- Beranda
- Stories from the Heart
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
...
TS
yanagi92055
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
Selamat Datang di Thread Gue
(私のスレッドへようこそ)
(私のスレッドへようこそ)
TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI DUA TRIT GUE SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT SELANJUTNYA INI, GUE DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK GUE DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DISINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR
Spoiler for Season 1 dan Season 2:
Last Season, on Muara Sebuah Pencarian - Season 2 :
Quote:
INFORMASI TERKAIT UPDATE TRIT ATAU KEMUNGKINAN KARYA LAINNYA BISA JUGA DI CEK DI IG: @yanagi92055 SEBAGAI ALTERNATIF JIKA NOTIF KASKUS BERMASALAH
Spoiler for INDEX SEASON 3:
Spoiler for LINK BARU PERATURAN & MULUSTRASI SEASON 3:
Quote:
Quote:
Quote:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 83 suara
Perlukah Seri ini dilanjutkan?
Perlu
99%
Tidak Perlu
1%
Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 10:25
al.galauwi dan 142 lainnya memberi reputasi
133
342.8K
4.9K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
yanagi92055
#2064
Momen Penting
Hari H pernikahan adik gue sudah tiba. Seperti biasa, gue selalu dikejar-kejar harus ini itu seolah gue ini nggak ada kegiatan lain selain fokus ke pernikahan. Gue dan Emi dibuat seperti harus mengikuti pola yang udah diterapkan oleh panitia. Harus diingat, sebagian dari rencana pernikahan ini adalah andil gue dan terutama sekali, Emi.
Dari subuh, gue dan Emi sudah diatur ini itu. Padahal malam sebelumnya gue dan Emi datang agak lebih malam dan sudah dalam keadaan nggak 100%, alias butuh istirahat dulu. Emi tidur bareng dengan Mama, sementara gue ada kamar sendiri bercampur dengan beberapa barang yang dibawa oleh keluarga gue.
Malam sebelumnya, gue bertemu dengan keluarga Om Reza. Semuanya lengkap. Bahkan istrinya Om Reza yang sedang sakit saluran pernapasan pun hadir. dia membawa tabung oksigen ukuran sedang kemana-mana. Sebelumnya, gue sudah pernah mengenalkan Emi ke Tante Nadine ini.
Waktu itu gue dan Emi sedang menjenguk Tante Nadine yang masuk rumah sakit karena sakit saluran pernapasannya ini. Tante Nadine dan Om Reza adalah orang-orang yang sangat mendukung gue untuk mengambil S2. Pun ternyata setelah diperkenalkan, Emi mendapatkan impresi yang sangat baik dari Om Reza dan Tante Nadine di rumah sakit. Apalagi ternyata Tante Nadine adalah pecinta kucing, sama dengan Emi.
Tante Nadine dan Om Reza pada perkenalan pertamanya dengan Emi, entah bagaimana, mereka langsung melihat chemistry yang kuat antara gue dengan Emi. apalagi setelah mendengar background pendidikan Emi, mereka nggak ragu lagi untuk menyuruh Emi sekolah lagi, S2 juga. mereka berdua adalah orang-orang yang sangat concern dengan pendidikan. Keduanya merupakan lulusan kedokteran disalah satu perguruan tinggi negeri di Surabaya dulunya.
Om Reza dan Tante Nadine ini pulalah yang mendekatkan hubungan Papa dan Mama dulu. Kalau nggak ada mereka, mungkin Papa memutuskan untuk nggak akan pernah menikah, karena kegagalan demi kegagalan dalam hubungan sebelumnya. Makanya, ketika gue dan Emir sudah lahir kedunia ini, Om Reza bersama dengan Papa membangun perusahaan bersama.
Tante Nadine sendiri adalah salah satu petinggi perusahaan BUMN terkenal di negeri ini. Ayahnya, atau kakek dari Emir dan Emran, adalah salah satu direktur utama Bank plat merah di Indonesia. Tapi, Tante Nadine nggak pernah sama sekali membanggakan atau sedikitpun memperlihatkan itu semua. Beliau adalah orang yang sangat sederhana.
Buktinya, ketika dulu menurut cerita Mama, Tante Nadine saat jaman kuliah adalah seorang anak pejabat. Tapi dia nggak sama sekali memperlihatkan itu semua. Bahkan mau bergaul dengan Mama yang notabene adalah anak seorang guru dari kampung, dan bahkan kotanya sendiri nggak terkenal diseantero pulau jawa. Mereka berempat sangat akrab, kemana-mana bareng, sering double date. Sampai pada akhirnya Om Reza dan Tante Nadine menikah terlebih dulu, kemudian disusul oleh Papa dan Mama setahun kemudian.
Itulah sebabnya juga, Tante Nadine bela-belain datang malam sebelumnya demi bisa ikut dalam prosesi nikahan adik gue dari awal sampai akhir. Padahal saat itu kondisinya nggak 100% sehat. Beliau harus duduk dikursi roda karena banyak berbicara dan banyak bergerak akan langsung kesulitan bernapas.
Lucunya, usia Om Reza dan Tante Nadine ini persis sama dengan usia Papa dan Mama nya Emi. Om Reza dan Papa Emi lahir ditahun yang sama. Tante Nadine dan Mama Emi juga lahir ditahun yang sama, bahkan hari lahir mereka hanya berbeda dua hari saja. Om Reza dan Tante Nadine terpaut tiga tahun, begitu juga Papa dan Mama Emi.
Saudara-saudara gue yang lain sempat bingung kenapa Emi sudah begitu akrab dengan Tante Nadine. Waktu itu gue dan Emi agak terlambat datangnya, alias sudah agak malam. Kemudian gue menceritakan sekilas perkenalan Emi dan keluarga Om Reza. Tapi Emir dan Emran baru kenal dengan Emi ketika lamaran adik gue kemarin ini. Dan Emi serta Emran yang bisa langsung dekat membuat gue cukup ketar ketir.
--
Suasana haru meliputi seluruh keluarga gue, termasuk gue sendiri. Setelah sukses melewati akad nikah, adik gue resmi menjadi istri dari Adit, adik ipar gue yang satu tahun dibawah gue, seumuran dengan Drian, yang memiliki hobi sepakbola, musik metal dan juga anak band, sama dengan gue. Hanya saja, Adit ini orangnya lebih kalem dan nggak banyak bicara. Adiknya Adit sendiri ada yang kuliah di kampus yang sama dengan gue dan ternyata setelah ditelusuri, dia merupakan teman dari Dee, karena satu angkatan.
