- Beranda
- Stories from the Heart
HOROR STORY : ANGKERNYA TEGAL SALAHAN
...
TS
indrag057
HOROR STORY : ANGKERNYA TEGAL SALAHAN

Hai agan dan sista penghuni jagad kaskus tercinta dimanapun berada, ijinkan ane yang masih newbie ini kembali berbagi sedikit cerita, semoga berkenan di hati agan dan sista semua.
Di kesempatan ini ane akan coba menceritakan kejadian kejadian yang pernah terjadi di desa ane, saat ane masih kecil dan tinggal di desa. Sebut saja desa Kedhungjati, sebuah desa terpencil yang masih sarat dengan adat istiadat dan kepercayaan yang berbau sakral dan mistis.
Banyak tempat tempat yang masih dianggap sakral dan angker, salah satunya tempat bernama Tegal Salahan. Kawasan ini merupakan jalan desa yang menghubungkan desa ane dengan desa Kedhungsono, yang berada di sebelah selatan desa ane.
Jalan berbatu yang dari arah desa ane menurun tajam, lalu menanjak terjal saat mendekati desa Kedhungsono. Di kiri kanan jalan diapit oleh area persawahan dan tanah tegalan milik para penduduk setempat. Dan ditengah tanjakan dan turunan itu ada jembatan kecil atau biasa disebut bok, tempat dimana mengalir sebuah sungai kecil yang mengalir dari arah barat ke timur.
Di jembatan atau bok inilah yang dipercaya menjadi pusat sarangnya segala macam lelembut, meski di area persawahan, tanah tegalan, dan sungai kecil juga tak kalah angker.
Sudah tak terhitung warga desa ane ataupun desa desa yang lain menjadi korban keisengan makhluk makhluk penghuni tempat tersebut, dari yang sekedar ditakut takutin bahkan sampai ada yang kehilangan nyawa.
Dan kisah kisah itulah yang akan ane coba ceritakan disini. Berhubung ini merupakan kejadian nyata dan menyangkut privacy banyak orang, maka semua nama dan tempat kejadian akan ane samarkan.
Ane juga mohon maaf kalau ada pihak pihak yang merasa tersinggung dengan thread yang ane buat ini. Disini ane murni ingin berbagi cerita, bukan bermaksud untuk menyinggung pihak manapun.
Terakhir, berhubung ane masih newbie, dan update menggunakan perangkat yang sangat sangat sederhana, ane mohon maaf kalau dalam penulisan, penyusunan kalimat, dan penyampaian cerita yang masih berantakan dan banyak kekurangan. Ane juga belum bisa menyusun indeks cerita, jadi kisah kisah selanjutnya akan ane lanjutkan di kolom komentar, part demi part, karena ceritanya lumayan banyak dan panjang. Jadi mohon dimaklumi.
OK, tanpa banyak basa basi lagi mari kita simak bersama kisahnya.
INDEX:
Part 1 :Glundhung Pringis njaluk Gendhong
Part 2 :Jenglot njaluk Tumbal
Part 3 :Yatmiiiiiiiiiii Balekno Matane Anakku
Part 4 :Wewe Gombel
Part 5 :Nonton Wayang
Part 6 :Dikeloni Wewe Gombel
Sedikit sisipan:Asal Mula Nama Salahan
Part 7 :Watu Jaran
Part 8 :Sang Pertapa
Part 9 :Mbah Boghing
Part 10 :Wedhon
Part 11 :Ronda Malam dan Macan Nggendhong Mayit
Part 12 :Maling Bingung
Part 13 :Si Temon
Part 14 :Thethek'an
Part 15 :Kemamang dan Perempuan Gantung Diri
Part 16 :Tumbal Pembangunan Jalan Desa
Penutup
Diubah oleh indrag057 10-06-2020 03:54
adriantz dan 91 lainnya memberi reputasi
92
66.5K
368
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
indrag057
#39
Part 5 : Nonton Wayang
Kabar tentang akan adanya pertunjukan wayang kulit di desa Kedhungsono sudah menyebar ke seantero kampung, termasuk di desa ane. Padahal acaranya baru akan digelar bulan depan.
