- Beranda
- Stories from the Heart
[cinta. horror. roman] - The Second
...
TS
abangruli
[cinta. horror. roman] - The Second
![[cinta. horror. roman] - The Second](https://s.kaskus.id/images/2019/11/14/10479605_20191114110217.jpg)
“Kamu tidak perlu memilih dia atau aku.
Pilih dia saja.
Tak perlu kamu khawatirkan aku.
Aku cuma minta satu hal.
Maukah kamu sebut namaku dalam doa-doamu?”
***
Chapter 1 – Awal Kisah
Pukul 01.34 dini hari. Aku sendirian di kamar. Duduk tegak lurus dengan pandangan penuh ke layar laptop. Jemari kubiarkan menari di keyboard, mengetik setiap detik kisah hidup yang aku alami. Tentu saja nama-namanya aku pilih yang lebih keren, kota tempat kejadian aku geser beberapa ratus kilometer dari aslinya dan penggambaran para tokoh aku percantik dan perganteng sekian persen. Seolah menjadi kisah fiksi. Padahal tidak. Hanya saja aku tak ingin mereka tahu bahwa itu kisah asli.
Jemariku terus mengetik hingga mendadak aku merasa dingin. Tercium wangi yang khas.
Aha. Dia sudah datang.
“Hai apa kabar..” tanyaku sambil terus menatap layar. Tak perlu menengok agar aku tak tebuai dalam keindahan yang memabukkan. Tapi dari bayang-bayang yang memantul di layar, bisa terlihat siluetnya yang menarik. Suara lembut menjawab terdengar seolah tepat disampingku, padahal dia masih dibelakang, “kangen kamu..”
Tanpa sadar aku tersenyum. Entah dari siapa mahluk itu belajar merayu orang. Teringat beberapa bulan lalu saat dia pertama kali menyapa aku.
***
“Hai..” suara lembut seorang wanita dari belakang. Aku kaget dan segera menoleh. Terlihat seorang gadis menatap mataku dengan ceria. Senyumnya mengembang sempurna memamerkan deretan giginya yang rapi. Kulitnya putih, tubuhnya wangi. Rambutnya lurus sepundak khas remaja yang energik, yang tak ingin gerak geriknya terganggu oleh rambut panjang. Poninya yang aduhai, yang bikin aku terpesona sekian detik menatapnya. Aku memang sangat mudah jatuh cinta pada poni yang menghias kening seorang gadis. Membuat ia terlihat lebih feminin. Bajunya pun casual, kaos pink sedikit ketat dengan celana jeans yang pas di kaki jenjangnya. Sepatu kets warna pink menghiasi ujungnya.
Indah.
Harusnya moment tersebut menjadi moment yang sangat indah. Sayang, keindahan tersebut agak ternoda dengan waktu dan lokasi pertemuan yang tidak tepat. Aku melihat angka digital pada pergelangan tangan.
Pukul 01.20 di pinggir kompleks.
Komplek perumahan? Sayangnya bukan. Aku sedang berjalan melewati komplek pemakaman. Dengan tergesa-gesa karena tak ingin mengganggu keheningan kompleks tersebut. Ini terjadi karena aku harus lembur, pulang malam, sialnya mobilku mogok kehabisan bensin 1 kilometer dari rumah. Panggil ojek online gak bisa gegara handphone yang mati. Terpaksa jalan toh hanya 1 kilometer. Hanya saja aku memang harus melewati pemakaman untuk mencapai rumah. Ya sudah daripada tidur di mobil aku pun memutuskan untuk jalan. Bertekad setengah berlari saat melewati kuburan.
Tapi kini aku dapati bukannya berjalan terburu-buru seperti rencana awal, aku malah sedang mematung memandang seorang gadis. Gadis yang indah tapi di waktu dan background lokasi yang salah.
“Kami jin ya?” aku bertanya sambil tertawa. Berharap ia tertawa dan menggeleng.
Tapi ia hanya tertawa. Renyah. Tawa yang bikin lega, karena jauh dari kesan menakutkan. Masa sih kuntilanak ketawanya bikin gemes gitu.
“Kamu tinggal dimana sih, kok jam segini masih disini..” tanyaku. Pertanyaan bodoh yang seharusnya tak pernah aku lontarkan.
