Kaskus

Story

yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
Selamat Datang di Thread Gue 
(私のスレッドへようこそ)


Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3


TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI DUA TRIT GUE SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT SELANJUTNYA INI, GUE DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK GUE DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DISINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR

Spoiler for Season 1 dan Season 2:


Last Season, on Muara Sebuah Pencarian - Season 2 :
Quote:




INFORMASI TERKAIT UPDATE TRIT ATAU KEMUNGKINAN KARYA LAINNYA BISA JUGA DI CEK DI IG: @yanagi92055 SEBAGAI ALTERNATIF JIKA NOTIF KASKUS BERMASALAH


Spoiler for INDEX SEASON 3:


Spoiler for LINK BARU PERATURAN & MULUSTRASI SEASON 3:



Quote:


Quote:

Quote:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 83 suara
Perlukah Seri ini dilanjutkan?
Perlu
99%
Tidak Perlu
1%
Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 10:25
sehat.selamat.Avatar border
JabLai cOYAvatar border
al.galauwiAvatar border
al.galauwi dan 142 lainnya memberi reputasi
133
342.8K
4.9K
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.8KAnggota
Tampilkan semua post
yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
#2054
Coba Yang Baru Kali Ya?
Selepas acara lamaran adik gue itu, gue melanjutkan kehidupan normal kembali. Urusan dengan pekerjaan yang semakin banyak, ditambah dengan kegiatan dikampus yang juga semakin padat dengan tugas-tugas yang nggak kenal ujung, sukses menyita hampir seluruh waktu gue. Untung saja gue terbantu dengan adanya kembali Emi dalam kehidupan gue.

Warna warni kehidupan gue kembali lagi. Tetapi tetap aja gue masih bingung kenapa terkadang Emi bersikap biasa aja, kadang dia seperti menyembunyikan sesuatu dari gue. seperti ada ganjalan dihatinya. Lebih banyaknya sih sebenarnya dia bersikap biasa aja, tapi didalam waktu yang acak, mood dia benar-benar bisa berubah total entah kenapa.

Kegiatan kampus gue sudah mulai menuju kepada penelitian untuk tesis alias tugas akhir untuk S2 gue. maklum aja cepat karena memang S2 biasanya hanya dua tahun. Perencanaan gue dengan Emi, gue mau menyelesaikan ini sebelum dua tahun, biar nggak lama-lama. Kalau kelamaan, nanti uang yang keluar jadi percuma dan mubazir juga, dapat ilmu baru juga nggak, tapi bayar tetap harus berjalan karena belum lulus-lulus.

Gue pun mulai merancang ide penelitian yang seperti apa. walaupun masih mentah banet, tapi setidaknya gue dan Emi berprogres. Bukan seperti teman-teman gue yang kebanyakan S2nya ini hanya untuk menaikkan karir mereka dikantor masing-masing. Dari awal gue menekankan diri gue untuk menambah ilmu, agar kelak gue memiliki usaha sendiri, gue nggak terlihat bodoh dan nggak mengerti apapun tentang bisnis.

Ide penelitian gue sudah disiapkan beberapa, tapi masih belum menemukan titik terang. Intinya gue mau coba mengaitkan apa yang sudah gue dapatkan di S1 dulu, kemudian diperdalam dari sisi bisnis, yang tentunya akan membawa kemaslahatan banyak orang. Bukan hanya bisnis yang menguntungkan bagi beberapa orang tapi mengorbankan kepentingan banyak orang lain, bahkan sampai merusak lingkungan.

“Ijaaaa. Ah kangen gue sama lo.” kata sebuah suara dari belakang gue dan Emi.

Ketika gue menengok, tiba-tiba gue langsung dipeluk. Teman sekelas gue yang udah pindah kelas jadi kelas reguler. Viana. Sebuah pemandangan yang sangat awkward terjadi. Utamanya adalah terkejutnya Emi melihat hal ini.

“Gila udah lama gue nggak liat lo, Ja. hahaha.” Katanya, masih memeluk gue.

“Hehehe iya, Vi. Udah lama juga kita nggak ketemu ya, setelah lo pindah kelas ke reguler.” Kata gue, lalu kemudian perlahan gue menjauhkan sedikit badan Viana yang menempel dibadan gue.

