- Beranda
- Stories from the Heart
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
...
TS
yanagi92055
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
Selamat Datang di Thread Gue
(私のスレッドへようこそ)
(私のスレッドへようこそ)
TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI DUA TRIT GUE SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT SELANJUTNYA INI, GUE DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK GUE DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DISINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR
Spoiler for Season 1 dan Season 2:
Last Season, on Muara Sebuah Pencarian - Season 2 :
Quote:
INFORMASI TERKAIT UPDATE TRIT ATAU KEMUNGKINAN KARYA LAINNYA BISA JUGA DI CEK DI IG: @yanagi92055 SEBAGAI ALTERNATIF JIKA NOTIF KASKUS BERMASALAH
Spoiler for INDEX SEASON 3:
Spoiler for LINK BARU PERATURAN & MULUSTRASI SEASON 3:
Quote:
Quote:
Quote:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 83 suara
Perlukah Seri ini dilanjutkan?
Perlu
99%
Tidak Perlu
1%
Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 10:25
al.galauwi dan 142 lainnya memberi reputasi
133
342.8K
4.9K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
yanagi92055
#2069
Tidak Fair
Setelah acara tersebut berakhir, kehidupan gue berjalan normal aja. tapi ada satu yang mengganjal di hati gue. itu adalah saat tiba-tiba grup chat keluarga besar gue dari Papa jadi terkonsentrasi ke urusan yang ada hubungannya dengan gue. personal. Sesuatu yang nggak pernah sebelumnya terjadi. Bahkan setelah adik gue nikahan aja nggak ada yang banyak ngomongin di grup chat.
Urusannya adalah Emi. wah, ini adalah sesuatu yang sangat langka. Gue aja jarang disorot, sekalinya ada hubungannya sama gue, yang disorot adalah pacar gue. intinya adalah, mereka menyatakan dan seperti sepakat kalau Emi adalah orang yang judes dan kurang bersahabat.
Wow, sungguh sesuatu hal yang sangat tendensius menurut gue. Bahkan saudara-saudara gue ini nggak mengenal langsung secara personal dengan Emi. Untung aja ada Om Reza dan Tante Nadine yang membela habis-habisan Emi. sementara gue sama sekali nggak nongol di grup tersebut.
Gue nggak mau ambil pusing soal yang seperti ini. Karena mau kayak gimanapun, jika gue berdebat dengan mereka, gue yang akan kalah. Tepatnya, lebih kepada disuruh ngalah oleh Mama dan Dania pastinya. Dalihnya selalu sama, mereka udah banyak bantu keluarga kecil gue.
Where’s my spotlight kalau emang keluarga gue dibantu? Oke dibantu, sekali. Tapi di cuekinnya, berulang kali. Gue selalu berada diposisi ketika lo ada ditempat yang ramai, tapi nggak ada satupun orang yang notice bahwa lo eksis dan ada ditempat yang sama.
Dan yang selalu menyelamatkan gue dan keluarga kecil gue selalu keluarganya Om Reza yang notabene adalah keluarga yang selalu mendapatkan panggung sorot utama, terutama Emir-nya. Sungguh aneh, gue mau benci, tapi nggak bisa. Keluarga Om Reza ini udah seperti keluarga kedua gue. kalau masalah membantu, merekalah yang paling banyak membantu sebenarnya.
Sebagai contoh, konsultasi gue untuk ambil S2, selain dengan Emi, gue berkonsultasi dengan Om Reza dan Tante Nadine, mengingat Emir sudah mengambil S2 terlebih dahulu, beberapa bulan sebelum gue masuk ke kampus gue yang sekarang. Bantuan moral dan spiritual dihujani oleh mereka, biar gue yakin dan pasti akan mengambil pendidikan ini.
Tapi kalau keluarga besar? Gue nggak tau apa yang dulu pernah mereka lakukan terhadap gue dan keluarga kecil gue. gue nggak pernah dapat cerita lengkap dari Mama. Sekarang malahan mereka dengan enaknya berasumsi kalau Emi begitu tanpa mengenalnya secara personal?
