NiningMeuAvatar border
TS
NiningMeu
Apalah Arti Sebuah Nama? Bagiku Artinya Tak Bisa Memilikimu


Perlahan kususuri deretan rumah yang rata-rata berhalaman luas namun tak berpagar di Jalan Ahmad Yani ini. Jalanan begitu lengang, sempat khawatir jika pun menemukan alamat sesuai KTP yang kupegang ini, bisa jadi orangnya tak akan keluar karena masih nyaman tidur siang.

Terlanjur berniat jadi pahlawan, kulanjutkan saja meneliti nomor rumah yang kutuju. Dompet perempuan berhijab yang duduk disebelahku di ruang tunggu bandara tadi ketinggalan. Harusnya kutitipkan saja ke bagian security, tapi rasa penasaran saat tak sengaja mendengar suaranya yang merdu saat menelepon seseorang di bandara tadi, membuatku ingin sekali lagi bertemu dengannya.

Kuhela motorku dan berhenti di depan rumah yang asri dan teduh dinaungi dua pohon besar. Lama aku hanya memperhatikan rumah yang indah ini, tidak mewah namun sejuk. Model bangunan panggung khas melayu terbuat dari kayu belian hitam semua. Kokoh dan terkesan berwibawa.

"Bang, Bang! Siapa, ya? Ada perlu apa?" Halus suara yang aku kenal menyadarkanku dari lamunan saat memandangi rumah di depanku ini.

"Eh, maaf, Mbak. Saya mau ketemu sama Zahra yang tinggal di alamat ini." Sedikit gelagapan karena orang yang aku cari kini ada dihadapan. Cantik.

Perlahan mata gadis ini memandang curiga ke arahku. Turun naik dari atas ke bawah naik lagi ke atas. Dia hanya bergeming sambil memegang kantong besar, mematung menengadah ke arahku.

Shit! Aku lupa. Segera kubuka masker dan helm yang kukenakan. Memberinya kesempatan untuk merekam wajah calon suami masa depannya untuk pertama kali, ehem.

"Mbak ini, Zahra, kan? Saya Arman calon ... eh, maksud saya ehem! Saya mau mengantar dompet yang ketinggalan di bandara, di KTP nya tercantum alamat sini." Singkat kujelaskan tujuanku sambil menyodorkan KTP miliknya.

Lagi-lagi mata itu membuat duniaku berhenti. Membulat sempurna sebulat bibir merahnya yang ikut-ikutan menyihirku kaku ditempat.

"Oh! Masuk, Bang. Silahkan ...." Bergegas dia menuju pintu depan rumah dan mempersilahkan aku masuk.



Itulah kali pertama aku berkenalan dengan gadis berhidung mancung dengan binar mata yang terang. Siapa sangka ternyata dia mahasiswa tingkat akhir di kampus tempat aku mengajar. Mahasiswa pagi, sedang aku sebagai dosen baru masih ditugaskan mengurus akademik kelas malam. Pantas aku tak pernah melihatnya.

Sejak itu segala daya aku upayakan untuk lebih dekat dengannya. Entah kenapa rasanya dia lah calon ibu yang pas untuk anak-anakku nanti, dan aku adalah suami yang pas tentunya, untuk wanita seanggun Zahra.

Aku mulai rajin datang pagi dan tentunya mengecek semua jadwal kelas yang diambil Zahra. Semua aktifitasnya aku pantau termasuk nongkrong di perpus semua aku jalani. Sudah sampai begini mustahil tak membuahkan hasil. Zahra yang merasa berhutang budi atas kebaikanku yang menyelamatkan dompetnya tentu bersikap ramah dan selalu membalas sapaanku.

"Zahra, udah punya judul? Mau Abang bantu koreksi ga penelitiannya?" tawarku padanya kala kami bertemu tanpa sengaja di perpus waktu itu. Tepatnya aku yang menunggunya datang ke perpus hingga 3 jam lamanya yang untungnya dia tetap mengunjungi perpus di hari bersejarah itu.

