Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

juraganind0Avatar border
TS
juraganind0
Pengusaha Sebut Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Sulitkan Semua Pihak
Pengusaha Sebut Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Sulitkan Semua Pihak

Quote:


Sumber
https://www.liputan6.com/bisnis/read...an-semua-pihak

Untuk kawan kawan pengusaha, bersabarlah
onik
devilkillms
anasabila
anasabila dan 7 lainnya memberi reputasi
8
1K
20
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
672.3KThread41.9KAnggota
Tampilkan semua post
54m5u4d183Avatar border
54m5u4d183
#18
BPJS adalah lembaga nirlaba ( Artinya ngak nyari untung ) maka menjadi wajar dan bisa dimaklumi bersama kalau BPJS selalu defisit. Dan perlu diketahui bersama bahwa prinsip dasar dari BPJS adalah kegotong royongan diantara sesama peserta, yang sehat membantu yang sakit, bukan hanya membantu peserta dan keluarganya yang sakit tapi juga membantu keluarga yang kurang mampu. Sebagai informasi bagi yang belum tau mengenai kenaikan iuran BPJS itu atas usul dari Dewan Jaminan Sosial dan Kementrian keuangan, jadi bukan usul dari pihak manajemen BPJS.

Memang nasib BPJS Kesehatan malang betul sejak bersulih nama dari PT Askes (Persero) pada 2014 lalu, operator program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini selalu menanggung rugi. Bahkan, defisit yang dicatat perusahaan tahun demi tahun semakin menahun.

Jika ditengok pada 2014 atau tahun pertamanya, BPJS Kesehatan tekor Rp3,3 triliun dan membengkak menjadi Rp5,7 triliun pada 2015. Tren ini berulang pada 2016 dan 2017, di mana defisitnya menyentuh Rp9,7 triliun dan Rp9,75 triliun. 

Sampai akhir tahun 2018 saja, sesuai audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), defisit BPJS Kesehatan mencapai Rp9,1 triliun. Diperkirakan saat itu defisit tersebut berlipat-lipat tembus Rp28 triliun di pengujung tahun 2019.

Memang, tidak ada kewajiban untuk BPJS Kesehatan mencetak laba. Tetapi, defisit yang dicatat juga tidak bisa disepelekan. Salah-salah urus, bisa-bisa negara yang menanggung kerugian. 

Sinyal kemalangan ini agaknya buru-buru ditangkap pemerintah. Melalui Wakil Presiden Jusuf Kalla saat itu, pemerintah sepakat untuk menaikkan iuran peserta BPJS Kesehatan. "Prinsipnya kami setuju, namun perlu pembahasan lebih lanjut," ujarnya.

Kenaikan iuran boleh dibilang opsi terbaik yang harus ditempuh pemerintah. Mengacu Pasal 4 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 mengenai BPJS menyebut BPJS Kesehatan harus bersifat nirlaba, sehingga memberi manfaat luas bagi seluruh pesertanya. 

Bunyi pasal yang sama, prinsip pengelolaan keuangannya pun harus berdasarkan azas gotong royong. Artinya, agar manfaat peserta tidak berkurang, masyarakat harus mau menanggung renteng demi pelayanan sosial yang lebih baik. 

Iuran naik, itu sudah jadi risiko. Mau tidak mau harus kembali pada prinsip penyelenggaraan BPJS Kesehatan, yaitu kegotong-royongan. Makanya, peserta sangat penting menjadi ujung tombak keberhasilan dan keberlanjutan program kesehatan ini.

Ada baiknya Pemerintah juga perlu mencontoh langkah Taiwan dalam menangani masalah defisit kas penyelenggara jaminan kesehatan. National Healthcare Insurance (NHI), yang berada di bawah Kementerian Kesehatan Taiwan, tak menunjukkan permasalahan. Tapi, pengeluaran NHI terus membengkak, terutama untuk penyakit-penyakit katastropik. 

Pemerintah Taiwan sepakat untuk menaikkan premi jaminan kesehatannya. Apalagi, pelayanan kesehatan Taiwan ditantang dengan meningkatnya jumlah populasi tua. 

Kondisi tersebut dinilai mirip dengan Indonesia. Tahun lalu 2018, BPJS Kesehatan saja membayar manfaat kesehatan Rp20,43 triliun untuk 19,24 juta kasus penyakit katastropik. Nilai itu setara 19,5 persen dari total pengeluaran manfaat perusahaan yang sebesar Rp104,73 triliun. 