Di desa terpencil seperti desa ane ini, untuk mendapatkan hiburan memang bukan hal yang mudah. Jangankan televisi, radio saja masih jarang yang memiliki. Jadi bukan hal yang aneh jika ada kabar akan ada pertunjukan wayang langsung menyebar dengan cepat.
Ane dan teman teman juga tak mau ketinggalan. Meski masih sebulan lagi, tapi kami mulai menyiapkan bekal untuk nonton wayang. Mengumpulkan uang jajan sedikit demi sedikit, juga mengumpulkan buah godril (buah pohon trembesi), untuk nantinya dikeringkan dan digoreng dan dijadikan bekal nonton.
Sampai akhirnya hari yang ditunggu tunggupun tiba. Selesai sholat isya' ane dan kelima temen ane sudah berkumpul di poskamling. Sempat terjadi perdebatan waktu itu. Soal apalagi kalau bukan soal jalan yang akan dilalui.
Jalan terdekat untuk menuju ke desa Kedhungsono ya lewat Tegal Salahan. Tapi lewat tempat itu di malam hari bukanlah hal yang menyenangkan.
Sebenarnya ada jalan lain, tapi harus memutar jauh. Bisa dua jam lebih baru bisa sampai desa Kedhungsono. Sedang kalau lewat Tegal Salahan paling lama juga setengah jam sudah sampai.
Sedang seru serunya kami berdebat, lewatlah rombongan bapak bapak yang juga akan menonton wayang. Akhirnya kamipun ikut rombongan tersebut. Lebih aman lah kalau jalannya rame rame bersama orang dewasa begitu.
Sampai di tujuan suasana sudah ramai. Banyak orang yang nonton. Banyak juga pedagang pedagang yang berjualan di sekitar situ. Maklum lah, dalang yang ditanggap termasuk dalang yang kondhang, dan yang punya hajat juga bukan orang sembarangan. Seorang blantik sapi yang terkenal sangat kaya raya.
Ane dan teman teman segera mencari tempat yang nyaman untuk menonton. Setelah berdesak desakan dengan kerumunan penonton, kamipun berhasil menerobos ke depan dan duduk di dekat para penabuh gamelan.
Sekitar jam sembilan pertunjukan pun dimulai. Suara tabuhan gamelan dan permainan sang dalang seolah menghipnotis penonton. Semua mata tertuju ke arah kelir, hingga tak sadar, hari terus merambat semakin malam.
Menjelang tengah malam, perut kami mulai merasa lapar. Kamipun sepakat untuk membeli bakso. Selesai makan bakso kami kembali menonton.
Sedang asyik nonton, tiba tiba Joko, salah satu teman ane mencolek pundak ane.
"Wi, perutku mules banget nih," katanya sambil meringis memegangi perutnya.
"Mules kenapa?" tanya ane masih asyik nonton.
"Pengen e'ek," katanya setengah berbisik.
"Ah, ada ada saja kamu. Ya sudah kamu e'ek dulu sana," sahut ane sedikit kesal.
"E'ek dimana?" tanyanya lagi.
"Ya terserah kamu lah, di kebon kek, di sawah kek. Gitu aja pake nanya"
"Ga enak lah. Banyak orang gini. Nanti diomelin lagi kalau ketahuan."
Ya udah. Ditahan saja kalau gitu. Kamu cari batu kerikil terus kamu kantongin. Nanti juga ilang mulesnya,"
Joko nampak menggerutu. Namun diikutinya juga saran dari ane. Dia mencari batu kerikil dan dikantongi di kantong celananya.
Sepuluh menit kemudian, "Wi, masih mules nih. Udah nggak tahan," Joko kembali mencolek ane. "Kita pulang saja yuk,"
Awalnya ane kesal kengan tingkah si Joko ini. Tapi melihat dia meringis ringis sambil memegangi perut begitu ane nggak tega juga. Akhirnya kita memutuskan untuk pulang. Gagal sudah rencana nonton wayang sampai pagi.