Gue banyak terpisah dari Emi setelah akad berlangsung. Gue lebih banyak sibuk dengan pakaian yang harus ganti, sarapan, disuruh ini itu dan sebagainya. Sementara Emi yang udah didandanin duluan lebih banyak ada dibagian belakang gedung.
“Kamu masih berasa capek ya?” tanya gue ketika break sebelum resepsi dimulai.
“Nggak kok biasa aja.” jawabnya singkat.
“Nggak mungkin. Raut muka kamu itu nggak bilang kalau kamu biasa aja. kenapa sih?”
“Nggak apa-apa Zy. Udah kamu sana gih, kan keluarga kamu punya hajat. Dan ini berlangsung hanya sekali loh seumur hidup. Jangan kehilangan momen cuma gara-gara kamu nemenin aku terus.”
“Dih, bukan gitu. Aku tuh tau kalau suasana hati kamu lagi nggak bener. dan muka kamu itu nggak bisa bohong. Ekspresi macem begini itu udah aku hafal sebagai pertanda kalau kamu lagi ada yang dipikirin, dan itu nggak ngenakin pasti.”
“Udahlah Zy. Kamu nggak usah mikirin aku. Pikirin dulu ini acara keluarga kamu biar berjalan lancar. Aku nggak apa-apa Zy.”
“Yaudahlah terserah kamu aja Mi….”
Gue meninggalkan Emi dengan perasaan bingung sekaligus kesal. Kenapa lagi ini si Emi? gue melakukan kesalahan apa lagi? Atau jangan-jangan ada keluarga gue yang nggak sengaja nyakitin hati Emi? atau mungkin malah gue? ah, gue bingung banget.
Acara resepsi akhirnya tiba. Prosesi demi prosesi akhirnya dilewati. Dari mulai awalnya yang jalan pelan-pelan dari luar, sampai akhirnya pengantin duduk di pelaminan dan disambut tari-tarian. Di sisi kanan kiri gedung seluas kurang lebih 1.200 meter persegi itu sudah ada beberapa gubukan yang gue yakin menjadi incaran utama tamu-tamu yang datang. Ditengah-tengah hallnya, ada karpet merah dari pintu masuk utama dan terbagi sebelum menuju ke pelaminan. Diantara karpet ini terdapat meja-meja untuk makanan prasmanan.
Waktu yang diberikan adalah standar sewa gedung, yaitu dua jam. Kalau ada lebih, nanti kena charge. Begitu pula dengan katering penyedia makanan yang ternyata sepaket dengan WO (Wedding Organizer) serta penyedia dekorasi. Untungnya, sebagai home band, ada sepupu gue yang rumahnya nggak jauh dari komplek rumah Emi, menawarkan dirinya untuk mengisi slot tersebut gratis. Sepupu gue ini adalah pianis profesional dan memang salah satu pekerjaannya adalah mengisi acara wedding. Kalau sedang berkumpul bersama keluarga besar dari Papa, dia suka main piano, sementara gue selalu disuruh nyanyi, tapi gue nggak pernah mau.
“Ini abis duit berapa ya, Mi?” tanya gue sesaat sebelum resepsi dimulai.
“Tau deh, kayaknya 100 jutaan aja mah ada.” Jawab Emi.
“Gila yak, ntar gue penasaran, berapa banyak orang yang dikenal sama Dania dan Adit. Hahaha.”
“Maksudnya gimana tuh Zy?”
“Iya, lo tau kan, kalau resepsi pernikahan itu mah sebenernya buat naikin gengsi orang tua tau Mi. lo ngeh nggak sih? Hahaha.”
“Hmmm. Kalau dipikir-pikir mungkin juga sih. Tapi kan ini biasanya tradisi Zy. Jadi nggak bisa lo bilang kalau adanya resepsi ini malah jadi ajang buat jaga gengsi ortu kita.”
“Tapi, pada faktanya kayak gitu kan Mi. Menurut gue, buat apaan kalau misalnya lo ngadain acara kayak gini, lo dipajang sampai capek disana sepanjang acara, nyengir terus, salaman terus, tapi kebanyakan yang lo salamin dipelaminan itu orang yang nggak lo kenal? Hahaha. Itu juga kalau tamunya naik salaman ke pelaminan, kadang malah nggak salaman, malah langsung berebutan kambing guling di gubukan. Bener apa bener? hehehe.”
“Bener sih logika lo. tapi ya itu tadi, nggak bisa kita justifikasi kalau misalnya semua ini demi gengsi. Kalau gue lebih melihat sisi positifnya, ini sebagai ajang kumpul keluarga, kolega, dan teman-teman terdekat.”
“Kumpul keluarga, kolega, teman-teman terdekat siapa dulu? Kedua mempelai, apa orang tua kedua mempelai nih yang dimaksud? Hahaha.”
“Yaaa, biasanya sih emang banyakan relasi dari kedua orang tua mempelai Zy.”
“Naaah itu maksud gue Mi. hahaha. Ngapain kita ngasih makan orang yang nggak kita kenal diresepsi kayak gini. Belum karuan juga ini duit bukan hasil ngutang kan. Kalau ini ternyata utang gimana? Seneng sesaat, sengsara bertahun-tahun demi gengsi buat ngelunasin utang resepsi yang dipake buat ngasih makan orang yang nggak akrab bahkan nggak kenal sama kedua mempelai.”
“Kejauhan lo mikirnya Zy.”
“Lah, itu fakta yang nggak masuk logika gue, tapi selalu aja diada-adain. Kalau kondisi keluarga gue masih kayak dulu dan nggak digempur sama kebrengsekan orang-orang yang dulu dipercaya Papa sampai akhirnya Mama gue yang harus nanggung semua kepahitan yang ada, itu nggak masalah. Lah ini sekarang kondisi keluarga gue udah serba terbatas. Nggak punya apa-apa lagi. Mana keluarga gue ini sebagai pihak mempelai perempuan kan, yang tentunya kalau ‘ngikut tradisi’, jadi tuan rumah yang biasanya ngeluarin duit lebih banyak. Kalaupun kondisi keluarga gue masih kayak dulu, gue juga nggak logis mengeluarkan banyak uang untuk hal yang sebenarnya kurang perlu.”
