- Beranda
- Stories from the Heart
CATATAN VIOLET
...
TS
drupadi5
CATATAN VIOLET

Perjalanan ini akan membawa pada takdir dan misteri hidup yang mungkin tak pernah terpikirkan.
Ketika sebuah kebetulan dan ketidaksengajaan yang kita sangkakan, ternyata adalah sebuah rencana tersembunyi dari hidup.
Bersiaplah dan arungi perjalananmu
Kota Kenangan1
Kota Kenangan 2
Ardi Priambudi
Satrya Hanggara Yudha
Melisa Aryanthi
Made Brahmastra Purusathama
Altaffandra Nauzan
Altaffandra Nauzan : Sebuah Insiden
Altaffandra Nauzan : Patah Hati
Altaffandra Nauzan : the man next door
Sepotong Ikan Bakar di Sore yang Cerah
Expired
Adisty Putri Maharani
November Rain
Before Sunset
After Sunrise
Pencundang, pengecut, pencinta
Pencundang, pengecut, pencinta 2
Time to forget
Sebuah Hadiah
Jimbaran, 21 November 2018
Lagi, sebuah kebaikan
Lagi, sebuah kebaikan 2
Perkenalan
Temanku Malam Ini
Keluarga
03 Desember 2018
Jimbaran, 07 Desember 2018
Looking for a star
Ketika daun yang menguning bertahan akan helaan angin
Pertemuan
BERTAHAN
Hamparan Keraguan
Dan semua berakhir
Fix you
One chapter closed, let's open the next one
Deja Vu
Deja Vu karena ingatan terkadang seperti racun
Karena gw lagi labil, tolong biarin gw sendiri...
Semua pasti berujung, jika kau belum menemukannya teruslah berjalan...
Kepercayaan, kejujuran, kepahitan...
Seperti karang yang tidak menyerah pada ombak...
Damar Yudha
I Love You
Perjanjian...
Perjanjian (2)
Christmas Eve
That Day on The Christmas Eve
That Day on The Christmas Eve (2)
That Day on The Christmas Eve (3)
Di antara
William Oscar Hadinata
Tentang sebuah persahabatan...
Waiting for me...
Kebohongan, kebencian, kemarahan...
Oh Mama Oh Papa
Showing me another story...
Menjelajah ruang dan waktu
Keterikatan
Haruskah kembali?
Kematian dan keberuntungan
The ambience of confusing love
The ambience of love
Kenangan yang tak teringat...
Full of pressure
Persahabatan tidak seperti kepompong
Menunggu, sampai nanti...
Catatan Violet 2 (end): Mari Jangan Saling Menepati Janji
Jakarta, 20 Juni 2019 Lupakanlah Sejenak
Menjaga jarak, menjaga hati
First lady, second lady...
Teman
Teman?
Saudara
Mantan
Mantan (2)
Pacar?
Sahabat
Diubah oleh drupadi5 14-05-2021 15:13
JabLai cOY dan 132 lainnya memberi reputasi
129
23.8K
302
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
drupadi5
#32
Sanur, 17 November 2018
After Sunrise…

Samar kulihat jam digital yang ada di ponselku, sekitar jam setengah empat. Aku mencoba memejamkan kembali mataku, mencoba terlelap…
Badanku terasa pegal, aku bangun dan duduk. Kembali aku menggapai ponselku, jam empat pagi. Gila, semalam setiap hampir satu jam terbangun, menjelang pagi setiap setengah jam juga terbangun. Aku malah merasa lelah kalau tidurnya seperti ini. Aku memutuskan bangun dan keluar.
Angin pagi yang lumayan dingin menerpa wajahku begitu aku membuka pintu. Langit masih gelap dan suasana juga sepi. Aku naik dan duduk di atas dinding pembatas balkon, tempat kesukaan Fandra. Aku duduk menghadap ke depan, membelakangi kamarku, meletakkan kedua kakiku di tepian bawah dinding, dan bersender dengan bahu kananku di dinding sampingku. Kalau sedikit saja aku lengah, bisa saja aku langsung terjatuh. Tapi aku tidak merasa akan jatuh dan tetap duduk dengan posisiku ini. Perlahan kupejamkan mataku, menikmati dinginnya pagi, siapa tahu aku akan mengantuk lagi. Tetap saja aku tidak bisa merasakan kantuk itu datang. Aku ngerasa mata dan badanku lelah, ingin tidur, tapi otakku berontak.
“Vio?” suara Fandra memanggil. Kubuka mata dan melihatnya berdiri di depan kamarnya.
“Ngapain di sana, duduknya jangan kaya gitu, ntar jatuh,” ujarnya mengkomentari posisi dudukku.
