- Beranda
- Stories from the Heart
Bisik Kematian (Based On True Story)
...
TS
IztaLorie
Bisik Kematian (Based On True Story)
Cerita yang ada di sini adalah berdasarkan kisah nyata yang berhubungan dengan kematian. Percaya atau tidak, aku mengalami semua kejadian ini. Mungkin bagi kalian ini hal yang biasa, buatku ini mengerikan.
Jangan lupa subscribe biar nggak ketinggalan cerita selanjutnya. Jangan lupa kasih cendol dan komentar juga ya. Mohon maaf kalau tidak sesuai bayangan kalian.
...
Kami berdua di rumah, tentu saja tidak boleh ikut ke rumah sakit. Kabar mengejutkan itu datang dari keluarga ibu. Buliknya saat ini sedang berada di rumah sakit.
"Ibu pulang jam berapa?" tanyaku pada adik yang sedang asik nonton ftv kesukaannya.
"Mungkin sore, tadi nggak bilang apa-apa sih."
Aku memang belum di rumah ketika bapak ibu berangkat. Rumah terasa sepi, jadinya ikut nonton sama adik.
"Mbak," panggil Kemala.
"Masuk aja," teriak adikku tanpa mengalihkan perhatian.
Bukan hanya Kemala yang masuk rumah, ternyata ada Wanda dan juga Lydia. Mereka ikut bergabung dengan kami.
Sering kali orang salah menilai rumah kami. Penuh dengan anak gadis dan pintu yang berderet membuat orang mengira ini adalah kos-kosan. Padahal kami berkumpul karena semua orang tua sibuk bekerja jadi lebih baik menghabiskan waktu di satu tempat.
Hari-hari kami seperti ini. Bermain bersama, nonton tv dengan heboh. Apa lagi kalau nonton tayangan vampir, hantu cina yang melompat-lompat.
Suara teriakan terdengar. Buru-buru tutup mata tapi masih ngintip dikit-dikit karena penasaran. Vampir buat kami tegang yang nonton.
Menjelang sore, teman-teman berpamitan mau mandi. Sebentar lagi orang tua mereka datang. Kalau hari-hari normal sih orang tua kami yang pulang duluan, tapi ini tidak seperti biasanya.
"Sudah jam segini kok belum pulang juga ya, Mbak?"
"Mungkin nggak ada yang gantiin nunggu." jawabku.
"Makan dulu aja, yuk."
Belum juga beranjak untuk mengambil makanan, telepon yang ada di ruang keluarga berdering. Adikku melesat mengangkat telepon mendahului. Pasti sudah kangen banget sama ibu.
"Ibu kapan pulang?"
"..."
"Oke," balasnya sebelum menutup panggilan.
Adik menatap lesu ke arahku. "Ibu pulang malam, Mbah Lik dirawat di ICU. Nggak ada yang nungguin."
Aku maklum dengan tindakan ibu karena Mbah Lik yang sedang sakit sudah seperti orang tua kedua bagi beliau. Sejak dari kecil ibu sudah bersama keluarga Mbah Lik.
"Paling juga nggak lama lagi meninggal," ujarku tanpa bisa dicegah.
Bola mata adik membesar. "Mbak ini lho. Kalau ngomong dijaga. Gimana kalau keluarga Mbah Lik ada yang dengar? Pasti tersinggung. Masa nyumpahin cepet meninggal."
Aku tahu ini salah, tapi perkataan ini meloncat keluar tanpa bisa diperiksa. Aku bahkan tidak memikirkan hal itu. Memang terdengar keterlaluan. Mungkin harus menahan mulut baik-baik biar nggak terlontar kata-kata seperti itu lagi.
Dering telepon kembali terdengar. Adik mengangkatnya sambil masih memandang tajam diriku. Sudah seperti ibu memarahi anaknya saja.
"Apa? Iya, kami ke sana." Tubuh adik gemetaran ketika menutup telepon.
"Ada apa?" Kusentuh bahunya.
"Mbah Lik meninggal, kita harus segera ke rumahnya."
Aku tertegun, perkataan yang keluar ini benar-benar terjadi. Ini pasti hanya sebuah kebetulan semata.
