- Beranda
- Stories from the Heart
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
...
TS
yanagi92055
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
Selamat Datang di Thread Gue
(私のスレッドへようこそ)
(私のスレッドへようこそ)
TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI DUA TRIT GUE SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT SELANJUTNYA INI, GUE DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK GUE DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DISINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR
Spoiler for Season 1 dan Season 2:
Last Season, on Muara Sebuah Pencarian - Season 2 :
Quote:
INFORMASI TERKAIT UPDATE TRIT ATAU KEMUNGKINAN KARYA LAINNYA BISA JUGA DI CEK DI IG: @yanagi92055 SEBAGAI ALTERNATIF JIKA NOTIF KASKUS BERMASALAH
Spoiler for INDEX SEASON 3:
Spoiler for LINK BARU PERATURAN & MULUSTRASI SEASON 3:
Quote:
Quote:
Quote:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 83 suara
Perlukah Seri ini dilanjutkan?
Perlu
99%
Tidak Perlu
1%
Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 10:25
al.galauwi dan 142 lainnya memberi reputasi
133
342.8K
4.9K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
yanagi92055
#2048
Prosesi
Sehabis gue pulang dari Surabaya, gue langsung menuju kerumah. Sebelumnya, perjalanan yang seharusnya tidak sampai malam hari malah meleset dari perhitungan karena keberangkatan pesawat yang delay sampai hampir tiga jam dari Bandara Djuanda Sidoarjo, Jawa Timur.
Kondisi gue sudah sangat capek karena terlalu lama menunggu dan bandara tersebut nggak senyaman bandara Changi di Singapura. Badan gue udah lelah, ternyata ketika sampai di Ibukota pun perjalanan menuju kerumahnya sangat macet. Gue belum bisa benar-benar mengistirahatkan badan sepenuhnya karena gue harus tidur-bangun berulang kali dikursi bis yang nggak seenak kasur rumah.
Sesampainya dirumah pun, nggak sampai setengah jam gue istirahat dan bersih-bersih, sudah langsung diminta bantuannya untuk dekorasi dan segala macamnya. Untung rumah gue sekarang ini jauh lebih kecil daripada yang dulu. Coba kalau masih disana, bisa pingsan gue membantu dekorasi rumah yang besar kayak begitu.
Iringan komando dan kadang ditambah omelan dari Mama karena nggak sesuai sudah nggak gue peduliin lagi. Yang penting kelar, dan gue mau tidur dulu sebentar. Kalau nggak istirahat, prosesi lamaran besok bakalan kacau. Gue sebagai pengganti Papa harus tampil prima kan.
Baru jelang subuh dekorasi ini selesai. kemudian, gue langsung pergi tidur. Gue udah suntuk, capek, belum lagi konfrontasi yang berulang dengan Mama dan adik gue karena merasa gue nggak maksimal bantuinnya, membuat gue sangat bad mood sebelum pergi tidur. Dan itu adalah sesuatu yang nggak sehat.
--
“Zy? Ayo bangun, Zy. Kamu siap-siap dulu. Baru kita bantu cek yang lain, sesuai job desk kemarin.” Suara Emi samar membangunkan gue, saat itu gue udah agak kebangun karena udah mulai berisik diluar kamar.
“Gue capek pake banget. Ngantuk. Baru tidur 3 jam kali gue. Sumpah!” kata gue lalu menarik selimut tebal gue lagi sampai ke kepala.
“Tapi kan acara lamarannya mesti tetap jalan. Dan kamu dibutuhin di sana. Nanti pas abis lamaran baru deh lanjut tidur. Kan lamaran palingan 1 jam doangan. Nggak usah ke rumah gue dulu hari ini. Gue bisa balik sendiri nanti. Posisi lo masalahnya penting dan harus ada di proses lamarannya, Zy.”
“Tapi ini mata berat banget. Badannya capek banget. Ngantuk gue sumpah. Nanti tepar di tengah acara gimana?”
“Nggak akan. Oke?”
“Nanti abis lamaran, aku mau kabur ke rumah kamu. Mau istirahat di sana, Senin baru pulang kesini. Capek banget asli. Kalau stay di sini, pasti ada aja disuruh ngurus ini itu.”
