Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

hannyhariniAvatar border
TS
hannyharini
Unexpected Love (Cinta Tidak Mengenal Batas) [Kumpulan Cerpen dan Cerbung


Unexpected Love (Cinta Tidak Mengenal Batas) PART 1

“Kamu mau dimana?” tanyanya di ujung telepon.

“Aku mau cari barang dulu, daripada bengong aku cari barang,”' jawabku.

“Tunggu situ, aku ke situ,” perintahnya lagi. Maunya apa sih ini orang tiba-tiba main perintah begitu saja?

“Kamu bukannya temui aku, kenapa enggak temuin aku?” Dia sedikit marah padaku dengan suara sedikit tersengal karena berlari menyusulku.

“Lah, ngapain? Kamu kan lagi di booth kamu, aku enggak mau ganggu lah, kamu kerja ya kerja aja.” Aku heran ini orang kenapa ya? Aku tidak minta dia temani. Aku ke lokasi pameran hanya kebetulan lewat dan karena ada dia di sana.

“Enggak apa, kamu samperin aja, nanti aku temani kamu mau kemana? Nanti kalau kamu hilang gimana?” Dia kembali nyercos nggak jelas, anak ini keras kepala rupanya. Emangnya aku bocah ingusan yang tidak bisa pulang sendiri? Toh tadi juga aku ke lokasi pameran juga sendirian.

“Emang aku anak kecil? Kamu posesif banget sih? Emang kita pacaran?” Nada suaraku meninggi, sudah kesal dan lapar diomelin pula sama dia.

“Kalau sudah deket begini tandanya apa? Ya lanjutin lah!” Ara menarik tanganku keuar lokasi pameran.

Aku tersentak kaget, tak menyangka Ara berbicara begitu. Aku hanya diam. Hall pameran itu begitu ramai aku bingung mau berbuat apa. Ara tiba-tiba menggandengku menuju coffee shop yang ada di dekat lokasi pameran tersebut.

“Nda, aku serius loh tadi ngomong gitu ke kamu,” ujarnya seraya menyesap kopinya.

Aku hanya diam sambil mengunyah croissant yang penuh menjejali mulutku. Aku acuh tak acuh menanggapi omongan Ara. Teman SMP ku itu memang suka ajaib. Lama tidak ada kabar tiba-tiba dia menghubungiku lewat pesan langsung Instagram. Kami berhubungan lagi sejak itu dan sekarang dia mengajakku untuk mengunjungi pameran komunitas Bar dan Kedai Kopi.

Ara, dengan profesinya yang kutahu kritikusi kuliner masa iya tiba-tiba mau ajak aku pacaran?

Ini bukan hal mudah mengingat dunia kami berbeda sangat jauh. Karakter kami berbeda sangat jauh. Aku tidak yakin Ara sanggup berubah untuk masuk ke duniaku. Dia harus menanggalkan profesinya, mengubah kebiasaannya, bahkan mungkin mengganti lingkaran pertemanannya.

“Maksud kamu apa sih?” aku menatapnya heran. Suatu hal yang aneh mengetahui Ara menyukai orang seperti aku. Aku bukan tipenya, berada di lingkaran hidupnya juga enggak.

“Ya maksudku aku ingin memilih kamu menjadi pendampingku,” tukasnya tidak mau menyerah dengan penolakanku.

“Kalau soal hubungan cinta, aku enggak bisa main-main Ra, aku enggak bisa pacaran hahahihi kaya kamu dengan yang lainnya,” tegasku sekali lagi.

“Aku dengan yang lain gimana? Aku nggak pacaran sama siapa-siapa,” tegasnya.

Aku tidak mengerti apa yang dipikirkan Ara. Apa yang dia mau? Ara dan aku, kita berbeda dunia.

[Bersambung]
Diubah oleh hannyharini 14-03-2020 01:45
nona212
nomorelies
gustiarny
gustiarny dan 50 lainnya memberi reputasi
51
6.7K
204
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.4KAnggota
Tampilkan semua post
hannyhariniAvatar border
TS
hannyharini
#132
Part XV
POV Nanda

Sudah nyaris satu bulan Ara tidak menjemputku ataupun kami berjalan bersama. Dia sibuk dengan acara pamerannya di Jakarta. Sementara aku pun juga disibukan dengan persiapan Dies Natalis kampus. Sebagai sekretaris di kepanitiaan, aku harus mendampingi Dino presentasi kepada calon sponsor maupun ikut rapat dengan pihak elemen kampus lain. Waktu kami berdua benar-benar sangat sibuk.

Hari ini panitia mendapat berita gembira, Dino berhasil melobi calon sponsor untuk mendapatkan sponsor separuh. Itu artinya separuh dari biaya temu alumni akan ditanggung oleh pihak sponsor. Kami hanya perlu memikirkan separuh biayanya lagi. Pekerjaan kami menjadi lebih ringan dari yang seharusnya.

