- Beranda
- Stories from the Heart
CATATAN VIOLET
...
TS
drupadi5
CATATAN VIOLET

Perjalanan ini akan membawa pada takdir dan misteri hidup yang mungkin tak pernah terpikirkan.
Ketika sebuah kebetulan dan ketidaksengajaan yang kita sangkakan, ternyata adalah sebuah rencana tersembunyi dari hidup.
Bersiaplah dan arungi perjalananmu
Kota Kenangan1
Kota Kenangan 2
Ardi Priambudi
Satrya Hanggara Yudha
Melisa Aryanthi
Made Brahmastra Purusathama
Altaffandra Nauzan
Altaffandra Nauzan : Sebuah Insiden
Altaffandra Nauzan : Patah Hati
Altaffandra Nauzan : the man next door
Sepotong Ikan Bakar di Sore yang Cerah
Expired
Adisty Putri Maharani
November Rain
Before Sunset
After Sunrise
Pencundang, pengecut, pencinta
Pencundang, pengecut, pencinta 2
Time to forget
Sebuah Hadiah
Jimbaran, 21 November 2018
Lagi, sebuah kebaikan
Lagi, sebuah kebaikan 2
Perkenalan
Temanku Malam Ini
Keluarga
03 Desember 2018
Jimbaran, 07 Desember 2018
Looking for a star
Ketika daun yang menguning bertahan akan helaan angin
Pertemuan
BERTAHAN
Hamparan Keraguan
Dan semua berakhir
Fix you
One chapter closed, let's open the next one
Deja Vu
Deja Vu karena ingatan terkadang seperti racun
Karena gw lagi labil, tolong biarin gw sendiri...
Semua pasti berujung, jika kau belum menemukannya teruslah berjalan...
Kepercayaan, kejujuran, kepahitan...
Seperti karang yang tidak menyerah pada ombak...
Damar Yudha
I Love You
Perjanjian...
Perjanjian (2)
Christmas Eve
That Day on The Christmas Eve
That Day on The Christmas Eve (2)
That Day on The Christmas Eve (3)
Di antara
William Oscar Hadinata
Tentang sebuah persahabatan...
Waiting for me...
Kebohongan, kebencian, kemarahan...
Oh Mama Oh Papa
Showing me another story...
Menjelajah ruang dan waktu
Keterikatan
Haruskah kembali?
Kematian dan keberuntungan
The ambience of confusing love
The ambience of love
Kenangan yang tak teringat...
Full of pressure
Persahabatan tidak seperti kepompong
Menunggu, sampai nanti...
Catatan Violet 2 (end): Mari Jangan Saling Menepati Janji
Jakarta, 20 Juni 2019 Lupakanlah Sejenak
Menjaga jarak, menjaga hati
First lady, second lady...
Teman
Teman?
Saudara
Mantan
Mantan (2)
Pacar?
Sahabat
Diubah oleh drupadi5 14-05-2021 15:13
JabLai cOY dan 132 lainnya memberi reputasi
129
23.8K
302
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
drupadi5
#35
After Sunrise 2 : pecundang, pengecut, pencinta
Selesai makan malam, dia mengajakku keliling Jimbaran melihat suasana malam dan kemudian ke Kuta, berlanjut ke Seminyak. Di salah satu restoran dia berhenti. Restoran ini punya design yang unik, di bagian depan dari restoran ini dibuat tempat duduk yang dibuat seperti tangga, seperti tempat duduk penonton sepak bola. Tempatnya tentu saja lebih nyaman dan ada meja kecil di setiap beberapa meter yang dilengkapi dengan lilin yang terapung di sebuah gelas kecil. Di depannya ada sebuah kolam yang disepanjang tepiannya yang berbatasan langsung dengan trotoar di pasangi beberapa obor.
Hanggara mengajakku masuk, dan duduk di tempat itu. Berasa seperti mau nonton pertandingan bola, hanya saja yang ini viewnya jalanan dan gemerlap restoran di seberang jalan.
Hanggara memberiku buku menu.
“Ngga usah, Ga, udah kenyang banget ini,” tolakku. Sebenernya aku merasa ngga enak karena tadi dia juga sudah traktir makan dan aku yakin pasti harganya mahal banget. Dan sekarang lagi-lagi dia menawariku.
“Ngga usah makan, minum aja, umm…. Aku pesenin aja ya.”
Aku mengangguk mengiyakan. Setelah pelayannya pergi, dia dengan santai duduk bersandar.
“Kamu sering ke sini ya?” tanyaku padanya yang duduk di sisi kiriku
“Ngga terlalu sering juga sih, kalau lagi suntuk aja. Asik kalau di sini bisa liat-liat jalanan, harusnya depan sana ganti diisi layar jadi bisa nonton biar kaya layar tancap.” Dia tergelak
“Jadi kayak duduk-duduk di warung kopi ya, bisa ngecengin cewek-cewek lewat,” timpalku bergurau
Dia tertawa mendengarnya. “Ngga usah susah-susah liatin cewek yang lewat, orang disampingku ada yang lebih cantik kok.”
“Mana?” aku mendongak melihat ke sampingnya, “Si mbak bule itu ya? Cocok kamu sama dia, kan sama-sama bule.” Kebetulan di sisi kirinya ada seorang cewek bule duduk sendirian. Tanpa kuduga dia memencet hidungku lembut sambil tertawa. Aku yang mendadak canggung, hanya bisa mengusap-usap hidungku.
“Cantikkan kamu lah!”
“Gombal!”
Dia tertawa tergelak.
“Kamu sibuk ya belakangan ini?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Lumayan, selasa ini aku ke Lombok.”
“O ya?”
“Mau ikut?”
Aku tersenyum. “Nggalah, beda job desk, boss.”
Dia tersenyum kecil, “Ada buka toko baru di sana, parahnya cabang Bali yang disuruh monitor dulu.”
“Kan bisa kerja sambil jalan-jalan, biar balance.”
“Ngga enak kalau jalan-jalannya sendirian.”
“Me time itu perlu, coba deh!” saranku
“Aku ngga pengen ‘me time’ aku maunya ‘our time’.” Aku hanya tertawa kecil mendengar rayuannya kali ini.