“Buset Zy. Udahlah nggak usah dipikirin, yang penting sekarang ini kan acara ini bisa terselenggara dengan baik. Ngapain mikirin kayak gitu lagi?”
“Eh Mi. emangnya lo mau, nanti ketika kita merencanakan pernikahan kita, terus kita harus dipusingin sama masalah kayak ginian? Kayak kebanyakan duit aja lagian lo. hahaha. Inget, pernikahan itu intinya adalah yang tadi, akad. Selebihnya ini kan hanya seremoni, nggak wajib.”
“Emang lo mau nikah sama gue?”
“Who knows the future Mi. Tapi gue selalu yakin kok, kalau jodoh gue itu lo.”
“…”
“Kenapa lo diem aja? nggak seneng lo berjodoh dengan gue?”
“Nggak kok.”
“Nah terus?”
“Udah nggak usah dibahas dulu Zy. Konsentrasi aja ke resepsi Dania. Itu bisa kita omongin lagi nanti.”
“Laaah. Yaudah lah…..”
--
Mama ada dipelaminan bersama dengan adik lelakinya. Om Dani. Sementara dari pihak keluarga Adit, ayahnya ditemani oleh adik perempuan ayahnya. Ibunya Adit sudah lama meninggal. Gue melihat dari bawah pelaminan dan muncul keinginan kalau gue suatu saat, entah dalam waktu dekat atau masih lama, gue juga mau seperti ini. Tentunya dengan logika dan pemikiran gue, bukan seperti umumnya pernikahan yang terjadi di Indonesia.
Tamu-tamu entah undangan atau bukan, sudah mulai berdatangan. Lingkaran pertemanan Dania jauh lebih luas dari gue karena Dania adalah orang yang sangat supel, berbeda dengan gue. Dia bisa dengan cepat akrab oleh orang-orang yang baru dia kenal. Kemampuan adaptasi Dania dilingkungan baru sangatlah cepat, beda dengan gue yang butuh waktu cukup lama.
Itu pula yang membuat banyak orang sekiranya seumur dengan Dania, banyak yang nggak gue kenal. Dania itu sejak SD sampai SMA selalu berada disekolah yang sama dengan gue. hanya berbeda ketika kami kuliah. Dia sempat diluar negeri, kemudian kuliah lagi di Indonesia, sementara gue tetap di Indonesia. Tetapi, lingkaran pertemanan dia dari SD sampai SMA yang nggak banyak perubahan membuat gue banyak kenal dengan teman-teman adik gue.
Diantara tamu yang datang, ada seseorang yang sangat gue kenal dekat belakangan ini. Seorang cewek tinggi semampai dan berkulit putih, serta berkacamata. Sementara disampingnya juga ada seorang cewek yang begitu akrab dimata gue. Teman sekelas gue waktu SMP, sekaligus mantan pacar Drian. Mila dan Desi. Dua orang adik kakak yang ternyata datang ke resepsi. Gue hanya memperhatikan mereka dari jauh, biarkan aja mereka yang ngeh ada gue nanti.
Serunya, Arko yang saat itu tengah jauh dari gue, datang juga. Drian pun datang. Seperti yang sudah gue bilang, Arko dan Drian adalah sahabat dekat gue. jadinya kami juga saling mengenal sampai ke keluarga masing-masing. Gue melihat Drian terlihat kikuk ketika bertemu dan menyapa Desi, pacar pertamanya itu.
Sepertinya Desi saat itu juga masih sendiri. Drian pun masih sendiri. Dan gue melihat ini dua orang perfect banget kalau balikan. Satunya cantik, satunya ganteng, sama-sama orang kaya pula. Kalau karir, gue nggak terlalu mengetahui karir Desi seperti apa. tapi kalau Drian, wah moncer karirnya.
Gue lebih banyak bertegur sapa dengan junior-junior gue di Paskib yang juga teman-teman Dania. Sedangkan gue menghindari Arko, Arko pun begitu. disinilah kebingungan Drian terjadi. Tapi dia sudah mengerti permasalahan yang terjadi.
“Ijaaaa. Kok lo ada disini?” kata Desi ketika pandangannya terfokus ke gue.
“Haha. Iyalah, Dania kan adik gue, Des.” Kata gue tersenyum ke arah Desi.
Kemudian gue bersalaman dengannya, dan, cipika cipiki. Didepan Drian dan Mila. Gue sih biasa aja, tapi gue melihat dengan jelas perubahan ekspresi Mila dan Drian diwaktu yang hampir bersamaan. Biarin aja, toh gue kan emang udah lama nggak ketemu sama Desi. Dan Desi dulu pernah bilang juga suka sama gue.
“Apa kabar Ja? eh iya kenalin, ini Mila adik gue. dia temannya adik lo tau.” Kata Desi sambil mengenalkan orang yang selalu dekat dengan gue selama kuliah S2 ini.
“Hahaha, Mil, lo nggak pernah cerita ke Desi emang?” tanya gue.
“Hah, kalian udah saling kenal emang?” tanya balik Desi kebingungan.
“Iyee Des, gue sama Mila adik lo tersayang ini sekelas di pasca. Hahaha.” Gue menjelaskan.
“Hahaha, iya Ja. gue nggak pernah bilang sih. Maklum, dia kan kerjaannya travelling mulu. Makanya nggak punya-punya pacar dia.” ledek Mila.
“Heh, emang lo punya pacar gitu, Mil?” kata Desi nggak terima.
“Haha, udah. Mending lo balikan aja sama si Drian nih. Daritadi diem aja kayak kambing congek.” Ujar gue sambil menepuk bahu kiri Drian.
“Dih, bangs*t amat lo Ja. hahaha.” Kata Drian canggung.
“Kenapa lo Dri? Masih awkward ketemu mantan pacar pertama? Hahaha.” Ledek gue.
“Heh, udah deh Ja…..” sergah Desi.
Lalu kami tertawa-tawa. Desi dan Drian terlihat sangat canggung, sementara gue dan Mila tetap biasa-biasa aja. Mila juga bercerita kalau dikampus, gosip hubungan gue dengan Mila semakin kencang berhembus. Padahal gue dan Mila itu dekat karena urusan tugas, bukan ada perasaan tertentu. Eh, tapi itu kan pemikiran gue, nggak tau kalau Milanya sendiri.