Joko yang sepertinya memang sudah benar benar tidak tahan berjalan dengan sangat cepat mendahului kami. Dan saat sampai di bok di jalan Salahan......
"Lho, kemana Joko tadi?" tanya Parjo, salah satu teman ane.
"Jok......., Joko....!!!" ane pun memanggil dengan setengah berteriak.
"Emmmmppppkkkkhhhhh........," terdengar suara dari kali di sebelah bok.
"Jok, kamu dimana?" tanya Narto.
"Iya, aku disini," terdengar sahutan dari arah samping bok.
Woooo, cah edan, kamu e'ek disit....."
"Preeeeeeeeettttttt........," belum selesai Parjo ngomong sudah dipotong suara dari arah Joko berjongkok di kali, disusul aroma bau tak sedap.
"Cah edan, iso isone ngising neng kono" gerutu Sardi sambil menutup hidungnya.
"Ra sah crewet Su, aku mencret ki" Joko menyahut, juga dengan sedikit kesal. "Untung nggak sampai keluar di celana"
Akhirnya kamipun duduk di tanggul pinggir jalan, agak jauh dari tempat Joko jongkok. Menunggu anak itu menyelesaikan hajatnya.
Lima menit kemudian nampak Joko naik dari sungai sambil membetulkan celananya.
"Ahhhhh, udah lega sekarang," ujarnya menghampiri kami.
"Iya, kamu lega, kita yang mabok," sahut Parjo sewot.
"Habis makan bangkai kamu ya, bau banget!" Sardi ikut menimpali.
"Ssssstttt...., jangan ngomong sembarangan disini," ane mencoba melerai. "Kita langsung pulang yuk, nggak enak lama lama disini."
Akhirnya kamipun melangkah pulang. Namun baru beberapa langkah terdengar suara memanggil manggil dari belakang kami. Kamipun berhenti dan menoleh.
Beberapa meter di belakang kami nampak seseorang berjalan tertatih tatih sambil menggendhong tenggok ( bakul besar terbuat dari bambu).
Kami saling pandang. Ada sedikit rasa takut di hati kami, mengingat saat itu kami masih berada di area Tegal Salahan. Namun setelah sosok itu semakin mendekat, rasa takut kami berubah menjadi rasa kasihan.
Ya, kami mengenali sosok nenek nenek itu. Mbah Lasmi, pedagang gorengan yang biasa berjualan di pasar kecamatan. Pasti dia habis berjualan di tempat pagelaran wayang tadi.
"Habis jualan ya mBah," sapa ane saat mBah Lasmi sudah dekat dengan kami.
"Iyo Le, dodolan ning bubruk, ra payu," (iya Le, jualan, tapi bangkrut, nggak laku") sahut mBah Lasmi sambil menunjukkan isi tenggok yang digendhongnya. "Ki lho, gorenganku masih sisa banyak banget"
"Yoooohhh, sakne men to mBah (duh, kasian banget sih mBah), sini, tak bawain tenggoknya mBah," ane berinisiatif untuk membawakan tenggok mBah Lasmi yang kelihatan agak berat itu.
"Yo Le, cah bagus, nih tolong bawain tenggok simBah, nanti sampai rumah tak kasih gorengan"
Akhirnya kami pun melangkah mengikuti mBah Lasmi menuju ke arah desa Kedhungjati. Rumah mBah Lasmi lumayan jauh, di ujung sebelah utara desa kami. Tapi karena merasa kasihan kami memutuskan untuk mengantar beliau sampai ke rumahnya.
Sambil berjalan kami asyik bersendau gurau. Meledek Joko yang tadi nyaris saja kebobolan e'ek di celana. Sementara mBah Lasmi yang berjalan di depan kami lebih banyak diam sambil berjalan tertatih tatih. Sepertinya sudah benar benar kelelahan.
Jalanan desa masih sepi saat itu. Karena memang baru sekitar jam tigaan pagi gitu. Tak ada seorangpun yang kami jumpai sepanjang perjalanan.