-bersambung-
Jangan lupa subscribe biar nggak ketinggalan cerita selanjutnya. Kasih cendol dan komentar juga ya. Ini salah satu penyemangat TS buat update 😊
Diubah oleh IztaLorie 15-05-2020 19:08
awangho dan 70 lainnya memberi reputasi
65
23.4K
204
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
IztaLorie
#179
(New) Bisik Kematian
Part 3 Hujan di Dalam Kamar
Leganya sudah bisa kembali lagi ke asrama, bukan berarti Tia tidak lagi bertemu dengan Lola, tapi paling nggak dia tidak harus menjaga sikap agar Papa tidak semakin marah padanya. Bukannya seharusnya dia yang marah pada Papa karena sudah menyakiti hati Mama.
Pintu kamar menjeblak keras membuat cewek berambut pendek itu melonjak hingga pakaian yang dipegang jatuh berserakan.
“Lola! Apa-apan sih? Ngagetin saja!” tegur Lastri.
Namun yang ditegur malah dengan cueknya menyerigai sambil bersandar pada daun pintu. Meneliti isi kamar dengan pandangan meremehkan lalu balik badan dan melenggang sambil menggoyangkan pinggul.
“Apa sih maunya anak itu? Setelah libur kok semakin nyebelin. Tadi saja dia sengaja menabrakkan bahunya ketika aku menuju kamar,” keluh Mimi.
Kali ini Tia memilih untuk tidak berkomentar untuk menghindari luapan amarah yang tidak pada tempatnya. Jangan sampai mahasiswa lain tahu tentang hubungan mereka. Tia rasa Lola juga tidak akan membongkarnya karena tidak ingin dicap sebagai anak pelakor.
Sementara ketiga teman sekamarnya memilih untuk membahas kelakuan Lola, Tia memilih untuk menyambar handuk dan masuk ke kamar mandi. Mereka beruntung tinggal di asrama karena kamarnya luas untuk diisi empat orang dengan kamar mandi dalam. Mereka bahkan juga mempunyai balkon pribadi yang dapat digunakan untuk menjemur baju dan bersantai untuk mencari udara segar.
Tia melangkah keluar dari kamar mandi sambil menggosok-gosok rambut yang basah karena berkeramas. Langkahnya terhenti di pintu yang menuju ke balkon karena melihat sesuatu yang tidak biasa dimana dua teman sekamarnya sedang asik mengobrol, tapi tidak saling memandang. Mereka bertopang dagu sambil memandang ke bawah dengan sudut 45°.
Haruskah Tia bersiul ketika melihat kemana arah pandangan sahabatnya dan malah mendapati seorang cowok yang tinggi dengan berat proporsional sedang berlari di jalanan dekat asrama. Asrama cewek memang lebih dekat ke pemungkiman warga di bandingkan asrama cowok yang berbatasan dengan gedung perkantoran jadi mereka dapat melihat orang-orang yang lalu lalang di jalanan.
Tia ikut bertopang dagu memperhatikan cowok dengan wajah keturunan Arab yang sesekali mendorong kacamata kembali ke tempat aman agar tidak meluncur turun dari hidung mancungnya.
“Ah, cakepnya,” puji Lastri sambil senyum-senyum nggak jelas.
“Cowok-cowok di kampus lewat semua,” balas Mimi yang tidak kalah mupeng ketika memperhatikan cowok itu.
“Apa dia tidak sadar sedang diperhatikan oleh dua makhluk manis seperti kalian? Tatapan kalian pasti bisa memotong ayam goreng saking tajamnya,” goda Erina yang bergabung dengan mereka. Tumben cowok tomboy itu ikut memperhatikan cowok, biasanya selalu cuek.
“Siapa peduli, malah bagus kalau dia tahu,” ucap Lastri.
“Siapa tahu jadi jatuh cinta setelah lihat aku,” tambah Mimi.
“Ayo dong lihat ke atas,” pinta Lastri yang tangannya sudah dikatupkan untuk memohon.
Tia menoleh ke kiri dan kanan, rupanya hanya mereka penonton setia cowok cakep ini. “Beruntung nggak banyak yang ikut lihat, bisa-bisa penggemarnya langsung melimpah.”
“Disaat-saat seperti ini kalian harusnya mengambil kesempatan ... bu ... at ... de ... ketin dia.” Ucapan Erina terputus-putus karena melihat Lastri dan Mimi yang langsung balik badan dan lari sambil saling dorong.