Waktu tinggal satu jam lagi, dan sudah banyak tamu yang mulai pulang, tapi masih banyak juga yang tetap berada digedung. Kebanyakan teman-teman adik gue, sekalian menunggu foto. Saudara-saudara gue juga masih stay semua. Om tante kakak-kakaknya Papa duduk di bagian VIP disamping kiri panggung pelaminan. Sementara Om Reza berkeliling terus, istrinya duduk di VIP. Ketika gue mengamati pergerakan Om Reza, gue melihat seorang yang sangat keluarga gue kenal.
Kiara Fitria.
Seorang yang sudah sangat lama tidak gue hubungi, nggak tau juga kabarnya. Semenjak dia menikah, gue sangat jarang menghubungi dia lagi. Tapi gue agak bingung kenapa dia datang sendirian. Apa mungkin suaminya sedang dinas keluar kota seperti biasanya?
Gue mengamati gerak geriknya dari mulai datang, ke pelaminan, girang ketemu sama Dania, foto bareng mantennya, sampai akhirnya turun lagi dan salim ke Mama , Om Dani serta Om Reza. Dia menyapa teman-teman dari Paskib karena juga salah satu senior adik gue. Gerak gerik dia, postur, serta gaya berpakaiannya sangat mirip dengan Emi. Hanya saja Ara berkulit kuning langsat, sementara Emi lebih gelap sedikit.
Emi kemana? Dia sama sekali nggak mendampingi gue sepanjang resepsi ini. Dan gue rasa, gue harus mengenalkan Emi dengan Ara. Ini mungkin momen langka yang belum tentu bisa terjadi lagi dimasa depan. Gue memutuskan kebelakang dan mencari Emi. dan Emi masih dibelakang, dekat dengan AC. Lagi ngadem dia.
“Ikut aku. Kamu harus kenal sama seseorang.” Kata gue dan langsung menarik lengan kiri Emi.
“Eh apaan sih Zy. Ngagetin gue aja buset.” Teriak Emi.
“Udeeeh, buruan sini yuk.”
“Aduh mau dikenalin siapa sih? Pacar baru lo?”
“Yeh, si t*i malah ngeledek.”
“Siapa sih? Aduh pelan-pelan dong, kang es doger…ah elah.” Kata Emi sedikit menahan tarikan gue.
Dan, akhirnya momen langka itu pun terjadi. Emi berkenalan dengan Ara untuk pertama kalinya. Gue mengode Drian untuk merapat, nggak lupa juga gue mengajak Arko mendekat.
“Waaah, akhirnya aku kenal sama kamu ya, Ra.” Kata Emi sumringah, kemudian memeluk Ara, dan setelahnya cipika cipiki.
“Hahaha, bocil ketemu bocil ya ini.” Kata Arko tiba-tiba nyeletuk.
Secara otomatis, Emi dan Ara yang tingginya sama persis ini menengok kearah Arko dengan tatapan ingin membunuh. Gue melihat gestur mereka berbarengan ini seperti melihat anak kembar. Bedanya yang satu senang dirumah aja, yang satunya sering keluyuran disiang hari.
Uniknya, Emi memakai gaya berjilbab yang sama dengan Ara. Dan entah kenapa, Ara sekarang juga berkacamata, yang modelnya mirip dengan kacamata yang dipakai Emi. selebihnya, kesamaan mereka ya ada di urusan band gue.
Gue, Arko dan Drian membiarkan Emi dan Ara bercakap-cakap cukup lama. Sementara gue lebih banyak ngobrol dengan Drian, dan sesekali dengan Arko. setelah sekitar 15 menitan, Emi memohon izin kebelakang mau buang air kecil, Arko dan Drian kembali mencari makanan, dan gue yang penasaran, akhirnya bertanya ke Ara.
“Suami kamu kemana?”
“…..”
“Ra, jangan bilang….”
Dia hanya menggeleng.
“Dia meninggal. Kena serangan jantung.”
Gue sangat kaget mendengar hal ini. Gue tahu Ara selama pernikahannya belum dikaruniai anak. Sekarang malah ada lagi kabar seperti ini. Sungguh berat kehidupan Ara dari dulu. Kalau tidak salah hitung, pernikahan Ara dengan suaminya yang tinggi besar itu baru berjalan sekitar dua tahunan.
“Kok nggak ngabarin aku?”
“Aku bingung. Aku nggak mau ganggu kehidupan kamu lagi.”
“Kamu ngabarin Mama atau Dania nggak?”
Dia hanya menggeleng. Raut wajahnya nggak bisa menyembunyikan kesedihan yang sangat mendalam sekaligus kebingungan yang besar. Ingin rasanya gue memeluk dia untuk menenangkan, tapi ya jelas nggak bisa. Selain ramai, saat ini kan gue sudah bersama dengan Emi.
Ara akhirnya bercerita singkat kalau tepat satu bulan lalu suaminya meninggal mendadak dikantornya.
Ara shock berat dan nggak tau harus berbuat apa. Bukan tentang materi, tapi lebih kepada ujian berat yang harus dia hadapi lagi setelah selama ini hidupnya memang sudah berat. Dari mulai keluarganya yang kekurangan, ayahnya yang sudah lama pergi, ketidakmampuan dia untuk kuliah sebelum akhirnya dibantu oleh keluarga gue dan berbagai macam ujian hidup yang berat lainnya.
Setelah menikah pun, ujiannya belum selesai karena terus diuji kesabarannya menanti anak. Belum selesai sampai disitu, sekarang malah suaminya harus pergi juga meninggalkan dirinya. Terlalu cepat buat Ara, bahkan gue aja yang nggak ada diposisi Ara bisa merasakan gimana pedihnya momen ini.
Ara bilang kalau dia sekarang ini menetap di salah satu kota di Sulawesi. Dia khusus datang ke ibukota untuk menghadiri acara pernikahan adik gue. terakhir memang gue dengar kabar kalau Ara bersama suaminya tinggal di pulau Sulawesi.