“Duh Nanda, akhirnya kita goaljuga sponsornya. Nggak percuma ya punya mahasiswa anak mentri.” Dino tertawa lebar menyiratkan kelegaan di hatinya. Aku pun ikut lega dengan berhasilnya kami menggaet sponsor separuh.

Kami baru saja tiba dari kantor sponsor, dan memilih untuk melepas penat sejenak di lobi gedung dosen. Hari yang melelahkan namun membahagiakan bagi kami. Sejenak menghela napas dari kepadatan presentasi tadi kami bercengkrama ringan di lobi hotel.

Ditengah obrolan kami, aku sekilas melihat sosok Ara di pintu masuk gedung dosen, tapi setelah kupandangi dia kenapa dia langsung pergi?

“Ara?” Aku melihat dia memandang sekilas ke arahku namun kembali keluar dari gedung.

“Din, sebentar ya,”

“Ra... Tunggu!” aku berlari mengejarnya yang sedang berjalan menuju parkiran.

Ara tidak mengindahkan panggilanku. Dia tetap berjalan menuju mobilnya. Napasku tersengal dan tidak sanggup lagi mengikuti langkahnya yang lebar itu. Ara benar-benar mengacuhkanku. Kenapa dia? Apa karena dia melihat aku bersama dengan Dino? Aku tidak ada hubungan apapun dengan dia.

Sudah panggilan ke lima Ara tidak
mengangkat ponselnya. Entah ada apa dengan anak itu. Dia hanya datang dan masuk sekejap untuk melihatku lalu pergi meninggalkanku. Teleponku juga tidak dijawab olehnya. Aku benar-benar tidak mengerti dengan sikapnya. Tidak biasanya dia seperti itu.

[Kamu tadi ada apa ke kampus trus malah pergi?]

[Ara, tadi aku panggil kok malah pergi?]

[Ara, kamu marah kah? Ada apa?]

Sudah sekian kali aku kirim pesan singkat ke ponselnya namun tidak ada satupun yang dibalas. Aku akhirnya dibuat bingung olehnya. Saat seperti ini, ternyata hatiku berubah gundah dan tidak ingin dia hilang dari sisiku. Aku rupanya sudah menyukai lelaki itu dan takut dia tidak lagi ada di sisiku.

“Rancy,boleh minta nomornya Joey nggak?” kuberanikan diri untuk menghubungi Joey, adik Rancy, yang katanya bartender juga. Pasti dia tahu kapan acaranya Ara mulai.

“Tumben nanyain adik aku? Ngapain?”

“Mau ada perlu tentang dunia bartender,” jawabku asal.

“Kamu mau datengin DJ di temu alumni nanti?”

“Buruan mana nomornya?”

Rancy akhirnya memberitahukan nomor adiknya meskipun seperti biasa dengan berondongan pertanyaan yang membuatku nyaris tidak bisa berkilah.

Akhirnya setelah kuhubungi Joey, aku mengetahui jadwal Ara di acara tersebut. Beruntung Joey ternyata ikut serta menjadi pengisi bazaar di pameran itu. Aku bisa berpura-pura mengunjungi stand Joey nanti.

****

Hari Sabtu, aku sudah berada di jalan bebas hambatan dengan taksi daring menuju ke tempat pameran yang ditunjukan oleh Joey. Jalanan kala itu masih sepi karena memang tidak ada banyak orang aktifitas di dalam kota pada akhir pekan ini.

Sesampainya di lokasi, aku bergegas menuju ke tempat acara mencari keberadaan Ara. Kudapati Ara sedang sibuk berkoordinasi dengan timnya. Aku mengamatinya dari kejauhan.

Sekali lagi, aku dibuat kagum dengan sikap dan cara kerjanya. Bagiku penampilan menjadi dua kali lebih dari biasanya ketika dia sedang bekerja. Aku pun akhirnya tersenyum sendiri mengangguminya dari kejauhan.

Akhirnya setelah beberapa lama aku berdiri mengamati, Ara menyadari kehadiranku. Dia segera menghampiriku dan menggenggam tanganku membawaku ke tempat yang cukup jauh dari keramaian.

Setelah sejenak meninggalkanku untuk membeli minuman, Ara kembali duduk di sampingku menyesap minumannya. Aku hanya memainkan gelas minuman dingin yang diberikannya padaku. Aku gugup tidak tahu bagaimana memulai pembicaraan.

“Naik apa tadi ke sini?”

“Taksi,” jawabku singkat.

“Hari ini aku sibuk, maaf tidak bisa banyak menemanimu. Pembukaannya hari ini. Aku harus standby di dekat panggung utama.” Lepas berkata demikian, Ara bangkit dari duduknya hendak meninggalkanku.

“Ara...” kucegah kepergiannya berharap mendapat penjelasan tentang sikapnya beberapa hari lalu. “Aku minta maaf.”

Dia hanya menatapku dan menganggukan kepala. Tangannya mengusap genggamanku, raut mukanya tidak setegang tadi. Nampaknya Ara sudah mulai melunak padaku. “Sampai ketemu nanti jam 12 ya. Aku harus bersiap.”