Bisa perang deh gue setelah ini sama Emi. haduh. Viana adalah anak yang sangat supel. Temannya banyak banget di kampus. Dia adalah lulusan salah satu universitas swasta ternama di Ibukota. Tingginya sekitar 165 cm, kulitnya kuning langsat, rambut sebahu dan selalu diwarnai coklat terang, ditambah dengan perawatan rutin sehingga sangat glowing, depan maju, belakang mundur. Bukan main lah pokoknya.

kaskus-image
Mulustrasi Viana, 96,3% mirip cewek ini


Dikelas gue, anak-anak yang masih muda banyak yang suka sama anak ini. Tapi lagi-lagi, yang berhasil dekat dengan Viana salah satunya adalah gue. Sebelum gue dekat dengan Mila, gue dekat terlebih dulu dengan Viana ini. Kebiasaan dia kalau ketemu gue, cipika cipiki diawal, kemudian menggandeng lengan gue. sesuatu yang nggak pernah dia lakukan ke cowok muda lain dikelas gue, bahkan dikelas lain. Hahaha. Dan itu pula yang dia lakukan setelah memeluk gue.

Di depan Emi. Fix ribut udah ini sih.

“Vi, kenalin ini cewek gue. Namanya Emi.” gue mengenalkan Emi dengan kikuk.

“Oooh. Haha. Aduh maaf ya Mbak Emi, aku nggak tau ada pacarnya Ija. Disini. Ih kamu manis deh mbak Emi. mukanya imut-imut banget. Kenalin aku Viana, teman sekelas Ija dulu dikampus ini.” Ujar Viana, dengan mimik wajah ceria.

“Iya, aku Emi, salam kenal ya.” kata Emi, balas tersenyum hangat ke Viana.

“Gila lo Ja. kemana aja lo?”

“Lah, lo yang kemana aja kali. Gue mah kalo weekend gini kan kuliah. Hahaha.”

“Hahaha iya sih. Gue sekarang lagi sibuk buat usaha bareng cowok gue Ja.”

“Wah iya? Bagus dong. Usaha apaan?”

“Kita duduk dipendopo sana aja yuk. Sambil ngobrol-ngobrol. Yuk mbak Emi.” kata Viana seraya menggamit lengan Emi dan mengajaknya jalan menuju pendopo dekat kebun tengah kampus.

Viana lalu bercerita tentang usahanya itu. Dia juga minta maaf ke Emi kalau kebiasaanya itu sudah selalu seperti itu setiap bertemu dengan gue. Emi sepertinya bisa menerima penjelasan tersebut. Dulu, pada awal gue masuk ke kampus ini, Viana masih sendiri dan sempat menyatakan suka dengan gue. tapi entah suka seperti apa, yang jelas, gue selalu bilang kalau gue punya pacar.

Sampai pernah pada suatu waktu dia ribut besar dengan Mila, yang notabene adalah ‘public enemy’ dikelas, karena menduga dia sengaja merebut perhatian gue. wah gila juga ini. Udah pada S2 masih gini aja dramanya. Hahahaha. Dan Viana menceritakan itu semua ke Emi dengan bersemangat serta penuh dengan tawa.

Pembicaraan kemudian berlanjut dengan rencana penelitian yang mana dia belum sama sekali memikirkan sampai terlalu dalam seperti gue dan Emi. pada akhirnya dia pamit duluan dan giliran gue menjelaskan ke Emi. untung aja dia nggak mempermasalahkan itu. Mungkin karena terbantu penjelasan dari Viana kali ya.

Gue yang masih agak seram sebenarnya, karena tipikal Viana ini biar kata udah punya cowok juga kalau misalnya ada yang menurut dia oke bakalan dikejar juga. Sepertinya pernyataan dia dulu diawal-awal perkuliahan yang katanya kalau gue masih penasaran, gue akan tetap mendekat ke lo. Mirip-mirip dengan Debby teman Emi, tapi dia nggak brengsek (atau belum), nggak tukang hoax dan nggak tukang playing victim.