“Hm…” aku hanya bergumam sambil mengangguk. Tapi tidak merubah posisiku, kembali kupejamkan mata tidak menghiraukannya. Kudengar langkah kakinya menjauh. Sebentar kemudian kudengar lagi suara langkah kaki mendekat, kemudian menghilang. Mungkin Fandra sudah masuk kamar lagi.
Tak lama kemudian, sebuah tangan memegang lenganku, perlahan tapi kuat. Aku terkejut, dan membuka mata. Fandra di sampingku, dia yang memegang lenganku.
“Turun, aku ngeri liat kamu mana isi merem lagi.” Dengan halus dia menarik lenganku, memaksa aku turun. Mau ngga mau aku menurutinya.
“Kamu kenapa?” tanyanya
“Ngga bisa tidur, kebangun terus, malah jadi capek rasanya.”
Dia diam saja. Kulihat dia dari atas ke bawah, “Kamu udah selesai sholat?”
“Sudah. Kamu libur kan sekarang?”
Aku mengangguk.
“Ambil jaketmu, ikut aku!”
“Mau ke mana?”
“Udah ikut aja.”
“Kamu ngga kerja?’
“Kerja ntar siangan,” ujarnya sambil masuk ke kamarnya. Aku pun masuk ke kamarku, mencuci sedikit wajahku dan merapikan rambutku.
Begitu aku keluar dia sudah menunggu di depan kamarnya. Aku menelisiknya dari atas ke bawah.
“Mau olahraga?” tanyaku karena melihatnya memakai sepatu lengkap dengan celana olahraga panjang.
“Ayo!” Dia berjalan di depanku.
“Semalem kamu pulang jam berapa?” tanyaku karena sewaktu aku pulang aku melihat kamarnya masih gelap. Dan aku ngga ada mendengar dia datang sampai aku tertidur, meski tidurku pun tidak nyanyak.
“Sekitar jam 12 an.”
“Kamu ngga capek, mana ntar kerja lagi.”
“Nggalah, udah biasa,” sahutnya sambil mengeluarkan motornya. Aku pun mengambil helmku.
“Aku lupa, kan tempat kerjamu keren gitu, bisalah santai-santai sambil kerja,” ujarku membuat dia tersenyum kecil.
Sesaat kemudian kami sudah meluncur di jalan dan kemudian masuk ke jalan tol. Sepertinya Fandra melajukan motornya dengan kecepatan maksimal. Dia ngebut banget! Aku ngga peduli dia keberatan atau ngga, dengan berani aku memegangi bagian samping jaketnya dengan erat, meski tidak langsung menyentuh pinggangnya, tapi sesekali tanganku pun menyentuhnya. Aku ngga peduli, daripada aku nanti jatuh.
***
Fandra mengajakku ke sebuah pantai. Ketika kami sampai di sana, langit di sepanjang garis pantai mulai tampak kemerahan, tanda sebentar lagi matahari akan muncul dari balik garis pantai di timur sana. Suasana pantai masih sepi sekali, hanya ada beberapa nelayan yang baru saja menyandarkan perahunya. Dan satu dua wisatawan asing yang berjalan di bibir pantai.
“Ini pantai apa namanya?” tanyaku pada Fandra yang berdiri di sampingku ikut menikmati karya Ilahi yang tiada banding ini.
“Ini Pantai Sindhu, sebelah sana Pantai Semawang, lalu Pantai Mertasari,” jelasnya menunjuk ke arah kanan dari tempat kami berdiri, “Lalu di sebelah sana ada Pantai Segara, Pantai Sanur, Pantai Matahari Terbit, lalu Pantai Padang Galak,” lanjutnya menunjuk ke sebelah kiri.
“Pantai Matahari Terbit?”
“Iya, jadi daerah ini namanya Sanur, di sepanjang garis pantai ini nama pantainya beda-beda tapi sebenernya nyambung pantainya. Ini sudah masuk area Denpasar bagian timur, jadi di sepanjang pantai ini kamu bisa liat sunrise.” Jelas Fandra
“Kenapa kita ngga ke Pantai Matahari terbit, aja?”
“Hm… di sana tempatnya ngga terlalu bagus buat jalan-jalan, karena ngga ada bibir pantainya, jadi dari pantai langsung batu-batu karang dan langsung trotoar gitu, jadi lebih enak buat duduk-duduk aja. Trus ombaknya juga lebih gede di sana, ngga kaya di sini, ngga ada ombaknya kan, tenang banget karena kalau di sini ombaknya itu sudah pecah di tengah laut sana,” jelasnya sambil menunjuk ke tengah pantai.