Meskipun aku belum mendapatkan penjelasan apapun darinya, setidaknya aku tahu Ara tidak lagi marah padaku. Lega rasanya mendapati hal itu. Aku tidak masalah bila harus menunggunya meskipun hingga larut malam sekalipun.

Aku mulai menyukainya. Ternyata berada di sisinya membuatku semakin nyaman adanya.

****

Tepat jam makan siang, Ara menepati janjinya menemuiku lagi. Kami makan bersama di salah satu kedai dekat lokasi pameran. Kulihat peluh deras membasahi wajahnya. Aku spontan mengeluarkan selembar tisu dan mengelap peluh di dahinya. Dia terkejut dan hendak mencegahku melakukan itu.

“Itu muka kamu keringatan. Nanti netes di makanan,” ujarku memberi alasan.

Dia akhirnya tersenyum dan membiarkanku melakukannya. Aku senang dia sudah tidak marah lagi padaku.

“Kamu apa kabar?”

“Alhamdulillah. Kenapa kemarin kabur saat aku panggil?” Aku sudah tidak tahan untuk tidak menanyakan apa yang sebenarnya terjadi tempo hari.

“Aku...” Lama Ara terdiam, “...kamu gimana persiapan acaranya? Sudah sampai mana?”

“Alhamdulillah kami dapat sponsor besar. Jadi tinggal sedikit lagi cari dana. Minggu lalu yang kamu dating itu, Dino dan aku baru aja sampai dari kantor calon sponsor.”

“Oh... lalu kamu selama aku enggak jemput pulang sama siapa?”

“Abang ojek. Yah kadang juga naik angkot.”

“Maaf aku enggak bisa jemput.”

“Enggak apa.”

Jawabanku hanya singkat. Aku masih gugup berhadapan dengannya. Ada rasa yang tidak biasa mengalir dan mengusik hatiku. Ara yang semakin hari semakin membuatku kagum justru membuatku sering salah tingkah bila benar-benar ada di dekatnya. Dia tidak mau menceritakan alasannya pergi begitu saja meninggalkanku tempo hari. Aku tidak mau memaksakan.

“Hari ini aku akan sampai larut malam. Kamu mau tetap di sini atau bagaimana?”

“Aku tunggu kamu. Kebetulan ada Joey adiknya Rancy buka stand di sini. Aku akan bantu dia.”

Aku ingin mendampinginya hari ini. Aku ingin menebus rasa bersalahku selama ini telah sering mengacuhkannya.

****

Pukul 22.00 WIB Ara baru selesai dan akhirnya mengajakku pulang. Aku sebenarnya sudah sangat letih sedari tadi siang. Menunggu dan hanya mondar mandir keliling area pameran ternyata lebih melelahkan ketimbang sibuk urus pekerjaan sana sini. Namun, aku tidak mungkin mengeluh depan Ara. Dia pasti lebih lelah dibandingkan aku.

“Besok kamu mau kemana?”

“Di rumah aja. Aku mau istirahat,” jawabku singkat.

Aku sudah sangat merindukan kasur empukku di kamar tidur. Beruntung jalanan malam itu tidak terlalu macet, jadi aku bisa segera masuk rumah setelah ini.

“Kamu capek banget ya? Maaf ya.” Ara mengusap pundakku merasa bersalah.

Aku memang lelah tapi entah kenapa aku tidak merasakan kesal sedikitpun menunggunya. Aku mulai merasa nyaman berada di dekatnya.

Kekakuanku sudah mulai terasa cair, tapi aku tidak mau terlalu berharap banyak padanya. Aku takut kecewa.

“Ra, boleh aku tanya sesuatu?” Aku masih penasaran dengan sikapnya kabur begitu saja tempo hari. “Ra, kenapa kamu waktu itu, kabur ninggalin aku?”

Ara hanya terdiam dan memainkan kemudinya yang tidak bergerak itu. Kami sudah tiba di depan rumahku namun aku belum beranjak keluar mobil untuk masuk rumah. Aku terus menatapnya penuh selidik mencari kemungkinan dia akan menjawab pertanyaanku.

“Kamu nggak mau jawab ya?”

“Nanda...” Kembali dia menghela napasnya. Aku semakin bingung dengan sikapnya. “...kamu akrab banget sama Dino ya.”

“Aku sudah berteman sejak kami sama-sama kuliah S1. Sekarang kami sama2 ngajar. Ya udah lama ya akrab kan.”

“Aku ingin seperti Dino.” Ara menundukan kepalanya. Aku menangkap sinyal kecemburuan di wajahnya. Aku hanya bisa mengulum senyum.

“Aku enggak pernah mengusap keringat Dino. Aku masuk ya.” Sejurus setelah mengucapkan kalimat itu, aku bersegera keluar mobil dan lari masuk ke dalam rumah. Aku sangat malu dengan perkataanku. Entah apa yang menggerakan lidahku untuk melontarkan kalimat itu.
miniadila
lurika
husnamutia
husnamutia dan 10 lainnya memberi reputasi
11
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.