“Aku tinggal disini” jawabnya sambil tersenyum.
Anjay! Aku terdiam, seketika aku bisa merasakan rona hangat dari wajahku seperti terhisap habis dan menyisakan pucat pasi yang luar biasa, “ka.. kamu becanda?”
Ayo mengangguklah! Angguklah!
Sayang seribu sayang, bukannya mengangguk ia malah mengegeleng. Sambil terus tersenyum ia berkata “aku gak becanda, aku memang tinggal disini...”
Seolah belum puas melihat kengerianku, ia perjelas dimana ia tinggal, “itu di pohon kamboja sebelah sana”
Sungguh ingin rasanya kutempeleng bocah kurang ajar itu, seenaknya bikin air pipisku mendadak ingin keluar. Walaupun cantik tapi kalau bikin aku kencing dicelana harus diberi pelajaran. Tapi jangankan menampar, menggerakkan tangan saja aku gagal, “ini prank ya?”
“kalau prank aku pasti pakai kostum pocong atau suster ngesot atau apalah yang serem-serem..” ia terdiam sebentar, seolah sedang berpikir, “atau kamu mau lihat aku berubah pakai kostum itu?”
Aku terdiam bagai lumpuh. Lututku lemas, lidahku kelu.
“Gak lah, aku gak mau kamu takut. Aku begini karena aku tahu selera kamu. Aku tahu kamu suka cewek berponi, aku tahu kamu suka cewek casual, aku tahu kamu suka cewek yang ceria. Karena itu aku menjadi seperti ini...karena aku...”
Terdiam sejenak, “karena aku suka kamu..” jawabnya dengan mata yang luar biasa indah.
Aku ternganga. Aku pasti mimpi. Berdiri mematung di pinggir kuburan dengan sesosok mahluk entah apa yang sedang menyatakan cinta padaku. Ini pasti mimpi.
Mimpi romantis yang sayangnya bergenre horror.
Akhirnya aku merasakan kehangatan dipangkal celanaku. Anjay!
[bersambung]
INDEX
Chapter 2 - Pingsan
Chapter 3 - Rumah Sakit
Chapter 4 - Namaku Danang
Chapter 5 - Namanya Rhea
Chapter 6 - Maudy dan 'Maudy'
Chapter 7 - The Second
Chapter 8 - Konser
Chapter 9 - Bertemu Wulan
Chapter 10 - Rumah Sakit (Lagi)
Chapter 11 - Aku dan Rhea dan Satunya Lagi
Chapter 12 - Menggapai Dirinya
Chapter 13 - Dinner with Rhea
Chapter 14 - Wulan versus Rhea Featuring Vania
Chapter 15 - ..........................
Chapter 16 - Rindu
Chapter 17 - Semakin Rindu
Chapter 18 - Melepas Rindu
Chapter 19 - Maafkan Aku lah Bang!
Chapter 20 - Menusuk Tepat di Hati
Chapter 21 - Seribu Alasan Satu Jawaban
Chapter 22 - Belajar Mencintai
Chapter 23 - Would You?
Chapter 24 - The Show Must Go On
Chapter 25 - Tragedi
Chapter 26 - Mimpi
Chapter 27 - Arti Cinta
Chapter 28 - Sad Session
Chapter 29 - Stories of My Life
Chapter 30 - Dua Puluh Tahun Lalu
Chapter 31 - Who Are You?
Chapter 32 - Mya dan Temannya
Chapter 33 - Tok Tok Tok!
Chapter 34 - Menjelang Pertemuan
Chapter 35 - Wajah Itu
Chapter 36 - Pending
Chapter 37 - Dinner for Three
Chapter 38 - Bla Bla Bla
Chapter 39 - Little Heart
Chapter 40 - This Will Be a Long Nite
Chapter 41 - Story from My Side
Chapter 42 - Story from Vania's Side
Chapter 43 - Deja Vu
Chapter 44 - Permintaan Terakhir
Chapter 45 - One Last Dance
Bonus - Behind The Story [Road to Final Chapter]
Chapter 46 - Reality
Chapter 47 - No More Mr. Nice Guy
Chapter 48 - Shocking Reality
Session 2 - The Second - The Killing Rain
Klik dimari bro untuk lanjut ke Session 2
Enjoy the stories gaesss..
Jangan lupa cendol, subcribe dan shareee yaaaaa...