Kusebut hari bersejarah karena sejak itulah kami akhirnya semakin dekat dan rutin bertemu. Alhamdulillah.

"Emang Abang bisa bantu skripsi Zahra? Abang kan Dosen Tata Negara, Zahra ambil Hukum Pidana ini, Bang," katanya waktu itu. Aku tahu sebenarnya dia mau menolak tapi tentu saja tak akan kubiarkan itu terjadi, kan.

"Zahra, Abang memang Dosen Tata Negara tapi waktu kuliah hingga S2, Abang juga ambil semua mata kuliah hukum, termasuk hukum pidana. Belajar dong dari yang pengalaman. Gimana mau ga, Abang ga akan menawarkan dua kali loh." Sedikit siasat aku lancarkan padanya, padahal kalo dia menolak, aku pasti akan membujuk lebih dan lebih lagi agar bisa dekat dengannya.

Lama dia hanya diam seolah banyak yang mesti ia pertimbangkan. Aku mulai gelisah menunggu jawabannya.

"Lagian kamu boleh pinjam dan bawa pulang koleksi buku yang Abang punya silahkan pilih sendiri nanti. Ga perlu bolak balik perpus atau fotocopy buku disini, Abang punya banyak buku," lanjutku mulai membujuknya.

"Kalau kamu cuma mau pinjam buku Abang juga ga papa kok ambil aja di rumah, kamu pelajari dan susun sendiri skripsimu ga masalah, Abang yakin kamu bisa." Aku mulai mengulur tali, seolah tak mau memaksanya dengan tawaranku tadi untuk membimbingnya.

Mendengar itu Zahra lantas menatapku seolah menilai ketulusanku tadi. Segera aku memasang tampang tenang sok biasa padahal saat ini udah pengen cepat-cepat nyium, eh. Segera kupalingkan wajah dan pura-pura mengecek waktu di pergelangan. Takut khilaf kalau lama-lama.

"Zahra mau, Bang .... " Jantungku seolah meledak mendengar ini.

"Mau apa?"

"Mau Abang, ups!"

Meski saat itu ia langsung meralat ucapannya, tak ayal semburat merah itu tetap kulihat menjalar hingga ke bagian pipi dekat pelipisnya. Ealah, untung iman masih ada. Perempuan ga jual mahal ya ga asik juga. Walau suatu hari nanti kusadari bahwa ragu-nya Zahra menerima tawaranku untuk lebih dekat saat ini, jauh dari kata "jual mahal".

Hari demi hari pun perlahan kami lalui dengan bahagia, awalnya rasa canggung ada dari pihak Zahra. Dia lumayan gadis yang tertutup, perlu keahlian dan stok joke yang banyak untuk membuat cair suasana dan mengingatkan Zahra untuk lebih santai menjalani hari.

Berkali-kali aku melihat tekad pemberontakan di raut wajahnya yang seolah bilang 'Ah, kalo ga sekarang kapan lagi,' seperti saat itu, ia langsung mencomot bakwan goreng dengan lahapnya setelah beberapa kali sebelumnya menolak tawaranku. Dilarang makan gorengan sama Ummi, katanya dan fix tak lama setelahnya Zahra terbatuk-batuk dan esoknya izin tak ke kampus karena demam.
Satu hal yang mesti aku ingat tentang Zahra, no gorengan.

Saat ujian skripsi pun tiba, Zahra yang tegang tak henti-hentinya meneleponku untuk hadir mendampingi. Sayang aku sedang ada tugas di kantor BNN. Secepatnya aku segera menyusul, janjiku padanya yang hampir menangis mengabarkan jadwal ujiannya semakin dekat. Imut banget kan. Setelah ini aku bertekad akan melamar Zahra. Tadinya mau menunggu hingga wisuda tapi rasanya terlalu lama.

Zahra lulus dengan nilai A. Wajahnya yang tegang berubah bingung mendengar pengumuman dosen pengujinya. Hingga dosen keluar dari ruangan penguji, Zahra masih berdiri terpaku ditempat. Aku yang sedari tadi memperhatikan dari kaca luar ruangan, perlahan masuk ke dalam untuk menyapanya.