Bener katanya, karena kulihat di tengah sana, buih-buih putih menyembul seperti ombak. Dan di sepanjag pantai ini sangat tenang , kalau pun ada ombak nyaris seperti hempasan air yang terbawa angin.
“Pantai-pantai di sanur ini lebih ke family beach karena aman buat anak-anak mandi, kecuali Pantai Matahari terbit dan Padang Galak, kalau di sana ngga disaranin mandi.”
“Kenapa?”
“Arus ombaknya ngga bagus, ombaknya juga gede-gede. Ayo kita jalan ke sana!” ajaknya kemudian. Kami berjalan di sepanjang bibir pantai.
Sengaja aku melepas sandalku dan membiarkan kakiku tersentuh air laut yang terasa dingin. Aku juga menikmati matahari yang mulai beranjak naik. Dinginnya udara pagi mulai terusir oleh hangatnya sinar matahari yang baru saja terbangun.
“Vio, nanti kamu tunggu aku di sana ya, naik aja langsung ke atas,” teriak Fandra yang berjalan agak jauh dariku. Karena dia memakai sepatu jadi dia memilih berjalan agak ke atas di bagian pasir yang kering.
“Di sana di mana?” aku balas berteriak.
“Di sana!” tunjuknya ke depan, ke sebuah bangunan seperti gazebo yang menjorok ke tengah pantai.
“iya!” balasku. Kemudian dia naik lagi ke atas dan berlari di sepanjang trotoar, jauh mendahuluiku.
Kemarin lihat sunset, sekarang lihat sunrise, komplitlah sudah. Ah, segar sekali pagi ini. Kurentangkan tangan dan menghirup sepuas-puasnya udara pantai. Semakin terang langit, mulai agak ramai suasana disekitarku. Beberapa wisatawan mulai ada yang berjalan di sepanjang pantai, ada yang berolahraga, ada juga yang rombongan bersepeda bersama keluarga di sepanjang trotoar, sepertinya bangunan-bangunan di sepanjang pantai ini adalah hotel-hotel dan restoran-restoran. Beberapa keluarga dengan anak-anak mereka yang masih kecil juga tampak mulai berdatangan.
Aku berjalan pelan menuju tempat yang di bilang Fandra tadi. Matanya terpaku pada sesosok wanita yang berjalan pelan di arah jam sebelas dari posisiku saat ini. Dia berjalan dari atas ke bawah menuju pantai. Dia tampak cantik meski wajahnya tanpa make up. Rambutnya masih dibiarkan tergerai bebas. Kali ini dia memakai pakaian renang one piece berwarna magenta terang sangat kontras dengan kulitnya yang putih bersih. Dengan balutan pakain seperti itu, tubuhnya yang sangat proposional terekspose jelas.
Mungkin dia merasa diperhatikan, sehingga dia pun menoleh ke arahku. Aku mengalihkan pandanganku darinya dan melanjutkan berjalan.
Dari ekor mataku, kulihat sekilas dia seperti mempercepat langkahnya, mengejarku.
“Tunggu!” teriaknya. Meski terdengar berteriak tapi suaranya tetap terdengar lembut.
Aku berhenti dan membalikkan badan menghadapnya. Dia menghampiriku, nafasnya sedikit terengah, terlihat dari dadanya yang naik turun. Aku akui Adisty memang sangat cantik, sempurna untuk seorang wanita.
“Kamu temannya Angga yang waktu itu kan?” tanyanya begitu nafasnya kembali normal
Aku mengangguk, “iya.”
Dia mengulurkan tangannya yang kusambut dengan menjabat tangannya
“Aku Adisty.”
“Vio,” balasku menyebut namaku.
“Kamu sendirian? Tinggal di sekitar sini juga?” tanyanya
“Aku tinggal di Jimbaran, tadi ke sini di ajakin temen,” jawabku dengan sedikit memperlihatkan senyum, beramah tamah
“Oh gitu.” Dia pun memamerkan senyumnya yang manis. Baru kali ini aku melihat dia tersemyum lepas.
“Makasi banyak ya kemarin udah nganterin aku.”
“Iya sama-sama. Kamu kenal sama Made ya?” tanyaku tanpa pikir panjang.
“Made?” dia balik nanya, wajahnya berkerut seperti berpikir.
“Made yang punya kafe yang kemarin itu.”
“Oh Bram maksud kamu. Aku manggil dia Bram, emang sih namanya Brahmastra, tapi aku suka manggil dia Bram. Kamu juga kenal dia? Sejak kapan?”
“Baru-baru ini, aku dikenalin temen.”
“Angga?”
“Bukan, temenku, temennya Angga juga sih.”