"Kok nggak sampai sampai sih," celetuk Joko mengalihkan pembicaraan. Sepertinya dia sedikit keki juga jadi bahan olok olokan kami.
"Gimana mau cepet sampai kalau jalannya kaya keong begini," timpal Parjo.
"Jangan berisik ah, kasian tuh Mbah Lasmi dah kecapekan kaya gitu" Narto ikut bicara.
"Iya, nggak usah sambat. Aku yang kebagian bawa tenggok saja nggak protes kok, kalian yang cuma jalan nggak bawa apa apa pada protes" ane ikut menggerutu.
"Hahaha, salah sendiri, kan kamu sendiri yang mau bawain tenggoknya mBah Lasmi," Sardi tertawa ngakak.
"Emang berat ya Wi? Kalau berat nanti gantian saja bawanya," Joko melihat ke arahku.
"Kalau mau gantian ya sekarang lah, jangan nanti, kan sudah mau sampai nih," ujarku.
"Iya, maksudku gantiannya nanti kalau sudah sampai gitu," Joko tertawa meledek.
"Sialan," umpat ane. "Eh, kok jalannya jadi gelap gini sih, perasaan disini ada lampu penerangan jalan deh," ane baru sadar kalau jalanan berubah menjadi sangat gelap. Padahal ane sudah hafal setiap jengkal jalan desa ini. Dan ane yakin di tempat ini memang ada lampu penerangan jalan.
"Eh, iya ya. Kok gelap gini sih? Lampunya rusak kali," Narto ikut celingak celinguk memperhatikan sekeliling.
"Lho, mBah Lasmi tadi mana, kok udah nggak kelihatan?" Parjo ikut menoleh kesana kemari, dan memang nggak kelihatan lagi sosok mBah Lasmi yang tadi berjalan di depan kami.
Eh, tunggu....., tunggu....., Wi, buang tenggokmu itu," Joko memandang ke arah ane.
Kok di buang sih, ini kan.........,"
"Sudah, buang saja, banyak ngomong kamu," Joko merebut tenggok yang ane bawa dan melemparnya ke semak semak.
"Kenapa sih Jok, kok kamu jadi aneh......,"
"Diam!" Joko kembali membentak. "Sekarang kalian duduk. Semua duduk, jangan protes!"
Meski merasa aneh dengan sikap Joko, namun kami tetap mengikuti perintahnya. Kamipun duduk bergerombol di pinggir jalan yang gelap itu.
"Sekarang coba kalian ingat ingat," kata Joko lagi setelah kami semua duduk.
"Ingat ingat apa?" tanya Parjo bingung.
"Mbah Lasmi, kalian ingat?" tanya Joko lagi.
"Eh, iya. Mbah Lasmi kan........," ane tersentak.
"Sudah........." Sardi terhenyak.
"Meninggal........" Parjo melotot.
"Sebulan yang lalu.......," Narto gemetar.
Kamipun saling pandang ketakutan. Baru sadar kalau ternyata orang yang kami tolong tadi ternyata sudah meninggal. Dan lebih ketakutan lagi aaat menyadari bahwa saat itu kami bukan berada di jalan desa, tapi berada di bawah rimbunan pohon bambu yang gelap dan rimbun.
Sontak kamipun menangis bersamaan, sambil berteriak teriak minta tolong. Beruntung ada yang mendengar teriakan kami. Beberapa orang bapak bapak yang baru pulang nonton wayang akhirnya menolong kami. Dan setelah diajak ke rumah salah seorang warga, diberi minum dan di tenangkan, akhirnya kami tau kalau kami masih berada di desa Kedhungsono. Jadi tadi kami tersesat di kebun bambu milik salah satu warga desa Kedhungsosno. Padahal kami yakin, tadi kami berjalan ke arah utara, menuju desa Kedhungjati bersama mBah Lasmi.