Seorang pelayan datang membawakan pesanan Hanggara, segelas minuman berwarna biru laut untuknya dan semangkuk coklat moist dengan topping vanilla dan coklat ice cream untukku.
“Makasi, pilihan kamu tepat banget,” ujarku memperlihatkan pesanannya. Dia tertawa kecil.
“Siapa sih yang ngga suka ice cream,” sahutnya.
“Waktu kecil aku suka banget ice cream, kalau aku minta dibeliin mama pasti bilangnya nanti, nanti, tapi ngga pernah jadi dibeliin. Jadi makan ice cream tu di momen-momen tertentu aja, biasanya kalau ada om atau tante yang datang ke rumah, baru bisa makan es cream.” Aku tertawa mengingat moment itu, “Jadi kalau di suruh milih, aku milihnya banyak sekalian karena tahu besok-besok ngga bakalan bisa makan lagi, trus sampai rumah kalau Mama lihat kena marah deh.”
“Mau pesen lagi?” tanyanya menggoda.
Aku tertawa lagi. “Kita lihat dulu, abis ini apa perutku masih muat nampung ngga.”
“Kalau kamu sukanya apa?” tanyaku kemudian
“hm… aku suka apa aja kalau makanan ya,” sahutnya.
“Kamu suka minum juga? Alkohol maksudku.”
“Suka sih ngga, tapi belakangan ini lumayan sering sih minum…,” sahutnya pelan.
Aku menatapnya, “Dugem juga?”
Dia balas menatapku. “Beberapa kali, iya.”
Aku mengalihkan pandanganku ke arah lalu lalang jalanan.
“I’m not the perfect man,” dia berkata lirih yang membuatku menoleh lagi padanya, menatap matanya yang ternyata masih memandangku
“No body’s perfect, and I believe none expect you to be perfect.”
“I wanna be perfect man for you.”
“I’m not looking a perfect man.”
“So what kind of man do you looking for?”
Aku membuang pandanganku, menghelas nafas sebelum menjawabnya, “aku ngga sedang mencari apapun.”
“Ngga sedikit pun kamu mau membagi ceritamu padaku?”
“Untuk apa?” Aku menatap matanya
“Memahamimu. Aku bukan peramal, Vio, aku ngga bisa baca pikiranmu, ngga bisa melihat ke masa lalu kamu.”
“Aku ngga minta kamu memahamiku, aku hanya ingin…” aku tidak meneruskan perkataanku.
“Ingin apa?”
“Ngga, lupakan….” Aku mengalihkan pandanganku ke jalanan yang sepertinya ngga pernah sepi. Di saat itulah aku seperti melihat seseorang yang sangat kukenal. Sepertinya Ardi, aku melihatnya sekilas karena sebagian wajahnya ditutupi oleh wajah seorang wanita bule yang berjalan bersamanya.
“Sebentar…,” ujarku pada Hanggara dan berjalan melewatinya. Dia menahanku dengan memegang tangaku
“Kenapa?”
“Ardi, aku liat Ardi.”
“trus kenapa, biarin aja.”
“Ngga, sebentar,” aku melepaskan tangannya dan bergegas turun. Aku berjalan cepat di trotoar, mendahului orang-orang yang ada di depanku sampai akhirnya aku melihat sesorang yang mirip Ardi dari belakang sedang berjalan bersisian dengan seorang wanita bule berambut pirang sepinggang. Sambil berjalan tangan laki-laki itu memeluk pinggang ramping si cewek dari belakang. Aku mempercepat langkah, dan begitu jarakku dekat dengannya, aku menepuk bahunya. Laki-laki itu menoleh, aku terkejut dan sepertinya dia pun merasakan hal yang sama terlihat dari ekspresi wajahnya.
“Hi, sorry, I’m your friend’s sister, can I talk to him? Just a second, please?” kataku langsung pada wanita bule itu.
“Sure, no problem,” sahutnya.
Aku menarik Ardi agak menepi menghindari orang yang lewat di trotoar itu.
“Siapa dia?” tanyaku, “Jangan bilang lo main cewek ya di sini?”
“Astaga, ngga lah, dia itu temennya temen gw, gw cuma dimintai tolong nganterin dia ketemuan sama temen gw itu.”
“Temennya temen lo?’
“Iya.”
“Jalannya gandengan, pake pelu-peluk mesra gitu?”
Ardi mulai salah tingkah, dia mengusap wajahnya dan menatapku berusaha menyakinkanku kalau dia berkata jujur. Tapi ada ketakutan terpancar di matanya. Seandainya dia berkata jujur seharusnya tidak perlu takut, bukan?
“Cuma gandengan, Vio, di sini wajarlah.”
Aku menatapnya tajam. “Ciuman di pinggir jalan juga hal yang wajar kok di sini, ini masalahnya elo yang ngelakuinnya. Ngga usah bohong, deh! Dari dulu lo ngga ada bakat bohong kalau sama gw. Lo bisa bohongin Lisa, tp gw ngga!”
Ardi diam. Fix, gw yakin ini dia bener-bener main cewek di sini.
“Gw nungguin penjelasn lo, ngga ada bohong-bohongan lagi, sebelum gw bilang semua ke Lisa.”
“Please, lo jangan lapor Lisa dong! Gw janji, gw jelasin semua tapi jangan sekarang ya. Lo dengerin gw dulu baru lo pikirin apa perlu Lisa tahu.”
“Gila lo ya?!”
“Please, Vio, jangan sekarang, gw pasti jelasin semua. Gw harus pergi sekarang. Besok gw telpon lo.”
“Gw mau ketemu lo langsung.”
“Okay, besok gw hubungi lagi. Gw janji, udah ya…” Ardi bergegas berbalik dan menghampiri cewek itu, kemudian mereka berjalan menjauh.
Aku hanya bisa memandangi mereka. Ngga menyangka Ardi berbuat kayak gini. Aku harus denger penjelasannya besok. Harus!!!
