Kaskus

Story

IztaLorieAvatar border
TS
IztaLorie
Bisik Kematian (Based On True Story)
Bisik Kematian (Based On True Story)
Sumber : pixabay.com


Cerita yang ada di sini adalah berdasarkan kisah nyata yang berhubungan dengan kematian. Percaya atau tidak, aku mengalami semua kejadian ini. Mungkin bagi kalian ini hal yang biasa, buatku ini mengerikan.

Jangan lupa subscribe biar nggak ketinggalan cerita selanjutnya. Jangan lupa kasih cendol dan komentar juga ya. Mohon maaf kalau tidak sesuai bayangan kalian.

...

Kami berdua di rumah, tentu saja tidak boleh ikut ke rumah sakit. Kabar mengejutkan itu datang dari keluarga ibu. Buliknya saat ini sedang berada di rumah sakit.

"Ibu pulang jam berapa?" tanyaku pada adik yang sedang asik nonton ftv kesukaannya.

"Mungkin sore, tadi nggak bilang apa-apa sih."

Aku memang belum di rumah ketika bapak ibu berangkat. Rumah terasa sepi, jadinya ikut nonton sama adik.

"Mbak," panggil Kemala.

"Masuk aja," teriak adikku tanpa mengalihkan perhatian.

Bukan hanya Kemala yang masuk rumah, ternyata ada Wanda dan juga Lydia. Mereka ikut bergabung dengan kami.

Sering kali orang salah menilai rumah kami. Penuh dengan anak gadis dan pintu yang berderet membuat orang mengira ini adalah kos-kosan. Padahal kami berkumpul karena semua orang tua sibuk bekerja jadi lebih baik menghabiskan waktu di satu tempat.

Hari-hari kami seperti ini. Bermain bersama, nonton tv dengan heboh. Apa lagi kalau nonton tayangan vampir, hantu cina yang melompat-lompat.

Suara teriakan terdengar. Buru-buru tutup mata tapi masih ngintip dikit-dikit karena penasaran. Vampir buat kami tegang yang nonton.

Menjelang sore, teman-teman berpamitan mau mandi. Sebentar lagi orang tua mereka datang. Kalau hari-hari normal sih orang tua kami yang pulang duluan, tapi ini tidak seperti biasanya.

"Sudah jam segini kok belum pulang juga ya, Mbak?"

"Mungkin nggak ada yang gantiin nunggu." jawabku.

"Makan dulu aja, yuk."

Belum juga beranjak untuk mengambil makanan, telepon yang ada di ruang keluarga berdering. Adikku melesat mengangkat telepon mendahului. Pasti sudah kangen banget sama ibu.

"Ibu kapan pulang?"

"..."

"Oke," balasnya sebelum menutup panggilan.

Adik menatap lesu ke arahku. "Ibu pulang malam, Mbah Lik dirawat di ICU. Nggak ada yang nungguin."

Aku maklum dengan tindakan ibu karena Mbah Lik yang sedang sakit sudah seperti orang tua kedua bagi beliau. Sejak dari kecil ibu sudah bersama keluarga Mbah Lik.

"Paling juga nggak lama lagi meninggal," ujarku tanpa bisa dicegah.

Bola mata adik membesar. "Mbak ini lho. Kalau ngomong dijaga. Gimana kalau keluarga Mbah Lik ada yang dengar? Pasti tersinggung. Masa nyumpahin cepet meninggal."

Aku tahu ini salah, tapi perkataan ini meloncat keluar tanpa bisa diperiksa. Aku bahkan tidak memikirkan hal itu. Memang terdengar keterlaluan. Mungkin harus menahan mulut baik-baik biar nggak terlontar kata-kata seperti itu lagi.

Dering telepon kembali terdengar. Adik mengangkatnya sambil masih memandang tajam diriku. Sudah seperti ibu memarahi anaknya saja.

"Apa? Iya, kami ke sana." Tubuh adik gemetaran ketika menutup telepon.

"Ada apa?" Kusentuh bahunya.

"Mbah Lik meninggal, kita harus segera ke rumahnya."

Aku tertegun, perkataan yang keluar ini benar-benar terjadi. Ini pasti hanya sebuah kebetulan semata.

-bersambung-

Jangan lupa subscribe biar nggak ketinggalan cerita selanjutnya. Kasih cendol dan komentar juga ya. Ini salah satu penyemangat TS buat update 😊
Diubah oleh IztaLorie 15-05-2020 19:08
anomadeniAvatar border
redbarongAvatar border
awanghoAvatar border
awangho dan 70 lainnya memberi reputasi
65
23.4K
204
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52.1KAnggota
Tampilkan semua post
IztaLorieAvatar border
TS
IztaLorie
#176
(New) Bisik Kematian
Part 2 Jawaban dari Mimpi Buruk



Sudah dua hari Papa tidak pulang karena masih menunggu Zahra. Beliau bahkan cuti dari kantor agar dapat berada di sana sepanjang hari. Mama juga sudah tidak mengharapkan kabar dari Papa.

