- Beranda
- Stories from the Heart
Cerita Kita Untuk Selamanya 3 : Cataphiles [ON GOING]
...
TS
rendyprasetyyo
Cerita Kita Untuk Selamanya 3 : Cataphiles [ON GOING]
Quote:
TENANG, CERITA KITA, APAPUN UJUNGNYA, AKAN DIKENANG SELAMANYA.
SELAMAT DATANG DI CERITA KITA UNTUK SELAMANYA SERIES.
Quote:
Sinopsis:
Ditahun 2025 terjadi kekacauan besar yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Pandemi virus yang semakin memburuk, serangan teror, unjuk rasa, banyak orang harus kehilangan keluarga dan mata pencarian, sampai akhirnya pemerintah menetapkan status darurat nasional untuk menghentikan semua aktifitas yang dapat membahayakan warga. Ditengah kekacauan ini, Rendy dan Bianca bertemu dengan Mr.Klaus yang akan merubah hidup mereka dan membawa mereka pada petualangan baru di Desa Praijing, Sumba. Siapakah yang akan memperbaiki keadaan tersebut? Apakah kekacauan tersebut bisa diselesaikan? Siapakah sebenernya Mr.Klaus?
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Pembukanya gak usah panjang-panjang. sebelum baca series ketiga ini gue rekomendasikan untuk baca dulu dua series sebelumnya ya biar gak bingung dan gak banyak nanya lagi. Tapi kalau mau lanjut kesini aja juga boleh. langsung aja, enjoy the story hehe.
When i was young i listen to the radio
Waiting for my favorite song
When they played i sing along
Its make me smile
The Carpenters - Yesterday Once More
Official Soundtrack
“aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”
Sapardi Djoko Darmono - Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
--------------------------------------------------------------------------------------------
Cerita Kita Untuk Selamanya versi FULL SERIES :
When i was young i listen to the radio
Waiting for my favorite song
When they played i sing along
Its make me smile
The Carpenters - Yesterday Once More
Official Soundtrack
“aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”
Sapardi Djoko Darmono - Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Quote:
--------------------------------------------------------------------------------------------
CERITA KITA UNTUK SELAMANYA 3 : CATAPHILES
PROLOG
Tahun 2026
Disebuah negeri entah berantah.
“Bi..? ini beneran kamu?”
Gue buka mata gue perlahan sambil menegakkan tubuh gue yang serasa rontok disemua bagian. Tangan kiri gue berasa perih dan samar-samar terlihat aliran darah beku menghitam diarea pergelangannya. Bibir atas dan lutut kaki sebelah kanan gue juga menimbulkan sensasi sakit luar biasa tiap kali gue mencoba untuk menggerakkan tubuh. Samar-samar terlihat bayangan bibi ketika pertama kali gue membuka mata tadi. Sekarang setelah sepenuhnya sadar, gue makin bingung dengan keadaan yang tejadi karena gak cuma ada Bibi disini. Ada seorang wanita lain terlihat sedang membalut luka ditungkai kaki seorang pria yang terlihat mengeluarkan darah cukup banyak.
“Iya, Rendy. Ini aku” Bibi menjawab sambil mengulurkan beberapa obat penghilang rasa sakit dan penambah darah untuk gue minum. “Minum nih kalau masih kerasa sakit, untung aja gak apa-apa kan.”
“Gak apa-apa apanya sih bi?” gue mengambil obat dari tangan bibi dan segera meminum obat tersebut dengan beberapa teguk air yang ada digelas di sisi lain tubuh gue. “Emang kita dimana? Kenapa ada mereka juga?”
Gue dan Bibi sekarang ada disebuah pondok kayu kecil berukuran 3x4 m dengan satu jendela persegi kecil bertirai kain hitam lusuh jadi tempat lewat mentari pagi berada disisi belakang tubuh bibi. Sang wanita asing yang tadi sedang sibuk memperban seorang laki-laki sekarang terlihat menatap Bibi dari kejauhan. Luka yang sedang diperban dari tungkai cowok tersebut pun terlihat sudah berhenti mengalirkan darah. Ruangan kumuh ini lembab dengan hanya satu alas tidur jadi tempat beristirahat lelaki dengan perban didaerah tungkai. Samar gue lihat kalau laki-laki ini terlihat familiar dengan rambut ikal panjangnya.