Nggak lama, Ara berpamitan dengan gue, Mama dan Dania. Nggak lupa salim ke beberapa om tante gue juga. Gue sebenarnya masih ingin ngobrol dengan dia, tapi apa daya waktu yang memisahkan. Keluarga gue begantian foto-foto. Sampai akhirnya seluruh keluarga besar gue dari Papa berfoto bersama. Hal yang tentunya menghabiskan waktu yang sangat banyak, dan sebenarnya nggak perlu juga perkeluarga masing-masing foto begitu. Cukup satu kali foto keluarga besar aja harusnya.
Rangkaian itu berakhir dengan kepuasan yang besar. Setelahnya gue nggak banyak berinteraksi dengan keluarga besar gue karena gue mencari Emi yang ternyata sudah ada dipenginapan. Gue merasa bersalah telah banyak mengabaikan dia hari ini. Gue siap kalau harus dijudesin beberapa hari kedepan oleh Emi.
Dari subuh, gue dan Emi sudah diatur ini itu. Padahal malam sebelumnya gue dan Emi datang agak lebih malam dan sudah dalam keadaan nggak 100%, alias butuh istirahat dulu. Emi tidur bareng dengan Mama, sementara gue ada kamar sendiri bercampur dengan beberapa barang yang dibawa oleh keluarga gue.
Malam sebelumnya, gue bertemu dengan keluarga Om Reza. Semuanya lengkap. Bahkan istrinya Om Reza yang sedang sakit saluran pernapasan pun hadir. dia membawa tabung oksigen ukuran sedang kemana-mana. Sebelumnya, gue sudah pernah mengenalkan Emi ke Tante Nadine ini.
Waktu itu gue dan Emi sedang menjenguk Tante Nadine yang masuk rumah sakit karena sakit saluran pernapasannya ini. Tante Nadine dan Om Reza adalah orang-orang yang sangat mendukung gue untuk mengambil S2. Pun ternyata setelah diperkenalkan, Emi mendapatkan impresi yang sangat baik dari Om Reza dan Tante Nadine di rumah sakit. Apalagi ternyata Tante Nadine adalah pecinta kucing, sama dengan Emi.
Tante Nadine dan Om Reza pada perkenalan pertamanya dengan Emi, entah bagaimana, mereka langsung melihat chemistry yang kuat antara gue dengan Emi. apalagi setelah mendengar background pendidikan Emi, mereka nggak ragu lagi untuk menyuruh Emi sekolah lagi, S2 juga. mereka berdua adalah orang-orang yang sangat concern dengan pendidikan. Keduanya merupakan lulusan kedokteran disalah satu perguruan tinggi negeri di Surabaya dulunya.
Om Reza dan Tante Nadine ini pulalah yang mendekatkan hubungan Papa dan Mama dulu. Kalau nggak ada mereka, mungkin Papa memutuskan untuk nggak akan pernah menikah, karena kegagalan demi kegagalan dalam hubungan sebelumnya. Makanya, ketika gue dan Emir sudah lahir kedunia ini, Om Reza bersama dengan Papa membangun perusahaan bersama.
Tante Nadine sendiri adalah salah satu petinggi perusahaan BUMN terkenal di negeri ini. Ayahnya, atau kakek dari Emir dan Emran, adalah salah satu direktur utama Bank plat merah di Indonesia. Tapi, Tante Nadine nggak pernah sama sekali membanggakan atau sedikitpun memperlihatkan itu semua. Beliau adalah orang yang sangat sederhana.
Buktinya, ketika dulu menurut cerita Mama, Tante Nadine saat jaman kuliah adalah seorang anak pejabat. Tapi dia nggak sama sekali memperlihatkan itu semua. Bahkan mau bergaul dengan Mama yang notabene adalah anak seorang guru dari kampung, dan bahkan kotanya sendiri nggak terkenal diseantero pulau jawa. Mereka berempat sangat akrab, kemana-mana bareng, sering double date. Sampai pada akhirnya Om Reza dan Tante Nadine menikah terlebih dulu, kemudian disusul oleh Papa dan Mama setahun kemudian.
Itulah sebabnya juga, Tante Nadine bela-belain datang malam sebelumnya demi bisa ikut dalam prosesi nikahan adik gue dari awal sampai akhir. Padahal saat itu kondisinya nggak 100% sehat. Beliau harus duduk dikursi roda karena banyak berbicara dan banyak bergerak akan langsung kesulitan bernapas.
Lucunya, usia Om Reza dan Tante Nadine ini persis sama dengan usia Papa dan Mama nya Emi. Om Reza dan Papa Emi lahir ditahun yang sama. Tante Nadine dan Mama Emi juga lahir ditahun yang sama, bahkan hari lahir mereka hanya berbeda dua hari saja. Om Reza dan Tante Nadine terpaut tiga tahun, begitu juga Papa dan Mama Emi.
Saudara-saudara gue yang lain sempat bingung kenapa Emi sudah begitu akrab dengan Tante Nadine. Waktu itu gue dan Emi agak terlambat datangnya, alias sudah agak malam. Kemudian gue menceritakan sekilas perkenalan Emi dan keluarga Om Reza. Tapi Emir dan Emran baru kenal dengan Emi ketika lamaran adik gue kemarin ini. Dan Emi serta Emran yang bisa langsung dekat membuat gue cukup ketar ketir.
--
Suasana haru meliputi seluruh keluarga gue, termasuk gue sendiri. Setelah sukses melewati akad nikah, adik gue resmi menjadi istri dari Adit, adik ipar gue yang satu tahun dibawah gue, seumuran dengan Drian, yang memiliki hobi sepakbola, musik metal dan juga anak band, sama dengan gue. Hanya saja, Adit ini orangnya lebih kalem dan nggak banyak bicara. Adiknya Adit sendiri ada yang kuliah di kampus yang sama dengan gue dan ternyata setelah ditelusuri, dia merupakan teman dari Dee, karena satu angkatan.
Gue banyak terpisah dari Emi setelah akad berlangsung. Gue lebih banyak sibuk dengan pakaian yang harus ganti, sarapan, disuruh ini itu dan sebagainya. Sementara Emi yang udah didandanin duluan lebih banyak ada dibagian belakang gedung.
“Kamu masih berasa capek ya?” tanya gue ketika break sebelum resepsi dimulai.
“Nggak kok biasa aja.” jawabnya singkat.
“Nggak mungkin. Raut muka kamu itu nggak bilang kalau kamu biasa aja. kenapa sih?”