Mereka pasti mau pendekatan dengan si cakep. Tia dan Erina hanya angkat bahu sambil tertawa geli melihat tingkah mereka.
“Semoga mereka tidak lupa makan malam,” ucap Erina.
Tia mengangguk. “Untungnya mereka sudah mandi, jadi nggak bau asem dan bikin malu di depan cowok itu.”
Erina memutuskan untuk belajar sebelum makan malam karena besok ada dua praktikum yang harus dilalui, masing-masing dengan pre test dan post test-nya. Kalau pretest dapat nilai jelek maka bakalan inhal, nggak boleh ikut praktikum. Sedangkan Tia lebih memilih mendengarkan Erina yang membaca materi dengan keras-keras.
Menjelang jam makan malam, Tia dan Erina memutuskan turun terlebih dahulu ke ruang makan tanpa menunggu kedatangan dua cewek yang sedang kesengsem sama cowok. Peraturan asrama adalah waktu makan malam antara jam 18.00-20.00, setelah jam itu maka makanan bakal ditarik dan tidak bisa makan. Pintu asrama ditutup mulai jam 20.00 jadi hanya yang sudah dapat izin dari ibu asrama yang bisa keluar masuk.
Ketika Tia dan Erina sudah hampir selesai, Lastri dan Mimi bergabung di meja. Tanpa ditanya pun mereka sudah mulai bercerita tentang si cakep.
“Mas Vano ternyata anaknya Bu Marni yang tinggal tepat di seberang kamar kita.” Lastri menyambar gelas minum. Saking semangat cerita sampai tersedak kuah pedas.
“Udah gitu Mas Vano polos banget padahal umurnya selisih satu tahun di atas kita. Malu-malu cat gitu pas kita ajak ngobrol.” Mimi terkikik ketika membayangkan kembali pertemuan tadi.
Erina bangkit berdiri sambil membawa nampan diikuti oleh Tia, mereka berjalan menuju tempat meletakkan piring kotor tanpa berpamitan pada dua orang yang kesengsem sama Mas Vano.
Tia merasakan ada cairan yang merembes membasahi kaus bagian belakang. Ketika menoleh, dia mendapati Lola yang tersenyum miring sambil membawa piring yang isinya sudah berpindah ke tubuh Tia. Ini pasti disengaja karena biasanya orang membawa nampan yang berisi piring, mangkuk, dan gelas ketika mengembalikannya untuk dicuci. Tia melihat nampan Lola sudah dibawa oleh salah satu kawannya.
“Ups, maaf nggak sengaja.” Lola lalu meletakkan piring itu ke nampan yang dibawa temannya lalu melenggang pergi.
“Kebiasaan! Selalu saja menyuruh junior untuk menggantikan tugasnya. Kebangeten banget, harus diberi pelajaran nih.” Erina mnyingsingkan lengan sebelum tangannya meraih belakang kaus sewarna daun milik Lola.
Cewek itu tentu saja tersentak ke belakang karena tenaga ekstra yang dimiliki oleh Erina. Lola terbatuk-batuk sambil mengusap-usap leher jenjangnya. Dia melotot pada Tia, mengira Tia lah pelakunya.
Tia balik melotot lalu menunjuk pada Erina yang sudah berkacak pinggang. Erina sendiri tidak kalah garang dari Lola.
“Bukannya minta maaf malah langsung ngeloyor. Minta maaf sekarang!”
Tia melirik Lola yang menanti ucapan itu keluar dari mulutnya sambil mengetuk-ketukkan sandal seiring detik berjalan. Namun Lola malah mengibaskan rambut panjangnya yang terurai dan balik badan.
Sekali lagi Lola ditarik oleh Erina membuatnya mendengkus sebal dan balik badan sambil bersedekap. “Aku minta maaf. Puas!” Dia melotot pada Erina.
“Belum. Anggap saja Tia sudah memaafkanmu, tapi kamu tidak bisa melupakan kewajibanmu yang satu lagi. Bukannya sekarang giliran kamu mencuci piring? Sana ke belakang. Jangan suruh junior buat menggantikan tugasmu!” tegur Erina.
Tentu saja Lola tidak berani menentang Erina, kalau hanya Tia pasti dia bakal melawan habis-habisan. Berhubung tenaga dan postur kalah besar jadinya Lola memilih menyingkir ke belakang untuk mencuci. Tia mencibir ketika melihat Lola mendorong junior yang menggantikannya agar menyingkir.