Contoh lain lagi adalah saat Emi berkenalan pertama kali dengan Uni Dona sepupu gue. apa yang terjadi? Emi bahkan dianggap angin lalu. Kata halus dari nggak dianggap. Gue yang awalnya mau bersikap netral malah batal setelah ternyata ketika di lamaran dan resepsi pun sikap Uni Dona terhadap Emi sangatlah tidak bersahabat.
Lalu, ternyata Uni Dona adalah salah satu pencetus asumsi ini terhadap Emi. Yang judes siapa? Tapi malah melemparkan isu tersebut ke keluarga besar. Gilanya, diaminin pula. Ketika orang belum kenal dengan Emi, memang mukanya seperti itu, tertekuk. Orang akan menjadi sungkan dengan Emi ketika belum mengenalnya secara personal. Emi adalah seorang yang introvert. Dia agak canggung dan butuh waktu untuk beradaptasi serta berkomunikasi dengan orang lain. Hampir sama dengan gue.
Nah, ketidaktahuan seperti ini bukannya dicari dulu, malah langsung dilemparkan sebagai hipotesis aja berdasarkan dari sebuah asumsi. Sungguh menyalahi kaidah statistika kalau kayak gini. Kurang sampel tapi bisa menarik kesimpulan. Hahaha. Tapi menurut gue, ini sebenarnya adalah tipikal sebagian kecil orang di Indonesia. Judging itu adalah hal yang lumrah terjadi pada sebuah kehidupan bermasyarakat. Awal mula perselisihan seringkali dari urusan seperti ini. Hanya menuduh tanpa bukti, meledek tanpa makna, ikut campur tanpa tau urusan sebenarnya dan sebagainya.
Om Reza dan Tante Nadine habis-habisan membela Emi. mereka menjelaskan kalau Emi itu tidak seperti itu. Mungkin Emi kecapekan kemarin karena terus berkegiatan sampai larut malam, sehingga paginya kondisinya tidak seratus persen, plus makannya juga nggak teratur. Jadilah dia seperti itu.
Gue mengkonfirmasi dengan Mama, Dania dan juga Adit yang kala itu baru bergabung masuk didalam rumah Mama.
“Kalau Mama dan Dania, aku yakin bisa lah tau sifatnya Emi kayak gimana. Dia nggak kayak yang diomongin sama saudara-saudara di grup.” Kata gue.
“Iya, tapi Emi emang kemarin ini kan banyak diemnya. Makanya jadi berkesan judes.” Ujar Dania.
“kalaupun iya kayak gitu, kan dia masih belum bisa bedain mana saudara kita mana yang tamu, mana saudara Adit.”
“Iya, tapi paling nggak, kan bisa senyum gitu kalau ketemu orang.” Mama menimpali.
“Ya kan nggak selalu harus senyum terus, Emi kan bukan pager ayu yang jaga didepan kali.”
“Yaudahlah, kamu bilangin itu ke Emi kalau ke saudara kita jangan judes gitu mukanya. Mama jadi nggak enak kan ada omongan kayak gitu.”
“Kalau mau ngomongin Emi begitu, bilang juga ke Uni Dona, jangan judes ke Emi. emi nggak salah apa-apa aja berasa nggak dianggap sama dia. itu baru Uni Dona, belum yang lain.”
“Dona itu biasa-biasa aja loh Ja. kok jadi ngarah ke dia sih kamu itu?”
“Gimana, enak nggak diasumsiin kayak gitu? Nggak enak kan? Sama pasti Emi juga kalau aku sampaikan urusan ini ke dia bakalan nggak enak. Karena saudara-saudara pada nuduh tanpa tau gimana aslinya Emi. Emi nggak mungkin kan ngenalin diri ke masing-masing orang. Dia aja nggak tau yang mana aja saudara-saudara kita.” Kata gue, tensi omongan gue mulai naik.
“Ya kamu dong yang harusnya bisa bawa dia ke saudara-saudara.”
“Lah, aku? Aku kurang ngenalin apa kemarin? Malam sebelumnya, sampai setelah resepsi pas makan-makan di VIP pun aku ngenalin. Tapi kan butuh waktu karena saudara kita banyak.”
“Kamu itu kalau omongan begini ada aja ngebalikinnya.” Mama mulai terlihat kesal.
“Ya, aku ngebeberin fakta aja. coba sekarang aku tanya Adit, emang udah pada hafal dari pertemuan yang cuma sekali doang?”