“Nggak apa-apa Zy. Udah kamu sana gih, kan keluarga kamu punya hajat. Dan ini berlangsung hanya sekali loh seumur hidup. Jangan kehilangan momen cuma gara-gara kamu nemenin aku terus.”
“Dih, bukan gitu. Aku tuh tau kalau suasana hati kamu lagi nggak bener. dan muka kamu itu nggak bisa bohong. Ekspresi macem begini itu udah aku hafal sebagai pertanda kalau kamu lagi ada yang dipikirin, dan itu nggak ngenakin pasti.”
“Udahlah Zy. Kamu nggak usah mikirin aku. Pikirin dulu ini acara keluarga kamu biar berjalan lancar. Aku nggak apa-apa Zy.”
“Yaudahlah terserah kamu aja Mi….”
Gue meninggalkan Emi dengan perasaan bingung sekaligus kesal. Kenapa lagi ini si Emi? gue melakukan kesalahan apa lagi? Atau jangan-jangan ada keluarga gue yang nggak sengaja nyakitin hati Emi? atau mungkin malah gue? ah, gue bingung banget.
Acara resepsi akhirnya tiba. Prosesi demi prosesi akhirnya dilewati. Dari mulai awalnya yang jalan pelan-pelan dari luar, sampai akhirnya pengantin duduk di pelaminan dan disambut tari-tarian. Di sisi kanan kiri gedung seluas kurang lebih 1.200 meter persegi itu sudah ada beberapa gubukan yang gue yakin menjadi incaran utama tamu-tamu yang datang. Ditengah-tengah hallnya, ada karpet merah dari pintu masuk utama dan terbagi sebelum menuju ke pelaminan. Diantara karpet ini terdapat meja-meja untuk makanan prasmanan.
Waktu yang diberikan adalah standar sewa gedung, yaitu dua jam. Kalau ada lebih, nanti kena charge. Begitu pula dengan katering penyedia makanan yang ternyata sepaket dengan WO (Wedding Organizer) serta penyedia dekorasi. Untungnya, sebagai home band, ada sepupu gue yang rumahnya nggak jauh dari komplek rumah Emi, menawarkan dirinya untuk mengisi slot tersebut gratis. Sepupu gue ini adalah pianis profesional dan memang salah satu pekerjaannya adalah mengisi acara wedding. Kalau sedang berkumpul bersama keluarga besar dari Papa, dia suka main piano, sementara gue selalu disuruh nyanyi, tapi gue nggak pernah mau.
“Ini abis duit berapa ya, Mi?” tanya gue sesaat sebelum resepsi dimulai.
“Tau deh, kayaknya 100 jutaan aja mah ada.” Jawab Emi.
“Gila yak, ntar gue penasaran, berapa banyak orang yang dikenal sama Dania dan Adit. Hahaha.”
“Maksudnya gimana tuh Zy?”
“Iya, lo tau kan, kalau resepsi pernikahan itu mah sebenernya buat naikin gengsi orang tua tau Mi. lo ngeh nggak sih? Hahaha.”
“Hmmm. Kalau dipikir-pikir mungkin juga sih. Tapi kan ini biasanya tradisi Zy. Jadi nggak bisa lo bilang kalau adanya resepsi ini malah jadi ajang buat jaga gengsi ortu kita.”
“Tapi, pada faktanya kayak gitu kan Mi. Menurut gue, buat apaan kalau misalnya lo ngadain acara kayak gini, lo dipajang sampai capek disana sepanjang acara, nyengir terus, salaman terus, tapi kebanyakan yang lo salamin dipelaminan itu orang yang nggak lo kenal? Hahaha. Itu juga kalau tamunya naik salaman ke pelaminan, kadang malah nggak salaman, malah langsung berebutan kambing guling di gubukan. Bener apa bener? hehehe.”
“Bener sih logika lo. tapi ya itu tadi, nggak bisa kita justifikasi kalau misalnya semua ini demi gengsi. Kalau gue lebih melihat sisi positifnya, ini sebagai ajang kumpul keluarga, kolega, dan teman-teman terdekat.”
“Kumpul keluarga, kolega, teman-teman terdekat siapa dulu? Kedua mempelai, apa orang tua kedua mempelai nih yang dimaksud? Hahaha.”
“Yaaa, biasanya sih emang banyakan relasi dari kedua orang tua mempelai Zy.”
“Naaah itu maksud gue Mi. hahaha. Ngapain kita ngasih makan orang yang nggak kita kenal diresepsi kayak gini. Belum karuan juga ini duit bukan hasil ngutang kan. Kalau ini ternyata utang gimana? Seneng sesaat, sengsara bertahun-tahun demi gengsi buat ngelunasin utang resepsi yang dipake buat ngasih makan orang yang nggak akrab bahkan nggak kenal sama kedua mempelai.”
“Kejauhan lo mikirnya Zy.”
“Lah, itu fakta yang nggak masuk logika gue, tapi selalu aja diada-adain. Kalau kondisi keluarga gue masih kayak dulu dan nggak digempur sama kebrengsekan orang-orang yang dulu dipercaya Papa sampai akhirnya Mama gue yang harus nanggung semua kepahitan yang ada, itu nggak masalah. Lah ini sekarang kondisi keluarga gue udah serba terbatas. Nggak punya apa-apa lagi. Mana keluarga gue ini sebagai pihak mempelai perempuan kan, yang tentunya kalau ‘ngikut tradisi’, jadi tuan rumah yang biasanya ngeluarin duit lebih banyak. Kalaupun kondisi keluarga gue masih kayak dulu, gue juga nggak logis mengeluarkan banyak uang untuk hal yang sebenarnya kurang perlu.”
“Buset Zy. Udahlah nggak usah dipikirin, yang penting sekarang ini kan acara ini bisa terselenggara dengan baik. Ngapain mikirin kayak gitu lagi?”
“Eh Mi. emangnya lo mau, nanti ketika kita merencanakan pernikahan kita, terus kita harus dipusingin sama masalah kayak ginian? Kayak kebanyakan duit aja lagian lo. hahaha. Inget, pernikahan itu intinya adalah yang tadi, akad. Selebihnya ini kan hanya seremoni, nggak wajib.”
“Emang lo mau nikah sama gue?”
“Who knows the future Mi. Tapi gue selalu yakin kok, kalau jodoh gue itu lo.”