Tugas mencuci memang sudah ditentukan dari awal tahun ajaran, setiap jam makan yang bertugas itu anggota dari satu kamar yang terdiri dari empat orang. Lola dan kawan-kawan memang sering kali mangkir jadinya Erina merasa gemas.
Mimi mendorong Erina yang masih bersedekap mengawasi kerjaan Lola dan kawan-kawannya. “Sudah, ayo kembali ke kamar dan belajar.”
Sesampainya di kamar mereka masih membicarakan tentang Mas Vano , membuat Tia merasa bersimpati pada cowok polos itu karena mendapatkan serbuan dua cewek ganjen seperti Lastri dan Mimi.
Lastri menyalakan radio untuk mencari lagu dangdut sebagai pengantar belajar. Hal ini membuat Tia yang alergi lagu dangdut jadi mengantuk.
Beberapa kali menguap hingga akhirnya menyerah dan memilih berbaring untuk tidur. Namun tidurnya tidak langsung pulas karena Lastri sudah mencolek-colek membuat Tia memincing.
“Biarkan aku tidur,” ucapnya dengan setengah suara.
“Tia, kamu nggak belajar? Besok praktikum kimia amami lho.” Lastri masih berusaha menarik-narik Tia agar bangun.
“Biarkan saja. Kalau inhal baru tahu rasa,” cibir Mimi.
Tia menarik selimut menutupi kepala tanda tidak mau diganggu karena sudah tidak tertahankan ngantuknya. Dangdut lama selalu sukses membuatnya tertidur, bahkan lebih ampuh dari obat tidur dosis tinggi.
Tia terbangun pukul satu dini hari karena hawa yag semakin dingin. Pandangannya tertumbuk pada jendela yang belum ditutup. Mereka bertiga selalu saja lupa menutup korden karena malam hari Solo terasa panas. Dia beranjak untuk menutup jendela dan melihat lampu rumah seberang jalan terlihat lebih redup mungkin sudah perlu diganti, tapi kok semua bagian rumah terlihat suram. Tia menggosok mata lalu membandingkan dengan rumah lain yang ada di sekitarnya, memang terlihat lebih gelap.
Tia berusaha tidak memikirkannya lagi dan memilih untuk menutup jendela beserta korden dan mulai belajar. Jam belajarnya memang berbeda dengan yang lainnya.
Menurutnya lebih efektif belajar di saat orang lain tidur. Teman-teman sekamarnya tidak tahu dengan kebiasaannya karena mereka kalau tidur lelap sekali.
Sering kali orang mengira Tia mahasiswa jenius yang tanpa belajar pun bisa mendapatkan nilai bagus, padahal itu karena metode belajarnya yang berbeda dari lainnya. Dia akan lebih cepat menyerap materi ketika mendengarkan orang lain menghafal atau membaca materi itu daripada harus membacanya sendiri.
Satu setengah jam berlalu dengan cepat, dia kembali mengantuk dan memutuskan untuk mengakhiri waktu belajar lebih cepat dari biasanya yang kadang-kadang sampai jam tiga pagi.
Baru juga terlelap, tapi Tia merasa seperti bangun tidur di dalam mimpi. Iya di dalam mimpi, dia memang sering kali tahu kalau sedang di alam mimpi. Bahkan merasakan masih terbaring di atas ranjang yang empuk, berbeda dari ranjangnya di asrama. Anehnya, dia bisa melihat kamarnya di asrama dari sini. Itu berarti kamar ini hampir sejajar dengan kamarnya.
Dia langsung duduk dan memandang sekitar, terlihat foto keluarga Bu Marni tergantung di salah satu dinding kamar yang dicat dengan warna putih. Jangan-jangan ini kamar Mas Vano, tapi tak terlihat ada orang lain di sana.
Terdengar bunyi guntur menggelegar membuat Tia harus menutup telinga rapat-rapat. Tetes hujan mengenai kepalanya membuat dia menengadah untuk memastikan masih berada di dalam kamar. Namun tetesan itu terasa begitu nyata, sebentar saja lantai kamar sudah basah oleh air hujan yang berbau anyir, bahkan terlihat genangan di beberapa bagian.
...