Setelah selesai kuliah Tia berusaha sesering mungkin menghubungi Mama agar beliau tidak kesepian tanpa kehadirannya. Setiap mahasiswa analis kesehatan di wajibkan untuk berada di asrama agar memudahkan mereka untuk beristirahat di tengah kesibukan kuliah yang berlangsung dari pagi hingga menjelang malam.

Tia tersenyum ketika melihat Mama kembali meneleponnya. “Iya, Ma. Ada apa?”

“Mama mau ke rumah sakit. Papa mau Mama menemaninya.”

“Mama, baik-baik saja kalau harus ketemu Tante Zahra lagi? Tapi kalau Mama nggak mau, lebih jangan ke sana,” pinta Tia.

“Mama nggak tega lihat Papa sedih.”

“Papa aja nggak tega sama Mama kok, lagian dia juga sebentar lagi bakal mati. Udah lah, nggak perlu ke sana.” Tia mengucapkannya dengan nada datar, tahu betul kalau itu yang bakal terjadi karena sebuah suara terus menerus terdengar sejak beberapa menit lalu.

“Dia meninggal, dia meninggal, dia meninggal.”

Tia bahkan sempat bertanya pada Erina-teman dekat yang juga merupakan teman sekamarnya, tapi cewek berkacamata itu sama sekali tidak mendengar suara orang lain di kamar itu.

“Tia! Kamu kok ngomong gitu sih? Itu namanya sumpahin orang biar cepat meninggal. Meski pun dia sudah jahat sama Mama, tapi kamu tidak boleh membalasnya. Pembalasan itu hak Tuhan,” tegur Mama.

“Ma, Tia cuma ngomongin kenyataan saja.” Sambungan itu diputus sepihak oleh Tia karena khawatir tidak lagi bisa menahan ucapan yang berpotensi membuat Mama sakit hati.

Lima menit kemudian nama Mama kembali terlihat di layar gawai. Berkedip-kedip meminta perhatian Tia. Dia sempat mendengkus sebelum mengangkatnya.

“Ada apa, Ma?"

“Zahra sudah meninggal dunia, ucapanmu benar. Sekarang Mama mau ke rumah sakit, kenapa kamu tidak pulang ke rumah? Besok tanggal merah kan?”

Permintaan Mama membuat Tia bersedih, bukan karena menyesali sudah bilang tentang kematian Zahra, tapi karena memikirkan nasib Mama. Dia memutuskan untuk memberesi pakaian dan pulang ke rumah. Beruntung hari ini kuliah selesai lebih siang karena dosen-dosen ada acara.

Dalam perjalanan menuju ke pintu keluar asrama, Tia mendengar suara tangis pilu dari kamar yang terletak dua pintu dari kamarnya. Dia pun mengintip ke dalam dan mendapati Lola yang sedang ditenangkan oleh kedua teman sekamarnya.

Tia hanya angkat bahu lalu kembali meneruskan langkahnya. Urusan Lola bukan merupakan urusannya karena selama ini hubungan mereka sudah seperti kucing dan anjing yang tidak pernah bisa akur.

Sesampainya di rumah, ternyata Mama tidak jadi menyusul ke rumah sakit karena Papa ingin menyelesaikan urusan pemakaman itu dengan keluarga Tante Zahra.

Tia memperhatikan Mama yang sedang mencuci piring dalam diam. Sedihkah? Legakah? Atau mungkin kemarahan yang saat ini sedang dirasakan oleh Mama. Dia lalu memeluk Mama dari belakang dan menyandarkan kepala di bahu wanita yang sudah mencurahkan segala kasih sayangnya untuk Tia.

Mama membilas tangan yang masih penuh dengan busa lalu mengeringkan menggunakan lap handuk yang selalu tersedia di dekat tempat cuci piring. Beliau lalu menggenggam tangan Tia.

Sebentar kemudian Tia bergabung dengan Mama untuk mencuci piring sambil ngobrol tentang berbagai hal. Mereka sengaja menghindari topik sensitif itu. Selesai mencuci, mereka berdua menuju ke kebun belakang untuk mengatur ulang tanaman dan membersihkan rumput yang mulai tinggi.

Bahkan malam malam itu mereka sengaja tidur berdua di kamar Tia sambil berpelukan seperti masa lalu ketika Tia masih kecil.

Sebelum tidur Mama juga mendongeng, seolah-olah anaknya masih belum beranjak dewasa.

Keesokan paginya mereka masak dan menata meja hanya untuk  dua orang. Kesibukan menata meja terhenti ketika mendengar teriakan Papa memanggil mereka.

“Ma, Tia! Kalian di mana?”

“Di dapur, Pa,” jawab Tia sambil berteriak.