“…”
“Kenapa lo diem aja? nggak seneng lo berjodoh dengan gue?”
“Nggak kok.”
“Nah terus?”
“Udah nggak usah dibahas dulu Zy. Konsentrasi aja ke resepsi Dania. Itu bisa kita omongin lagi nanti.”
“Laaah. Yaudah lah…..”
--
Mama ada dipelaminan bersama dengan adik lelakinya. Om Dani. Sementara dari pihak keluarga Adit, ayahnya ditemani oleh adik perempuan ayahnya. Ibunya Adit sudah lama meninggal. Gue melihat dari bawah pelaminan dan muncul keinginan kalau gue suatu saat, entah dalam waktu dekat atau masih lama, gue juga mau seperti ini. Tentunya dengan logika dan pemikiran gue, bukan seperti umumnya pernikahan yang terjadi di Indonesia.
Tamu-tamu entah undangan atau bukan, sudah mulai berdatangan. Lingkaran pertemanan Dania jauh lebih luas dari gue karena Dania adalah orang yang sangat supel, berbeda dengan gue. Dia bisa dengan cepat akrab oleh orang-orang yang baru dia kenal. Kemampuan adaptasi Dania dilingkungan baru sangatlah cepat, beda dengan gue yang butuh waktu cukup lama.
Itu pula yang membuat banyak orang sekiranya seumur dengan Dania, banyak yang nggak gue kenal. Dania itu sejak SD sampai SMA selalu berada disekolah yang sama dengan gue. hanya berbeda ketika kami kuliah. Dia sempat diluar negeri, kemudian kuliah lagi di Indonesia, sementara gue tetap di Indonesia. Tetapi, lingkaran pertemanan dia dari SD sampai SMA yang nggak banyak perubahan membuat gue banyak kenal dengan teman-teman adik gue.
Diantara tamu yang datang, ada seseorang yang sangat gue kenal dekat belakangan ini. Seorang cewek tinggi semampai dan berkulit putih, serta berkacamata. Sementara disampingnya juga ada seorang cewek yang begitu akrab dimata gue. Teman sekelas gue waktu SMP, sekaligus mantan pacar Drian. Mila dan Desi. Dua orang adik kakak yang ternyata datang ke resepsi. Gue hanya memperhatikan mereka dari jauh, biarkan aja mereka yang ngeh ada gue nanti.
Serunya, Arko yang saat itu tengah jauh dari gue, datang juga. Drian pun datang. Seperti yang sudah gue bilang, Arko dan Drian adalah sahabat dekat gue. jadinya kami juga saling mengenal sampai ke keluarga masing-masing. Gue melihat Drian terlihat kikuk ketika bertemu dan menyapa Desi, pacar pertamanya itu.
Sepertinya Desi saat itu juga masih sendiri. Drian pun masih sendiri. Dan gue melihat ini dua orang perfect banget kalau balikan. Satunya cantik, satunya ganteng, sama-sama orang kaya pula. Kalau karir, gue nggak terlalu mengetahui karir Desi seperti apa. tapi kalau Drian, wah moncer karirnya.
Gue lebih banyak bertegur sapa dengan junior-junior gue di Paskib yang juga teman-teman Dania. Sedangkan gue menghindari Arko, Arko pun begitu. disinilah kebingungan Drian terjadi. Tapi dia sudah mengerti permasalahan yang terjadi.
“Ijaaaa. Kok lo ada disini?” kata Desi ketika pandangannya terfokus ke gue.
“Haha. Iyalah, Dania kan adik gue, Des.” Kata gue tersenyum ke arah Desi.
Kemudian gue bersalaman dengannya, dan, cipika cipiki. Didepan Drian dan Mila. Gue sih biasa aja, tapi gue melihat dengan jelas perubahan ekspresi Mila dan Drian diwaktu yang hampir bersamaan. Biarin aja, toh gue kan emang udah lama nggak ketemu sama Desi. Dan Desi dulu pernah bilang juga suka sama gue.
“Apa kabar Ja? eh iya kenalin, ini Mila adik gue. dia temannya adik lo tau.” Kata Desi sambil mengenalkan orang yang selalu dekat dengan gue selama kuliah S2 ini.
“Hahaha, Mil, lo nggak pernah cerita ke Desi emang?” tanya gue.
“Hah, kalian udah saling kenal emang?” tanya balik Desi kebingungan.
“Iyee Des, gue sama Mila adik lo tersayang ini sekelas di pasca. Hahaha.” Gue menjelaskan.
“Hahaha, iya Ja. gue nggak pernah bilang sih. Maklum, dia kan kerjaannya travelling mulu. Makanya nggak punya-punya pacar dia.” ledek Mila.
“Heh, emang lo punya pacar gitu, Mil?” kata Desi nggak terima.
“Haha, udah. Mending lo balikan aja sama si Drian nih. Daritadi diem aja kayak kambing congek.” Ujar gue sambil menepuk bahu kiri Drian.
“Dih, bangs*t amat lo Ja. hahaha.” Kata Drian canggung.
“Kenapa lo Dri? Masih awkward ketemu mantan pacar pertama? Hahaha.” Ledek gue.
“Heh, udah deh Ja…..” sergah Desi.
Lalu kami tertawa-tawa. Desi dan Drian terlihat sangat canggung, sementara gue dan Mila tetap biasa-biasa aja. Mila juga bercerita kalau dikampus, gosip hubungan gue dengan Mila semakin kencang berhembus. Padahal gue dan Mila itu dekat karena urusan tugas, bukan ada perasaan tertentu. Eh, tapi itu kan pemikiran gue, nggak tau kalau Milanya sendiri.
Waktu tinggal satu jam lagi, dan sudah banyak tamu yang mulai pulang, tapi masih banyak juga yang tetap berada digedung. Kebanyakan teman-teman adik gue, sekalian menunggu foto. Saudara-saudara gue juga masih stay semua. Om tante kakak-kakaknya Papa duduk di bagian VIP disamping kiri panggung pelaminan. Sementara Om Reza berkeliling terus, istrinya duduk di VIP. Ketika gue mengamati pergerakan Om Reza, gue melihat seorang yang sangat keluarga gue kenal.
Kiara Fitria.