“Vio!” panggilan Hanggara membuyarkan lamunanku
“Gimana? Tadi beneran Mas Ardi?” tanyanya yang kubalas dengan anggukan. Aku ngerasa kesel sekaligus bingung gimana aku harus bersikap.
“Trus dia dimana?”
“Udah pergi,” sahutku sambil mengusap anak-anak rambut di dahiku, tiba-tiba kepalaku pening. Mungkin karena hiruk pikuk jalanan yang macet dan pikiranku negative di kepalaku.
“Yuk, balik,” Hanggara mengamit tanganku dan menggandengku kembali ke restaurant tadi. Tapi selera makanku sudah hilang.
Ketika dia mengajak naik untuk duduk lagi, aku menahan tangannya yang menggengam tanganku membuatnya melihat ke arahku.
“Kenapa?”
“Bisa ngga kita pulang aja?”
“Oh, ya udah. Aku bayar dulu.” Aku mengangguk dan dia bergegas masuk ke dalam ditemani oleh seorang pelayan.
***
Hanggara menghantarku sampai di depan gerbang kostanku.
“Makasi ya,” ujarku setelah melepaskan helmku
“Sama-sama. Kalau boleh tahu tadi kenapa sama Mas Ardi?”
“Tadi aku liat dia lagi jalan sama cewek.”
“Lalu…”
“Mereka gandengan, feelingku mereka ada hubungan lebih dari sekedar temen. Ceweknya Ardi di Jakarta itu sahabat aku. Aku ngga tahu harus gimana.”
“Tadi Mas Ardi bilang apa?”
“Dia ngga mau bilang. Tapi dia udah tahu kalau aku tahu dia bohong sewaktu bilang cewek itu cuma temennya. Besok aku harus ngomong sama dia.”
“Besok aku antar ya?”
“Ngga usah. Aku mau bicara berdua sama dia.”
“Ok, terserah kamu kalau gitu.”
“Hati-hati ya.” Kataku begitu melihat dia bersiap pergi.
“Kamu masuk dulu,” pintanya ketika aku masih berdiri di depan gerbang. Aku menurutinya dan masuk ke dalam. Kubiarkan pintu gerbang terbuka dan kudengar deru motornya perlahan menjauh. Tak lama kemudian ketika aku meletakkan helmku di motor, sebuah motor yang kukenal masuk, dan langsung parkir di sebelah motorku.
“Baru nyampe juga?” tanyanya begitu dia membuka helm
“Iya.” Sahutku
“Kamu kenapa?” pertanyaannya membuatku terkejut.
“hah?”
Dia malah tersenyum, “kamu kenapa wajahnya di tekuk gitu?”
Aku memaksakan untuk tersenyum, “Ngga apa-apa, capek aja.”
“Mau minuman coklat buatanku lagi?”
Aku tersenyum, kali ini tulus tanpa paksaan. “Ngga usah, kamu istirahat aja, capek juga kan pulang kerja.”
“Ngga kok, ayo, aku buatin lagi mumpung ada banyak stock.”
Dia berjalan mendahuluiku naik ke atas.
“Ga apa-apa kan nungguin bentar, aku mau mandi dulu," ujarnya sebelum masuk ke kamar. Aku hanya mengangguk. Sambil menunggunya aku mengeluarkan ponselku dan mengirim sebuah pesan ke Lisa. Tak berapa lama sebuah panggilan video call masuk ke ponselku.
“Ngapain sih lo VC-an, chat aja,” ujarku begitu koneksi tersambung dan wajah manis Lisa muncul di layar ponselku.
“Pengen aja, Vio, kangen tau ngga sih gw sama lo,” dia tertawa, “Eh, lo lagi di mana ini?”
“Di kostan aja,” sahutku berbohong.
“Lo tadi ada chat Ardi ngga? Tadi aku chat dia lama banget dibalesnya. Trus ini juga terakhir gw chat blom dibalas-balas juga.”
Deg. Duh kok Lisa jadi nanyain Ardi sih.
“Ee… gw ngga ada chat dia sih dari tadi, dia agak sibuk emang belakangan, lagi stoc-kan katanya.”
Memang aku perhatikan belakangan Ardi selalu pergi ke toko dengan alasan stock control karena ada item baru yang datang dan setelah dari toko dia langsung cabut pulang.
“Oh gitu ya.”
“Tadi dia bilang lagi dimana waktu lo chat?” tanyaku
“Katanya lagi di jalan, nganterin temennya ke Kuta,” sahutnya. Iya temen ceweknya, batinku geram.
“Oh, mungkin lagi di jalan jadi ngga bisa bales chat lo,” kataku memberi alasan supaya dia tenang.
“Vi, lo ada di kasi tahu Ardi ngga?”
“Apaan?”
“Lo ngga tahu ya?” Lisa malah balik nanya lagi
“Tahu apa sih? Ngga ngerti gw!”
“Ardi ngga ada ngasi tahu lo?”
“OMG!! Lisa, gw ngga tahu apa-apa, Ardi ngga ada bilang apa pun ke gw… soal apaan sih?”
“Taraaaaaaa!!!!” Dia memamerkan jari-jarinya di layar ponselku
“Apaan sih? Emang kenapa tangan lo?” aku sibuk mencari-cari sesuatu yang mencurigakan dari tangannya Lisa.
“Viooo, Ardi ngelamar gw!!!!” teriaknya sangat nyaring. Aku kaget, bukan karena suara kerasnya Lisa tapi dengan apa yang dibilang Lisa tadi. Ardi ngelamar Lisa? Trus tadi aku lihat dia jalan bareng cewek lain pakai peluk-peluk segala.
“Vio??!?!? Lo kok diem aja sih? Akhirnya Ardi ngelamar gw, Vi.” Aku lihat wajah manis Lisa tampak sumringah, bahagia sekali sepertinya.
“Eh, iya, selamat ya, dia ngasi lo cincin?”
“Iya, kemarin sore dia bela-belain ke Jakarta cuma buat nanyain mau ngga gw nikah sama dia, trus gw bilang mau banget, nih dia ngasi ini ke gw.” Lagi-lagi dia memperlihatkan jari manisnya yang telah dilingkari sebuah cincin.