“Sebaiknya Tia menata piring untuk Papa.” Tia meraih piring yang ada di rak plastik.

“Tata untuk dua orang karena kita kedatangan tamu,” pinta Papa yang rupanya sudah sampai di dapur.

Tia meraih piring satu lagi kemudian balik badan. Tanpa disadarinya, piring-piring yang ada di tangannya meluncur ke bawah hingga akhirnya menghantam lantai lalu pecah menjadi beberapa bagian.

Teriakan histeris Mama yang menanyakan kondisinya serta pesan untuk tidak bergerak selama beliau mengambil sapu dan pengki tidak sepenuhnya dapat ditangkap oleh telinga Tia.

Matanya hanya terpaku pada satu sosok cewek yang saat ini sedang dirangkul Papa. Pandangannya lalu beralih pada koper besar yang bersandar dekat kakinya.

“Jangan bilang kalau dia anak Tante Zahra?” Ucapan Tia lebih sinis dari yang diharapkan terdengar, tapi dia sungguh tidak peduli kalau cewek itu tersinggung.

“Apa yang dia lakukan di sini?”

“Mulai sekarang dia akan menjadi bagian keluarga kita. Dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi untuk menjaganya.” Papa membimbing cewek itu untuk lebih dekat ke meja makan.

“Kalian akan tidur berdua di satu kamar.”

Cewek itu bukannya ikut maju malah bersembunyi di belakang Papa sambil memegang belakang kemeja beliau.

“Jangan takut, Tia hanya sedikit terkejut. Dia pasti bisa menerimamu dengan baik setelah beberapa waktu.” Papa meraih ke belakang lalu mulai mendorongnya lembut agar mau maju tapi cewek itu bergeming.

“Pa, Papa ingat kalau aku pernah cerita tentang teman kuliah yang selalu membuatku kesulitan? Dia adalah Tia.” Cewek berambut panjang tergerai itu menunjuk Tia dengan tangan gemetaran.

Hal itu membuat Tia menyingsingkan lengan kaus dan berderap menghampiri. Namun dia dihentikan oleh pelukan Mama dari belakang.

“Berani-beraninya kamu memutar balikkan fakta. Bukannya selama ini kamu yang selalu menyulitkanku?” Kedua tangan Tia mencoba menggapai Lola, tapi tenaganya masih kalah dengan Mama.

Lola menyungingkan senyum licik selama beberapa detik sebelum berakting ketakutan dan merengek minta pulang.

“Tia! Jaga sikapmu!” tegur Papa dengan tegas.

“Mau tidak mau, suka tidak suka. Dia akan menjadi bagian keluarga kita. Perlakukan dia sebagai saudara.”

“Jangan-jangan Papa sengaja memasukkan dia di kampus yang sama dengan Tia?” tuduh Tia tak suka. Urat lehernya menegang karena menahan diri untuk tidak memaki orang yang selama ini sangat dihormatinya.

“Itu semua keputusan Zahra dan juga Lola, Papa bahkan tidak tahu kalau kalian berdua kuliah di tempat yang sama. Kamu tahu sendiri kalau Papa jarang di rumah dan jarang menemui mereka juga.” Ucapan Papa tidak membuat Tia senang.

“Yang benar saja? Papa terus kesana pun Tia nggak bakal tahu kalau tidak ada kejadian ini.” Tia membuang muka.

Papa mendorong Lola lebih keras dan membantunya untuk duduk di kursi kayu yang sandarannya terdapat ukiran bunga. Beliau lalu mengambil dua buah piring untuk mereka.

Tia menyambar sapu yang bersandar di meja dapur lalu mulai membersihkan pecahan piring. Tidak yakin kalau amarahnya akan mereda dengan cepat hingga bisa menganggap musuh bebuyutannya sebagai saudara.

Cibiran Tia muncul ketika selesai makan melihat Lola bersusah payah untuk mencuci piring membantu Mama padahal selama di asrama dia selalu menghindari tugas cuci piring.

Apa yang sebenarnya sedang dimainkan oleh si ratu drama Lola? Lalu Tia teringat sesuatu tentang mimpi buruknya. Apakah ini arti dari dua ular yang mencoba menyakitinya. Ular besar yang hendak mengigitnya pasti gambaran dari Tante Zahra yang sudah membuat hatinya terluka. Sedangkan ular kecil yang membelit dengan erat pasti Lola. Ini masuk akal sekarang karena cewek itu memang seperti ular beracun baginya.

...

Part Selanjutnya

Jangan lupa share cerita ini kalau kamu menyukainya. Biar lebih banyak lagi yang baca.

Indeks cerita bisa di klik di sini.
Diubah oleh IztaLorie 17-05-2020 11:20
jiyanq
69banditos
wilona.eg346
wilona.eg346 dan 3 lainnya memberi reputasi
4
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.