"Selamat, ya, dek, " ujarku mendekatinya.

Mengenali suaraku Zahra menoleh dengan ekspresi berubah-ubah dari bingung, terkejut, ngambek lalu tertawa senang dan menangis sambil memegang lenganku erat menyembunyikan wajahnya di sana.

Sudah sedekat ini hubungan kami, jujur aku belum menyatakan perasaanku padanya. Zahra sebenarnya gadis yang agak tertutup, tak mudah mengorek pribadinya. Lama menemaninya menggarap skripsi hanya sedikit yang kutahu mengenai kehidupannya. Tertutup tapi bukan introvet bukan juga anak yang pendiam, Zahra cerdas dan pandai menyuarakan pendapatnya untuk hal apapun. Seringkali Zahra yang melontarkan joke saat kami bersantai di sebuah cafe atau kantin kampus. Kurasa moment kelulusan ini adalah saat yang tepat untuk mengutarakan perasaanku.

Sengaja aku mengajaknya makan di restoran yang murah tapi berkelas. Jangan pikir aku orang yang suka pamer kawan, buat apa ke restoran mewah kalau nyatanya wanitamu doyan banget makan pecel lele kaki lima. Restoran ini tempat favoritnya Zahra, bersih dan asri katanya. Menunya pun sudah pilihan Zahra tentunya.

"Dek, sekali lagi selamat, ya. Abang bangga kamu lulus dengan nilai terbaik." Aku memulai percakapan.

"Makasih Bang. Semua berkat bimbingan Abang kok," ucapnya sambil tersenyum manis. Manis sekali.

"Abang mau ngomong sesuatu boleh?"

"Ngomong aja, Bang. Kayaknya udah lama deh Abang mau ngomong." Lah, kok dia jawab gitu ya, apa dia sudah tahu maksudku. Tentu saja, sih. Perhatianku selama ini hanya orang gila aja yang ga paham.

"Abang mau melamar Zahra untuk jadi pendamping hidup Abang." Tegas kuucapkan langsung ke point melamar. Toh Zahra sepertinya sudah mengerti perasaanku.

Bulat mata itu diluar ekspektasiku sebenarnya, mungkin dia tak menyangka aku langsung melamar alih-alih menyatakan cinta.

"Dek, kenapa? Adek ga mau sama Abang?" tanyaku mulai merasa panik.

Zahra menunduk lalu kemudian seolah memberanikan diri menatapku lekat, namun ada kesedihan disana. Kenapa ini apa dia menolakku?

"Bang, Adek bahagia abang serius hingga mau ... melamar, Adek?"

"Tentu saja Abang serius. Kamu mau ga jadi istri Abang?"

Zahra menunduk lagi kemudian mengangguk pelan. Yess! Di antara rona merah wajahnya kulihat genangan menetes di kedua pipi Zahra. Segera ku berikan tisue padanya. Walau setelah itu Zahra tak banyak bicara tapi aku sangat bahagia.

Beberapa minggu pun berlalu hingga waktu wisuda terlaksana. Sekali lagi kuutarakan niatku untuk menemui kedua orang tua Zahra. Namun lagi-lagi Zahra menolak dengan alasan menunggu waktu yang tepat. Sungguh aku sudah tak sabar, saat wisuda aku sudah berkenalan dengan orang tua Zahra. Ayahnya adalah seorang pria dengan garis wajah tegas berwibawa dan beliau ternyata seorang pemuka agama yang dihormati. Kecantikan Zahra tak hanya diwarisi dari Ibunya tapi tentu juga dari Ayahnya yang berparas Arab.

Sayang, Zahra hanya memperkenalkanku sebagai dosen pembimbingnya. Walau mendapat jabatan tangan yang hangat dari Ayah yang dipanggi Abah oleh Zahra, ini tak lantas membuatku puas. Namun ekspresi Zahra saat itu hanya memintaku untuk sabar dan tenang. Apa yang dipikirkan Zahra? Kenapa menunda-nunda terlalu lama? Sungguh aku semakin tak sabar. Tahun depan aku akan mengambil sekolah lagi keluar negeri, mauku Zahra ikut kesana sebagai istriku.