“Ini kita bikin ide kayak gini, nggak bakal ribet banget jadinya ntar?” tanya gue ke Emi. Persoalan dengan Viana tadi udah aman.

“Iya, emang ribet, tapi kalau mau gampang-gampang aja, ntar kamu aku balikin omongannya kayak dulu ngeledek penelitian S1 aku, kamu mau?” jawab Emi, dengan pertanyaan berikutnya.

“Hahaha, ya nggak lah. Itu kan proyek. Udah gitu nguntungin dosen doang lagi. Bukannya bermanfaat bagi banyak orang.”

“Nah makanya itu Zy, kita ya harus berpikirnya lebih dalam karena kemungkinan ini bakalan menyangkut hajat hidup orang banyak. Udah gitu kita mengaitkan pemanfaatan lingkungan alam sebagai bagian dari bisnis. Kalau kita pure kapitalis, nanti kayak kamu bilang, kita bakalan ngerusak lingkungan bukan?”

“Iya Mi. Justru aku mikir karena ini bisnis, yang biasanya selalu merusak lingkungan entah bagaimanapun caranya, disini kita bicara bisnis yang justru menabrak pelestarian lingkungan. Dari yang harusnya menabrak itulah tesis kita ini dibuat bukan? Ngasih solusi bahwa perlindungan lingkungan yang selalu kontradiktif dengan kegiatan bisnis bisa dibuat selaras sehingga meminimalisir kerugian, baik dari sisi bisnis, maupun dari lingkungannya itu sendiri.”

Banyak diskusi produktif yang gue lakukan dengan Emi, kebanyakan setelah kami pulang kantor. Gue seperti biasanya, menjemput Emi didepan kantornya yang jaraknya nggak sampai 1 kilometer dengan kantor gue. kami biasanya mampir dulu disebuah restoran cepat saji, menghabiskan waktu sampai tengah malam, baru pulang dimalam hari. Bahasannya ya nggak cuma soal kuliah dan rencana tesis, tapi juga membahas masalah komunitas dengan segala kebusukannya, kemudian masalah internal band kami yang belum juga menemukan jalan tengah.

“Gue kayaknya bakalan ganti si Rahman deh. Makin kesini makin nggak jelas dia. belum lagi si Arko yang masih aja nggak mau main bareng kita. Menurut lo gimana ya, Mi?” kata gue sembari mengunyah sebuah burger.

“Harusnya sih emang bang Rahman diganti Zy. Gue juga bingung dia makin kesini ada aja masalahnya. Di satu sisi dia mau tetep sama kita, tapi disisi lain, dengan segala masalah dan alasannya, sebaiknya emang kita harus cari pengganti.” Kata Emi, dengan tangan kanan memegang dengan kentang yang sudah tercocol saus sambal.

“Yaudah, mending nanti lo tanyain dulu, japri aja Vino sama Drian enaknya gimana. Tapi kalau kata gue sih, pemikiran mereka nggak akan jauh sama gue, tapi mungkin kalau Vino masih coba cari jalan tengah, walaupun sebenarnya dia itu maunya emang Rahman diganti. Soalnya gue ngerasa si Vino yang paling dirugikan disini. Satu, dia itu kan nggak ada kendaraan, jadinya kalau kita latihan di studio langganan kita, dia mesti gonta ganti angkutan umum. Seringkali kita kan kalau latihan itu sampai lewat tengah malam. Bikin dia kerepotan banget. kalau Drian, gue, Rahman dan Arko kan pada punya motor. Ongkos si Vino jadi over menurut gue. udah kondisinya gitu, gue yakin dia bakalan mangkel (kecewa berat) dengan sikap si Rahman yang banyak alasan ini itu.”

“Iya kayak kemarin ini kan, masa kita bilang studio A, dia dateng ke studio B yang jaraknya jauh banget. walaupun emang sepintas namanya mirip. Tapi kan gue selalu umumin di grup, studio apa, jam berapa dan hari apa. masa gitu aja nggak bisa bedain? Hahaha. Aneh banget, mana dia yang paling tua, tapi kayaknya dia yang paling butuh ditolongin yak, bukannya ngemong adik-adiknya ini.”