“Jahat si Ardi gw ngga dikasi tahu, dia ke Jakarta aja gw ngga tahu,” ujarku, berarti sepulang kantor kemarin dia langsung ke Jakarta.
“Gw seneng banget, Vio.”
“Gw juga ikut seneng buat lo. Kapan dia mau ketemu keluarga lo?”
“MInggu depan katanya, dia udah ngambil cuti kan?”
“em… gw ngga tahu, bukan ranah gw mah itu.”
“Ntar lo tanyain ke Angga ya, soalnya Ardi bilang masih belum tahu bisa minggu depan atau ngga,” pintanya memelas.
“Kalau ngga dapat cuti kan bisa ambil weekend, sabtu minggunya.”
“Iya, sih, cuma gw pengen dia datang at least 2 atau 3 hari sebelum hari lamarannya.”
“Ya udah, ntar coba gw tanyain Angga apa Ardi udah request cuti apa belum.”
“Thank ya, Vi. Any way, lo datang juga lho ya? Harus!”
“Yah, ngga usah lah, ntar aja pas nikahan, gw kirim doa aja dari sini.”
Saat itulah Fandra datang dan meletakkan segelas coklat di atas dinding pembatas balkon di sampingku berdiri.
“Eh, siapa itu?” Aku menoleh ke Fandra yang di sambut dengan senyumannya
“Temen,” sahutku
“Coba liat?”
“Iiihh, lo itu dah mau nikah masih liat-liat aja.”
“Lha kan cuma mau liat doang, kenalan juga boleh hehehe…”
“Udah ah. Mau tidur nih gw.”
“Iya, iya…”
“Bye Vio, muah..”
Sambungan pun terputus. Aku menghela nafas panjang.
“Kenapa? Bukannya happy temen kamu lamaran?” tanya Fandra setelah menyesap coklatnya.
Aku memandangnya, “Sorry tadi aku denger obrolan kalian, suaranya kenceng banget, sih.” Dia tersenyum, tidak mau disalahkan karena menguping.
“Masalahnya, tadi aku liat cowoknya dia jalan sama cewek, pake peluk-pelukan segala, trus dia bilang cuma temen, mana percaya aku.”
“trus?”
“Belum tahu aku, dia ngga mau jelasin, besok aku mau ngomong sama dia. Aku juga kaget ternyata dia ngelamar ceweknya. Tapi di sini kelakuannya kok malah kayak gini, aku bingung tadi mesti ngomong apa,” curhatku.
Tapi fandra malah tertawa.
“Kenapa kamu ketawa?”
“Ngga…lucu, aja, manusia itu aneh-aneh ya.”
“Kalau ngga aneh bukan hidup di dunia namanya, kan?” sahutku
Dia tergelak lagi.
“Pasti kamu dulu juga gitu kelakuannya, ya?” tuduhku asal yang disambut dengan tawanya yang semakin menjadi
“Tuh kan ketawa lagi, bener pastinya!”
“Ngga kok…,” sahutnya setelah tawanya mereda, “Ngga salah,” lanjutnya mengerling padaku
Reflek tanganku meninju lengannya.
“Mungkin cuma buat selingan aja, ngga pakai hati. Yang jelas kan yang cowok udah memantapkan niat buat ngelamar.” Aku masih terdiam.
“Lebih baik kan, daripada menghilang tiba-tiba…” ujarnya lagi membuatku menoleh dan mendelik ke arahnya. Dia menyindirku.
“Sorry becanda…peace!!” Dia menganggkat dua jarinya sambil tersenyum jenaka.
“Yah, lebih baik jadi pecundang, daripada jadi pengecut,” sahutku.
“Aku pecundang.”
“Dan aku korban dari pengecut…”
“Tapi kamu masih bertahan dengan si pengecut, masi berharap.”
Aku terdiam sebelum menjawabnya, “Berharap mendapat penjelasan.”
“Masih cinta?” Aku meliriknya yang juga melirikku dengan senyum menggodanya
“Mengakui dengan jujur jauh lebih melegakan lho,” ujarnya karena melihatku hanya terdiam saja dengan pertanyaannya
“Kalau penjelasaannya masih logis, aku akan memberinya kesempatan sekali lagi.”
“Kalau ngga?”
“Kalau ngga… ya berarti, selesai.”
“Dan penantian kamu selama ini jadi sia-sia dong.”
“Buat aku ngga ada yang sia-sia, at least, aku puas karena aku sudah memperjuangkan perasaanku, apapun hasilnya aku ngga masalah. Seandainya nanti ini menjadi kenangan buatku, ngga akan ada rasa penyesalan.”
“Trus kamu sendiri, masih blom move on?” Kali ini giliranku yang menyindirnya
“Kok jadi bahas aku sih?” protesnya
“Kamu juga kok jadi bahas aku, kan aku lagi curhat soal temenku?!”
Dia tertawa lagi.
“Besok kamu omongin sejelas-jelasnya sama si cowok. Dan menurutku sih, lebih baik kamu jangan terlalu mencampuri urusan mereka. Biar pun ceweknya sahabat kamu, tapi mereka berdua sudah jadi dua orang yang saling mempercayai, kalau pun kamu merasa perlu si cewek tahu dan bahkan mungkin sampai membatalkan lamarannya, kamu harus bisa menggiring ceweknya biar dia tahu dengan membuktikannya sendiri.”
Aku memikirkan apa yang Fandra katakan. Ada benarnya juga.
“Kamu tahu, terkadang, pun ketika salah satu pasangan tahu pasangan mereka berkhianat mereka tetap bisa melanjutkan hubungannya.”
“The power of love?” tanyaku menatapnya
Dia tersenyum sinis, “Terkadang hubungan antara pria dan wanita yang saling mencintai ngga melulu soal cinta. Cinta itu nomor kesekian.”
Dia menatapku, “Aku yakin kamu juga merasakan hal yang sama dengan cowok kamu itu.”
Aku menggeleng, “Entahlah. Aku hanya mengikuti alurnya, kalau memang masih bisa bertemu dan menyelesaikan semua akan lebih bagus, tapi jika memang tidak bisa ya aku ngga akan memaksa. Aku hanya mengikuti waktu.”