“Belum hapal semua sih, kak. Tapi gue usahain.” Kata Adit dengan logat sunda yang begitu kental.
“Nah. Gimana? Masih mau nyari-nyari kesalahan Emi? Harus diinget juga nih. Emi itu bantuin hampir keseluruhan rangkaian acaranya Dania. Dari mulai prewed, lamaran, sampai ke konsep resepsi kemarin itu. Setidaknya apresiasi kek. Apa kek. Kayak nggak tau terima kasih aja ini.” Ujar gue ketus.
“Kok jadi ngajarin kita sih, Kak? Kan gue udah makasih kemarin ini. Terus udah bilang makasih juga di chat. Kurang apa lagi?” kata Dania juga mulai emosi.
“Kurang apa lagi? Ya lo belain dong kalau Emi nggak begitu di grup chat keluarga. Jangan malah Om Reza sama Tante Nadine.” Ujar gue sambil menunjuk adik gue dengan nada emosi.
“Lah, lo sendiri pacarnya kenapa diem aja?”
“Gue diem aja? hahaha. Kalo gue bacot disana, keluarga ini bisa-bisa nggak dianggep lagi sama keluarga besar Papa, Dan. Dan gue udah tau pasti kalau gue terus-terusan bacot disana, bakalan disuruh ngalah sama Mama. Tipikal banget. belain aja terus saudara-saudara yang udah ‘BANTUIN’ keluarga kita. Malah keluarga kecilnya sendiri dibiarin gitu aja.” kata gue menutup perbincangan dengan emosi.
Gue lalu keluar rumah dan pergi ke mall untuk refreshing.
--
Kebiasaan gue dengan Emi jika hari kerja adalah, gue menjemput dia ketika jam pulang kantor tiba. Tapi saat ini ada perbedaan di obrolan kami. Kami membahas masalah urusan judes kemarin ini. Benar saja, Emi nggak terima dibilang gitu. Gue aja nggak terima, apalagi Emi.
Tapi sepertinya Emi lebih nggak terima kalau gue hanya diam aja seolah nggak ngebelain.
Alasan gue tetap seperti yang sudah gue sebutkan, gue nggak mau repot-repot ngurusin hal beginian, yang ujungnya pasti gue yang disuruh ngalah, bahkan sampai meminta maaf. Sesuatu yang sangat pantang gue lakukan jika gue nggak merasakan ada kesalahan dalam bersikap atau apapun.
Mengurusi urusan gue dengan keluarga besar itu adalah sesuatu yang sama sekali nggak penting bagi gue. gue bisa hidup mandiri tanpa mereka kok. Toh pada posisinya, ada atau nggak ada gue dan keluarga kecil gue, mereka tetap nggak akan merasa kehilangan, kecuali keluarga Om Reza yang selalu concern terhadap gue dan perkembangan gue, baik pendidikan maupun karir serta tentunya kehidupan percintaan gue.
Keluarga kecil gue seperti punya cara agar Emi tersingkir dari pikiran gue. sementara Om Reza dan Tante Nadine, bahkan Emir, mendukung banget gue dengan Emi. Emran juga sempat ngobrol dengan gue saat resepsi kemarin ini bahwa gue sungguh beruntung punya pacar dengan kecerdasan diatas rata-rata seperti Emi.
Ketika Emran mengeluarkan pernyataan seperti ini, hati gue berasa sangat nggak enak. Ada sesuatu yang mengganjal aja. padahal pas Emir ngomong nggak ada masalah, tapi kalau Emran entah kenapa efeknya berbeda.
--
Keluarga gue menyiapkan acara besar selanjutnya dalam hidup Dania. Dia akhirnya wisuda. Wisuda setelah skripsinya dibantu oleh gue dan Emi. lebih banyak porsi Emi sebenarnya ngebantunya daripada gue. Gue sudah menjemput Kakek nenek gue yang datang dari jawa timur untuk menghadiri wisuda cucu keduanya ini kemarin malam. Tinggal gue menunggu Emi datang, lalu gue dan keluarga bersiap berangkat ke daerah BSD City, Tangerang, Banten. Wisuda kampus adik gue dilangsungkan disana.
