. awalnya kan gue biasa aja sama lo. tapi gue melihat peluang kalau cowok ini mudah tergoda, karena dia selalu ramah sama siapapun. Gilanya, dengan keramahan lo ini, bikin hampir semua cewek yang kenal atau pernah dekat dengan lo jadi susah buat move on. Orang-orang jadi pada nyaman deket sama lo, makanya jadi agresif, termasuk gue Ja. dulu mungkin jadi wajar karena masih kuliah, kita masih sama-sama nakal dan bodoh. Tapi sekarang, kalau lo masih b*go aja kayak dulu, itu mah namanya lo nya kebangetan. Nggak tau arti cinta. Lo petualang hasrat, bukan petualang cinta. Walaupun lo bilang lo nggak ngapa-ngapain sama dia, hanya ngobrol biasa.”
“Maaf Nin. Iya gue selama ini memang sadar banget kalau ini salah.”
“Minta maafnya sama Emi sebelum telat lah b*go. Dan kalo lo tau salah, ya jangan terus-terusan.”
“Ngerti. Itu yang bikin gue bingung dan bimbang.”
“Teges sama perasaan lo Ija. Aah b*go banget sih lo!”
“Nah lo tadi ngapain masiih becandain gue kayak gitu?”
“Itu mah becanda doang ngapain lo tanggepin serius? Lo kira gue masih mau sama lo? sori. Hehehe.”
“Haha iya Nin.”
“Udahlah, mau sampai kapan otak lo ngaco kayak nggak ada puasnya gitu?”
“Alasan masa lalu sih Nin. Lo tau bagaimana gue dulu abis-abisannya perasaan gue dikikis.”
“Ngerti. Tapi sekarang lo udah nemuin penawar. Mau apa lagi? Mau berapa banyak lagi yang lo habisin? Nggak akan kelar sampai lo mati Ja.”
“Iya Nin.”
Sesuai yang gue duga. Anin telah banyak berubah. Obrolan tentang filosofi berhubungan antara cewek dan cowok dalam ikatan cinta itu adalah tema utama kami malam itu. Dia memberikan nasihat, sekaligus tamparan telak serta gambaran gimana lika liku dua insan yang mengikatkan diri dalam sebuah janji suci. Itu berat buat gue, tapi dengan adanya obrolan berbobot bersama Anin ini perlahan membuka pikiran gue. Gue terlalu banyak menyiakan waktu dan menyakiti banyak perasaan orang lain.
“Awas kalau gue malah denger lo bubaran sama Emi ya Ja, lo mendingan nggak usah temenan lagi sama gue.”
“Iya Nin. Jangan gitu lah, nggak enak amat ngancemnya.”
“Ja, lo itu salah satu orang yang paling cerdas yang pernah gue kenal selama kuliah. Dan Emi ini gue baca jauh berkali lipat lebih cerdas dari lo. Lo kan nyari cewek yang lebih pinter, makanya lo selalu pacaran atau meleng sama orang-orang yang asalnya dari kampus kita, karena lo tau cewek-cewek yang udah masuk ke kampus kita seb*go-b*gonya, itu pasti cerdas. Mereka jadi keliatan b*go karena ada yang lebih cerdas lagi dari mereka.”
“Iya emang Nin. Hehe.”
“Nah yaudah. Dia udah memenuhi kriteria otak, selera musik, hobi, pola pikir, fisik, apa lagi terusnya yang lo cari, hah? Lo mau yang kayak gue? banyak Ja. tapi kalau yang kayak Emi? seribu satu. Dan lo masih mau nyia-nyiain? Tol*l lo kebangetan. Ija yang cerdas yang bikin gue abis-abisan kepingin jadi pendamping lo dulu, seperti nggak lagi gue temuin sekarang kalau sikap lo masih kayak gini tau nggak.”
“Padahal gue nggak pernah berubah loh Nin.”
“Justru itu. Dari banyak hal yang udah lo lewatin, lo nggak bisa mengaktualisasi diri. Alasannya kembali ke luka lama yang sebenarnya udah disembuhin total sama Emi, bahkan dipoles jadi makin keren. Eh, feedbackyang diterima Emi kaya gitu doang. Gue aja kalau jadi Emi belum tentu bisa kuat Ja.”
“……..” gue seperti kehabisan kata-kata, bingung.
“Sekarang nih ya, terakhir gue tanya….”
“Apa Nin?”
“Lo cinta tulus sama Emi?”
“Cinta banget. Dari awal gue ketemu sampai detik ini, cinta gue nggak pernah berubah barang 1% sekalipun.”
“Tapi dengan banyak selingan-selingan yang lo bilang cari variasi lah, iseng lah. Itu tandanya ada ketidaksempurnaan. Karena apa? lo cari-cari celah, entah karena bosan, atau sesuai yang lo ceritain, dia terlalu ngekang lo. Tapi sadar nggak sih? Dengan cara seperti itu dia ngekang, ngatur dan sebagainya, beberapa impian lo terwujud kan? Lo mau ngomong apa? ngeband? Band lo dimanajerin sama orang yang lo cinta, kemampuannya bahkan lebih dari Ara. Sama mantan-mantan lo mana ada yang support sampai sebegitunya? Nah sekarang giliran lo udah mulai punya nama besar lagi, gara-gara konsep band yang dia rancang, lo malah meleng karena peluang dari nama besar band lo. Nanti kalau ini ketauan sama komunitas kecil lo, atau minimal kelakuannya sama kayak adik kelas yang dulu pernah fitnah lo itu, yang rugi dan kena imbas bukan lo doang, tapi band lo abis pasti. Sia-sia usaha Emi Ja. Terus lo mau ngomong apa lagi? Diskusi ilmiah? Dia sama lo sejurusan dan pola pikir kalian itu sama persis, minimal miripnya sampai 98%. Hal yang nggak pernah lo dapatin dari mantan-mantan sama selingan-selingan lo dulu kan, walaupun sama-sama satu almamater? Dan banyak hal lainnya. Ayolah, gue sebagai sahabat lo, nggak terima lo bakalan rontok di masa depan karena ulah lo sendiri yang nggak mau berubah.”
“Iya Nin.”
“Jangan iya-iya aja lo. Mikir kali.”
“Iya ini gue mikir kok Nin.”
Diskusi dengan Anin ini sangat luar biasa. Dia benar-benar membuka pikiran dan juga menyadarkan gue. Memang dalam pemikiran gue juga gue menyadari kalau ini salah. Tapi di sisi lain, ada banyak bisikan diotak gue yang menyuruh untuk memanfaatkan kesempatan. Mumpung masih ada. Dan mungkin nggak datang dua kali. Itu aja yang selalu mutar-mutar di kepala gue.
Pada akhirnya setelah berpamitan sama Anin untuk balik ke kamar, gue banyak merenung. Berhenti begini, apa masih coba cari peluang ya? Disini gue juga sadar kalau selama ini banyak salah ambil keputusan yang mengakibatkan kerugian bagi diri gue sendiri dan orang lain.
Kesempatan mungkin nggak datang dua kali, tapi kalau kesempatannya merugikan apa iya gue ambil terus? Karena kadang kesempatan yang berimbas negatif itu sendiri seperti selalu memuaskan dahaga misi gue dulu.
Misi yang bilang,
“kalau cewek aja bisa dapetin semua cowok dan kemudian merusak mindset positifnya, gue juga bisa kayak begitu.”
by
Diubah oleh yanagi92055 24-05-2020 01:51
itkgid dan 24 lainnya memberi reputasi
25
Tutup