“Waktu ngga akan berhenti, kamu yakin kuat?”
“Kan aku bilang aku ngga akan memaksa, kalau aku merasa harus menyerah, ya aku akan menyerah.”
Dia tersenyum.
“Minuman yang kamu buat selalu enak,” ujarku setelah menghabiskan tegukan terakhir coklat vodkanya, “dan ngobrol sama kamu juga selalu menyenangkan, kamu juga baik banget, suka menolong, suka ngegombal, aku jadi ngga percaya kalau kamu belom move on dan ngga punya pacar.” Ujarku kemudian, aku ngga mau lagi dia membahas tentangku terus.
Kembali dia terbahak-bahak.
“Ayolah cerita,” desakku, “aku ngga mau lho ya, jadi korban kebohongan kamu, aku ngga mau abis kamu ajak keluar trus tiba-tiba ada cewek yang nungguin di sini trus ngelabrak bilangin aku pelakor.”
“Hahahahahaha..... udah jadi korban pengecut, sekarang jadi korban pembohong, gitu ya…”
“Ayo dong, yang jujur!”
“Vio, vio…kan udah aku bilang aku ngga punya cewek, sumpah dah!”
“Bener lho ya, aku ngga mau ntar di tuduh jadi pelakor, cukup kamu aja yang jadi pelakor!”
Dan dia kembali tertawa terbahak-bahak. Sejenak aku bisa melupakan kekhawatiran di pikiranku.

Selesai makan malam, dia mengajakku keliling Jimbaran melihat suasana malam dan kemudian ke Kuta, berlanjut ke Seminyak. Di salah satu restoran dia berhenti. Restoran ini punya design yang unik, di bagian depan dari restoran ini dibuat tempat duduk yang dibuat seperti tangga, seperti tempat duduk penonton sepak bola. Tempatnya tentu saja lebih nyaman dan ada meja kecil di setiap beberapa meter yang dilengkapi dengan lilin yang terapung di sebuah gelas kecil. Di depannya ada sebuah kolam yang disepanjang tepiannya yang berbatasan langsung dengan trotoar di pasangi beberapa obor.
Hanggara mengajakku masuk, dan duduk di tempat itu. Berasa seperti mau nonton pertandingan bola, hanya saja yang ini viewnya jalanan dan gemerlap restoran di seberang jalan.
Hanggara memberiku buku menu.
“Ngga usah, Ga, udah kenyang banget ini,” tolakku. Sebenernya aku merasa ngga enak karena tadi dia juga sudah traktir makan dan aku yakin pasti harganya mahal banget. Dan sekarang lagi-lagi dia menawariku.
“Ngga usah makan, minum aja, umm…. Aku pesenin aja ya.”
Aku mengangguk mengiyakan. Setelah pelayannya pergi, dia dengan santai duduk bersandar.
“Kamu sering ke sini ya?” tanyaku padanya yang duduk di sisi kiriku
“Ngga terlalu sering juga sih, kalau lagi suntuk aja. Asik kalau di sini bisa liat-liat jalanan, harusnya depan sana ganti diisi layar jadi bisa nonton biar kaya layar tancap.” Dia tergelak
“Jadi kayak duduk-duduk di warung kopi ya, bisa ngecengin cewek-cewek lewat,” timpalku bergurau
Dia tertawa mendengarnya. “Ngga usah susah-susah liatin cewek yang lewat, orang disampingku ada yang lebih cantik kok.”
“Mana?” aku mendongak melihat ke sampingnya, “Si mbak bule itu ya? Cocok kamu sama dia, kan sama-sama bule.” Kebetulan di sisi kirinya ada seorang cewek bule duduk sendirian. Tanpa kuduga dia memencet hidungku lembut sambil tertawa. Aku yang mendadak canggung, hanya bisa mengusap-usap hidungku.
“Cantikkan kamu lah!”
“Gombal!”
Dia tertawa tergelak.
“Kamu sibuk ya belakangan ini?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Lumayan, selasa ini aku ke Lombok.”
“O ya?”
“Mau ikut?”
Aku tersenyum. “Nggalah, beda job desk, boss.”
Dia tersenyum kecil, “Ada buka toko baru di sana, parahnya cabang Bali yang disuruh monitor dulu.”
“Kan bisa kerja sambil jalan-jalan, biar balance.”
“Ngga enak kalau jalan-jalannya sendirian.”
“Me time itu perlu, coba deh!” saranku
“Aku ngga pengen ‘me time’ aku maunya ‘our time’.” Aku hanya tertawa kecil mendengar rayuannya kali ini.
Seorang pelayan datang membawakan pesanan Hanggara, segelas minuman berwarna biru laut untuknya dan semangkuk coklat moist dengan topping vanilla dan coklat ice cream untukku.
“Makasi, pilihan kamu tepat banget,” ujarku memperlihatkan pesanannya. Dia tertawa kecil.
“Siapa sih yang ngga suka ice cream,” sahutnya.
“Waktu kecil aku suka banget ice cream, kalau aku minta dibeliin mama pasti bilangnya nanti, nanti, tapi ngga pernah jadi dibeliin. Jadi makan ice cream tu di momen-momen tertentu aja, biasanya kalau ada om atau tante yang datang ke rumah, baru bisa makan es cream.” Aku tertawa mengingat moment itu, “Jadi kalau di suruh milih, aku milihnya banyak sekalian karena tahu besok-besok ngga bakalan bisa makan lagi, trus sampai rumah kalau Mama lihat kena marah deh.”
“Mau pesen lagi?” tanyanya menggoda.
Aku tertawa lagi. “Kita lihat dulu, abis ini apa perutku masih muat nampung ngga.”
“Kalau kamu sukanya apa?” tanyaku kemudian
“hm… aku suka apa aja kalau makanan ya,” sahutnya.
“Kamu suka minum juga? Alkohol maksudku.”
“Suka sih ngga, tapi belakangan ini lumayan sering sih minum…,” sahutnya pelan.
Aku menatapnya, “Dugem juga?”