“hufft” bibi menjawab sambil menghela nafas panjang dan membereskan beberapa peralatan yang sebelumnya dipakai untuk mengobati gue. “dugaan aku bener kan, kamu bakal lupa semuanya setelah semalam kepala kamu kebentur. Untung ada mereka yang nolongin”
Terlihat sang wanita tersenyum tipis sambil melambaikan tangan kearah gue.
“Mereka siapa be?” gue bertanya pelan kearah bibi sambil meringis.
“Astaga Rendy kamu beneran gak inget apa-apa ya. Yang cewek namanya Sydney dan yang cowok namanya Will” Bibi menjawab. “Kita disini bareng-bareng karena harus ngumpulin informasi tentang apapun yang berhubungan sama organisasi Cataphiles, seenggaknya itu perintah yang dikasih atasan kemaren. Tapi karena kecerobohan kamu rencana kita gagal semalem dan harus sembunyi ditempat ini sekarang.”
Will? Sydney? Organisasi Cataphiles? Perintah atasan? Semua hal yang bibi bicarakan terdengar imajinatif karena seinget gue semalem sebelum tidur gue masih ada dikosan, ngobrol sama mas kosan tentang kemungkinan gue untuk pindah kerja. Gue dan bibipun udah lama gak ketemu dan sekarang tiba-tiba kita berdua sedang berada di tempat antah berantah sama dua orang asing dan katanya sedang menjalani sebuah misi.
“Bentar-bentar” gue mencoba menelaah perkataan bibi. “kamu bisa ceritain dari awal? Dari awal banget?”
“Dari awal kita ketemu?” bibi menjawab. “apa dari awal kita ada ditempat ini? by the way, kita sekarang lagi di perbatasan sisi timur kota Paris”
“Dari awal terbentuk galaksi bimasakti juga boleh aku dengerin” gue menjawab perkataan bibi sambil membenarkan posisi lutut kanan gue yang telihat lebam membiru dengan ukuran cukup besar. “semalem aku tidur masih dikosan kok tiba-tiba ada disini ya wajar dong bingung. Bentar, kamu bilang PARIS?”
“hah? Tidur dikosan?” bibi menjawab sambil mengernyitkan dahi.”bener-bener makin bodoh setelah kepalanya terbentur nih orang. ya udah sini diceritain dari awal...”
Dan bibi mulai bercerita tentang kejadian awal kenapa semua jadi seperti ini. Di kejauhan gue liat sydney terlihat tersenyum karena obrolan gue dan bibi barusan.
Index:
PART 1 :Tragedi
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
PART 2 : Preparasi
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
PART 3 : Akurasi
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27 - Special Chapter
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
PART 4 : Memori
Soon
PART 1 :Tragedi
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
PART 2 : Preparasi
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
PART 3 : Akurasi
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27 - Special Chapter
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
PART 4 : Memori
Soon
Cerita Kita Untuk Selamanya versi FULL SERIES :
BUDAYAKAN MENINGGALKAN JEJAK SUPAYA KITA BISA SALING KENAL
Quote:
Quote:
Polling
0 suara
lebih enak baca di kaskus atau wattpad?
Diubah oleh rendyprasetyyo 11-06-2023 20:12
nomorelies dan 39 lainnya memberi reputasi
38
20.9K
524
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.4KAnggota
Tampilkan semua post
TS
rendyprasetyyo
#11
CHAPTER 4
"Bi... bangun" Gue coba mengetuk pintu kamar Ina yang dijadikan tempat tidur sementara oleh Bibi semalam. Ayah, Ibu, dan Ina masih belum diketahui keberadaannya sementara Bibi sampai dirumah gue jam 10.00 malam dan langsung mengurung diri dikamar tanpa keluar satu katapun sebelumnya. Sekilas dia terlihat shock, capek, sedih, berduka, ah ntahlah. Gue berniat untuk mengkonfirmasi hal ini sambil bawa coklat panas. "Udah pagi, Bi"
"Bi.. Ini aku bawain coklat panas" Gue ulangi mengetuk pintu kamar Ina, masih belum ada jawaban. Setelah berbulan-bulan tidak bertatap muka akibat kebijakan isolasi, hari ini akhirnya gue ketemu bibi lagi. "Bi...'