“Gampang itu diatur. Kita fokus dulu acara hari ini oke?”
Lalu Emi keluar kamar lagi, dan gue mengikutinya keluar kamar. Gue ke kamar mandi untuk mandi sementara Emi berjalan menuju ruang tamu. Kayaknya mau ngatur hidangan. Sekitar 15 menitan gue sudah siap dengan setelan kemeja gue.
Setelah gue bergabung lagi dengan Emi untuk menyaksikan acara lamaran adik gue, gue sempat tertidur dulu sebelum gue dipanggil kedepan sebagai bagian dari prosesi acara lamaran ini. Ketika gue dibangunkan, mood Emi sudah berubah. Entah apa yang terjadi ketika gue tidur, yang jelas gue merasakan hal yang berbeda. Dia seperti nggak terlalu mempedulikan gue, dan agak menjauh dari gue.
Prosesi utama lamaran yang ditunggu semua orang yang hadir, termasuk disana ada saudara-saudara gue dari Papa, dan juga ada saudara dari Mama. Semuanya berkumpul dan terlihat tegang tapi bahagia. Kemudian gue dipanggil untuk maju kedepan oleh MC untuk mengikuti proses lamaran ini.
“Sekarang ini, setengah tanggung jawab gue udah bakalan pindah ke calon kamu, si Adit. Tapi bukan berarti aku lepas tanggung jawab ya. Bagaimanapun kamu adalah adik kecil aku yang selalu aku lindungi, aku sayangi. Semoga dengan kita melewati fase seperti ini, bisa mendewasakan lagi diri kita. Ini juga jadi pengalaman berharga untuk aku kedepannya.” Gue berpidato sedikit dan disambut senyum dari saudara-saudara gue.
“Iya kak, semoga dari lamaran ini, sampai ke akad nanti dan seterusnya, aku bisa membina keluarga dengan baik bareng sama Adit. Restu kakak dan Mama akan melancarkan semuanya insyallah.”
“Aku mewakili Papa, memberikan restu buat kamu untuk membina rumah tangga yang sakinah mawaddah warohmah dengan Adit.”
Gue langsung memeluk adik gue dengan erat. Lama banget prosesi berpelukan ini. Gimana nggak, puluhan tahun gue hidup bersama dengan dia, tapi saat ini gue harus rela melepaskan kepergiannya untuk membina rumah tangga dengan orang lain pilihan hatinya.
Nggak terasa gue meneteskan air mata gue. Sesuatu yang sudah sangat lama nggak gue lakukan.
“Dania, Papa pasti bangga banget sama kamu. Aku yakin, walaupun Papa nggak ada disini, Papa pasti bisa melihat kita di sini. Mengikuti bagaimana perjuangan kamu untuk sampai ke tahap ini, menyaksikan bagaimana proses lamaran ini, dan ikut berdoa untuk kelancaran pernikahan kamu nanti.”
Dania pun menangis dipelukan gue. menangis sejadi-jadinya, yang mana terakhir gue lihat dia menangis seperti ini adalah ketika Papa meninggal beberapa tahun lalu.
“Kak, maafin Dania. Maaf kalau Dania selama ini jadi adik yang egois, yang mementingan kepentingan Dania sendiri, dan suka memaksakan kehendak Dania ke kakak. Makasih banyak kakak udah mau bersabar untuk tetep menjaga dan merawat Dania sampai Dania di titik ini. Membantu Dania ketika Dania butuh bantuan, mendengarkan Dania ketika Dania butuh teman curhat, dan menghibur Dania ketika Dania kesepian. Dania titip Mama ya, Kak. Jangan pernah bikin Mama sedih dan ngerasa sendiri. Tolong jaga, rawat, dan lindungi Mama, kayak gimana Papa menjaga kita semua dulu. Yang Mama punya sekarang cuma Kakak. Makasih banyak ya, Kak. Dania izin melangkahi kakak untuk menikah duluan dengan Adit.”
“Aku izinkan. Semoga semuanya dilancarkan sampai selesai akad nanti, dan kamu bisa membahagiakan suamimu seperti kamu bisa membahagiakan aku dan Mama.”