Dia balas menatapku. “Beberapa kali, iya.”
Aku mengalihkan pandanganku ke arah lalu lalang jalanan.
“I’m not the perfect man,” dia berkata lirih yang membuatku menoleh lagi padanya, menatap matanya yang ternyata masih memandangku
“No body’s perfect, and I believe none expect you to be perfect.”
“I wanna be perfect man for you.”
“I’m not looking a perfect man.”
“So what kind of man do you looking for?”
Aku membuang pandanganku, menghelas nafas sebelum menjawabnya, “aku ngga sedang mencari apapun.”
“Ngga sedikit pun kamu mau membagi ceritamu padaku?”
“Untuk apa?” Aku menatap matanya
“Memahamimu. Aku bukan peramal, Vio, aku ngga bisa baca pikiranmu, ngga bisa melihat ke masa lalu kamu.”
“Aku ngga minta kamu memahamiku, aku hanya ingin…” aku tidak meneruskan perkataanku.
“Ingin apa?”
“Ngga, lupakan….” Aku mengalihkan pandanganku ke jalanan yang sepertinya ngga pernah sepi. Di saat itulah aku seperti melihat seseorang yang sangat kukenal. Sepertinya Ardi, aku melihatnya sekilas karena sebagian wajahnya ditutupi oleh wajah seorang wanita bule yang berjalan bersamanya.
“Sebentar…,” ujarku pada Hanggara dan berjalan melewatinya. Dia menahanku dengan memegang tangaku
“Kenapa?”
“Ardi, aku liat Ardi.”
“trus kenapa, biarin aja.”
“Ngga, sebentar,” aku melepaskan tangannya dan bergegas turun. Aku berjalan cepat di trotoar, mendahului orang-orang yang ada di depanku sampai akhirnya aku melihat sesorang yang mirip Ardi dari belakang sedang berjalan bersisian dengan seorang wanita bule berambut pirang sepinggang. Sambil berjalan tangan laki-laki itu memeluk pinggang ramping si cewek dari belakang. Aku mempercepat langkah, dan begitu jarakku dekat dengannya, aku menepuk bahunya. Laki-laki itu menoleh, aku terkejut dan sepertinya dia pun merasakan hal yang sama terlihat dari ekspresi wajahnya.
“Hi, sorry, I’m your friend’s sister, can I talk to him? Just a second, please?” kataku langsung pada wanita bule itu.
“Sure, no problem,” sahutnya.
Aku menarik Ardi agak menepi menghindari orang yang lewat di trotoar itu.
“Siapa dia?” tanyaku, “Jangan bilang lo main cewek ya di sini?”
“Astaga, ngga lah, dia itu temennya temen gw, gw cuma dimintai tolong nganterin dia ketemuan sama temen gw itu.”
“Temennya temen lo?’
“Iya.”
“Jalannya gandengan, pake pelu-peluk mesra gitu?”
Ardi mulai salah tingkah, dia mengusap wajahnya dan menatapku berusaha menyakinkanku kalau dia berkata jujur. Tapi ada ketakutan terpancar di matanya. Seandainya dia berkata jujur seharusnya tidak perlu takut, bukan?
“Cuma gandengan, Vio, di sini wajarlah.”
Aku menatapnya tajam. “Ciuman di pinggir jalan juga hal yang wajar kok di sini, ini masalahnya elo yang ngelakuinnya. Ngga usah bohong, deh! Dari dulu lo ngga ada bakat bohong kalau sama gw. Lo bisa bohongin Lisa, tp gw ngga!”
Ardi diam. Fix, gw yakin ini dia bener-bener main cewek di sini.
“Gw nungguin penjelasn lo, ngga ada bohong-bohongan lagi, sebelum gw bilang semua ke Lisa.”
“Please, lo jangan lapor Lisa dong! Gw janji, gw jelasin semua tapi jangan sekarang ya. Lo dengerin gw dulu baru lo pikirin apa perlu Lisa tahu.”
“Gila lo ya?!”
“Please, Vio, jangan sekarang, gw pasti jelasin semua. Gw harus pergi sekarang. Besok gw telpon lo.”
“Gw mau ketemu lo langsung.”
“Okay, besok gw hubungi lagi. Gw janji, udah ya…” Ardi bergegas berbalik dan menghampiri cewek itu, kemudian mereka berjalan menjauh.
Aku hanya bisa memandangi mereka. Ngga menyangka Ardi berbuat kayak gini. Aku harus denger penjelasannya besok. Harus!!!
“Vio!” panggilan Hanggara membuyarkan lamunanku
“Gimana? Tadi beneran Mas Ardi?” tanyanya yang kubalas dengan anggukan. Aku ngerasa kesel sekaligus bingung gimana aku harus bersikap.
“Trus dia dimana?”
“Udah pergi,” sahutku sambil mengusap anak-anak rambut di dahiku, tiba-tiba kepalaku pening. Mungkin karena hiruk pikuk jalanan yang macet dan pikiranku negative di kepalaku.
“Yuk, balik,” Hanggara mengamit tanganku dan menggandengku kembali ke restaurant tadi. Tapi selera makanku sudah hilang.
Ketika dia mengajak naik untuk duduk lagi, aku menahan tangannya yang menggengam tanganku membuatnya melihat ke arahku.
“Kenapa?”
“Bisa ngga kita pulang aja?”
“Oh, ya udah. Aku bayar dulu.” Aku mengangguk dan dia bergegas masuk ke dalam ditemani oleh seorang pelayan.
***
Hanggara menghantarku sampai di depan gerbang kostanku.
“Makasi ya,” ujarku setelah melepaskan helmku
“Sama-sama. Kalau boleh tahu tadi kenapa sama Mas Ardi?”
“Tadi aku liat dia lagi jalan sama cewek.”
“Lalu…”
“Mereka gandengan, feelingku mereka ada hubungan lebih dari sekedar temen. Ceweknya Ardi di Jakarta itu sahabat aku. Aku ngga tahu harus gimana.”
“Tadi Mas Ardi bilang apa?”
“Dia ngga mau bilang. Tapi dia udah tahu kalau aku tahu dia bohong sewaktu bilang cewek itu cuma temennya. Besok aku harus ngomong sama dia.”