"Masuk aja.." Suara Bibi tiba-tiba terdengar berteriak dengan nada agak sedikit serak.
Gue membuka pintu kamar secara perlahan dan masuk ke kamar Ina yang masih dalam kondisi gelap. Tirai berwarna biru tua yang menutupi jendela masih menahan laju mentari pagi agar tidak masuk menyinari kamar yang sedang ditempati Bibi ini. Sticker Winnie the Pooh berukuran super besar menempel di dinding seberang tempat tidur dikelilingi oleh beberapa lembar cetak foto Ina bersama teman-temannya, foto ini pun masih terlihat remang. Bibi masih tertidur memunggungi pintu masuk diatas tempat tidur yang dibalut seprai dengan motif bunga batik berwarna merah tua. Gue putuskan untuk menekan stop kontak yang letaknya disebelah kiri sisi kasur tepat setelah pintu masuk dan dekat dengan jangkauan tangan gue agar lampu kamar menyala.
"Bi.. bangun" Gue panggil nama Bibi sekali lagi setelah menyalakan lampu. Terlihat bibi belum berganti pakaian sedikitpun. "Udah pagi udah jam 10. Ini aku udah bikinin coklat panas"
"Aku gak mau coklat panas" bibi menjawab lemah. "Iya nanti bangun. Udah kamu pergi sana"
"Kamu maunya apa bianca?" gue putuskan untuk duduk disisi tempat tidur bersebelahan dengan punggung bibi. "Kamu dari semalem belum ngomong apa-apa, ya kali aku peramal bisa baca pikiran orang. Kalaupun ada peramal yang bisa baca pikiran orang belum tentu peramal itu bisa baca pikiran kamu kalau kamu gak ngomong apa-apa kayak gini."
"Gak ada yang perlu diomongin. Aku juga gak mau apa-apa" bibi menjawab dengan nada lemah. "Siapa juga yang butuh temen ngobrol."
"Huft." gue menghela nafas panjang. "kamu gak mau tau kabar Ayah, Ibu, Ina?"
"Kamu yang gak mau tau kabar aku". Bibi menjawab singkat.
"Aku tadi udah nanya kamu yang gak mau jawab" gue menjawab cepat. "Aku berasa ngobrol sama tiang listrik."
"Kamu baru mau nanya kabar aku sekarang? Sebelumnya kemana aja?" Bibi tiba-tiba membalikkan tubuh, ekspresi lemahnya terlihat marah sekarang. "tiang listrik? TIANG LISTRIK AJA GAK MAU NGOBROL SAMA KAMU APALAGI AKU "
Bibi menjawab marah sambil mendorong gue menjauh dari kasur.
"Ya kan tiang listrik emang gak bisa ngomong." gue menjawab singkat. "kalau tiang listrik bisa ngomong mereka bakal minta gak jadi tiang listrik kali. Gak enak gak bisa kemana-mana"
"Mana coklat panas?" bibi tiba-tiba mengubah alur pembicaraan. "kamu katanya tadi bawa coklat panas? Mana?"
"Itu dimeja sebelah kasur, Bianca. Dih katanya gak mau." Gue menjawab sambil menunjuk gelas yang berisi coklat panas yang sebelumnya gue bawa kesini. "tirainya aku buka boleh?"
"Gak boleh" bibi menjawab sambil mengambil ancang-ancang untuk minum coklat panas yang sudah gue bawa sebelumnya. "nanti aku aja yang buka sendiri"
"Tirai nomer dua aja kalau gitu? Boleh?" gue menjawab kembali perkataan bibi. "aku sih pengennya tirai nomer satu, lebih keliatan...."
Belum selesai gue menjawab tiba-tiba gue mendengar suara batuk dari bibi yang tersedak.
"Masih aja sih bercanda?" bibi menjawab sambil mengambil tisu dan meletakkan gelas kembali ke meja coklat kecil disebelah tempat tidur. "kalau kata aku jangan dibuka ya jangan dibuka, susah banget sih"
"Bi.. denger..." gue menjawab sambil mendekati bibi dan duduk disebelahnya. "kamu boleh sedih atau ngerasa kehilangan atau apapun itu, tapi jangan kelamaan kayak gini. Ceritain ke aku kamu kenapa siapa tahu aku bisa bantu.. Aku gak bisa bantu kalau kamu gak cerita dan diem aja kayak gini."