Leganya sudah bisa kembali lagi ke asrama, bukan berarti Tia tidak lagi bertemu dengan Lola, tapi paling nggak dia tidak harus menjaga sikap agar Papa tidak semakin marah padanya. Bukannya seharusnya dia yang marah pada Papa karena sudah menyakiti hati Mama.
Pintu kamar menjeblak keras membuat cewek berambut pendek itu melonjak hingga pakaian yang dipegang jatuh berserakan.
“Lola! Apa-apan sih? Ngagetin saja!” tegur Lastri.
Namun yang ditegur malah dengan cueknya menyerigai sambil bersandar pada daun pintu. Meneliti isi kamar dengan pandangan meremehkan lalu balik badan dan melenggang sambil menggoyangkan pinggul.
“Apa sih maunya anak itu? Setelah libur kok semakin nyebelin. Tadi saja dia sengaja menabrakkan bahunya ketika aku menuju kamar,” keluh Mimi.
Kali ini Tia memilih untuk tidak berkomentar untuk menghindari luapan amarah yang tidak pada tempatnya. Jangan sampai mahasiswa lain tahu tentang hubungan mereka. Tia rasa Lola juga tidak akan membongkarnya karena tidak ingin dicap sebagai anak pelakor.
Sementara ketiga teman sekamarnya memilih untuk membahas kelakuan Lola, Tia memilih untuk menyambar handuk dan masuk ke kamar mandi. Mereka beruntung tinggal di asrama karena kamarnya luas untuk diisi empat orang dengan kamar mandi dalam. Mereka bahkan juga mempunyai balkon pribadi yang dapat digunakan untuk menjemur baju dan bersantai untuk mencari udara segar.
Tia melangkah keluar dari kamar mandi sambil menggosok-gosok rambut yang basah karena berkeramas. Langkahnya terhenti di pintu yang menuju ke balkon karena melihat sesuatu yang tidak biasa dimana dua teman sekamarnya sedang asik mengobrol, tapi tidak saling memandang. Mereka bertopang dagu sambil memandang ke bawah dengan sudut 45°.
Haruskah Tia bersiul ketika melihat kemana arah pandangan sahabatnya dan malah mendapati seorang cowok yang tinggi dengan berat proporsional sedang berlari di jalanan dekat asrama. Asrama cewek memang lebih dekat ke pemungkiman warga di bandingkan asrama cowok yang berbatasan dengan gedung perkantoran jadi mereka dapat melihat orang-orang yang lalu lalang di jalanan.
Tia ikut bertopang dagu memperhatikan cowok dengan wajah keturunan Arab yang sesekali mendorong kacamata kembali ke tempat aman agar tidak meluncur turun dari hidung mancungnya.
“Ah, cakepnya,” puji Lastri sambil senyum-senyum nggak jelas.
“Cowok-cowok di kampus lewat semua,” balas Mimi yang tidak kalah mupeng ketika memperhatikan cowok itu.
“Apa dia tidak sadar sedang diperhatikan oleh dua makhluk manis seperti kalian? Tatapan kalian pasti bisa memotong ayam goreng saking tajamnya,” goda Erina yang bergabung dengan mereka. Tumben cowok tomboy itu ikut memperhatikan cowok, biasanya selalu cuek.
“Siapa peduli, malah bagus kalau dia tahu,” ucap Lastri.
“Siapa tahu jadi jatuh cinta setelah lihat aku,” tambah Mimi.
“Ayo dong lihat ke atas,” pinta Lastri yang tangannya sudah dikatupkan untuk memohon.
Tia menoleh ke kiri dan kanan, rupanya hanya mereka penonton setia cowok cakep ini. “Beruntung nggak banyak yang ikut lihat, bisa-bisa penggemarnya langsung melimpah.”
“Disaat-saat seperti ini kalian harusnya mengambil kesempatan ... bu ... at ... de ... ketin dia.” Ucapan Erina terputus-putus karena melihat Lastri dan Mimi yang langsung balik badan dan lari sambil saling dorong.
Mereka pasti mau pendekatan dengan si cakep. Tia dan Erina hanya angkat bahu sambil tertawa geli melihat tingkah mereka.
“Semoga mereka tidak lupa makan malam,” ucap Erina.
Tia mengangguk. “Untungnya mereka sudah mandi, jadi nggak bau asem dan bikin malu di depan cowok itu.”