Ruli Amirullah
Diubah oleh abangruli 21-07-2024 16:25
pulaukapok dan 89 lainnya memberi reputasi
88
52.4K
945
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
abangruli
#367
Chapter 47 – No More Mr. Nice Guy
Aku memasukkan potongan steak ku yang terakhir ke dalam mulut. Mengunyahnya beberapa kali dan menelannya. Habis sudah sekeping besar sirloin steak yang tadi ada dipiring. Hanya menyisakan sedikit butiran kacang polong dan wortel. Jagung yang disajikan utuh pun sudah aku makan habis. Aku harus makan banyak karena percakapan dengan Mya akan lanjut. Jangan sampai masuk angin gegara duduk di rooftop yang banyak angin tapi perut kosong.
Aku meletakkan pisau dan garpu dengan teratur di atas piring, saling menyilang dengan kondisi garpu tertutup. Mengelap mulut dengan serbet putih yang tebal dan kemudian memandang Rhea. Eh Mya. Eh Rhea. Eh siapa sih dia sebenarnya? Aku pun mendadak linglung. Krisis identitas. Bagiku gadis dihadapanku ini adalah Rhea. Gak peduli nama dan kisah hidupnya saat ini, aku mengenal dia sebagai Rhea. Aku terdiam mengingat sesuatu. Merasa dipandangi terus, Mya mungkin menjadi salah tingkah, ia juga metakkan garpu dan pisau padahal salmon steak ya ia pesan masih tersisa sepertiganya.
“Eh maaf, kamu terganggu ya?” kataku menyadari kesalahanku. Memandang orang yang sedang makan itu salah satu hal bisa buat beberapa orang ilfil.
“Gak apa-apa kok, udah kenyang juga” jawab Mya sambil tersenyum. Tuh.. itu senyum Rhea, di wajah Rhea, dengan aura Rhea.
“Rhea...” kataku tanpa sadar, terhanyut akan pesona Rhea
Mya tak menjawab, tapi wajahnya bereaksi atas panggilanku itu. Seolah tubuhnya reflek menjawab saat aku panggil dirinya dengan nama Rhea. .Aku bisa merasakan itu. Hal yang tadi aku ingat kini semakin jelas, harus aku ungkapkan sekarang. Aku tak mau lagi malam ini berlalu tanpa sempat aku utarakan.
“Rhea aku mau bicara, please dengerin aku dulu sampai selesai ya..” pintaku padanya. Mungkin lebih tepatnya aku mendesak dia. Gadis itu mengangguk pelan. Tak mengapa, bahkan andai ia tak mengangguk pun pasti tetap aku bicarakan. No more mister nice guy, ini giliranku untuk merangsek masuk ke pikirannya. Waktunya mendominasi.
“Pertama, mulai detik ini aku akan memanggil kamu Rhea. Aku gak peduli siapa nama kamu yang sekarang. Karena bagiku yang ada didepanku saat ini adalah Rhea. Wajah Rhea, mata Rhea, senyum Rhea, tubuh Rhea, suara Rhea...”
Mya terkejut mendengar yang aku ucapkan, tapi aku tak ingin memberi ia jeda sedetik pun
“Dan kamu Rhea, dulu pernah dengan seenaknya menghilang dari kehidupanku. Disaat aku ingin memperjuangkan cintaku. Mau tau alasan yang kamu berikan? Karena kamu jin dan aku manusia. Karena kamu bilang kamu tak melihat masa depan di hubungan kita, karena kamu pikir kamu gak akan bisa menjadi ibu dari anak-anak kita, kamu ga bisa menjadi koki yang menguasai dapur kita, kamu gak bisa bersender di pundakku...”
Mya mendadak pucat, mungkin ia tak menyangka aku menyerangnya sedemikian rupa.
“Jangan kamu bilang kamu gak tau moment itu. Kamu pasti tahu, iya kan? Kalo kamu lupa, ayo masuk lagi ke pikiranku, akan aku ajak kamu ke moment itu, lihat lagi dengan mata kamu... Iya kan? Kamu masih ingat kan?!” desakku, “jawablah Rhea..”
“I.. iya...”