Tiba-tiba dia tersenyum, terlihat getir. Dia menatap matahari yang mulai merangkak lebih tinggi. Dia lalu terduduk di pasir dan tidur terlentang sambil memejamkan matanya. Karena merasa tidak enak berdiri, aku mengambil tempat di dekatnya dan duduk bersender bertopang pada kedua lenganku. Menikmati hangatnya sinar matahari.
“Hhhaaaaahhhhhh……..” tiba-tiba dia berteriak kencang. Membuat beberapa orang di sekitar kami menoleh kaget. Begitu juga denganku. Wanita ini benar-benar tidak terduga. Sikapnya hampir sama dengan Angga. Dia menghembuskan nafas dengan kasar.
“Baru kemarin aku datang ke Bali, bela-belain cuti demi bertemu Angga, malah jadinya hancur seperti ini,” keluhnya
“Kenapa bisa ribut sama Angga?” aku pura-pura tidak tahu masalah mereka.
“Semua salah aku juga. Aku pikir Angga mau sedkit membuka pikirannya tapi dia tetap saja kekeh dengan pendiriannya.”
“Kamu masih cinta dia?”
Dia menoleh menatapku dan tersenyum, “tentu saja, aku masih cinta dia. Aku berharap bisa menikah dengannya. Tapi sepertinya sudah ngga mungkin.” Dia tersenyum getir sambil menghela nafas. Aku menatap ke laut lepas sana. Pikiranku mengingat pembicaraanku dengan Hanggara kemarin sore, tentang pengakuannya.
“Kamu ngga mau coba ngomong lagi sama Angga?”
“Percuma. Dia itu keras kepala. Dan aku juga sudah terlalu banyak buat salah sama dia, eh… janji ya kamu jangan cerita ke dia kalau ketemu aku di sini?” Dia menolehku dan menatapku dengan wajah bersungguh-sungguh. Aku mengangguk mengiyakan.
“Kamu mau aku bantu bicara sama Angga?” Entah kenapa aku menawarkan diri membantunya.
“Ngga usah, kamu baik banget!” dia tersenyum, ada ketulusan di matanya. “Aku ngga mau berharap lagi sama dia, mungkin ini karena aku juga. Aku sudah beberapa kali yah….main di belakangnya.” Dia tersenyum tanpa ada lagi rasa bersalah di matanya. “Bram juga marah sama aku.”
“Kenapa marah?”
“Dia tahu kalau aku baru putus sama Angga. Aku bohong sama dia. Aku bilang aku udah putus dari dulu sama Angga begitu Angga selesai kuliah dan balik ke Bali. Makanya dia berani ngajak aku pacaran selama kami di Aussie. Begitu dia balik ke Jakarta aku mutusin dia dengan alasan aku ngga mau LDR-an.” Kali ini aku terkejut dengan pengakuannya.
“Jadi kamu jalan dengan Made selama kamu LDR an sama Angga?”
Dia mengangguk dan tersenyum, “Sebenernya dengan Bram aku sudah sering putus nyambung sejak SMA, kita dulu satu SMA di Jakarta. Jadi aku tahu betul kalau Bram itu sebenernya suka banget sama aku.”
“Jadi kamu manfaatin dia?”
“Terlalu kasar kalau kamu bilang begitu,” dia tersenyum memandangku, “Kita saling membutuhkan, dia suka aku dan aku juga ngga mau kesepian.”
Oh damn!
“Aku yang memberitahu Made kalau kamu baru putus dari Angga,” ujarku kemudian. Aku kesal sekali dengan wanita ini. Dia memandangku ada keterkejutan di wajahnya, tapi kemudian segera memudar dan berganti dengan senyuman.
“Dia bertanya kenapa aku bisa sama kamu, yah, aku ceritakan semua,” kataku lagi masih menatapnya yang sudah mengalihkan pandangannya menatap lurus ke depan masih dengan senyum di wajahnya
“yah mau gimana lagi, sudah terlanjur kejadian, aku ngga nyalahin kamu juga, kan kamu ngga tahu,” sahutnya santai, “Apapun yang terjadi, life must go on, right?” dia tersenyum melirikku.
“Ya, kamu benar, apa pun yang terjadi, waktu akan terus berjalan, dan hidup harus terus berlanjut, entah pahit atau manis harus tetap di jalani,” aku bergumam pelan seperti mengingatkan pada diriku sendiri.
“Honey, what are you doing here?” sebuah suara bule mengagetkanku. Sesosok lelaki kulit putih berdiri menjulang tepat di samping Adisty. Wajahnya tampan dengan muka tirus dan mata birunya yang menawan
“hi, I just met with my friend.” Laki-laki bule itu menoleh memandangku yang kusambut dengan sedikit senyuman
“Kalau gitu aku jalan ke sana dulu, ya, kayaknya temenku udah nungguin,” ujarku kemudian berdiri
“Okay, thanks udah nemenin ngobrol, ya.” Balas Adisty dengan wajah yang ceria.