“Besok aku antar ya?”
“Ngga usah. Aku mau bicara berdua sama dia.”
“Ok, terserah kamu kalau gitu.”
“Hati-hati ya.” Kataku begitu melihat dia bersiap pergi.
“Kamu masuk dulu,” pintanya ketika aku masih berdiri di depan gerbang. Aku menurutinya dan masuk ke dalam. Kubiarkan pintu gerbang terbuka dan kudengar deru motornya perlahan menjauh. Tak lama kemudian ketika aku meletakkan helmku di motor, sebuah motor yang kukenal masuk, dan langsung parkir di sebelah motorku.
“Baru nyampe juga?” tanyanya begitu dia membuka helm
“Iya.” Sahutku
“Kamu kenapa?” pertanyaannya membuatku terkejut.
“hah?”
Dia malah tersenyum, “kamu kenapa wajahnya di tekuk gitu?”
Aku memaksakan untuk tersenyum, “Ngga apa-apa, capek aja.”
“Mau minuman coklat buatanku lagi?”
Aku tersenyum, kali ini tulus tanpa paksaan. “Ngga usah, kamu istirahat aja, capek juga kan pulang kerja.”
“Ngga kok, ayo, aku buatin lagi mumpung ada banyak stock.”
Dia berjalan mendahuluiku naik ke atas.
“Ga apa-apa kan nungguin bentar, aku mau mandi dulu," ujarnya sebelum masuk ke kamar. Aku hanya mengangguk. Sambil menunggunya aku mengeluarkan ponselku dan mengirim sebuah pesan ke Lisa. Tak berapa lama sebuah panggilan video call masuk ke ponselku.
“Ngapain sih lo VC-an, chat aja,” ujarku begitu koneksi tersambung dan wajah manis Lisa muncul di layar ponselku.
“Pengen aja, Vio, kangen tau ngga sih gw sama lo,” dia tertawa, “Eh, lo lagi di mana ini?”
“Di kostan aja,” sahutku berbohong.
“Lo tadi ada chat Ardi ngga? Tadi aku chat dia lama banget dibalesnya. Trus ini juga terakhir gw chat blom dibalas-balas juga.”
Deg. Duh kok Lisa jadi nanyain Ardi sih.
“Ee… gw ngga ada chat dia sih dari tadi, dia agak sibuk emang belakangan, lagi stoc-kan katanya.”
Memang aku perhatikan belakangan Ardi selalu pergi ke toko dengan alasan stock control karena ada item baru yang datang dan setelah dari toko dia langsung cabut pulang.
“Oh gitu ya.”
“Tadi dia bilang lagi dimana waktu lo chat?” tanyaku
“Katanya lagi di jalan, nganterin temennya ke Kuta,” sahutnya. Iya temen ceweknya, batinku geram.
“Oh, mungkin lagi di jalan jadi ngga bisa bales chat lo,” kataku memberi alasan supaya dia tenang.
“Vi, lo ada di kasi tahu Ardi ngga?”
“Apaan?”
“Lo ngga tahu ya?” Lisa malah balik nanya lagi
“Tahu apa sih? Ngga ngerti gw!”
“Ardi ngga ada ngasi tahu lo?”
“OMG!! Lisa, gw ngga tahu apa-apa, Ardi ngga ada bilang apa pun ke gw… soal apaan sih?”
“Taraaaaaaa!!!!” Dia memamerkan jari-jarinya di layar ponselku
“Apaan sih? Emang kenapa tangan lo?” aku sibuk mencari-cari sesuatu yang mencurigakan dari tangannya Lisa.
“Viooo, Ardi ngelamar gw!!!!” teriaknya sangat nyaring. Aku kaget, bukan karena suara kerasnya Lisa tapi dengan apa yang dibilang Lisa tadi. Ardi ngelamar Lisa? Trus tadi aku lihat dia jalan bareng cewek lain pakai peluk-peluk segala.
“Vio??!?!? Lo kok diem aja sih? Akhirnya Ardi ngelamar gw, Vi.” Aku lihat wajah manis Lisa tampak sumringah, bahagia sekali sepertinya.
“Eh, iya, selamat ya, dia ngasi lo cincin?”
“Iya, kemarin sore dia bela-belain ke Jakarta cuma buat nanyain mau ngga gw nikah sama dia, trus gw bilang mau banget, nih dia ngasi ini ke gw.” Lagi-lagi dia memperlihatkan jari manisnya yang telah dilingkari sebuah cincin.
“Jahat si Ardi gw ngga dikasi tahu, dia ke Jakarta aja gw ngga tahu,” ujarku, berarti sepulang kantor kemarin dia langsung ke Jakarta.
“Gw seneng banget, Vio.”
“Gw juga ikut seneng buat lo. Kapan dia mau ketemu keluarga lo?”
“MInggu depan katanya, dia udah ngambil cuti kan?”
“em… gw ngga tahu, bukan ranah gw mah itu.”
“Ntar lo tanyain ke Angga ya, soalnya Ardi bilang masih belum tahu bisa minggu depan atau ngga,” pintanya memelas.
“Kalau ngga dapat cuti kan bisa ambil weekend, sabtu minggunya.”
“Iya, sih, cuma gw pengen dia datang at least 2 atau 3 hari sebelum hari lamarannya.”
“Ya udah, ntar coba gw tanyain Angga apa Ardi udah request cuti apa belum.”
“Thank ya, Vi. Any way, lo datang juga lho ya? Harus!”
“Yah, ngga usah lah, ntar aja pas nikahan, gw kirim doa aja dari sini.”
Saat itulah Fandra datang dan meletakkan segelas coklat di atas dinding pembatas balkon di sampingku berdiri.
“Eh, siapa itu?” Aku menoleh ke Fandra yang di sambut dengan senyumannya
“Temen,” sahutku
“Coba liat?”
“Iiihh, lo itu dah mau nikah masih liat-liat aja.”
“Lha kan cuma mau liat doang, kenalan juga boleh hehehe…”
“Udah ah. Mau tidur nih gw.”