Bibi diam setelah mengelap mulutnya dengan tisu, tatapannya kosong kedepan sekarang. Gue bangkit kembali dan memutuskan untuk membuka tirai kamar yang sebelumnya menghalangi jalan arah cahaya. Sekarang kamar terlihat terang disinari cahaya matahari pagi. Gue buka sedikit jendela kamar supaya udara pagi bandung bisa masuk kedalam kamar. Bibi masih terlihat diam memaku ditempat tidur. Setelah kamar dipenuhi cahaya matahari, gue kembali ke posisi Bibi dan mematikan lampu kamar yang sebelumnya gue nyalakan.
"Gak ada yang bisa bantu, Rendy" bibi menjawab singkat. "Gak ada yang bisa kita lakuin sekarang selain nunggu disini sampai semua membaik."
"Dari 3 tahun yang lalu juga kan pemerintah nyuruhnya supaya kita nunggu sampai semua membaik" gue menjawab. "dari zaman kamu baru pindah kerja dan baru kenal Ina sampai sekarang Ina gak ada kabar mereka juga mintanya kita nunggu. Tapi apa yang terjadi sekarang bi? Semua malah makin kacau. Ya kali rakyat mau disuruh nunggu sekarang"
"Denger ya.." bibi kembali menjawab. "kejadian ini gak terjadi di negara kita aja. Hampir sebagian besar negara lain mengalami hal yang sama. Ini urusannya bukan tentang satu dua orang aja tapi urusan negara. Kamu gak liat presiden langsung mengeluarkan status darurat pagi setelah peristiwa ledakan? Semua udah benerbener kacau. Aku liat sendiri dijalan kesini kalau kondisi diluar sana udah gak bener. Gak ada yang bisa dilakuin orang biasa kayak kita rendy"
"Nah bener mending dari sana" gue memberi usul kepada bibi. "mending kamu coba cerita darisana, kenapa tiba-tiba kamu kesini bela-belain dari Jakarta sendiri terus ceritain juga apa aja yang kamu liat dijalan. Polisi? Teroris?"
"Aku bingung mau mulai cerita darimana. Cerita darisana aja gak cukup. Kamu harus denger cerita yang sebenernya terjadi beberapa bulan terakhir selain yang aku kirimin lewat chat kalau mau ngeliat gimana situasi yang sebenernya secara keseluruhan" tiba-tiba bibi menjawab sambil menyenderkan kepalanya kebahu gue. Dari nada suaranya terdengar kalau dia mulai nangis sekarang. "semua terlalu ribet"
Gue mengambil nafas panjang. Selama beberapa tahun terakhir belum pernah gue liat ekspresi Bibi se-sedih ini. Cuma ada beberapa hal yang bibi pedulikan di dunia ini. Dan kalau ada hal yang paling mungkin yang bisa bikin dia kehilangan minat hidup kayak sekarang pasti alasannya berhubungan sama Ben, adik satu-satunya yang tinggal bareng disebuah apartemen dijakarta. Sesuatu terjadi pada Ben, pasti.
"Bi kamu udah kenal aku berapa tahun sih?" gue menjawab bibi pelan. "Dari zaman kita masih kerja bareng, dari zaman kamu ngilang terus aku ke khatmandu, dari zaman kita ketemu lagi dan kamu mulai kenal keluarga aku, sampai sekarang kamu punya pekerjaan mapan pun aku gak pernah berubah, aku bakal tetep dengerin kamu sepanjang apapun kamu mau cerita, ya ketiduran dikit mungkin sih tapi kamu tinggal bangunin aku aja dan aku siap buat dengerin lagi."