Suasana haru terus meliputi acara ini. Mungkin dalam beberapa kesempatan, gue dan Dania nggak pernah terlihat begitu dekat, apalagi ketika kumpul bersama keluarga besar, entah di keluarga besar Papa ataupun Mama. Dan mereka sekarang bisa melihat sedekat apa gue dengan adik kecil gue ini.
Prosesi setelahnya adalah pemberian hadiah simbolis sebagai tanda gue sudah mengizinkan adik gue untuk melangkahi gue. Lalu kemudian salam-salaman, makan-makan dan ramah tamah. Disana pula gue nggak merasakan kehadiran Emi disekitar gue.
Ternyata Emi yang tadi sempat gue kenalkan dengan beberapa om tante serta sepupu gue, terlihat sangat akrab dengan Emran, adik dari Emir. Emran ini adalah anak yang sangat cerdas, dan juga rupawan. Kakak beradik ini sangat digilai cewek-cewek. Tidak seperti Emir yang selalu punya sensasi mendapatkan cewek dari hasil merebut pacar orang, Emran jauh lebih kalem dan nggak banyak yang tahu kalau dia itu punya pacar atau nggak.
Hobi dia sama kayak Emi, belajar. Dia mempelajari banyak hal nggak hanya yang diajarkan di kampusnya. Kesamaannya dengan gue, sama-sama menyukai hal-hal yang berbau sejarah. Baik itu sejarah asal usul suatu tempat, sejarah negara, bahkan sampai ke prasejarah.
Karena Emi tipikal dengan gue, menurut logika gue, dia akan cepat akrab dengan Emran. Dan saat ini yang terlihat didepan mata gue ya seperti itu. Sesuai dengan perkiraan gue. mungkin Emi butuh refresh kali ya dengan banyak mengobrol. Tentunya dengan orang selain gue.
Yang gue juga bisa lihat disini adalah, Emi dan Emran berada diumur yang sama, alias seangkatan. Jelas lebih banyak hal yang bisa dibahas karena kesamaan zaman yang mereka lalui selama ini. Mungkin yang nggak nyambung adalah selera musiknya, sementara Emi senang metal sama kayak gue, Emran lebih menyenangi lagu-lagu klasik, ataupun instrumental. Tapi setidaknya, Emran juga senang dengan musik, dan bisa aja nemu bahasan tentang musik kan.
Disini gue juga sadar kalau gue bukanlah orang yang sesempurna itu dimata Emi mungkin. Emran ini adalah anak yang luar biasa, sayang aja dimata keluarga besar Papa, Emran selalu kalah pamor dengan Emir. Bedanya dengan gue, Emran adalah orang yang senang diam seribu bahasa ketika nggak diajak ngobrol. Dia betah banget berdiam diri saja ditengah keramaian. Sementara gue selalu cari obrolan dengan orang-orang disekitar gue kalau lagi kumpul dengan keluarga besar seperti itu.
Emran bisa musik, masuk universitas negeri terbaik dengan beasiswa full, seumuran dan banyak prestasi baik akademik maupun non akademik yang bisa dia banggakan. Sungguh sebuah padanan yang tepat sekali seandainya Emi yang juga punya atribut yang mirip seperti itu, berpacaran beneran sama Emran. Disinilah kemudian muncul ketidakpedean gue.
Emi bisa aja berpaling dari gue dan malah mau bersama dengan Emran. Segala atribut yang dia punya cukup menyilaukan. Ditambah dengan paras yang rupawan pula, agamanya sangat bagus, membuat Emran memiliki nilai plus yang jauh lebih banyak dari gue. Kalau mau dibilang jealous, gue sangat jealous dengan ke-cepat-akrab-an Emi dan Emran ini. Gue jadi seperti nggak ada apa-apanya dibanding dia.
Untuk pekerjaan sendiri, Emran sudah mendapatkan posisi yang strategis karena kemampuannya sendiri disebuah perusahaan multinasional besar di negara ini. Bahkan gue dengar dia akan mencoba peruntungannya dengan beasiswa LPDP untuk bisa sekolah diluar negeri. Sesuatu yang gue dan Emi belum bisa berhasil dapatkan selama ini.