Hari hampir pagi saat kami diantar pulang oleh salah seorang penduduk desa Kedhungsono. Sampai di rumah ane langsung tidur, tanpa memperdulikan bapak dan emak yang mengajukan seribu satu pertanyaan.*****
Di desa terpencil seperti desa ane ini, untuk mendapatkan hiburan memang bukan hal yang mudah. Jangankan televisi, radio saja masih jarang yang memiliki. Jadi bukan hal yang aneh jika ada kabar akan ada pertunjukan wayang langsung menyebar dengan cepat.
Ane dan teman teman juga tak mau ketinggalan. Meski masih sebulan lagi, tapi kami mulai menyiapkan bekal untuk nonton wayang. Mengumpulkan uang jajan sedikit demi sedikit, juga mengumpulkan buah godril (buah pohon trembesi), untuk nantinya dikeringkan dan digoreng dan dijadikan bekal nonton.
Sampai akhirnya hari yang ditunggu tunggupun tiba. Selesai sholat isya' ane dan kelima temen ane sudah berkumpul di poskamling. Sempat terjadi perdebatan waktu itu. Soal apalagi kalau bukan soal jalan yang akan dilalui.
Jalan terdekat untuk menuju ke desa Kedhungsono ya lewat Tegal Salahan. Tapi lewat tempat itu di malam hari bukanlah hal yang menyenangkan.
Sebenarnya ada jalan lain, tapi harus memutar jauh. Bisa dua jam lebih baru bisa sampai desa Kedhungsono. Sedang kalau lewat Tegal Salahan paling lama juga setengah jam sudah sampai.
Sedang seru serunya kami berdebat, lewatlah rombongan bapak bapak yang juga akan menonton wayang. Akhirnya kamipun ikut rombongan tersebut. Lebih aman lah kalau jalannya rame rame bersama orang dewasa begitu.
Sampai di tujuan suasana sudah ramai. Banyak orang yang nonton. Banyak juga pedagang pedagang yang berjualan di sekitar situ. Maklum lah, dalang yang ditanggap termasuk dalang yang kondhang, dan yang punya hajat juga bukan orang sembarangan. Seorang blantik sapi yang terkenal sangat kaya raya.
Ane dan teman teman segera mencari tempat yang nyaman untuk menonton. Setelah berdesak desakan dengan kerumunan penonton, kamipun berhasil menerobos ke depan dan duduk di dekat para penabuh gamelan.
Sekitar jam sembilan pertunjukan pun dimulai. Suara tabuhan gamelan dan permainan sang dalang seolah menghipnotis penonton. Semua mata tertuju ke arah kelir, hingga tak sadar, hari terus merambat semakin malam.
Menjelang tengah malam, perut kami mulai merasa lapar. Kamipun sepakat untuk membeli bakso. Selesai makan bakso kami kembali menonton.
Sedang asyik nonton, tiba tiba Joko, salah satu teman ane mencolek pundak ane.
"Wi, perutku mules banget nih," katanya sambil meringis memegangi perutnya.
"Mules kenapa?" tanya ane masih asyik nonton.
"Pengen e'ek," katanya setengah berbisik.
"Ah, ada ada saja kamu. Ya sudah kamu e'ek dulu sana," sahut ane sedikit kesal.
"E'ek dimana?" tanyanya lagi.
"Ya terserah kamu lah, di kebon kek, di sawah kek. Gitu aja pake nanya"
"Ga enak lah. Banyak orang gini. Nanti diomelin lagi kalau ketahuan."
Ya udah. Ditahan saja kalau gitu. Kamu cari batu kerikil terus kamu kantongin. Nanti juga ilang mulesnya,"
Joko nampak menggerutu. Namun diikutinya juga saran dari ane. Dia mencari batu kerikil dan dikantongi di kantong celananya.
Sepuluh menit kemudian, "Wi, masih mules nih. Udah nggak tahan," Joko kembali mencolek ane. "Kita pulang saja yuk,"
Awalnya ane kesal kengan tingkah si Joko ini. Tapi melihat dia meringis ringis sambil memegangi perut begitu ane nggak tega juga. Akhirnya kita memutuskan untuk pulang. Gagal sudah rencana nonton wayang sampai pagi.
Joko yang sepertinya memang sudah benar benar tidak tahan berjalan dengan sangat cepat mendahului kami. Dan saat sampai di bok di jalan Salahan......