"Dulu kondisi gak sekacau ini" bibi menjawab masih dengan nada lirih. "sekarang aku udah gak punya siapa-siapa, kamu udah gak punya siapa-siapa dan gak ada yang bisa kita lakuin rendy, gak ada"
"Bi, kamu masih punya aku" gue menjawab singkat. "kamu masih punya temen-temen kantor. Kamu gak punya ben lagi? Maksudnya? Bi cerita ya. Supaya kita bisa cari jalan keluar bareng-bareng"
"Gak ada yang bisa dipercaya sekarang" bibi menjawab dan jelas terdengar kalau dia menangis sekarang. "aku capek"
"Ya udah kalau kamu maunya kayak gitu" gue menjawab. "aku cuma mau ngasih tahu kalau keluarga aku udah 2 hari gak ada kabar sejak ledakan bi. Aku bingung mau cari mereka kemana karena memang udah gak bisa kemana-mana lagi sejak wabah virus ini merebak. Tapi aku seneng masih punya kamu"
Bibi diam.
"kamu istirahat dulu aja sekarang" gue melanjutkan sambil menegakkan tubuh bibi dari bahu gue dan menempatkan posisinya ditempat tidur agar dia bisa istirahat. "kamu punya semua disini, mandi tinggal mandi, ada baju Ina yang bisa dipake. Nanti siangan aku bawain makanan. Kalau kamu udah siap buat cerita baru kita ngobrol lagi"
Bibi diam.
"Aku standby kok" gue melanjutkan sambil berjalan kearah pintu. "sekarang aku mau keluar dulu sebentar ngambil mobil yang aku tinggalin distasiun terus keliling rumah sakit buat cari info. Sebelum jam makan siang aku pulang. Jangan bukain pintu buat siapapun bi, siapapun jangan pokoknya"
Bibi diam, gue prediksi kalau dia tidur sekarang.
"istirahat dulu aja" gue menutup pintu kamar dan bersiap untuk mengambil mobil yang gue tinggalkan diarea stasiun hari Jumat kemaren.
"Bi... bangun" Gue coba mengetuk pintu kamar Ina yang dijadikan tempat tidur sementara oleh Bibi semalam. Ayah, Ibu, dan Ina masih belum diketahui keberadaannya sementara Bibi sampai dirumah gue jam 10.00 malam dan langsung mengurung diri dikamar tanpa keluar satu katapun sebelumnya. Sekilas dia terlihat shock, capek, sedih, berduka, ah ntahlah. Gue berniat untuk mengkonfirmasi hal ini sambil bawa coklat panas. "Udah pagi, Bi"
"Bi.. Ini aku bawain coklat panas" Gue ulangi mengetuk pintu kamar Ina, masih belum ada jawaban. Setelah berbulan-bulan tidak bertatap muka akibat kebijakan isolasi, hari ini akhirnya gue ketemu bibi lagi. "Bi...'
"Masuk aja.." Suara Bibi tiba-tiba terdengar berteriak dengan nada agak sedikit serak.
Gue membuka pintu kamar secara perlahan dan masuk ke kamar Ina yang masih dalam kondisi gelap. Tirai berwarna biru tua yang menutupi jendela masih menahan laju mentari pagi agar tidak masuk menyinari kamar yang sedang ditempati Bibi ini. Sticker Winnie the Pooh berukuran super besar menempel di dinding seberang tempat tidur dikelilingi oleh beberapa lembar cetak foto Ina bersama teman-temannya, foto ini pun masih terlihat remang. Bibi masih tertidur memunggungi pintu masuk diatas tempat tidur yang dibalut seprai dengan motif bunga batik berwarna merah tua. Gue putuskan untuk menekan stop kontak yang letaknya disebelah kiri sisi kasur tepat setelah pintu masuk dan dekat dengan jangkauan tangan gue agar lampu kamar menyala.
"Bi.. bangun" Gue panggil nama Bibi sekali lagi setelah menyalakan lampu. Terlihat bibi belum berganti pakaian sedikitpun. "Udah pagi udah jam 10. Ini aku udah bikinin coklat panas"
"Aku gak mau coklat panas" bibi menjawab lemah. "Iya nanti bangun. Udah kamu pergi sana"
"Kamu maunya apa bianca?" gue putuskan untuk duduk disisi tempat tidur bersebelahan dengan punggung bibi. "Kamu dari semalem belum ngomong apa-apa, ya kali aku peramal bisa baca pikiran orang. Kalaupun ada peramal yang bisa baca pikiran orang belum tentu peramal itu bisa baca pikiran kamu kalau kamu gak ngomong apa-apa kayak gini."