“Iya, iya…”
“Bye Vio, muah..”
Sambungan pun terputus. Aku menghela nafas panjang.
“Kenapa? Bukannya happy temen kamu lamaran?” tanya Fandra setelah menyesap coklatnya.
Aku memandangnya, “Sorry tadi aku denger obrolan kalian, suaranya kenceng banget, sih.” Dia tersenyum, tidak mau disalahkan karena menguping.
“Masalahnya, tadi aku liat cowoknya dia jalan sama cewek, pake peluk-pelukan segala, trus dia bilang cuma temen, mana percaya aku.”
“trus?”
“Belum tahu aku, dia ngga mau jelasin, besok aku mau ngomong sama dia. Aku juga kaget ternyata dia ngelamar ceweknya. Tapi di sini kelakuannya kok malah kayak gini, aku bingung tadi mesti ngomong apa,” curhatku.
Tapi fandra malah tertawa.
“Kenapa kamu ketawa?”
“Ngga…lucu, aja, manusia itu aneh-aneh ya.”
“Kalau ngga aneh bukan hidup di dunia namanya, kan?” sahutku
Dia tergelak lagi.
“Pasti kamu dulu juga gitu kelakuannya, ya?” tuduhku asal yang disambut dengan tawanya yang semakin menjadi
“Tuh kan ketawa lagi, bener pastinya!”
“Ngga kok…,” sahutnya setelah tawanya mereda, “Ngga salah,” lanjutnya mengerling padaku
Reflek tanganku meninju lengannya.
“Mungkin cuma buat selingan aja, ngga pakai hati. Yang jelas kan yang cowok udah memantapkan niat buat ngelamar.” Aku masih terdiam.
“Lebih baik kan, daripada menghilang tiba-tiba…” ujarnya lagi membuatku menoleh dan mendelik ke arahnya. Dia menyindirku.
“Sorry becanda…peace!!” Dia menganggkat dua jarinya sambil tersenyum jenaka.
“Yah, lebih baik jadi pecundang, daripada jadi pengecut,” sahutku.
“Aku pecundang.”
“Dan aku korban dari pengecut…”
“Tapi kamu masih bertahan dengan si pengecut, masi berharap.”
Aku terdiam sebelum menjawabnya, “Berharap mendapat penjelasan.”
“Masih cinta?” Aku meliriknya yang juga melirikku dengan senyum menggodanya
“Mengakui dengan jujur jauh lebih melegakan lho,” ujarnya karena melihatku hanya terdiam saja dengan pertanyaannya
“Kalau penjelasaannya masih logis, aku akan memberinya kesempatan sekali lagi.”
“Kalau ngga?”
“Kalau ngga… ya berarti, selesai.”
“Dan penantian kamu selama ini jadi sia-sia dong.”
“Buat aku ngga ada yang sia-sia, at least, aku puas karena aku sudah memperjuangkan perasaanku, apapun hasilnya aku ngga masalah. Seandainya nanti ini menjadi kenangan buatku, ngga akan ada rasa penyesalan.”
“Trus kamu sendiri, masih blom move on?” Kali ini giliranku yang menyindirnya
“Kok jadi bahas aku sih?” protesnya
“Kamu juga kok jadi bahas aku, kan aku lagi curhat soal temenku?!”
Dia tertawa lagi.
“Besok kamu omongin sejelas-jelasnya sama si cowok. Dan menurutku sih, lebih baik kamu jangan terlalu mencampuri urusan mereka. Biar pun ceweknya sahabat kamu, tapi mereka berdua sudah jadi dua orang yang saling mempercayai, kalau pun kamu merasa perlu si cewek tahu dan bahkan mungkin sampai membatalkan lamarannya, kamu harus bisa menggiring ceweknya biar dia tahu dengan membuktikannya sendiri.”
Aku memikirkan apa yang Fandra katakan. Ada benarnya juga.
“Kamu tahu, terkadang, pun ketika salah satu pasangan tahu pasangan mereka berkhianat mereka tetap bisa melanjutkan hubungannya.”
“The power of love?” tanyaku menatapnya
Dia tersenyum sinis, “Terkadang hubungan antara pria dan wanita yang saling mencintai ngga melulu soal cinta. Cinta itu nomor kesekian.”
Dia menatapku, “Aku yakin kamu juga merasakan hal yang sama dengan cowok kamu itu.”
Aku menggeleng, “Entahlah. Aku hanya mengikuti alurnya, kalau memang masih bisa bertemu dan menyelesaikan semua akan lebih bagus, tapi jika memang tidak bisa ya aku ngga akan memaksa. Aku hanya mengikuti waktu.”
“Waktu ngga akan berhenti, kamu yakin kuat?”
“Kan aku bilang aku ngga akan memaksa, kalau aku merasa harus menyerah, ya aku akan menyerah.”
Dia tersenyum.
“Minuman yang kamu buat selalu enak,” ujarku setelah menghabiskan tegukan terakhir coklat vodkanya, “dan ngobrol sama kamu juga selalu menyenangkan, kamu juga baik banget, suka menolong, suka ngegombal, aku jadi ngga percaya kalau kamu belom move on dan ngga punya pacar.” Ujarku kemudian, aku ngga mau lagi dia membahas tentangku terus.
Kembali dia terbahak-bahak.
“Ayolah cerita,” desakku, “aku ngga mau lho ya, jadi korban kebohongan kamu, aku ngga mau abis kamu ajak keluar trus tiba-tiba ada cewek yang nungguin di sini trus ngelabrak bilangin aku pelakor.”
“Hahahahahaha..... udah jadi korban pengecut, sekarang jadi korban pembohong, gitu ya…”
“Ayo dong, yang jujur!”
“Vio, vio…kan udah aku bilang aku ngga punya cewek, sumpah dah!”
“Bener lho ya, aku ngga mau ntar di tuduh jadi pelakor, cukup kamu aja yang jadi pelakor!”
Dan dia kembali tertawa terbahak-bahak. Sejenak aku bisa melupakan kekhawatiran di pikiranku.

JabLai cOY dan 6 lainnya memberi reputasi
7