“Hahaha. Anjir bawa-bawa tua lo. Tua kan angka doang Mi. Buktinya dibanyak hal, lo lebih dewasa dari gue. gue yang banyak kekanakan sikapnya daripada lo. Gue akuin itu salah kok Mi.”

“Iya, gue ngerti Zy. Baguslah kalo lo sadar sikap lo salah ke gue.”

“Maafin gue, Mi.”

Emi hanya tersenyum kecil aja, dan setelahnya seperti beberapa minggu belakangan setelah lamaran adik gue, dia langsung berubah lagi mood-nya. Dari yang tadinya bisa ketawa-ketawa normal, berubah menjadi banyak diamnya dan merespon candaan gue sesekali. Gue udah coba tanyakan beberapa kali, tapi jawabannya seperti pada umumnya cewek kalau lagi nggak enak hati, ‘nggak apa-apa.’ kalau sudah begini, cowok manapun pasti akan terlihat kebingungan dalam kebodohan. Hahaha.

--

Tema sudah ada, sekarang tinggal cari tempat eksekusinya. Timeline untuk perencanaan dan penyelesaian tesis juga sudah gue dan Emi rancang. Boleh dibilang, tesis gue ini setengahnya, bahkan 60% nya adalah pemikiran Emi. Sungguh orang yang sangat hebat. Dia bisa membantu gue berpikir masalah tesis hanya dengan membaca beberapa diktat, menanyakan belajar apa aja dikelas, datang ke perpus dan berlama-lama disana ketika gue kuliah di hari sabtu dari pagi sampai sore, sampai datang ke seminar-seminar hasil penelitian atau seminar proposal penelitian yang diadakan mahasiswa-mahasiswa S2 dikampus.

Untungnya kampus gue dari rumah Emi jaraknya juga nggak terlalu jauh. Bahkan nggak jarang juga ketika hari libur nasional atau hari minggu, kami menghabiskan waktu untuk brainstorming di kampus, bisa di hall besar kampus atau di perpustakaan yang pada hari minggu pun tetap buka walaupun waktunya nggak sepanjang hari kerja.

Pada suatu malam ketika gue dan Emi telponan, dia sempat bercerita bagaimana kacaunya keadaan kantor dia. Hal ini disebabkan oleh sesuatu yang pernah gue prediksi dulu. Irawan adalah orang yang sebelumnya nggak pernah kerja ikut orang lain. Dari habis S1 dia langsung dapat beasiswa S2 ke Amerika, dan sepulang dari sana, berkat uang tabungan hasil beasiswanya, patungan dengan Bara, dia langsung membuat perusahaan tempat Emi bekerja saat ini.

Berbeda dengan Bara yang pernah bekerja dulu beberapa waktu dengan beberapa perusahaan, Irawan langsung jadi bos dikantor. Akibatnya, banyak hal yang harusnya dia rasakan dulu ketika menjadi karyawan, tidak dia rasakan. Sehingga apa yang dirasakan stafnya dikantor seperti hal yang seharusnya wajar. Irawan kurang berempati ke karyawan-karyawannya. Dia terus menerus menekan karyawannya agar lebih produktif.

“Di lain sisi, dia udah mulai banyak masukin teman-teman dilingkaran dia yang cuma menang tajir bapaknya, tapi nggak punya kemampuan layak, buat kerja disini. Bapaknya tajir ya jelas aja mereka bisa kuliah sampai luar negeri. Kerja ditempat-tempat bonafid berkat koneksi. Gue berani ngomong begini karena gue nggak melihat kinerja bagus mereka, Zy. Makanya asumsi gue dan teman-teman lain yang sesama lulusan negeri tapi kampusnya nggak di reken sama Kak Irawan jadi begitu. padahal kalau mau sombong dan head-to-headsoal kinerja, kami berani diadu sama mereka.” Kata Emi emosional disebrang telpon sana.