Aku puas mendengar jawabannya, tapi aku belum selesai, “Nah setelah itu kamu hilang, lenyap dari kehidupanku. Kamu sama sekali gak ngasih kesempatan padaku untuk memperjuangkan hubungan kita, kamu gak ngasih aku kesempatan untuk nyari jalan keluar, untuk nyari akal. Kamu hilang.. lenyap! Kamu ingat itu juga kan??”
Mya mengangguk, matanya terlihat mulai tergenang
“Dan sekarang, setelah semua yang kamu harapkan terwujud, setelah kamu menjadi manusia, setelah kamu bisa untuk aku peluk, bisa untuk aku genggam, bisa untuk menjadi ibu dari anak-anakku, bisa untuk memasak makanan kesukaanku, bisa untuk bersender sepuasnya dipundakku, kamu mulai mencari alasan lain? Kamu malah mikirin penghalang lain?? ” Desisku pada Mya, ini mungkin terlihat kejam, aku menjadikannya tersudut, tapi gimana lagi? Memang itulah yang aku rasakan, aku memang mendadak kesal, patah hati, remuk, “Coba kamu terangkan padaku, kamu egois atau apa? Atau kamu memang player?”
Bulir air mata mulai menetes, Mya sungguh terguncang mendengar segala tuduhanku, “A..aku.. aku tak bermaksud itu...”
“Lantas apa maksud kamu? Mau ninggalin aku lagi? Mau lenyap dari kehidupanku lagi? Kenapa? Seneng lihat aku tersiksa kehilangan kamu terus-terusan?” cecarku padanya. Pada titik ini aku merasa menjadi seorang psikopat, yang terus menyerang disaat lawan sudah tersudut. Tapi aku sungguhan merasa hancur, bukan drama korea-koreaan. Ini asli. Mya pun mulai menangis. Aku jadi iba melihatnya. Oke cukup tentang tuduhan-tuduhannya, jangan terlalu lama, tuntaskan sekarang.
“Rhea, aku cinta kamu... ya, aku akan melamar kamu malam ini. Mengikat cintamu, menggenggam kesetiaanmu. Terserah kamu mau mengangguk atau menggeleng. Kalau kamu mengangguk, biarkan urusan dengan orang tuamu akan menjadi urusanku. Aku yakin akan ada jalan untuk itu, lagi pula aku juga tak mengharap esok kita langsung menikah. Aku juga tahu etika kok. Jadi tenang aja..”
Mya diam menanti kelanjutan ucapanku yang tadi memang masih menggantung
“Andai kamu menggeleng. Silahkan itu hak kamu. Tapi aku juga punya hak untuk berusaha menaklukkan kamu. Dulu saat kamu jin, kamu bisa perlahan lenyap, menghilang dari kehidupanku. Sekarang kamu udah jadi manusia, sama seperti aku. Kamu gak bisa sembunyi lagi. Alam kita sekarang sama. Aku akan bisa terus mengejar kamu, menaklukkan kamu..” ujarku lembut. Namun sepertinya aku tak memberi pilihan padanya. Aku mendesak dia dengan tekanan suara yang lembut.
Mata Mya semakin basah, bibirnya bergetar. Pandangannya ia buang ke langit. Aku yakin tak ada yang ia lihat disana. Ia hanya ingin lari dari tatapanku yang begitu mendesak.
“Mas.. tolong beri aku waktu...” jawabnya dengan susah payah, menahan getar emosi yang sedang melanda hatinya, “Mas pikir gampang buat aku untuk paham semua ini...”
“Apa lagi yang kamu tunggu Rhea?”
“Please panggil aku Mya...”
“Kamu Rhea...akuilah! jangan lari dari kenyataan itu...”
Mya terdiam, hanya bisa menangis. Aku pun terdiam, mencari-cari hal yang bisa meyakinkan Mya bahwa ia adalah Rhea. Walaupun semua bukti sudah mengarah ke fakta itu. Apalagi yang bisa aku ajukan..
“Rhea.. tunggu sebentar..” kataku teringat akan sesuatu lagi, “Saat awal aku bercerita tentang kisah hidupku, Kamu tadi sempat bilang, sesaat sebelum kamu meninggal, kamu didatangi para mahluk bercahaya...”
“Iya.. betul...” jawabnya sambil mulai mengingat..
“Kamu bilang, mereka mengatakan sesuatu tapi kamu lupa...”