Bahkan Irawan, atasan Emi dengan segala kecerdasannya itu, serta pernah mendapatkan beasiswa disalah satu universitas terbaik didunia untuk melanjutkan S2-nya, gagal berulang kali dalam peruntungannya di LPDP. Kalau Emran ternyata berhasil, ini akan semakin menambah nilai plus dimata cewek-cewek pastinya.
Disaat yang bersamaan, kejadian yang nggak pingin gue lihat ternyata terjadi dirumah gue sendiri. Apa lagi kalau bukan Emir yang mendapatkan atensi utama diantara seluruh keluarga gue. ini acara keluarga kecil gue loh, bukan acaranya Emir. Kenapa Emir lagi dan selalu dia yang mendapatkan spotlight di keluarga? Kenapa bukannya adik gue, atau bahkan gue yang posisinya saat itu sama dengan Emir, belum menikah juga.
Awal mulanya adalah ledek-ledekan mengenai Emir yang belum juga menikah, sementara adik sepupunya yang lebih muda malah udah duluan. Lah kenapa keluarga gue ini nggak meledek ke gue? apa gue nggak enak untuk diledekin seperti itu karena tuan rumah? Nggak juga gue rasa. Karena emang dasarnya aja keluarga gue ini nggak dipandang sebelah mata dari dulu kali.
Lengkap sudah penderitaan diatas kesenangan keluarga gue. keluarga kecil gue berbahagia, tapi dengan kejadian Emi yang intens dengan Emran dan Emir yang selalu mendapatkan perhatian lebih dari keluarga gue, membuat amarah gue benar-benar ingin gue luapkan, tapi tentu aja nggak bisa.
Gue merasa sangat medioker. Gue seperti benar-benar nggak punya kemampuan lebih untuk dibanggakan. Apa gue nggak bersyukur dengan pencapaian gue saat ini? Gue selalu bersyukur, hanya saja gue masih suka nggak terima dengan keadaan seperti ini. Mungkin karena gue terlalu sombong dan merasa bisa melakukan apapun sesuai keinginan gue dan nggak ada yang bisa melarang yang membuat gue jadi resah sendiri seperti ini ingin dibanggakan.
Padahal gue nggak pernah sama sekali berharap orang-orang membanggakan apa yang sudah gue peroleh selama ini. Tetapi ketika seolah gue menemukan pembanding, yaitu Emir, dan sekarang ikutan pula adiknya, gue jadi ingin juga dilihat sebagai sosok yang tidak gagal dalam kehidupan. Setidaknya sosok ‘akan jadi gagal’ sepertinya sudah ada dalam pikiran Mama terhadap anak lelakinya ini.
Gejolak dalam hati gue ini benar-benar sangat nggak terkendali. Dan gue nggak tau lagi harus berbicara dengan siapa ketika Emi juga semakin menjauh dari gue dan gue nggak tau dia kenapa seperti itu sikapnya.
Kondisi gue sudah sangat capek karena terlalu lama menunggu dan bandara tersebut nggak senyaman bandara Changi di Singapura. Badan gue udah lelah, ternyata ketika sampai di Ibukota pun perjalanan menuju kerumahnya sangat macet. Gue belum bisa benar-benar mengistirahatkan badan sepenuhnya karena gue harus tidur-bangun berulang kali dikursi bis yang nggak seenak kasur rumah.
Sesampainya dirumah pun, nggak sampai setengah jam gue istirahat dan bersih-bersih, sudah langsung diminta bantuannya untuk dekorasi dan segala macamnya. Untung rumah gue sekarang ini jauh lebih kecil daripada yang dulu. Coba kalau masih disana, bisa pingsan gue membantu dekorasi rumah yang besar kayak begitu.
Iringan komando dan kadang ditambah omelan dari Mama karena nggak sesuai sudah nggak gue peduliin lagi. Yang penting kelar, dan gue mau tidur dulu sebentar. Kalau nggak istirahat, prosesi lamaran besok bakalan kacau. Gue sebagai pengganti Papa harus tampil prima kan.
Baru jelang subuh dekorasi ini selesai. kemudian, gue langsung pergi tidur. Gue udah suntuk, capek, belum lagi konfrontasi yang berulang dengan Mama dan adik gue karena merasa gue nggak maksimal bantuinnya, membuat gue sangat bad mood sebelum pergi tidur. Dan itu adalah sesuatu yang nggak sehat.