Jadi untuk tahap awal, pemerintah bisa saja menaikkan iuran bagi Peserta Bantuan Iuran (PBI) yang berjumlah 96,7 juta orang. Ini tentu tidak akan memberatkan masyarakat. Toh, iuran kelompok ini diongkosi dari APBN. 

Apalagi, iuran PBI sebesar Rp25.500 ( sebelum naik ) per orang per bulan terbilang lebih rendah dibanding negara lainnya. Misal, Vietnam yang dipatok Rp37 ribu. Jika kenaikan peserta PBI ini bisa terlaksana, bukan tidak mungkin pemerintah mengerek iuran peserta non-PBI atau peserta mandiri. Sehingga pelayanan kesehatan yang diberikan untuk pasien tidak akan kena imbasnya.

Sekali lagi kenaikan iuran BPJS Kesehatan tidak hanya ditujukan untuk menalangi defisit semata, tetapi juga mengikuti amanat konstitusi. 

Mengacu UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional bahwa iuran adalah jalan satu-satunya untuk menambah penerimaan, sehingga jurang defisit bisa segera ditambal. 

Kemudian, pasal 16i Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan menyebut besaran iuran memang harus ditinjau setiap dua tahun. 

Adapun, penyesuaian iuran terakhir kali dilakukan pada 2016 yang dimuat di dalam Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2016. Melalui beleid itu, iuran peserta kelas I berubah dari Rp59.500 ke Rp80 ribu, kelas II berubah dari Rp42.500 ke Rp51 ribu, termasuk kelas III disesuaikan dari Rp25.500 ke Rp30 ribu. 

Seharusnya, penyesuaian iuran terjadi pada 2018 lalu. Hanya saja, pemerintah tidak memilih langkah tersebut meski peraturan mengharuskan kenaikan iurannya. Sehingga, saat ini memang waktu yang tepat bagi pemerintah untuk menyesuaikan kembali premi iuran BPJS Kesehatan.

Kalau memang 2020 tak ada kenaikan iuran, tentu proses jaminan sosial akan kembali berdarah-darah.

Koordinator advokasi BPJS Watch Timboel Siregar pernah menyampaikan bahwa memang untuk menanggulangi defisit BPJS Kesehatan, pemerintah memang harus menaikkan seluruh jenis iurannya. Pertama, iuran bagi PBI harus naik demi mengganti kebiasaan suntikan dana dari pemerintah.

Hitungan aktuaria untuk peserta PBI terbilang Rp36 ribu per kepala per bulan. Namun, beban APBN tentu akan berat jika iuran PBI dinaikkan begitu drastis. Karenanya, untuk permulaan ia mengusulkan iuran PBI dinaikkan ke angka Rp30 ribu. 

"Tentu dengan itu, ada tambahan kenaikan pendapatan hampir Rp10 triliun yang bisa digunakan untuk menutup defisit," terang dia. 

Kedua, pemerintah juga harus menyesuaikan iuran bagi peserta mandiri. Saat ini, iuran peserta mandiri terbagi menjadi tiga kategori, yakni kelas I sebesar Rp80 ribu, kelas II sebesar ke Rp51 ribu, dan kelas III Rp30 ribu. 

Namun, ia menyarankan iuran kelas I tidak dinaikkan karena sudah sesuai dengan hitung-hitungan aktuarinya. Nah, untuk kelas III sejatinya diusulkan naik menjadi Rp27 ribu dan kelas II sebesar Rp55 ribu. Simulasi ini sempat dilakukan BPJS Watch untuk menghitung kenaikan penerimaan yang optimal, namun tidak akan membebani daya beli masyarakat. 

Ketiga, pemerintah juga perlu untuk mengubah ketentuan iuran dari peserta Pekerja Penerima Upah (PPU). Namun, pemerintah hanya menaikkan batas maksimal upah yang jadi perhitungan iuran dari posisi saat ini Rp8 juta menjadi Rp12 juta. 

"Dengan jumlah peserta iuran PPU kelas I sekitar 9 juta orang, saya memperkirakan tambahan penerimaan dari kenaikan batas atas upah di dalam PPU akan berdampak baik ke penerimaan," jelas dia. 

Hanya saja, patut diingat kenaikan iuran juga bukan satu-satunya jalan menekan defisit BPJS Kesehatan. Lembaga pimpinan Fachmi Idris ini juga harus berbenah diri dengan melakukan efisiensi di sana-sini. 