“Iya, kan udah gue bilang, dia itu nggak pernah ada dibawah. Emang dia dateng dari kampung, tapi inget, kampus dia emang negeri, tapi negeri yang hedon. Yang masuk kuliah disana itu banyak anak-anak orang tajir melintir, jadi otak belakangan, yang penting label kampusnya dulu. Sistem otonomi dikampus ngebikin kampus-kampus negeri jadi komersil. Sama aja kampus kita juga, bawa semangat kerakyatan, tapi yang kuliah banyak bawa mobil, banyakan dandan, kayak teman-teman lo geng gobl*knya si Anggi itu. Ya kan? Nah si Irawan ini yang masuk kekampus itu beasiswa karena pinter beneran, jadi kebawa pergaulannya sama anak-anak ini. Irawan bisa di’lihat’ sama anak-anak orang kaya ini, karena prestasi dia yang mentereng banget, bahkan udah pernah bawa dia sampai ke gedung PBB sana. Coba kalau dia biasa-biasa aja, adanya di ledekin. Udah jadi rahasia umum kalau penerima beasiswa, contohnya kayak bidikmisi gitu, bakalan abis jadi bahan ledekan di kampus dia. masih mending dikampus kita bidikmisi masih oke-oke aja Mi. disana nggak bisa. Kampus negeri rasa swasta banget itu. Makanya kampusnya nggak jadi nomer satu di negeri ini. Yang kuliah disana adalah yang tebal dompet bapaknya kebanyakan, bukan tebal otak dengan segudang ilmu. Hahaha.”

“Gile, puas banget lo ngeledekin kampus itu Zy? Hahaha.”

“Lah itu fakta loh. Bukan ngeledek ini mah. Semua orang di Indonesia juga tau kali. Dan itu nggak bisa dipungkiri emang begitu keadaannya. Sekarang kampus kita aja udah mulai kayak gitu juga.”

“Iya Zy. Dikantor gue itu parah banget. Kak Irawan micromanagingnya gitu banget. Padahal udah ada manajer. Belum lagi nih ya, nanti bakalan ada HRD dikantor gue yang katanya bakalan jadi atasan gue, tapi belum juga masuk karena alasannya masih ada urusan diluar negeri. Ngehe amat. Masuk bisa di nego karena urusan pribadi diluar negeri. Nepotisme amat mentang-mentang Kak Irawan keliatannya mau manfaatin koneksi orang ini untuk ekspansi pergaulan dan tentunya buat nguntungin bisnis sih.”

“Hahah seriusan? Gila sih itu.”

“Iya mana gue sempat diomongin juga katanya, Kak Irawan mikir Emi harus ada atasannya karena dia seringkali kalau kerja salah sana sini.”

“Hah? Kerja salah melulu disana sini? Lah ya wajar lah. Lo itu lulusan mana. nanganin HRD yang ada ilmunya sendiri itu ya nggak gampang. Jadi wajar kalau lo ngeraba dan pada akhirnya salah. yang salah itu harusnya ya Irawan, naro lo disana. Udah bener lo jadi Headnya GA. Dan lo bagus disana. Eh, malah suruh ngurus HR juga. Ya nggak nyambung lah. Hahaha. Terus nanti dia datang dan jadi atasan lo? Emang dia ngerti apa soal GA? Harusnya ya lo setara lah. Dibanyak kantor bahkan divisinya dibedain itu. Gimana sih. Hahaha. Susah, lingkaran orang kaya di sekeliling Irawan ini bener-bener nggak sehat banget.”

“Bukan itu aja Zy. Gue kan sering tuh pulang malem ngelembur. Temen-temen yang dari awal udah jadi staf juga banyak yang begitu kan. Itu dituntut sama Kak Irawan. Terus kalo mau pulang pas jam kerja, itu harus ada alasan tertulis, misal sakit harus ada surat sakit, dan nggak selalu dibolehin. Tapi kalau manajer-manajer atau supervisor yang pada dasarnya teman Kak Irawan, mereka suka-sukanya aja. dateng kadang baru jam 10, pulang jam 3 sore. Alasannya adalah, ada urusan diluar. Gitu. Kok enak banget, sementara kita aja sampai mati-matian ngelembur. Udah stuck karirnya pula karena level menengah atas diisi sama koneksi Kak Irawan semua. Apresiasi terhadap kami-kami yang udah dari awal ngebantu untuk ngegedein nama kantor ini nggak ada banget, Zy. Kak Irawan terlalu buta sama teman-temannya yang pada nggak bisa apa-apa itu.”