"Lho, kemana Joko tadi?" tanya Parjo, salah satu teman ane.
"Jok......., Joko....!!!" ane pun memanggil dengan setengah berteriak.
"Emmmmppppkkkkhhhhh........," terdengar suara dari kali di sebelah bok.
"Jok, kamu dimana?" tanya Narto.
"Iya, aku disini," terdengar sahutan dari arah samping bok.
Woooo, cah edan, kamu e'ek disit....."
"Preeeeeeeeettttttt........," belum selesai Parjo ngomong sudah dipotong suara dari arah Joko berjongkok di kali, disusul aroma bau tak sedap.
"Cah edan, iso isone ngising neng kono" gerutu Sardi sambil menutup hidungnya.
"Ra sah crewet Su, aku mencret ki" Joko menyahut, juga dengan sedikit kesal. "Untung nggak sampai keluar di celana"
Akhirnya kamipun duduk di tanggul pinggir jalan, agak jauh dari tempat Joko jongkok. Menunggu anak itu menyelesaikan hajatnya.
Lima menit kemudian nampak Joko naik dari sungai sambil membetulkan celananya.
"Ahhhhh, udah lega sekarang," ujarnya menghampiri kami.
"Iya, kamu lega, kita yang mabok," sahut Parjo sewot.
"Habis makan bangkai kamu ya, bau banget!" Sardi ikut menimpali.
"Ssssstttt...., jangan ngomong sembarangan disini," ane mencoba melerai. "Kita langsung pulang yuk, nggak enak lama lama disini."
Akhirnya kamipun melangkah pulang. Namun baru beberapa langkah terdengar suara memanggil manggil dari belakang kami. Kamipun berhenti dan menoleh.
Beberapa meter di belakang kami nampak seseorang berjalan tertatih tatih sambil menggendhong tenggok ( bakul besar terbuat dari bambu).
Kami saling pandang. Ada sedikit rasa takut di hati kami, mengingat saat itu kami masih berada di area Tegal Salahan. Namun setelah sosok itu semakin mendekat, rasa takut kami berubah menjadi rasa kasihan.
Ya, kami mengenali sosok nenek nenek itu. Mbah Lasmi, pedagang gorengan yang biasa berjualan di pasar kecamatan. Pasti dia habis berjualan di tempat pagelaran wayang tadi.
"Habis jualan ya mBah," sapa ane saat mBah Lasmi sudah dekat dengan kami.
"Iyo Le, dodolan ning bubruk, ra payu," (iya Le, jualan, tapi bangkrut, nggak laku") sahut mBah Lasmi sambil menunjukkan isi tenggok yang digendhongnya. "Ki lho, gorenganku masih sisa banyak banget"
"Yoooohhh, sakne men to mBah (duh, kasian banget sih mBah), sini, tak bawain tenggoknya mBah," ane berinisiatif untuk membawakan tenggok mBah Lasmi yang kelihatan agak berat itu.
"Yo Le, cah bagus, nih tolong bawain tenggok simBah, nanti sampai rumah tak kasih gorengan"
Akhirnya kami pun melangkah mengikuti mBah Lasmi menuju ke arah desa Kedhungjati. Rumah mBah Lasmi lumayan jauh, di ujung sebelah utara desa kami. Tapi karena merasa kasihan kami memutuskan untuk mengantar beliau sampai ke rumahnya.
Sambil berjalan kami asyik bersendau gurau. Meledek Joko yang tadi nyaris saja kebobolan e'ek di celana. Sementara mBah Lasmi yang berjalan di depan kami lebih banyak diam sambil berjalan tertatih tatih. Sepertinya sudah benar benar kelelahan.
Jalanan desa masih sepi saat itu. Karena memang baru sekitar jam tigaan pagi gitu. Tak ada seorangpun yang kami jumpai sepanjang perjalanan.
"Kok nggak sampai sampai sih," celetuk Joko mengalihkan pembicaraan. Sepertinya dia sedikit keki juga jadi bahan olok olokan kami.