Mya mengangguk, “Iya betul.. mereka mengatakan sesuatu tapi aku lupa..”
“Kalau gitu ayo kita kembali ke moment itu..” ajakku pada Mya, “siapa tahu ada sesuatu di moment itu. siapa tahu kamu bisa kembali ingat...”
“Kenapa?”
“Aku yakin, para mahluk cahaya itu tak akan mengeluarkan perkataan yang tanpa makna.. mereka pasti menyampaikan sesuatu yang penting..”
“Ha.. haruskah..?” tanyanya ragu
“Sekali ini saja.. setelah itu kamu boleh pergi melangkah pulang kalau memang itu mau kamu..” jawabku sambil mengulurkan tangan. Untuk masuk ke pikiranku, kami kembali harus genggam tangan. Mendengar janjiku untuk membiarkan ia pergi menjadikan Mya luluh. Ia mengangguk dan menyambut genggaman tanganku. Jemarinya terasa dingin juga, sama dengan jemariku.
“Kita mulai ya.. ayo kita pejamkan mata..” kataku sambil kembali membayangkan moment aku memeluk Rhea untuk terakhir kalinya di tengah malam kelabu itu.
Di saat kupejamkan mata, disaat yang sama mataku terbuka.
Aku dapati diriku sedang berdiri bersama Mya memandang diriku yang dulu sedang memeluk Rhea yang terkulai lemas.
“Ayo kita mendekat..” bisikku pada Mya, walau sebenarnya kami tak harus berbisik. Yang kami lihat bukanlah mahluk yang nyata, kami hanya hadir di kenangan, bukan mundur ke masa lalu. Kami melangkah mendekat. Semakin jelas raut wajah Rhea yang sedang meregang nyawa.
Menyebalkan, malam ini dua kali aku kembali merasakan ribuan pedang menghujam ke hatiku.
Mya berlutut di dekat tubuh Rhea, mengamati dengan seksama wajah Rhea.
Setelah beberapa detik memandang Rhea, perlahan wajah Mya mendongak ke arahku. Mataya terlihat basah yang amat. Seolah bendungan yang siap untuk runtuh menumpahkan seluruh airnya.
“Aku ingat.. aku ingat apa yang dikatakan para mahluk cahaya itu...”
[ Bersambung ]
Aku memasukkan potongan steak ku yang terakhir ke dalam mulut. Mengunyahnya beberapa kali dan menelannya. Habis sudah sekeping besar sirloin steak yang tadi ada dipiring. Hanya menyisakan sedikit butiran kacang polong dan wortel. Jagung yang disajikan utuh pun sudah aku makan habis. Aku harus makan banyak karena percakapan dengan Mya akan lanjut. Jangan sampai masuk angin gegara duduk di rooftop yang banyak angin tapi perut kosong.
Aku meletakkan pisau dan garpu dengan teratur di atas piring, saling menyilang dengan kondisi garpu tertutup. Mengelap mulut dengan serbet putih yang tebal dan kemudian memandang Rhea. Eh Mya. Eh Rhea. Eh siapa sih dia sebenarnya? Aku pun mendadak linglung. Krisis identitas. Bagiku gadis dihadapanku ini adalah Rhea. Gak peduli nama dan kisah hidupnya saat ini, aku mengenal dia sebagai Rhea. Aku terdiam mengingat sesuatu. Merasa dipandangi terus, Mya mungkin menjadi salah tingkah, ia juga metakkan garpu dan pisau padahal salmon steak ya ia pesan masih tersisa sepertiganya.
“Eh maaf, kamu terganggu ya?” kataku menyadari kesalahanku. Memandang orang yang sedang makan itu salah satu hal bisa buat beberapa orang ilfil.
“Gak apa-apa kok, udah kenyang juga” jawab Mya sambil tersenyum. Tuh.. itu senyum Rhea, di wajah Rhea, dengan aura Rhea.
“Rhea...” kataku tanpa sadar, terhanyut akan pesona Rhea
Mya tak menjawab, tapi wajahnya bereaksi atas panggilanku itu. Seolah tubuhnya reflek menjawab saat aku panggil dirinya dengan nama Rhea. .Aku bisa merasakan itu. Hal yang tadi aku ingat kini semakin jelas, harus aku ungkapkan sekarang. Aku tak mau lagi malam ini berlalu tanpa sempat aku utarakan.