--
“Zy? Ayo bangun, Zy. Kamu siap-siap dulu. Baru kita bantu cek yang lain, sesuai job desk kemarin.” Suara Emi samar membangunkan gue, saat itu gue udah agak kebangun karena udah mulai berisik diluar kamar.
“Gue capek pake banget. Ngantuk. Baru tidur 3 jam kali gue. Sumpah!” kata gue lalu menarik selimut tebal gue lagi sampai ke kepala.
“Tapi kan acara lamarannya mesti tetap jalan. Dan kamu dibutuhin di sana. Nanti pas abis lamaran baru deh lanjut tidur. Kan lamaran palingan 1 jam doangan. Nggak usah ke rumah gue dulu hari ini. Gue bisa balik sendiri nanti. Posisi lo masalahnya penting dan harus ada di proses lamarannya, Zy.”
“Tapi ini mata berat banget. Badannya capek banget. Ngantuk gue sumpah. Nanti tepar di tengah acara gimana?”
“Nggak akan. Oke?”
“Nanti abis lamaran, aku mau kabur ke rumah kamu. Mau istirahat di sana, Senin baru pulang kesini. Capek banget asli. Kalau stay di sini, pasti ada aja disuruh ngurus ini itu.”
“Gampang itu diatur. Kita fokus dulu acara hari ini oke?”
Lalu Emi keluar kamar lagi, dan gue mengikutinya keluar kamar. Gue ke kamar mandi untuk mandi sementara Emi berjalan menuju ruang tamu. Kayaknya mau ngatur hidangan. Sekitar 15 menitan gue sudah siap dengan setelan kemeja gue.
Setelah gue bergabung lagi dengan Emi untuk menyaksikan acara lamaran adik gue, gue sempat tertidur dulu sebelum gue dipanggil kedepan sebagai bagian dari prosesi acara lamaran ini. Ketika gue dibangunkan, mood Emi sudah berubah. Entah apa yang terjadi ketika gue tidur, yang jelas gue merasakan hal yang berbeda. Dia seperti nggak terlalu mempedulikan gue, dan agak menjauh dari gue.
Prosesi utama lamaran yang ditunggu semua orang yang hadir, termasuk disana ada saudara-saudara gue dari Papa, dan juga ada saudara dari Mama. Semuanya berkumpul dan terlihat tegang tapi bahagia. Kemudian gue dipanggil untuk maju kedepan oleh MC untuk mengikuti proses lamaran ini.
“Sekarang ini, setengah tanggung jawab gue udah bakalan pindah ke calon kamu, si Adit. Tapi bukan berarti aku lepas tanggung jawab ya. Bagaimanapun kamu adalah adik kecil aku yang selalu aku lindungi, aku sayangi. Semoga dengan kita melewati fase seperti ini, bisa mendewasakan lagi diri kita. Ini juga jadi pengalaman berharga untuk aku kedepannya.” Gue berpidato sedikit dan disambut senyum dari saudara-saudara gue.
“Iya kak, semoga dari lamaran ini, sampai ke akad nanti dan seterusnya, aku bisa membina keluarga dengan baik bareng sama Adit. Restu kakak dan Mama akan melancarkan semuanya insyallah.”
“Aku mewakili Papa, memberikan restu buat kamu untuk membina rumah tangga yang sakinah mawaddah warohmah dengan Adit.”
Gue langsung memeluk adik gue dengan erat. Lama banget prosesi berpelukan ini. Gimana nggak, puluhan tahun gue hidup bersama dengan dia, tapi saat ini gue harus rela melepaskan kepergiannya untuk membina rumah tangga dengan orang lain pilihan hatinya.
Nggak terasa gue meneteskan air mata gue. Sesuatu yang sudah sangat lama nggak gue lakukan.
“Dania, Papa pasti bangga banget sama kamu. Aku yakin, walaupun Papa nggak ada disini, Papa pasti bisa melihat kita di sini. Mengikuti bagaimana perjuangan kamu untuk sampai ke tahap ini, menyaksikan bagaimana proses lamaran ini, dan ikut berdoa untuk kelancaran pernikahan kamu nanti.”