"Gimana mau cepet sampai kalau jalannya kaya keong begini," timpal Parjo.
"Jangan berisik ah, kasian tuh Mbah Lasmi dah kecapekan kaya gitu" Narto ikut bicara.
"Iya, nggak usah sambat. Aku yang kebagian bawa tenggok saja nggak protes kok, kalian yang cuma jalan nggak bawa apa apa pada protes" ane ikut menggerutu.
"Hahaha, salah sendiri, kan kamu sendiri yang mau bawain tenggoknya mBah Lasmi," Sardi tertawa ngakak.
"Emang berat ya Wi? Kalau berat nanti gantian saja bawanya," Joko melihat ke arahku.
"Kalau mau gantian ya sekarang lah, jangan nanti, kan sudah mau sampai nih," ujarku.
"Iya, maksudku gantiannya nanti kalau sudah sampai gitu," Joko tertawa meledek.
"Sialan," umpat ane. "Eh, kok jalannya jadi gelap gini sih, perasaan disini ada lampu penerangan jalan deh," ane baru sadar kalau jalanan berubah menjadi sangat gelap. Padahal ane sudah hafal setiap jengkal jalan desa ini. Dan ane yakin di tempat ini memang ada lampu penerangan jalan.
"Eh, iya ya. Kok gelap gini sih? Lampunya rusak kali," Narto ikut celingak celinguk memperhatikan sekeliling.
"Lho, mBah Lasmi tadi mana, kok udah nggak kelihatan?" Parjo ikut menoleh kesana kemari, dan memang nggak kelihatan lagi sosok mBah Lasmi yang tadi berjalan di depan kami.
Eh, tunggu....., tunggu....., Wi, buang tenggokmu itu," Joko memandang ke arah ane.
Kok di buang sih, ini kan.........,"
"Sudah, buang saja, banyak ngomong kamu," Joko merebut tenggok yang ane bawa dan melemparnya ke semak semak.
"Kenapa sih Jok, kok kamu jadi aneh......,"
"Diam!" Joko kembali membentak. "Sekarang kalian duduk. Semua duduk, jangan protes!"
Meski merasa aneh dengan sikap Joko, namun kami tetap mengikuti perintahnya. Kamipun duduk bergerombol di pinggir jalan yang gelap itu.
"Sekarang coba kalian ingat ingat," kata Joko lagi setelah kami semua duduk.
"Ingat ingat apa?" tanya Parjo bingung.
"Mbah Lasmi, kalian ingat?" tanya Joko lagi.
"Eh, iya. Mbah Lasmi kan........," ane tersentak.
"Sudah........." Sardi terhenyak.
"Meninggal........" Parjo melotot.
"Sebulan yang lalu.......," Narto gemetar.
Kamipun saling pandang ketakutan. Baru sadar kalau ternyata orang yang kami tolong tadi ternyata sudah meninggal. Dan lebih ketakutan lagi aaat menyadari bahwa saat itu kami bukan berada di jalan desa, tapi berada di bawah rimbunan pohon bambu yang gelap dan rimbun.
Sontak kamipun menangis bersamaan, sambil berteriak teriak minta tolong. Beruntung ada yang mendengar teriakan kami. Beberapa orang bapak bapak yang baru pulang nonton wayang akhirnya menolong kami. Dan setelah diajak ke rumah salah seorang warga, diberi minum dan di tenangkan, akhirnya kami tau kalau kami masih berada di desa Kedhungsono. Jadi tadi kami tersesat di kebun bambu milik salah satu warga desa Kedhungsosno. Padahal kami yakin, tadi kami berjalan ke arah utara, menuju desa Kedhungjati bersama mBah Lasmi.
Hari hampir pagi saat kami diantar pulang oleh salah seorang penduduk desa Kedhungsono. Sampai di rumah ane langsung tidur, tanpa memperdulikan bapak dan emak yang mengajukan seribu satu pertanyaan.*****
Diubah oleh indrag057 21-05-2020 03:04
sicepod dan 37 lainnya memberi reputasi
38
Tutup