Erina memutuskan untuk belajar sebelum makan malam karena besok ada dua praktikum yang harus dilalui, masing-masing dengan pre test dan post test-nya. Kalau pretest dapat nilai jelek maka bakalan inhal, nggak boleh ikut praktikum. Sedangkan Tia lebih memilih mendengarkan Erina yang membaca materi dengan keras-keras.
Menjelang jam makan malam, Tia dan Erina memutuskan turun terlebih dahulu ke ruang makan tanpa menunggu kedatangan dua cewek yang sedang kesengsem sama cowok. Peraturan asrama adalah waktu makan malam antara jam 18.00-20.00, setelah jam itu maka makanan bakal ditarik dan tidak bisa makan. Pintu asrama ditutup mulai jam 20.00 jadi hanya yang sudah dapat izin dari ibu asrama yang bisa keluar masuk.
Ketika Tia dan Erina sudah hampir selesai, Lastri dan Mimi bergabung di meja. Tanpa ditanya pun mereka sudah mulai bercerita tentang si cakep.
“Mas Vano ternyata anaknya Bu Marni yang tinggal tepat di seberang kamar kita.” Lastri menyambar gelas minum. Saking semangat cerita sampai tersedak kuah pedas.
“Udah gitu Mas Vano polos banget padahal umurnya selisih satu tahun di atas kita. Malu-malu cat gitu pas kita ajak ngobrol.” Mimi terkikik ketika membayangkan kembali pertemuan tadi.
Erina bangkit berdiri sambil membawa nampan diikuti oleh Tia, mereka berjalan menuju tempat meletakkan piring kotor tanpa berpamitan pada dua orang yang kesengsem sama Mas Vano.
Tia merasakan ada cairan yang merembes membasahi kaus bagian belakang. Ketika menoleh, dia mendapati Lola yang tersenyum miring sambil membawa piring yang isinya sudah berpindah ke tubuh Tia. Ini pasti disengaja karena biasanya orang membawa nampan yang berisi piring, mangkuk, dan gelas ketika mengembalikannya untuk dicuci. Tia melihat nampan Lola sudah dibawa oleh salah satu kawannya.
“Ups, maaf nggak sengaja.” Lola lalu meletakkan piring itu ke nampan yang dibawa temannya lalu melenggang pergi.
“Kebiasaan! Selalu saja menyuruh junior untuk menggantikan tugasnya. Kebangeten banget, harus diberi pelajaran nih.” Erina mnyingsingkan lengan sebelum tangannya meraih belakang kaus sewarna daun milik Lola.
Cewek itu tentu saja tersentak ke belakang karena tenaga ekstra yang dimiliki oleh Erina. Lola terbatuk-batuk sambil mengusap-usap leher jenjangnya. Dia melotot pada Tia, mengira Tia lah pelakunya.
Tia balik melotot lalu menunjuk pada Erina yang sudah berkacak pinggang. Erina sendiri tidak kalah garang dari Lola.
“Bukannya minta maaf malah langsung ngeloyor. Minta maaf sekarang!”
Tia melirik Lola yang menanti ucapan itu keluar dari mulutnya sambil mengetuk-ketukkan sandal seiring detik berjalan. Namun Lola malah mengibaskan rambut panjangnya yang terurai dan balik badan.
Sekali lagi Lola ditarik oleh Erina membuatnya mendengkus sebal dan balik badan sambil bersedekap. “Aku minta maaf. Puas!” Dia melotot pada Erina.
“Belum. Anggap saja Tia sudah memaafkanmu, tapi kamu tidak bisa melupakan kewajibanmu yang satu lagi. Bukannya sekarang giliran kamu mencuci piring? Sana ke belakang. Jangan suruh junior buat menggantikan tugasmu!” tegur Erina.
Tentu saja Lola tidak berani menentang Erina, kalau hanya Tia pasti dia bakal melawan habis-habisan. Berhubung tenaga dan postur kalah besar jadinya Lola memilih menyingkir ke belakang untuk mencuci. Tia mencibir ketika melihat Lola mendorong junior yang menggantikannya agar menyingkir.
Tugas mencuci memang sudah ditentukan dari awal tahun ajaran, setiap jam makan yang bertugas itu anggota dari satu kamar yang terdiri dari empat orang. Lola dan kawan-kawan memang sering kali mangkir jadinya Erina merasa gemas.