Setelah itu aku segera berjalan ke arah gazebo. Tapi tidak kutemukan Fandra di sana, apa dia belum selesai jogging?
Aku melihat lagi ke arah dari mana aku datang tadi, mencari-cari keberadaan Adisty dan teman bulenya itu. Sepertinya itu mereka yang sedang berendam di air pantai dapat kukenali dari warna baju renang Adisty yang mencolok. Aku menghela nafas, kemarin aku menemukan dia dengan berurai airmata tampak kacau dan menyedihkan, dan sekarang dia sudah kembali ceria seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu yang membebani pikirannya. Kenapa aku tidak bisa seperti itu? Apa karena aku belum menyelesaikan masalahku?
“Hei!!” Fandra menepuk bahuku dan duduk di bawah sambil menselonjorkan kakinya. Dia tampak terengah-engah.
“Udah berapa kali putaran?” tanyaku
“Bolak balik aja tadi entah berapa kali, dah capek nih!” ujarnya lalu menegak minuman yang dia bawa.
“Mending tidur ya, ngapain juga capek-capek olahraga.”
“Capek tapi segar, Vio, makanya kamu oahraga ntar rasain sendiri efeknya.”
“Ngga ah, males,” ujarku menggendikkan bahu. Dia tertawa geli melihatku.
“Eh, tadi ketemu siapa? Aku liat tadi kamu ngomong sama cewek cantik.”
“Dasar cowok kalau liat cewek cantik aja, antenanya langsung konek.”
Dia tertawa terbahak, “iyalah aku kan cowok normal. Apalagi ceweknya cantik dan seksi banget, temen kamu, ya?”
“Cewekny…eh, salah, mantannya temenku di kantor. Mereka abis putus kemarin.”
“Wah, kesempatan dong!”
“Kesempatan apanya? Tuh liat, udah di pegang-pegang bule, mau kamu?” ujarku sambil menunjuk dengan mataku ke arah di mana Adisty dan cowok bulenya berada.
“Oh ya, mana?”
“Tuh!” kini aku menunjuk dengan tanganku memberitahu ke Fandra
“Yah, ngga jadi deh.” Fandra pura-pura memasang wajah sedih.
“Udah ah, balik yuk? Kamu kan kerja ntar,” ajakku setelah melihat ponselku menunjukkan jam 8 pagi
“Kamu laper ngga? Makan dulu yuk?”
“Iya sedikit laper nih,” ujarku sambil memegang perutku
“Yuk aku ajak makan, masakan khas Bali.” Dia berdiri dan berjalan mendahuluiku.
“Emang kamu boleh?” tanyaku. Kami berjalan beriringan kembali ke arah tadi. Tapi Fandra mengajakku berjalan di sepanjang trotoar supaya lebih gampang, meski lumayan rame oleh para turis dan orang lokal yang bersepeda di sana.
“Ya bolehlah, masak aku ngga boleh makan.”
“Bukan, maksudku halal kan?”
“Kamu muslim?” tanyanya menatapku
“Bukan aku, tapi kamunya.”
Dia tersenyum, “Tenang, ini tempatnya khusus yang jual olahan ayam, ngga ada babinya.”
Aku mengangguk mengerti.
“Kalau di sini itu aman kalau soal makanan. Apalagi yang di warung-warung, ya, kalau penjualnya jual olahan daging babi, ya bakalan di bilang mereka ada olahan babi, kaya babi guling, itu utuh babi gulingnya bakalan di tempatin di etalase. Kalau buat yang muslim ya cari aja, warung yang ada tulisan warung muslim, pasti dijamin halal. Kalau yang masakan khas bali, biasanya diisi di menunya ayam aja atau campur ada babinya. Jadi ngga ada yang ngumpet-ngumpet, bilang daging sapi atau ayam, eh malah pake daging babi.” dia menjelaskan panjang lebar sampai kami berujung di tempat parkir.
Dia membawaku ke sebuah warung nasi yang sederhana, tapi yang antri sudah banyak. Penjualnya melayani pembeli dengan cekatan, tak perlu menunggu lama, kami sudah duduk dengan hidangan yang sangat menggoda. Aku mencicipinya, menyuapkan nasi dan ditambah dengan beberapa macam jenis lauk.
“Gimana, enak?”
“Hm.., enak,” ujarku sambil mengunyah. “Bumbunya kerasa banget, kuat, pedes juga, tapi enak.”