Gue belakangan sadar kalau ternyata Emi kok belum juga mengabari gue, padahal gue udah tanya dari semalam. Gue berpikir Dania yang belakangan ini mulai akrab dengan Emi sudah memberitahu kalau ada acara wisudanya. Apalagi Emi telah membantu Dania menyelesaikan skripsinya itu.
EMI CHAT
Percakapan selanjutnya malah nyerempet masalah kekecewaan Emi terhadap gue. entah dia sebenarnya kecewanya mungkin terakumulasi barangkali. Yang jelas ini sudah cukup membuat gue kecewa berat. Gue kecewa berat terhadap sikap Dania ke Emi. Emi itu udah jelas-jelas banyak membantu kelancaran Dania disegala urusannya. Tapi malah seperti ini jadinya.
Gue harus menelan kekecewaan dan sepanjang momen sakral bagi adik gue itu, gue sama sekali tidak tertarik. Gue malah harus menjawab pertanyaan kakek nenek gue. Mereka bertanya kenapa Emi nggak ada diacara tersebut. Sementara mereka melihat gue selalu marah-marah dan bawaannya emosi terus sepanjang acara.
Gue jawab apa adanya aja bahwa Emi memang nggak diundang sama Dania. Kakek nenek gue sempat geleng-geleng kepala mengenai sikap Dania ini. Mereka cukup tau aja. gue nggak mau memperpanjang masalah dengan menceritakan lebih detail ke Kakek Nenek gue, khawatirnya malah jadi kepikiran.
--
Proyek besar kerjasama dengan salah satu bank swasta terkemuka di Indonesia akhirnya sudah deal. Gue kebagian di wilayah Malang, Jawa Timur. Nggak lupa gue mengabari Wila akan rencana gue ke Malang kali ini. Karena hanya ini aja kesempatan gue bisa ketemu dengan Wila yang katanya mau ngobrol-ngobrol lagi sama gue secara langsung.
Wila ini sebenarnya nggak ada kelebihan berarti dibanding dengan Emi. Tapi ya gue senang aja dapat teman yang berada diluar wilayah gue. Kesempatan langka seperti itu ya baiknya dikabari, karena gue belum tentu bisa bertemu dia lagi dilain waktu.
Wila sangat senang mendengar kabar ini. Dia nggak sabar untuk bertemu lagi dengan gue. apalagi dulu dia pernah punya tantangan untuk karaokean bareng. nggak ada salahnya juga, toh gue bisa ada waktu ketemu lebih lama lagi karena rencananya gue akan berada di Malang selama 5 hari. Tapi kalau bisa lebih cepat pulang lebih bagus, karena ngapain juga disana lama-lama.
Hebatnya, si Wila ini rela berangkat dari Surabaya ke Malang untuk bertemu dengan gue. Kalau begini ceritanya sih, biasanya ini adalah tanda bahwa seorang cewek mulai tertarik dengan gue. Tapi ya gue nggak ada maksud apa-apa ke dia, dan bahkan nggak kasih harapan apapun. Kalau ada orang yang suka dengan kita, itu juga bukan suatu kesalahan kan?
Nggak ada kamus yang namanya udah punya pacar dilarang disukai oleh orang lain. Gue rasa gue nggak pernah menemukan kasus seperti ini. Kalau pembatasan / proteksi terhadap para penyuka pasangannya mungkin banyak, tapi pelarangan terhadap orang lain untuk suka dengan kita, itu nggak ada menurut gue.
Ini sepertinya yang sedang terjadi dengan Wila. Wila juga sudah mengetahui kalau gue ini sedang berhubungan dengan Emi, makanya gue juga santai-santai aja. Tapi kalau ternyata dia suka sama gue, ya itu lain urusan dan itu adalah hak dia.
“Mil, gue mau ke Malang nih. Apa sekalian aja gue survey tempat buat fieldtrip kita taun depan ya?” tanya gue pada suatu perkuliahan.
“Ikut dong Ja ke Malang. Hehe. yaudah sekalian aja. bilang dulu sama Mas Bandi ketua kelas kita.”
“Iya ntar gue usulin Mil. Lo ngapain mau ikut gue? mau gue kekepin lo? hahaha.”
“Hahah mau dong.”
“Gilak lo Mil. Hahaha.”