"Gak ada yang perlu diomongin. Aku juga gak mau apa-apa" bibi menjawab dengan nada lemah. "Siapa juga yang butuh temen ngobrol."
"Huft." gue menghela nafas panjang. "kamu gak mau tau kabar Ayah, Ibu, Ina?"
"Kamu yang gak mau tau kabar aku". Bibi menjawab singkat.
"Aku tadi udah nanya kamu yang gak mau jawab" gue menjawab cepat. "Aku berasa ngobrol sama tiang listrik."
"Kamu baru mau nanya kabar aku sekarang? Sebelumnya kemana aja?" Bibi tiba-tiba membalikkan tubuh, ekspresi lemahnya terlihat marah sekarang. "tiang listrik? TIANG LISTRIK AJA GAK MAU NGOBROL SAMA KAMU APALAGI AKU "
Bibi menjawab marah sambil mendorong gue menjauh dari kasur.
"Ya kan tiang listrik emang gak bisa ngomong." gue menjawab singkat. "kalau tiang listrik bisa ngomong mereka bakal minta gak jadi tiang listrik kali. Gak enak gak bisa kemana-mana"
"Mana coklat panas?" bibi tiba-tiba mengubah alur pembicaraan. "kamu katanya tadi bawa coklat panas? Mana?"
"Itu dimeja sebelah kasur, Bianca. Dih katanya gak mau." Gue menjawab sambil menunjuk gelas yang berisi coklat panas yang sebelumnya gue bawa kesini. "tirainya aku buka boleh?"
"Gak boleh" bibi menjawab sambil mengambil ancang-ancang untuk minum coklat panas yang sudah gue bawa sebelumnya. "nanti aku aja yang buka sendiri"
"Tirai nomer dua aja kalau gitu? Boleh?" gue menjawab kembali perkataan bibi. "aku sih pengennya tirai nomer satu, lebih keliatan...."
Belum selesai gue menjawab tiba-tiba gue mendengar suara batuk dari bibi yang tersedak.
"Masih aja sih bercanda?" bibi menjawab sambil mengambil tisu dan meletakkan gelas kembali ke meja coklat kecil disebelah tempat tidur. "kalau kata aku jangan dibuka ya jangan dibuka, susah banget sih"
"Bi.. denger..." gue menjawab sambil mendekati bibi dan duduk disebelahnya. "kamu boleh sedih atau ngerasa kehilangan atau apapun itu, tapi jangan kelamaan kayak gini. Ceritain ke aku kamu kenapa siapa tahu aku bisa bantu.. Aku gak bisa bantu kalau kamu gak cerita dan diem aja kayak gini."
Bibi diam setelah mengelap mulutnya dengan tisu, tatapannya kosong kedepan sekarang. Gue bangkit kembali dan memutuskan untuk membuka tirai kamar yang sebelumnya menghalangi jalan arah cahaya. Sekarang kamar terlihat terang disinari cahaya matahari pagi. Gue buka sedikit jendela kamar supaya udara pagi bandung bisa masuk kedalam kamar. Bibi masih terlihat diam memaku ditempat tidur. Setelah kamar dipenuhi cahaya matahari, gue kembali ke posisi Bibi dan mematikan lampu kamar yang sebelumnya gue nyalakan.
"Gak ada yang bisa bantu, Rendy" bibi menjawab singkat. "Gak ada yang bisa kita lakuin sekarang selain nunggu disini sampai semua membaik."
"Dari 3 tahun yang lalu juga kan pemerintah nyuruhnya supaya kita nunggu sampai semua membaik" gue menjawab. "dari zaman kamu baru pindah kerja dan baru kenal Ina sampai sekarang Ina gak ada kabar mereka juga mintanya kita nunggu. Tapi apa yang terjadi sekarang bi? Semua malah makin kacau. Ya kali rakyat mau disuruh nunggu sekarang"
"Denger ya.." bibi kembali menjawab. "kejadian ini gak terjadi di negara kita aja. Hampir sebagian besar negara lain mengalami hal yang sama. Ini urusannya bukan tentang satu dua orang aja tapi urusan negara. Kamu gak liat presiden langsung mengeluarkan status darurat pagi setelah peristiwa ledakan? Semua udah benerbener kacau. Aku liat sendiri dijalan kesini kalau kondisi diluar sana udah gak bener. Gak ada yang bisa dilakuin orang biasa kayak kita rendy"
"Nah bener mending dari sana" gue memberi usul kepada bibi. "mending kamu coba cerita darisana, kenapa tiba-tiba kamu kesini bela-belain dari Jakarta sendiri terus ceritain juga apa aja yang kamu liat dijalan. Polisi? Teroris?"