Pertengkaran kecil pun mulai sering terjadi diantara kami. Tentunya terpicu soal lamaran yang tertunda. Seperti saat ini Zahra kembali menangis diam-diam, menoleh keluar jendela mobil. Kali lalu aku selalu mengalah dan membujuknya agar tak menangis dan berjanji tak akan mengusut lebih jauh mengenai penundaannya. Tapi sekarang aku benar-benar mati akal. Kubiarkan saja dia menangis tak sekalipun berusaha kutenangkan. Kami hanya diam lama.

"Abang sungguh siap bertemu Abah?" tanya Zahra tanpa menolehku.

"Abang sudah siap dari sejak Abang mengembalikan dompetmu dulu, Zahra," tegasku padanya.

Zahra menoleh mendengar ucapanku barusan. Lama ia menatapku yang tak bisa membalas tatapannya karena fokus menyetir.

"Besok malam, Bang ..., " lirih kudengar suaranya. Ini yang kutunggu-tunggu. Perlahan kugenggam tangannya. Kurasakan dia membalas genggamanku lama. Kuremas jemari lentiknya seolah menyalurkan kekuatan entah untuk apa, aku pun tak tahu. Keraguan Zahra jujur menyurutkan kepercayaan diriku. Tapi aku tak mau menyelami lebih dalam, bisa-bisa aku semakin tak percaya diri. Aku harus yakin.

Tibalah hari yang kutunggu-tunggu. Duduk berhadapan dengan kedua orang tua Zahra. Segala macam camilan bahkan minuman disajikan di ruang tamu yang isinya hanya kami berempat. Zahra sedari tadi dibuat bolak-balik oleh Ayahnya mengambil ini dan itu. Namun perutku seolah menolak semua yang disajikan, hanya sebutir buah kurma yang berhasil lolos kutelan. Setelah basa basi panjang lebar akhirnya semua diam seolah memberiku kesempatan untuk bicara menyampaikan maksudku.

"Mohon maaf Abah, izinkan saya menyampaikan maksud kedatangan saya kesini," ucapku mantap walau keringat dingin mengalir deras dipunggung.

"Silahkan, silahkan Nak Arman. Abah dan Ummi mendengarkan." Gelegar suara Abah sedari tadi memang sudah membuat jantungku bertalu-talu.

"Saya bermaksud untuk melamar Zahra menjadi istri saya, Bah. Mohon kiranya Abah berkenan merestui niat saya ini."

Abah dan Ummi menghela napas sambil bertukar pandang, sementara Zahra semakin menunduk disebelah Abah. Aku hanya bisa diam menunggu dengan tegang.

"Nak Arman, apa Nak Arman sudah betul-betul mengenal Zahra?"

"Insyaallah sudah, Abah."

"Maksud Abah, betul-betul mengenal Zahra, dari Zahra sendiri?"

Apa ini? Apa maksudnya Abah? Mungkinkah Zahra punya kelainan mental atau penyakit yang tak mau ia sampaikan selama ini, atau celakanya ternyata Zahra sudah punya suami?

"Zahra, coba kasih Abah KTP-mu, nak."

Iya KTP aku ingat betul di KTP status Zahra lajang. Itu salah satu yang membuat aku semangat mencari alamatnya waktu itu.

Zahra masuk ke dalam sebentar dan kembali dengan menyerahkan KTP kepada Abah, lalu kembali duduk diam dan menunduk ... sedih? Perasaanku sungguh tak nyaman.

"Nak Arman, Abah sangat menghargai lamaran Nak Arman. Kamu orang yang cerdas, tegas dan Abah yakin pasti bertanggungjawab. Coba Nak Arman perhatikan KTP Zahra ini," katanya sambil menyodorkan KTP di atas meja.

Perlahan kuambil KTP Zahra, bingung tak menemukan hal yang ganjil disitu.