Dania pun menangis dipelukan gue. menangis sejadi-jadinya, yang mana terakhir gue lihat dia menangis seperti ini adalah ketika Papa meninggal beberapa tahun lalu.
“Kak, maafin Dania. Maaf kalau Dania selama ini jadi adik yang egois, yang mementingan kepentingan Dania sendiri, dan suka memaksakan kehendak Dania ke kakak. Makasih banyak kakak udah mau bersabar untuk tetep menjaga dan merawat Dania sampai Dania di titik ini. Membantu Dania ketika Dania butuh bantuan, mendengarkan Dania ketika Dania butuh teman curhat, dan menghibur Dania ketika Dania kesepian. Dania titip Mama ya, Kak. Jangan pernah bikin Mama sedih dan ngerasa sendiri. Tolong jaga, rawat, dan lindungi Mama, kayak gimana Papa menjaga kita semua dulu. Yang Mama punya sekarang cuma Kakak. Makasih banyak ya, Kak. Dania izin melangkahi kakak untuk menikah duluan dengan Adit.”
“Aku izinkan. Semoga semuanya dilancarkan sampai selesai akad nanti, dan kamu bisa membahagiakan suamimu seperti kamu bisa membahagiakan aku dan Mama.”
Suasana haru terus meliputi acara ini. Mungkin dalam beberapa kesempatan, gue dan Dania nggak pernah terlihat begitu dekat, apalagi ketika kumpul bersama keluarga besar, entah di keluarga besar Papa ataupun Mama. Dan mereka sekarang bisa melihat sedekat apa gue dengan adik kecil gue ini.
Prosesi setelahnya adalah pemberian hadiah simbolis sebagai tanda gue sudah mengizinkan adik gue untuk melangkahi gue. Lalu kemudian salam-salaman, makan-makan dan ramah tamah. Disana pula gue nggak merasakan kehadiran Emi disekitar gue.
Ternyata Emi yang tadi sempat gue kenalkan dengan beberapa om tante serta sepupu gue, terlihat sangat akrab dengan Emran, adik dari Emir. Emran ini adalah anak yang sangat cerdas, dan juga rupawan. Kakak beradik ini sangat digilai cewek-cewek. Tidak seperti Emir yang selalu punya sensasi mendapatkan cewek dari hasil merebut pacar orang, Emran jauh lebih kalem dan nggak banyak yang tahu kalau dia itu punya pacar atau nggak.
Hobi dia sama kayak Emi, belajar. Dia mempelajari banyak hal nggak hanya yang diajarkan di kampusnya. Kesamaannya dengan gue, sama-sama menyukai hal-hal yang berbau sejarah. Baik itu sejarah asal usul suatu tempat, sejarah negara, bahkan sampai ke prasejarah.
Karena Emi tipikal dengan gue, menurut logika gue, dia akan cepat akrab dengan Emran. Dan saat ini yang terlihat didepan mata gue ya seperti itu. Sesuai dengan perkiraan gue. mungkin Emi butuh refresh kali ya dengan banyak mengobrol. Tentunya dengan orang selain gue.
Yang gue juga bisa lihat disini adalah, Emi dan Emran berada diumur yang sama, alias seangkatan. Jelas lebih banyak hal yang bisa dibahas karena kesamaan zaman yang mereka lalui selama ini. Mungkin yang nggak nyambung adalah selera musiknya, sementara Emi senang metal sama kayak gue, Emran lebih menyenangi lagu-lagu klasik, ataupun instrumental. Tapi setidaknya, Emran juga senang dengan musik, dan bisa aja nemu bahasan tentang musik kan.
Disini gue juga sadar kalau gue bukanlah orang yang sesempurna itu dimata Emi mungkin. Emran ini adalah anak yang luar biasa, sayang aja dimata keluarga besar Papa, Emran selalu kalah pamor dengan Emir. Bedanya dengan gue, Emran adalah orang yang senang diam seribu bahasa ketika nggak diajak ngobrol. Dia betah banget berdiam diri saja ditengah keramaian. Sementara gue selalu cari obrolan dengan orang-orang disekitar gue kalau lagi kumpul dengan keluarga besar seperti itu.