“Rhea aku mau bicara, please dengerin aku dulu sampai selesai ya..” pintaku padanya. Mungkin lebih tepatnya aku mendesak dia. Gadis itu mengangguk pelan. Tak mengapa, bahkan andai ia tak mengangguk pun pasti tetap aku bicarakan. No more mister nice guy, ini giliranku untuk merangsek masuk ke pikirannya. Waktunya mendominasi.
“Pertama, mulai detik ini aku akan memanggil kamu Rhea. Aku gak peduli siapa nama kamu yang sekarang. Karena bagiku yang ada didepanku saat ini adalah Rhea. Wajah Rhea, mata Rhea, senyum Rhea, tubuh Rhea, suara Rhea...”
Mya terkejut mendengar yang aku ucapkan, tapi aku tak ingin memberi ia jeda sedetik pun
“Dan kamu Rhea, dulu pernah dengan seenaknya menghilang dari kehidupanku. Disaat aku ingin memperjuangkan cintaku. Mau tau alasan yang kamu berikan? Karena kamu jin dan aku manusia. Karena kamu bilang kamu tak melihat masa depan di hubungan kita, karena kamu pikir kamu gak akan bisa menjadi ibu dari anak-anak kita, kamu ga bisa menjadi koki yang menguasai dapur kita, kamu gak bisa bersender di pundakku...”
Mya mendadak pucat, mungkin ia tak menyangka aku menyerangnya sedemikian rupa.
“Jangan kamu bilang kamu gak tau moment itu. Kamu pasti tahu, iya kan? Kalo kamu lupa, ayo masuk lagi ke pikiranku, akan aku ajak kamu ke moment itu, lihat lagi dengan mata kamu... Iya kan? Kamu masih ingat kan?!” desakku, “jawablah Rhea..”
“I.. iya...”
Aku puas mendengar jawabannya, tapi aku belum selesai, “Nah setelah itu kamu hilang, lenyap dari kehidupanku. Kamu sama sekali gak ngasih kesempatan padaku untuk memperjuangkan hubungan kita, kamu gak ngasih aku kesempatan untuk nyari jalan keluar, untuk nyari akal. Kamu hilang.. lenyap! Kamu ingat itu juga kan??”
Mya mengangguk, matanya terlihat mulai tergenang
“Dan sekarang, setelah semua yang kamu harapkan terwujud, setelah kamu menjadi manusia, setelah kamu bisa untuk aku peluk, bisa untuk aku genggam, bisa untuk menjadi ibu dari anak-anakku, bisa untuk memasak makanan kesukaanku, bisa untuk bersender sepuasnya dipundakku, kamu mulai mencari alasan lain? Kamu malah mikirin penghalang lain?? ” Desisku pada Mya, ini mungkin terlihat kejam, aku menjadikannya tersudut, tapi gimana lagi? Memang itulah yang aku rasakan, aku memang mendadak kesal, patah hati, remuk, “Coba kamu terangkan padaku, kamu egois atau apa? Atau kamu memang player?”
Bulir air mata mulai menetes, Mya sungguh terguncang mendengar segala tuduhanku, “A..aku.. aku tak bermaksud itu...”
“Lantas apa maksud kamu? Mau ninggalin aku lagi? Mau lenyap dari kehidupanku lagi? Kenapa? Seneng lihat aku tersiksa kehilangan kamu terus-terusan?” cecarku padanya. Pada titik ini aku merasa menjadi seorang psikopat, yang terus menyerang disaat lawan sudah tersudut. Tapi aku sungguhan merasa hancur, bukan drama korea-koreaan. Ini asli. Mya pun mulai menangis. Aku jadi iba melihatnya. Oke cukup tentang tuduhan-tuduhannya, jangan terlalu lama, tuntaskan sekarang.
“Rhea, aku cinta kamu... ya, aku akan melamar kamu malam ini. Mengikat cintamu, menggenggam kesetiaanmu. Terserah kamu mau mengangguk atau menggeleng. Kalau kamu mengangguk, biarkan urusan dengan orang tuamu akan menjadi urusanku. Aku yakin akan ada jalan untuk itu, lagi pula aku juga tak mengharap esok kita langsung menikah. Aku juga tahu etika kok. Jadi tenang aja..”