"Bisa Nak Arman baca nama Zahra disitu?" tanya Abah.

"Syarifah Zahra Al-Mutakhar ..., " ucapku lirih dan bingung.

"Nah, berarti semua sudah jelas ya, Abah mohon maaf lebih baik Abah langsung saja. Zahra anak perempuan Abah hanya bisa menikah dengan seorang Syarif." Usai mengatakan itu Abah langsung berdiri dan hendak beranjak pergi.

Aku tercekat, mengenali penolakan dalam ucapan Abah barusan. Ingin mengucapkan sesuatu namun mulutku seolah kehilangan kata-kata.

"Abah ...!" Zahra memanggil ayahnya. Namun tak digubris sama sekali, Abah tetap berlalu. Isak tangis Zahra mulai terdengar. Sementara aku hanya terbengong masih memegang KTP Zahra.

"Nak Arman .... " Suara Ummi.

"Ummi rasa Abah sudah memutuskan, Ummi mohon maaf, Ummi harap Nak Arman bisa mengerti." Lembut suara Ummi secara halus mengusirku pergi.

Aku hanya bisa diam menatap Zahra yang menutup wajahnya, menangis. Akupun mengangguk ke arah Ummi yang masih memeluk Zahra. Lalu beranjak keluar rumah dan pulang.

Inikah akhir cintaku? Hanya karena namaku tak ada "Syarif" di depannya? Zahra ....

Tiga minggu berlalu setelah malam lamaran itu. Zahra sama sekali tak mau mengangkat teleponku. Tak mau atau HP-nya disita entahlah. Melihat gelagat Abah yang tegas aku rasa yang kedua lah alasan Zahra sulit dihubungi. Zahra sudah wisuda percuma saja aku menunggunya di kampus. Namun tetap bodoh aku duduk disini di perpus tempat kami banyak menghabiskan waktu.

Kucari-cari informasi mengenai gelar Syarif dan Syarifah. Ternyata itu adalah gelar kaum Dzuriyyah Rasulullah atau Keturunan Nabi. Mereka memang secara turun temurun mempertahankan garis darah dengan cara menikah dengan sesama keturunan. Namun khusus lelaki mereka boleh menikahi perempuan diluar keturunan. Perempuan biasa. Tapi khusus perempuan bergelar Syarifah, tidak ada keringanan sama sekali. Wajib hukumnya menikahi seorang Syarif. Jika tidak maka akan "dibuang" dari membership kekeluargaan.

Bukannya tanpa usaha, beberapa kali aku kembali mengunjungi kediaman Zahra. Namun selalu disambut oleh pembantu rumah tangga yang mengatakan Non Zahra tidak dirumah, atau Tuan Yai sedang tidak menerima tamu. Sungguh membuatku frustasi. Tapi apa daya sepertinya aku memang harus menerima keadaan ini. Cintaku pupus terhalang perbedaan nama di KTP.

Sulit melupakan Zahra. Matanya, senyumnya, caranya menyembunyikan keluguan dengan kata-kata sok cerdas, membuatku mengulum senyum mengenangnya. Zahra yang manja namun terkungkung aturan keluarga, menjadikannya gadis yang sering menahan diri. Keberaniannya untuk menerimaku mungkin adalah hal ternekad yang pernah ia lakukan. Sayang aku tak menyadarinya lebih awal. Jika mungkin pasti sudah kubawa lari Zahra-ku tersayang. Kini semua seolah mustahil bahkan sekedar menelepon pun aku tak bisa. Hanya bisa memendam rindu entah sampai kapan.

TAMAT


sumber foto: klik
Diubah oleh NiningMeu 13-05-2020 09:09
Iqiramadan21
abellacitra
nona212
nona212 dan 60 lainnya memberi reputasi
61
1.2K
103
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread42KAnggota
Tampilkan semua post
hugomaranAvatar border
hugomaran
#33
Ceritanya empuk sekali, asik baca sambil ngopi. Zahra kamu apa kabar? hehe
NiningMeu
NiningMeu memberi reputasi
1
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.