Menurut dia, potensi manipulasi klaim (fraud) masih rentan terjadi. Timboel bilang fraud terjadi ketika penyakit yang seharusnya bisa diselesaikan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) malah dirujuk ke fasilitas kesehatan lanjutan. 

Walhasil, tak heran jika klaim rumah sakit begitu besar. Terlebih, tren masyarakat yang dirujuk ke fasilitas kesehatan lanjutan kian meningkat. Menurut data yang dimilikinya, tingkat rujukan pada 2018 lalu tercatat 16 persen dari peserta yang datang ke FKTL atau naik dari 2017 sebesar 12,5 persen. 

"Jadi kalau bisa disembuhkan di FKTP, ya harusnya diselesaikan di situ saja," papar dia. 

Pun demikian, Timboel mengingatkan agar efisiensi tepat sasaran dan objektif. Jangan sampai, efisiensi yang dilakukan mengurangi manfaat bagi peserta. Ia mencontohkan penghapusan dua obat kanker usus yang sebelumnya ada di dalam daftar obat yang ditanggung BPJS Kesehatan awal tahun ini.

"Jadi apakah iuran mengatasi defisit? Tidak juga. Pemerintah tentu harus berupaya mengatasi potensi fraud yang bisa terjadi. Selain itu, pemerintah tidak boleh serta merta menurunkan manfaat peserta. Jadi lebih baik, BPJS Kesehatan segera berbenah," pungkasnya.

Sementara itu Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pemerintah akan membatalkan suntikan dana kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan jika kenaikan iuran tak dilakukan pada tahun ini ( 2020 ).

Adapun saat ini, diperkirakan defisit BPJS Kesehatan mencapai Rp32 triliun. Sedangkan pemerintah akan memberikan injeksi sekitar Rp13 triliun

"Tidak ada masalah kita melakukan itu karena apapun itu kita namanya menyuntik BPJS Rp10 triliun tahun 2018, dan di 2019 Rp13 triliun. Sampai dengan akhir 2019 bahkan kalau bapak bapak meminta Perpres ini dibatalkan artinya Menkeu yang sudah transfer Rp13,5 triliun di 2019 lalu saya tarik kembali," ujarnya di Komplek DPR, Jakarta, Selasa (18/2/2020).

Menurut Sri Mulyani injeksi yang diberikan oleh pemerintah ini sudah memperhitungkan kenaikan dari iuran BPJS Kesehatan. Artinya jika tidak jadi naik, injeksi yang sudah diberikan pemerintah akan ditarik kembali untuk disesuaikan

"Kalau tidak jadi dinaikan maka tidak jadi kita bayar. Karena kita jadi temuan BPK. Jangan lupa PBI naiknya mulai dari Agustus, TNI Polri mulai dari Agustus juga daerah masih kami membayarkan karena ditengah tengah tahun anggaran," jelasnya.

Mahkamah Agung (MA) sendiri membatalkan Perpres 75 Tahun 2020 tentang kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Namun Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Perpres 64/2020 yang kembali menaikkan iuran BPJS.

"Jika benar Presiden telah menerbitkan Perpres baru yang menaikkan (lagi) iuran BPJS, tentu sudah dipertimbangkan dengan saksama," kata juru bicara MA hakim agung Andi Samsam Nganro kepada detikcom, Kamis (14/5/2020).

Andi menegaskan Mahkamah Agung (MA) tidak akan ikut campur dan tidak akan memberi tanggapan. Sebab, hal tersebut merupakan wilayah kewenangan pemerintah.

"Sedangkan MA hanya berwenang untuk mengadili perkara permohonan hak uji materiil terhadap peraturan yang kedudukannya di bawah undang-undang, dan itu pun apabila ada pihak yang berkeberatan bertindak sebagai pemohon, yang mengajukan ke MA," papar Andi.

MA meyakini Presiden dalam membuat Perpres yang baru tentu sudah mempertimbangkan semua aspek. Sebab, kalau toh iuran BPJS itu harus dinaikkan untuk kesinambungannya.

"Namun tentu juga Pemerintah mempertimbangkan isi putusan MA yang membatalkan Perpres No 75 yang lalu," kata Andi.

Jadi negara ini, pemerintahan ini wajib hukumnya melindungi dan menjaga kesehatan semua warga negaranya dimana pun berada sesuai amanat konstitusi salah satunya lewat BPJS Kesehatan. Sebagai warga negara yang baik taat dan tetiblah membayar iuran BPJS Kesehatan.
syahali
syahali memberi reputasi
1
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.