“Ini yang khas Bali Betutu sama lawar.” Dia menunjukkan dua jenis lauk yang ada di piringku
“Betutu aku tahu, Mamaku lumayan sering juga bikin, tapi rasanya beda, lebih enak ini mah,” aku tertawa, “trus yang lawar ini pake apa buatnya.”
“Kalau lawar ada macem-macem, tergantung lawarnya dari mana, masing-masing daerah beda-beda cara buat dan bahannya. Kalau yang ini pake ayam, nangka muda, sama kacang panjang, di campur jadi satu diisi bumbu, biasanya pakai bumbu halus yang campur jadi satu ditambah rempah-rempah.”
Aku mengangguk-angguk saja mendengar penjelasannya. Rasa nikmat di mulutku jauh lebih berharga untuk di rasakan hehehehe.
Setelah selesai makan, barulah kami kembali ke kostan. Sekitar jam sepuluh kami sampai di kostan.
“Makasi ya, Fan, udah mau ngajak aku ke mana-mana.”
“It’s okay, ini salah satu cara nikmati hidup biar ngga stress, apalagi diteminin kamu hehehe,” Dia tertawa menggoda, “Abis ini mau kemana?” tanyanya kemudian.
“Tidur. Perut sudah kenyang, sekarang jadi ngantuk.”
Dia tertawa terkekeh. Lalu dia pamit bersiap berangkat kerja, dan aku memilih berberes kamar, kemudian mandi. Selesai mandi, benar saja, rasa kantuk menyerangku. Kesempatan membalaskan tidur yang tak ternyenyakkan.

Samar kulihat jam digital yang ada di ponselku, sekitar jam setengah empat. Aku mencoba memejamkan kembali mataku, mencoba terlelap…
Badanku terasa pegal, aku bangun dan duduk. Kembali aku menggapai ponselku, jam empat pagi. Gila, semalam setiap hampir satu jam terbangun, menjelang pagi setiap setengah jam juga terbangun. Aku malah merasa lelah kalau tidurnya seperti ini. Aku memutuskan bangun dan keluar.
Angin pagi yang lumayan dingin menerpa wajahku begitu aku membuka pintu. Langit masih gelap dan suasana juga sepi. Aku naik dan duduk di atas dinding pembatas balkon, tempat kesukaan Fandra. Aku duduk menghadap ke depan, membelakangi kamarku, meletakkan kedua kakiku di tepian bawah dinding, dan bersender dengan bahu kananku di dinding sampingku. Kalau sedikit saja aku lengah, bisa saja aku langsung terjatuh. Tapi aku tidak merasa akan jatuh dan tetap duduk dengan posisiku ini. Perlahan kupejamkan mataku, menikmati dinginnya pagi, siapa tahu aku akan mengantuk lagi. Tetap saja aku tidak bisa merasakan kantuk itu datang. Aku ngerasa mata dan badanku lelah, ingin tidur, tapi otakku berontak.
“Vio?” suara Fandra memanggil. Kubuka mata dan melihatnya berdiri di depan kamarnya.
“Ngapain di sana, duduknya jangan kaya gitu, ntar jatuh,” ujarnya mengkomentari posisi dudukku.
“Hm…” aku hanya bergumam sambil mengangguk. Tapi tidak merubah posisiku, kembali kupejamkan mata tidak menghiraukannya. Kudengar langkah kakinya menjauh. Sebentar kemudian kudengar lagi suara langkah kaki mendekat, kemudian menghilang. Mungkin Fandra sudah masuk kamar lagi.
Tak lama kemudian, sebuah tangan memegang lenganku, perlahan tapi kuat. Aku terkejut, dan membuka mata. Fandra di sampingku, dia yang memegang lenganku.
“Turun, aku ngeri liat kamu mana isi merem lagi.” Dengan halus dia menarik lenganku, memaksa aku turun. Mau ngga mau aku menurutinya.
“Kamu kenapa?” tanyanya
“Ngga bisa tidur, kebangun terus, malah jadi capek rasanya.”
Dia diam saja. Kulihat dia dari atas ke bawah, “Kamu udah selesai sholat?”
“Sudah. Kamu libur kan sekarang?”
Aku mengangguk.
“Ambil jaketmu, ikut aku!”
“Mau ke mana?”
“Udah ikut aja.”
“Kamu ngga kerja?’
“Kerja ntar siangan,” ujarnya sambil masuk ke kamarnya. Aku pun masuk ke kamarku, mencuci sedikit wajahku dan merapikan rambutku.
Begitu aku keluar dia sudah menunggu di depan kamarnya. Aku menelisiknya dari atas ke bawah.
“Mau olahraga?” tanyaku karena melihatnya memakai sepatu lengkap dengan celana olahraga panjang.
“Ayo!” Dia berjalan di depanku.