“Kamu mulai cari-cari aja lowongan kerja baru kalau kamu ga nyaman. Kamu bisa nggak punya peningkatan karir kalau kondisi kantor kamu begitu terus.”

“Mudah-mudahan ada ya lowongan buat aku. Kantor aku yang sebelumnya dan sekarang kan nggak sebegitu terkenalnya. Entah bisa ‘dijual’ nggak untuk melamar ke kantor lainnya yang lebih baik. Apalagi posisi aku bener-bener dari bawah banget. Beda sama mereka yang direkrut secara istimewa sama Kak Irawan, Zy. Bisa dapetin posisi tinggi. Jadinya, kalau suatu saat mereka pindah, bisa dapetin posisi lebih tinggi lagi deh. Udah mah mereka dari perguruan tinggi swasta ternama, pernah magang di perusahaan asing, pernah melanjutkan pendidikan di luar negeri juga, atau ada juga yang ternyata keluarganya punya perusahaan ternama di Indonesia. Gue apaan? Kak Irawan aja antipati banget sama kampus kita.”

“Biarin aja udah. Percaya, orang yang bekerja dengan jujur, pasti ada aja jalannya. Kamu nggak punya pengalaman kayak mereka bukan berarti kamu jauh nggak berkualitas dari mereka kali.”

“Tapi aku bentar lagi disingkirin, Zy. Nggak ada masa depan juga untuk berkarir terus di kantor ini bukan?”

“Ya mungkin emang karir kamu nggak untuk di kantor ini. Tapi di kantor lain. Yang aku yakin, lebih baik dari kantor ini. Kalau terus menerus disusahin dan disakitin, berarti udah saatnya kamu nggak mikirin itu dan segera pindah.”

“Andai ya segampang itu.”

“Loh apa susahnya? Cuman tinggal pindah aja. Kenapa? Takut CV kamu kurang menjual?”

“Bukan.”

“Terus?”

“Insyallah sih aku yakin, aku bisa survive di luar sana. Ya walaupun mungkin harus nganggur dulu, atau ke kantor yang lebih rendah reputasinya dari kantor ini. Tapi tadi konteks yang aku omongin bukan tentang itu…”

“Apaan emang?”

“Andai ya segampang itu, ketika diri dan hati aku ini terus menerus disusahin dan disakitin, aku bisa nggak mikirin kamu dan pindah ke lain hati.”

“APAAN SIH NGOMONG BEGITU?” gue cukup kaget dengan pernyataan Emi ini.

“... kayak apa yang BIASA kamu lakuin ke aku. Gampang jadiin aku cadangan dan pindah ke lain hati.”

“Kalau udah curhatnya, mending gue tutup aja teleponnya dah. Jadi nggak enak begini bahasannya.”

“Kamu menghindar…”

“Bukan menghindar. Tapi kalau urusannya jadi ngebahas begitu, pasti jadi melebar kemana-mana. Malesin. Ngerusak mood orang. Udah malem, mau tidur, males mesti berantem.”

“Kalau harus berantem, kenapa menghindar?”

“Lo pingin berantem lagi?”

“Kalau harus, kenapa nggak?”

“…”

“Gue ngantuk, mau tidur.”

Gue langsung menutup telponnya. Sepertinya gue mulai mengetahui sikap Emi yang moody seperti ini. Dia sepertinya mengetahui sesuatu. Apa dia tau atau feeling mengenai keberadaan Wila? Tapi kan gue nggak ngapa-ngapain sama Wila? Toh juga nggak ada keinginan untuk menyeriusi Wila dari awal. Entahlah, Emi selalu menjadi orang yang nggak terduga. Gue selalu kesulitan untuk menebak-nebak kemana arah pikiran dia.

“Mas, aku kangen loh kita bisa ketemu dan ngobrol kayak di Mall kemarin.”

Chat ini masuk tepat sekali setelah gue menutup telpon.
Diubah oleh yanagi92055 11-05-2020 17:19
namikazeminati
khodzimzz
itkgid
itkgid dan 24 lainnya memberi reputasi
25
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.