Seorang yang sudah sangat lama tidak gue hubungi, nggak tau juga kabarnya. Semenjak dia menikah, gue sangat jarang menghubungi dia lagi. Tapi gue agak bingung kenapa dia datang sendirian. Apa mungkin suaminya sedang dinas keluar kota seperti biasanya?
Gue mengamati gerak geriknya dari mulai datang, ke pelaminan, girang ketemu sama Dania, foto bareng mantennya, sampai akhirnya turun lagi dan salim ke Mama , Om Dani serta Om Reza. Dia menyapa teman-teman dari Paskib karena juga salah satu senior adik gue. Gerak gerik dia, postur, serta gaya berpakaiannya sangat mirip dengan Emi. Hanya saja Ara berkulit kuning langsat, sementara Emi lebih gelap sedikit.
Emi kemana? Dia sama sekali nggak mendampingi gue sepanjang resepsi ini. Dan gue rasa, gue harus mengenalkan Emi dengan Ara. Ini mungkin momen langka yang belum tentu bisa terjadi lagi dimasa depan. Gue memutuskan kebelakang dan mencari Emi. dan Emi masih dibelakang, dekat dengan AC. Lagi ngadem dia.
“Ikut aku. Kamu harus kenal sama seseorang.” Kata gue dan langsung menarik lengan kiri Emi.
“Eh apaan sih Zy. Ngagetin gue aja buset.” Teriak Emi.
“Udeeeh, buruan sini yuk.”
“Aduh mau dikenalin siapa sih? Pacar baru lo?”
“Yeh, si t*i malah ngeledek.”
“Siapa sih? Aduh pelan-pelan dong, kang es doger…ah elah.” Kata Emi sedikit menahan tarikan gue.
Dan, akhirnya momen langka itu pun terjadi. Emi berkenalan dengan Ara untuk pertama kalinya. Gue mengode Drian untuk merapat, nggak lupa juga gue mengajak Arko mendekat.
“Waaah, akhirnya aku kenal sama kamu ya, Ra.” Kata Emi sumringah, kemudian memeluk Ara, dan setelahnya cipika cipiki.
“Hahaha, bocil ketemu bocil ya ini.” Kata Arko tiba-tiba nyeletuk.
Secara otomatis, Emi dan Ara yang tingginya sama persis ini menengok kearah Arko dengan tatapan ingin membunuh. Gue melihat gestur mereka berbarengan ini seperti melihat anak kembar. Bedanya yang satu senang dirumah aja, yang satunya sering keluyuran disiang hari.
Uniknya, Emi memakai gaya berjilbab yang sama dengan Ara. Dan entah kenapa, Ara sekarang juga berkacamata, yang modelnya mirip dengan kacamata yang dipakai Emi. selebihnya, kesamaan mereka ya ada di urusan band gue.
Gue, Arko dan Drian membiarkan Emi dan Ara bercakap-cakap cukup lama. Sementara gue lebih banyak ngobrol dengan Drian, dan sesekali dengan Arko. setelah sekitar 15 menitan, Emi memohon izin kebelakang mau buang air kecil, Arko dan Drian kembali mencari makanan, dan gue yang penasaran, akhirnya bertanya ke Ara.
“Suami kamu kemana?”
“…..”
“Ra, jangan bilang….”
Dia hanya menggeleng.
“Dia meninggal. Kena serangan jantung.”
Gue sangat kaget mendengar hal ini. Gue tahu Ara selama pernikahannya belum dikaruniai anak. Sekarang malah ada lagi kabar seperti ini. Sungguh berat kehidupan Ara dari dulu. Kalau tidak salah hitung, pernikahan Ara dengan suaminya yang tinggi besar itu baru berjalan sekitar dua tahunan.
“Kok nggak ngabarin aku?”
“Aku bingung. Aku nggak mau ganggu kehidupan kamu lagi.”
“Kamu ngabarin Mama atau Dania nggak?”
Dia hanya menggeleng. Raut wajahnya nggak bisa menyembunyikan kesedihan yang sangat mendalam sekaligus kebingungan yang besar. Ingin rasanya gue memeluk dia untuk menenangkan, tapi ya jelas nggak bisa. Selain ramai, saat ini kan gue sudah bersama dengan Emi.
Ara akhirnya bercerita singkat kalau tepat satu bulan lalu suaminya meninggal mendadak dikantornya.
Ara shock berat dan nggak tau harus berbuat apa. Bukan tentang materi, tapi lebih kepada ujian berat yang harus dia hadapi lagi setelah selama ini hidupnya memang sudah berat. Dari mulai keluarganya yang kekurangan, ayahnya yang sudah lama pergi, ketidakmampuan dia untuk kuliah sebelum akhirnya dibantu oleh keluarga gue dan berbagai macam ujian hidup yang berat lainnya.
Setelah menikah pun, ujiannya belum selesai karena terus diuji kesabarannya menanti anak. Belum selesai sampai disitu, sekarang malah suaminya harus pergi juga meninggalkan dirinya. Terlalu cepat buat Ara, bahkan gue aja yang nggak ada diposisi Ara bisa merasakan gimana pedihnya momen ini.
Ara bilang kalau dia sekarang ini menetap di salah satu kota di Sulawesi. Dia khusus datang ke ibukota untuk menghadiri acara pernikahan adik gue. terakhir memang gue dengar kabar kalau Ara bersama suaminya tinggal di pulau Sulawesi.
Nggak lama, Ara berpamitan dengan gue, Mama dan Dania. Nggak lupa salim ke beberapa om tante gue juga. Gue sebenarnya masih ingin ngobrol dengan dia, tapi apa daya waktu yang memisahkan. Keluarga gue begantian foto-foto. Sampai akhirnya seluruh keluarga besar gue dari Papa berfoto bersama. Hal yang tentunya menghabiskan waktu yang sangat banyak, dan sebenarnya nggak perlu juga perkeluarga masing-masing foto begitu. Cukup satu kali foto keluarga besar aja harusnya.
Rangkaian itu berakhir dengan kepuasan yang besar. Setelahnya gue nggak banyak berinteraksi dengan keluarga besar gue karena gue mencari Emi yang ternyata sudah ada dipenginapan. Gue merasa bersalah telah banyak mengabaikan dia hari ini. Gue siap kalau harus dijudesin beberapa hari kedepan oleh Emi.
itkgid dan 27 lainnya memberi reputasi
28