“Semalem kamu pulang jam berapa?” tanyaku karena sewaktu aku pulang aku melihat kamarnya masih gelap. Dan aku ngga ada mendengar dia datang sampai aku tertidur, meski tidurku pun tidak nyanyak.
“Sekitar jam 12 an.”
“Kamu ngga capek, mana ntar kerja lagi.”
“Nggalah, udah biasa,” sahutnya sambil mengeluarkan motornya. Aku pun mengambil helmku.
“Aku lupa, kan tempat kerjamu keren gitu, bisalah santai-santai sambil kerja,” ujarku membuat dia tersenyum kecil.
Sesaat kemudian kami sudah meluncur di jalan dan kemudian masuk ke jalan tol. Sepertinya Fandra melajukan motornya dengan kecepatan maksimal. Dia ngebut banget! Aku ngga peduli dia keberatan atau ngga, dengan berani aku memegangi bagian samping jaketnya dengan erat, meski tidak langsung menyentuh pinggangnya, tapi sesekali tanganku pun menyentuhnya. Aku ngga peduli, daripada aku nanti jatuh.
***
Fandra mengajakku ke sebuah pantai. Ketika kami sampai di sana, langit di sepanjang garis pantai mulai tampak kemerahan, tanda sebentar lagi matahari akan muncul dari balik garis pantai di timur sana. Suasana pantai masih sepi sekali, hanya ada beberapa nelayan yang baru saja menyandarkan perahunya. Dan satu dua wisatawan asing yang berjalan di bibir pantai.
“Ini pantai apa namanya?” tanyaku pada Fandra yang berdiri di sampingku ikut menikmati karya Ilahi yang tiada banding ini.
“Ini Pantai Sindhu, sebelah sana Pantai Semawang, lalu Pantai Mertasari,” jelasnya menunjuk ke arah kanan dari tempat kami berdiri, “Lalu di sebelah sana ada Pantai Segara, Pantai Sanur, Pantai Matahari Terbit, lalu Pantai Padang Galak,” lanjutnya menunjuk ke sebelah kiri.
“Pantai Matahari Terbit?”
“Iya, jadi daerah ini namanya Sanur, di sepanjang garis pantai ini nama pantainya beda-beda tapi sebenernya nyambung pantainya. Ini sudah masuk area Denpasar bagian timur, jadi di sepanjang pantai ini kamu bisa liat sunrise.” Jelas Fandra
“Kenapa kita ngga ke Pantai Matahari terbit, aja?”
“Hm… di sana tempatnya ngga terlalu bagus buat jalan-jalan, karena ngga ada bibir pantainya, jadi dari pantai langsung batu-batu karang dan langsung trotoar gitu, jadi lebih enak buat duduk-duduk aja. Trus ombaknya juga lebih gede di sana, ngga kaya di sini, ngga ada ombaknya kan, tenang banget karena kalau di sini ombaknya itu sudah pecah di tengah laut sana,” jelasnya sambil menunjuk ke tengah pantai.
Bener katanya, karena kulihat di tengah sana, buih-buih putih menyembul seperti ombak. Dan di sepanjag pantai ini sangat tenang , kalau pun ada ombak nyaris seperti hempasan air yang terbawa angin.
“Pantai-pantai di sanur ini lebih ke family beach karena aman buat anak-anak mandi, kecuali Pantai Matahari terbit dan Padang Galak, kalau di sana ngga disaranin mandi.”
“Kenapa?”
“Arus ombaknya ngga bagus, ombaknya juga gede-gede. Ayo kita jalan ke sana!” ajaknya kemudian. Kami berjalan di sepanjang bibir pantai.
Sengaja aku melepas sandalku dan membiarkan kakiku tersentuh air laut yang terasa dingin. Aku juga menikmati matahari yang mulai beranjak naik. Dinginnya udara pagi mulai terusir oleh hangatnya sinar matahari yang baru saja terbangun.
“Vio, nanti kamu tunggu aku di sana ya, naik aja langsung ke atas,” teriak Fandra yang berjalan agak jauh dariku. Karena dia memakai sepatu jadi dia memilih berjalan agak ke atas di bagian pasir yang kering.
“Di sana di mana?” aku balas berteriak.
“Di sana!” tunjuknya ke depan, ke sebuah bangunan seperti gazebo yang menjorok ke tengah pantai.
“iya!” balasku. Kemudian dia naik lagi ke atas dan berlari di sepanjang trotoar, jauh mendahuluiku.