“Yaudah yang penting nanti siapin ya apa yang perlu gue survey. Ntar gue coba usulin.”
“Oke deh Ja. Nanti gue list apa yang perlu dicari dan lo liat disana ya.”
Semakin kesini, gosip gue dan Mila makin kencang saja berhembus. Dan sepertinya itu sedang dinikmati oleh Mila. Tapi tidak dengan gue. Gue malah jadi nggak nyaman dengan keadaan ini. Gue nggak senang dengan keadaan seperti ini. Apalagi seperti yang kita tau, Mila adalah public enemydikelas. Gue malas terlalu dekat dengan dia, nanti malahan ada omongan negatif yang sebenarnya nggak penting sama sekali untuk diurusi.
Urusannya adalah Emi. wah, ini adalah sesuatu yang sangat langka. Gue aja jarang disorot, sekalinya ada hubungannya sama gue, yang disorot adalah pacar gue. intinya adalah, mereka menyatakan dan seperti sepakat kalau Emi adalah orang yang judes dan kurang bersahabat.
Wow, sungguh sesuatu hal yang sangat tendensius menurut gue. Bahkan saudara-saudara gue ini nggak mengenal langsung secara personal dengan Emi. Untung aja ada Om Reza dan Tante Nadine yang membela habis-habisan Emi. sementara gue sama sekali nggak nongol di grup tersebut.
Gue nggak mau ambil pusing soal yang seperti ini. Karena mau kayak gimanapun, jika gue berdebat dengan mereka, gue yang akan kalah. Tepatnya, lebih kepada disuruh ngalah oleh Mama dan Dania pastinya. Dalihnya selalu sama, mereka udah banyak bantu keluarga kecil gue.
Where’s my spotlight kalau emang keluarga gue dibantu? Oke dibantu, sekali. Tapi di cuekinnya, berulang kali. Gue selalu berada diposisi ketika lo ada ditempat yang ramai, tapi nggak ada satupun orang yang notice bahwa lo eksis dan ada ditempat yang sama.
Dan yang selalu menyelamatkan gue dan keluarga kecil gue selalu keluarganya Om Reza yang notabene adalah keluarga yang selalu mendapatkan panggung sorot utama, terutama Emir-nya. Sungguh aneh, gue mau benci, tapi nggak bisa. Keluarga Om Reza ini udah seperti keluarga kedua gue. kalau masalah membantu, merekalah yang paling banyak membantu sebenarnya.
Sebagai contoh, konsultasi gue untuk ambil S2, selain dengan Emi, gue berkonsultasi dengan Om Reza dan Tante Nadine, mengingat Emir sudah mengambil S2 terlebih dahulu, beberapa bulan sebelum gue masuk ke kampus gue yang sekarang. Bantuan moral dan spiritual dihujani oleh mereka, biar gue yakin dan pasti akan mengambil pendidikan ini.
Tapi kalau keluarga besar? Gue nggak tau apa yang dulu pernah mereka lakukan terhadap gue dan keluarga kecil gue. gue nggak pernah dapat cerita lengkap dari Mama. Sekarang malahan mereka dengan enaknya berasumsi kalau Emi begitu tanpa mengenalnya secara personal?
Contoh lain lagi adalah saat Emi berkenalan pertama kali dengan Uni Dona sepupu gue. apa yang terjadi? Emi bahkan dianggap angin lalu. Kata halus dari nggak dianggap. Gue yang awalnya mau bersikap netral malah batal setelah ternyata ketika di lamaran dan resepsi pun sikap Uni Dona terhadap Emi sangatlah tidak bersahabat.
Lalu, ternyata Uni Dona adalah salah satu pencetus asumsi ini terhadap Emi. Yang judes siapa? Tapi malah melemparkan isu tersebut ke keluarga besar. Gilanya, diaminin pula. Ketika orang belum kenal dengan Emi, memang mukanya seperti itu, tertekuk. Orang akan menjadi sungkan dengan Emi ketika belum mengenalnya secara personal. Emi adalah seorang yang introvert. Dia agak canggung dan butuh waktu untuk beradaptasi serta berkomunikasi dengan orang lain. Hampir sama dengan gue.