Mya diam menanti kelanjutan ucapanku yang tadi memang masih menggantung
“Andai kamu menggeleng. Silahkan itu hak kamu. Tapi aku juga punya hak untuk berusaha menaklukkan kamu. Dulu saat kamu jin, kamu bisa perlahan lenyap, menghilang dari kehidupanku. Sekarang kamu udah jadi manusia, sama seperti aku. Kamu gak bisa sembunyi lagi. Alam kita sekarang sama. Aku akan bisa terus mengejar kamu, menaklukkan kamu..” ujarku lembut. Namun sepertinya aku tak memberi pilihan padanya. Aku mendesak dia dengan tekanan suara yang lembut.
Mata Mya semakin basah, bibirnya bergetar. Pandangannya ia buang ke langit. Aku yakin tak ada yang ia lihat disana. Ia hanya ingin lari dari tatapanku yang begitu mendesak.
“Mas.. tolong beri aku waktu...” jawabnya dengan susah payah, menahan getar emosi yang sedang melanda hatinya, “Mas pikir gampang buat aku untuk paham semua ini...”
“Apa lagi yang kamu tunggu Rhea?”
“Please panggil aku Mya...”
“Kamu Rhea...akuilah! jangan lari dari kenyataan itu...”
Mya terdiam, hanya bisa menangis. Aku pun terdiam, mencari-cari hal yang bisa meyakinkan Mya bahwa ia adalah Rhea. Walaupun semua bukti sudah mengarah ke fakta itu. Apalagi yang bisa aku ajukan..
“Rhea.. tunggu sebentar..” kataku teringat akan sesuatu lagi, “Saat awal aku bercerita tentang kisah hidupku, Kamu tadi sempat bilang, sesaat sebelum kamu meninggal, kamu didatangi para mahluk bercahaya...”
“Iya.. betul...” jawabnya sambil mulai mengingat..
“Kamu bilang, mereka mengatakan sesuatu tapi kamu lupa...”
Mya mengangguk, “Iya betul.. mereka mengatakan sesuatu tapi aku lupa..”
“Kalau gitu ayo kita kembali ke moment itu..” ajakku pada Mya, “siapa tahu ada sesuatu di moment itu. siapa tahu kamu bisa kembali ingat...”
“Kenapa?”
“Aku yakin, para mahluk cahaya itu tak akan mengeluarkan perkataan yang tanpa makna.. mereka pasti menyampaikan sesuatu yang penting..”
“Ha.. haruskah..?” tanyanya ragu
“Sekali ini saja.. setelah itu kamu boleh pergi melangkah pulang kalau memang itu mau kamu..” jawabku sambil mengulurkan tangan. Untuk masuk ke pikiranku, kami kembali harus genggam tangan. Mendengar janjiku untuk membiarkan ia pergi menjadikan Mya luluh. Ia mengangguk dan menyambut genggaman tanganku. Jemarinya terasa dingin juga, sama dengan jemariku.
“Kita mulai ya.. ayo kita pejamkan mata..” kataku sambil kembali membayangkan moment aku memeluk Rhea untuk terakhir kalinya di tengah malam kelabu itu.
Di saat kupejamkan mata, disaat yang sama mataku terbuka.
Aku dapati diriku sedang berdiri bersama Mya memandang diriku yang dulu sedang memeluk Rhea yang terkulai lemas.
“Ayo kita mendekat..” bisikku pada Mya, walau sebenarnya kami tak harus berbisik. Yang kami lihat bukanlah mahluk yang nyata, kami hanya hadir di kenangan, bukan mundur ke masa lalu. Kami melangkah mendekat. Semakin jelas raut wajah Rhea yang sedang meregang nyawa.
Menyebalkan, malam ini dua kali aku kembali merasakan ribuan pedang menghujam ke hatiku.
Mya berlutut di dekat tubuh Rhea, mengamati dengan seksama wajah Rhea.
Setelah beberapa detik memandang Rhea, perlahan wajah Mya mendongak ke arahku. Mataya terlihat basah yang amat. Seolah bendungan yang siap untuk runtuh menumpahkan seluruh airnya.
“Aku ingat.. aku ingat apa yang dikatakan para mahluk cahaya itu...”
[ Bersambung ]
namakuve dan 25 lainnya memberi reputasi
26
Tutup