Emran bisa musik, masuk universitas negeri terbaik dengan beasiswa full, seumuran dan banyak prestasi baik akademik maupun non akademik yang bisa dia banggakan. Sungguh sebuah padanan yang tepat sekali seandainya Emi yang juga punya atribut yang mirip seperti itu, berpacaran beneran sama Emran. Disinilah kemudian muncul ketidakpedean gue.
Emi bisa aja berpaling dari gue dan malah mau bersama dengan Emran. Segala atribut yang dia punya cukup menyilaukan. Ditambah dengan paras yang rupawan pula, agamanya sangat bagus, membuat Emran memiliki nilai plus yang jauh lebih banyak dari gue. Kalau mau dibilang jealous, gue sangat jealous dengan ke-cepat-akrab-an Emi dan Emran ini. Gue jadi seperti nggak ada apa-apanya dibanding dia.
Untuk pekerjaan sendiri, Emran sudah mendapatkan posisi yang strategis karena kemampuannya sendiri disebuah perusahaan multinasional besar di negara ini. Bahkan gue dengar dia akan mencoba peruntungannya dengan beasiswa LPDP untuk bisa sekolah diluar negeri. Sesuatu yang gue dan Emi belum bisa berhasil dapatkan selama ini.
Bahkan Irawan, atasan Emi dengan segala kecerdasannya itu, serta pernah mendapatkan beasiswa disalah satu universitas terbaik didunia untuk melanjutkan S2-nya, gagal berulang kali dalam peruntungannya di LPDP. Kalau Emran ternyata berhasil, ini akan semakin menambah nilai plus dimata cewek-cewek pastinya.
Disaat yang bersamaan, kejadian yang nggak pingin gue lihat ternyata terjadi dirumah gue sendiri. Apa lagi kalau bukan Emir yang mendapatkan atensi utama diantara seluruh keluarga gue. ini acara keluarga kecil gue loh, bukan acaranya Emir. Kenapa Emir lagi dan selalu dia yang mendapatkan spotlight di keluarga? Kenapa bukannya adik gue, atau bahkan gue yang posisinya saat itu sama dengan Emir, belum menikah juga.
Awal mulanya adalah ledek-ledekan mengenai Emir yang belum juga menikah, sementara adik sepupunya yang lebih muda malah udah duluan. Lah kenapa keluarga gue ini nggak meledek ke gue? apa gue nggak enak untuk diledekin seperti itu karena tuan rumah? Nggak juga gue rasa. Karena emang dasarnya aja keluarga gue ini nggak dipandang sebelah mata dari dulu kali.
Lengkap sudah penderitaan diatas kesenangan keluarga gue. keluarga kecil gue berbahagia, tapi dengan kejadian Emi yang intens dengan Emran dan Emir yang selalu mendapatkan perhatian lebih dari keluarga gue, membuat amarah gue benar-benar ingin gue luapkan, tapi tentu aja nggak bisa.
Gue merasa sangat medioker. Gue seperti benar-benar nggak punya kemampuan lebih untuk dibanggakan. Apa gue nggak bersyukur dengan pencapaian gue saat ini? Gue selalu bersyukur, hanya saja gue masih suka nggak terima dengan keadaan seperti ini. Mungkin karena gue terlalu sombong dan merasa bisa melakukan apapun sesuai keinginan gue dan nggak ada yang bisa melarang yang membuat gue jadi resah sendiri seperti ini ingin dibanggakan.
Padahal gue nggak pernah sama sekali berharap orang-orang membanggakan apa yang sudah gue peroleh selama ini. Tetapi ketika seolah gue menemukan pembanding, yaitu Emir, dan sekarang ikutan pula adiknya, gue jadi ingin juga dilihat sebagai sosok yang tidak gagal dalam kehidupan. Setidaknya sosok ‘akan jadi gagal’ sepertinya sudah ada dalam pikiran Mama terhadap anak lelakinya ini.
Gejolak dalam hati gue ini benar-benar sangat nggak terkendali. Dan gue nggak tau lagi harus berbicara dengan siapa ketika Emi juga semakin menjauh dari gue dan gue nggak tau dia kenapa seperti itu sikapnya.
itkgid dan 26 lainnya memberi reputasi
27