Nah, ketidaktahuan seperti ini bukannya dicari dulu, malah langsung dilemparkan sebagai hipotesis aja berdasarkan dari sebuah asumsi. Sungguh menyalahi kaidah statistika kalau kayak gini. Kurang sampel tapi bisa menarik kesimpulan. Hahaha. Tapi menurut gue, ini sebenarnya adalah tipikal sebagian kecil orang di Indonesia. Judging itu adalah hal yang lumrah terjadi pada sebuah kehidupan bermasyarakat. Awal mula perselisihan seringkali dari urusan seperti ini. Hanya menuduh tanpa bukti, meledek tanpa makna, ikut campur tanpa tau urusan sebenarnya dan sebagainya.
Om Reza dan Tante Nadine habis-habisan membela Emi. mereka menjelaskan kalau Emi itu tidak seperti itu. Mungkin Emi kecapekan kemarin karena terus berkegiatan sampai larut malam, sehingga paginya kondisinya tidak seratus persen, plus makannya juga nggak teratur. Jadilah dia seperti itu.
Gue mengkonfirmasi dengan Mama, Dania dan juga Adit yang kala itu baru bergabung masuk didalam rumah Mama.
“Kalau Mama dan Dania, aku yakin bisa lah tau sifatnya Emi kayak gimana. Dia nggak kayak yang diomongin sama saudara-saudara di grup.” Kata gue.
“Iya, tapi Emi emang kemarin ini kan banyak diemnya. Makanya jadi berkesan judes.” Ujar Dania.
“kalaupun iya kayak gitu, kan dia masih belum bisa bedain mana saudara kita mana yang tamu, mana saudara Adit.”
“Iya, tapi paling nggak, kan bisa senyum gitu kalau ketemu orang.” Mama menimpali.
“Ya kan nggak selalu harus senyum terus, Emi kan bukan pager ayu yang jaga didepan kali.”
“Yaudahlah, kamu bilangin itu ke Emi kalau ke saudara kita jangan judes gitu mukanya. Mama jadi nggak enak kan ada omongan kayak gitu.”
“Kalau mau ngomongin Emi begitu, bilang juga ke Uni Dona, jangan judes ke Emi. emi nggak salah apa-apa aja berasa nggak dianggap sama dia. itu baru Uni Dona, belum yang lain.”
“Dona itu biasa-biasa aja loh Ja. kok jadi ngarah ke dia sih kamu itu?”
“Gimana, enak nggak diasumsiin kayak gitu? Nggak enak kan? Sama pasti Emi juga kalau aku sampaikan urusan ini ke dia bakalan nggak enak. Karena saudara-saudara pada nuduh tanpa tau gimana aslinya Emi. Emi nggak mungkin kan ngenalin diri ke masing-masing orang. Dia aja nggak tau yang mana aja saudara-saudara kita.” Kata gue, tensi omongan gue mulai naik.
“Ya kamu dong yang harusnya bisa bawa dia ke saudara-saudara.”
“Lah, aku? Aku kurang ngenalin apa kemarin? Malam sebelumnya, sampai setelah resepsi pas makan-makan di VIP pun aku ngenalin. Tapi kan butuh waktu karena saudara kita banyak.”
“Kamu itu kalau omongan begini ada aja ngebalikinnya.” Mama mulai terlihat kesal.
“Ya, aku ngebeberin fakta aja. coba sekarang aku tanya Adit, emang udah pada hafal dari pertemuan yang cuma sekali doang?”
“Belum hapal semua sih, kak. Tapi gue usahain.” Kata Adit dengan logat sunda yang begitu kental.
“Nah. Gimana? Masih mau nyari-nyari kesalahan Emi? Harus diinget juga nih. Emi itu bantuin hampir keseluruhan rangkaian acaranya Dania. Dari mulai prewed, lamaran, sampai ke konsep resepsi kemarin itu. Setidaknya apresiasi kek. Apa kek. Kayak nggak tau terima kasih aja ini.” Ujar gue ketus.
“Kok jadi ngajarin kita sih, Kak? Kan gue udah makasih kemarin ini. Terus udah bilang makasih juga di chat. Kurang apa lagi?” kata Dania juga mulai emosi.