"Aku bingung mau mulai cerita darimana. Cerita darisana aja gak cukup. Kamu harus denger cerita yang sebenernya terjadi beberapa bulan terakhir selain yang aku kirimin lewat chat kalau mau ngeliat gimana situasi yang sebenernya secara keseluruhan" tiba-tiba bibi menjawab sambil menyenderkan kepalanya kebahu gue. Dari nada suaranya terdengar kalau dia mulai nangis sekarang. "semua terlalu ribet"
Gue mengambil nafas panjang. Selama beberapa tahun terakhir belum pernah gue liat ekspresi Bibi se-sedih ini. Cuma ada beberapa hal yang bibi pedulikan di dunia ini. Dan kalau ada hal yang paling mungkin yang bisa bikin dia kehilangan minat hidup kayak sekarang pasti alasannya berhubungan sama Ben, adik satu-satunya yang tinggal bareng disebuah apartemen dijakarta. Sesuatu terjadi pada Ben, pasti.
"Bi kamu udah kenal aku berapa tahun sih?" gue menjawab bibi pelan. "Dari zaman kita masih kerja bareng, dari zaman kamu ngilang terus aku ke khatmandu, dari zaman kita ketemu lagi dan kamu mulai kenal keluarga aku, sampai sekarang kamu punya pekerjaan mapan pun aku gak pernah berubah, aku bakal tetep dengerin kamu sepanjang apapun kamu mau cerita, ya ketiduran dikit mungkin sih tapi kamu tinggal bangunin aku aja dan aku siap buat dengerin lagi."
"Dulu kondisi gak sekacau ini" bibi menjawab masih dengan nada lirih. "sekarang aku udah gak punya siapa-siapa, kamu udah gak punya siapa-siapa dan gak ada yang bisa kita lakuin rendy, gak ada"
"Bi, kamu masih punya aku" gue menjawab singkat. "kamu masih punya temen-temen kantor. Kamu gak punya ben lagi? Maksudnya? Bi cerita ya. Supaya kita bisa cari jalan keluar bareng-bareng"
"Gak ada yang bisa dipercaya sekarang" bibi menjawab dan jelas terdengar kalau dia menangis sekarang. "aku capek"
"Ya udah kalau kamu maunya kayak gitu" gue menjawab. "aku cuma mau ngasih tahu kalau keluarga aku udah 2 hari gak ada kabar sejak ledakan bi. Aku bingung mau cari mereka kemana karena memang udah gak bisa kemana-mana lagi sejak wabah virus ini merebak. Tapi aku seneng masih punya kamu"
Bibi diam.
"kamu istirahat dulu aja sekarang" gue melanjutkan sambil menegakkan tubuh bibi dari bahu gue dan menempatkan posisinya ditempat tidur agar dia bisa istirahat. "kamu punya semua disini, mandi tinggal mandi, ada baju Ina yang bisa dipake. Nanti siangan aku bawain makanan. Kalau kamu udah siap buat cerita baru kita ngobrol lagi"
Bibi diam.
"Aku standby kok" gue melanjutkan sambil berjalan kearah pintu. "sekarang aku mau keluar dulu sebentar ngambil mobil yang aku tinggalin distasiun terus keliling rumah sakit buat cari info. Sebelum jam makan siang aku pulang. Jangan bukain pintu buat siapapun bi, siapapun jangan pokoknya"
Bibi diam, gue prediksi kalau dia tidur sekarang.
"istirahat dulu aja" gue menutup pintu kamar dan bersiap untuk mengambil mobil yang gue tinggalkan diarea stasiun hari Jumat kemaren.
Diubah oleh rendyprasetyyo 20-05-2020 02:09
regmekujo dan maresad memberi reputasi
2