Mimi mendorong Erina yang masih bersedekap mengawasi kerjaan Lola dan kawan-kawannya. “Sudah, ayo kembali ke kamar dan belajar.”
Sesampainya di kamar mereka masih membicarakan tentang Mas Vano , membuat Tia merasa bersimpati pada cowok polos itu karena mendapatkan serbuan dua cewek ganjen seperti Lastri dan Mimi.
Lastri menyalakan radio untuk mencari lagu dangdut sebagai pengantar belajar. Hal ini membuat Tia yang alergi lagu dangdut jadi mengantuk.
Beberapa kali menguap hingga akhirnya menyerah dan memilih berbaring untuk tidur. Namun tidurnya tidak langsung pulas karena Lastri sudah mencolek-colek membuat Tia memincing.
“Biarkan aku tidur,” ucapnya dengan setengah suara.
“Tia, kamu nggak belajar? Besok praktikum kimia amami lho.” Lastri masih berusaha menarik-narik Tia agar bangun.
“Biarkan saja. Kalau inhal baru tahu rasa,” cibir Mimi.
Tia menarik selimut menutupi kepala tanda tidak mau diganggu karena sudah tidak tertahankan ngantuknya. Dangdut lama selalu sukses membuatnya tertidur, bahkan lebih ampuh dari obat tidur dosis tinggi.
Tia terbangun pukul satu dini hari karena hawa yag semakin dingin. Pandangannya tertumbuk pada jendela yang belum ditutup. Mereka bertiga selalu saja lupa menutup korden karena malam hari Solo terasa panas. Dia beranjak untuk menutup jendela dan melihat lampu rumah seberang jalan terlihat lebih redup mungkin sudah perlu diganti, tapi kok semua bagian rumah terlihat suram. Tia menggosok mata lalu membandingkan dengan rumah lain yang ada di sekitarnya, memang terlihat lebih gelap.
Tia berusaha tidak memikirkannya lagi dan memilih untuk menutup jendela beserta korden dan mulai belajar. Jam belajarnya memang berbeda dengan yang lainnya.
Menurutnya lebih efektif belajar di saat orang lain tidur. Teman-teman sekamarnya tidak tahu dengan kebiasaannya karena mereka kalau tidur lelap sekali.
Sering kali orang mengira Tia mahasiswa jenius yang tanpa belajar pun bisa mendapatkan nilai bagus, padahal itu karena metode belajarnya yang berbeda dari lainnya. Dia akan lebih cepat menyerap materi ketika mendengarkan orang lain menghafal atau membaca materi itu daripada harus membacanya sendiri.
Satu setengah jam berlalu dengan cepat, dia kembali mengantuk dan memutuskan untuk mengakhiri waktu belajar lebih cepat dari biasanya yang kadang-kadang sampai jam tiga pagi.
Baru juga terlelap, tapi Tia merasa seperti bangun tidur di dalam mimpi. Iya di dalam mimpi, dia memang sering kali tahu kalau sedang di alam mimpi. Bahkan merasakan masih terbaring di atas ranjang yang empuk, berbeda dari ranjangnya di asrama. Anehnya, dia bisa melihat kamarnya di asrama dari sini. Itu berarti kamar ini hampir sejajar dengan kamarnya.
Dia langsung duduk dan memandang sekitar, terlihat foto keluarga Bu Marni tergantung di salah satu dinding kamar yang dicat dengan warna putih. Jangan-jangan ini kamar Mas Vano, tapi tak terlihat ada orang lain di sana.
Terdengar bunyi guntur menggelegar membuat Tia harus menutup telinga rapat-rapat. Tetes hujan mengenai kepalanya membuat dia menengadah untuk memastikan masih berada di dalam kamar. Namun tetesan itu terasa begitu nyata, sebentar saja lantai kamar sudah basah oleh air hujan yang berbau anyir, bahkan terlihat genangan di beberapa bagian.
...
Part Selanjutnya
Jangan lupa share cerita ini kalau kamu menyukainya. Biar lebih banyak lagi yang baca.
Indeks cerita bisa di klik di sini.
Jangan lupa share cerita ini kalau kamu menyukainya. Biar lebih banyak lagi yang baca.
Indeks cerita bisa di klik di sini.
Diubah oleh IztaLorie 18-05-2020 15:17
jiyanq memberi reputasi
1
Tutup