“Kurang apa lagi? Ya lo belain dong kalau Emi nggak begitu di grup chat keluarga. Jangan malah Om Reza sama Tante Nadine.” Ujar gue sambil menunjuk adik gue dengan nada emosi.
“Lah, lo sendiri pacarnya kenapa diem aja?”
“Gue diem aja? hahaha. Kalo gue bacot disana, keluarga ini bisa-bisa nggak dianggep lagi sama keluarga besar Papa, Dan. Dan gue udah tau pasti kalau gue terus-terusan bacot disana, bakalan disuruh ngalah sama Mama. Tipikal banget. belain aja terus saudara-saudara yang udah ‘BANTUIN’ keluarga kita. Malah keluarga kecilnya sendiri dibiarin gitu aja.” kata gue menutup perbincangan dengan emosi.
Gue lalu keluar rumah dan pergi ke mall untuk refreshing.
--
Kebiasaan gue dengan Emi jika hari kerja adalah, gue menjemput dia ketika jam pulang kantor tiba. Tapi saat ini ada perbedaan di obrolan kami. Kami membahas masalah urusan judes kemarin ini. Benar saja, Emi nggak terima dibilang gitu. Gue aja nggak terima, apalagi Emi.
Tapi sepertinya Emi lebih nggak terima kalau gue hanya diam aja seolah nggak ngebelain.
Alasan gue tetap seperti yang sudah gue sebutkan, gue nggak mau repot-repot ngurusin hal beginian, yang ujungnya pasti gue yang disuruh ngalah, bahkan sampai meminta maaf. Sesuatu yang sangat pantang gue lakukan jika gue nggak merasakan ada kesalahan dalam bersikap atau apapun.
Mengurusi urusan gue dengan keluarga besar itu adalah sesuatu yang sama sekali nggak penting bagi gue. gue bisa hidup mandiri tanpa mereka kok. Toh pada posisinya, ada atau nggak ada gue dan keluarga kecil gue, mereka tetap nggak akan merasa kehilangan, kecuali keluarga Om Reza yang selalu concern terhadap gue dan perkembangan gue, baik pendidikan maupun karir serta tentunya kehidupan percintaan gue.
Keluarga kecil gue seperti punya cara agar Emi tersingkir dari pikiran gue. sementara Om Reza dan Tante Nadine, bahkan Emir, mendukung banget gue dengan Emi. Emran juga sempat ngobrol dengan gue saat resepsi kemarin ini bahwa gue sungguh beruntung punya pacar dengan kecerdasan diatas rata-rata seperti Emi.
Ketika Emran mengeluarkan pernyataan seperti ini, hati gue berasa sangat nggak enak. Ada sesuatu yang mengganjal aja. padahal pas Emir ngomong nggak ada masalah, tapi kalau Emran entah kenapa efeknya berbeda.
--
Keluarga gue menyiapkan acara besar selanjutnya dalam hidup Dania. Dia akhirnya wisuda. Wisuda setelah skripsinya dibantu oleh gue dan Emi. lebih banyak porsi Emi sebenarnya ngebantunya daripada gue. Gue sudah menjemput Kakek nenek gue yang datang dari jawa timur untuk menghadiri wisuda cucu keduanya ini kemarin malam. Tinggal gue menunggu Emi datang, lalu gue dan keluarga bersiap berangkat ke daerah BSD City, Tangerang, Banten. Wisuda kampus adik gue dilangsungkan disana.
Gue belakangan sadar kalau ternyata Emi kok belum juga mengabari gue, padahal gue udah tanya dari semalam. Gue berpikir Dania yang belakangan ini mulai akrab dengan Emi sudah memberitahu kalau ada acara wisudanya. Apalagi Emi telah membantu Dania menyelesaikan skripsinya itu.
EMI CHAT
Quote:
Percakapan selanjutnya malah nyerempet masalah kekecewaan Emi terhadap gue. entah dia sebenarnya kecewanya mungkin terakumulasi barangkali. Yang jelas ini sudah cukup membuat gue kecewa berat. Gue kecewa berat terhadap sikap Dania ke Emi. Emi itu udah jelas-jelas banyak membantu kelancaran Dania disegala urusannya. Tapi malah seperti ini jadinya.
Gue harus menelan kekecewaan dan sepanjang momen sakral bagi adik gue itu, gue sama sekali tidak tertarik. Gue malah harus menjawab pertanyaan kakek nenek gue. Mereka bertanya kenapa Emi nggak ada diacara tersebut. Sementara mereka melihat gue selalu marah-marah dan bawaannya emosi terus sepanjang acara.
Gue jawab apa adanya aja bahwa Emi memang nggak diundang sama Dania. Kakek nenek gue sempat geleng-geleng kepala mengenai sikap Dania ini. Mereka cukup tau aja. gue nggak mau memperpanjang masalah dengan menceritakan lebih detail ke Kakek Nenek gue, khawatirnya malah jadi kepikiran.
--
Proyek besar kerjasama dengan salah satu bank swasta terkemuka di Indonesia akhirnya sudah deal. Gue kebagian di wilayah Malang, Jawa Timur. Nggak lupa gue mengabari Wila akan rencana gue ke Malang kali ini. Karena hanya ini aja kesempatan gue bisa ketemu dengan Wila yang katanya mau ngobrol-ngobrol lagi sama gue secara langsung.
Wila ini sebenarnya nggak ada kelebihan berarti dibanding dengan Emi. Tapi ya gue senang aja dapat teman yang berada diluar wilayah gue. Kesempatan langka seperti itu ya baiknya dikabari, karena gue belum tentu bisa bertemu dia lagi dilain waktu.
Wila sangat senang mendengar kabar ini. Dia nggak sabar untuk bertemu lagi dengan gue. apalagi dulu dia pernah punya tantangan untuk karaokean bareng. nggak ada salahnya juga, toh gue bisa ada waktu ketemu lebih lama lagi karena rencananya gue akan berada di Malang selama 5 hari. Tapi kalau bisa lebih cepat pulang lebih bagus, karena ngapain juga disana lama-lama.
Hebatnya, si Wila ini rela berangkat dari Surabaya ke Malang untuk bertemu dengan gue. Kalau begini ceritanya sih, biasanya ini adalah tanda bahwa seorang cewek mulai tertarik dengan gue. Tapi ya gue nggak ada maksud apa-apa ke dia, dan bahkan nggak kasih harapan apapun. Kalau ada orang yang suka dengan kita, itu juga bukan suatu kesalahan kan?
Nggak ada kamus yang namanya udah punya pacar dilarang disukai oleh orang lain. Gue rasa gue nggak pernah menemukan kasus seperti ini. Kalau pembatasan / proteksi terhadap para penyuka pasangannya mungkin banyak, tapi pelarangan terhadap orang lain untuk suka dengan kita, itu nggak ada menurut gue.
Ini sepertinya yang sedang terjadi dengan Wila. Wila juga sudah mengetahui kalau gue ini sedang berhubungan dengan Emi, makanya gue juga santai-santai aja. Tapi kalau ternyata dia suka sama gue, ya itu lain urusan dan itu adalah hak dia.
“Mil, gue mau ke Malang nih. Apa sekalian aja gue survey tempat buat fieldtrip kita taun depan ya?” tanya gue pada suatu perkuliahan.
“Ikut dong Ja ke Malang. Hehe. yaudah sekalian aja. bilang dulu sama Mas Bandi ketua kelas kita.”
“Iya ntar gue usulin Mil. Lo ngapain mau ikut gue? mau gue kekepin lo? hahaha.”
“Hahah mau dong.”
“Gilak lo Mil. Hahaha.”
“Yaudah yang penting nanti siapin ya apa yang perlu gue survey. Ntar gue coba usulin.”
“Oke deh Ja. Nanti gue list apa yang perlu dicari dan lo liat disana ya.”
Semakin kesini, gosip gue dan Mila makin kencang saja berhembus. Dan sepertinya itu sedang dinikmati oleh Mila. Tapi tidak dengan gue. Gue malah jadi nggak nyaman dengan keadaan ini. Gue nggak senang dengan keadaan seperti ini. Apalagi seperti yang kita tau, Mila adalah public enemydikelas. Gue malas terlalu dekat dengan dia, nanti malahan ada omongan negatif yang sebenarnya nggak penting sama sekali untuk diurusi.
Diubah oleh yanagi92055 16-05-2020 11:41
itkgid dan 21 lainnya memberi reputasi
22