Kemarin lihat sunset, sekarang lihat sunrise, komplitlah sudah. Ah, segar sekali pagi ini. Kurentangkan tangan dan menghirup sepuas-puasnya udara pantai. Semakin terang langit, mulai agak ramai suasana disekitarku. Beberapa wisatawan mulai ada yang berjalan di sepanjang pantai, ada yang berolahraga, ada juga yang rombongan bersepeda bersama keluarga di sepanjang trotoar, sepertinya bangunan-bangunan di sepanjang pantai ini adalah hotel-hotel dan restoran-restoran. Beberapa keluarga dengan anak-anak mereka yang masih kecil juga tampak mulai berdatangan.
Aku berjalan pelan menuju tempat yang di bilang Fandra tadi. Matanya terpaku pada sesosok wanita yang berjalan pelan di arah jam sebelas dari posisiku saat ini. Dia berjalan dari atas ke bawah menuju pantai. Dia tampak cantik meski wajahnya tanpa make up. Rambutnya masih dibiarkan tergerai bebas. Kali ini dia memakai pakaian renang one piece berwarna magenta terang sangat kontras dengan kulitnya yang putih bersih. Dengan balutan pakain seperti itu, tubuhnya yang sangat proposional terekspose jelas.
Mungkin dia merasa diperhatikan, sehingga dia pun menoleh ke arahku. Aku mengalihkan pandanganku darinya dan melanjutkan berjalan.
Dari ekor mataku, kulihat sekilas dia seperti mempercepat langkahnya, mengejarku.
“Tunggu!” teriaknya. Meski terdengar berteriak tapi suaranya tetap terdengar lembut.
Aku berhenti dan membalikkan badan menghadapnya. Dia menghampiriku, nafasnya sedikit terengah, terlihat dari dadanya yang naik turun. Aku akui Adisty memang sangat cantik, sempurna untuk seorang wanita.
“Kamu temannya Angga yang waktu itu kan?” tanyanya begitu nafasnya kembali normal
Aku mengangguk, “iya.”
Dia mengulurkan tangannya yang kusambut dengan menjabat tangannya
“Aku Adisty.”
“Vio,” balasku menyebut namaku.
“Kamu sendirian? Tinggal di sekitar sini juga?” tanyanya
“Aku tinggal di Jimbaran, tadi ke sini di ajakin temen,” jawabku dengan sedikit memperlihatkan senyum, beramah tamah
“Oh gitu.” Dia pun memamerkan senyumnya yang manis. Baru kali ini aku melihat dia tersemyum lepas.
“Makasi banyak ya kemarin udah nganterin aku.”
“Iya sama-sama. Kamu kenal sama Made ya?” tanyaku tanpa pikir panjang.
“Made?” dia balik nanya, wajahnya berkerut seperti berpikir.
“Made yang punya kafe yang kemarin itu.”
“Oh Bram maksud kamu. Aku manggil dia Bram, emang sih namanya Brahmastra, tapi aku suka manggil dia Bram. Kamu juga kenal dia? Sejak kapan?”
“Baru-baru ini, aku dikenalin temen.”
“Angga?”
“Bukan, temenku, temennya Angga juga sih.”
Tiba-tiba dia tersenyum, terlihat getir. Dia menatap matahari yang mulai merangkak lebih tinggi. Dia lalu terduduk di pasir dan tidur terlentang sambil memejamkan matanya. Karena merasa tidak enak berdiri, aku mengambil tempat di dekatnya dan duduk bersender bertopang pada kedua lenganku. Menikmati hangatnya sinar matahari.
“Hhhaaaaahhhhhh……..” tiba-tiba dia berteriak kencang. Membuat beberapa orang di sekitar kami menoleh kaget. Begitu juga denganku. Wanita ini benar-benar tidak terduga. Sikapnya hampir sama dengan Angga. Dia menghembuskan nafas dengan kasar.
“Baru kemarin aku datang ke Bali, bela-belain cuti demi bertemu Angga, malah jadinya hancur seperti ini,” keluhnya
“Kenapa bisa ribut sama Angga?” aku pura-pura tidak tahu masalah mereka.
“Semua salah aku juga. Aku pikir Angga mau sedkit membuka pikirannya tapi dia tetap saja kekeh dengan pendiriannya.”
“Kamu masih cinta dia?”
Dia menoleh menatapku dan tersenyum, “tentu saja, aku masih cinta dia. Aku berharap bisa menikah dengannya. Tapi sepertinya sudah ngga mungkin.” Dia tersenyum getir sambil menghela nafas. Aku menatap ke laut lepas sana. Pikiranku mengingat pembicaraanku dengan Hanggara kemarin sore, tentang pengakuannya.
“Kamu ngga mau coba ngomong lagi sama Angga?”
“Percuma. Dia itu keras kepala. Dan aku juga sudah terlalu banyak buat salah sama dia, eh… janji ya kamu jangan cerita ke dia kalau ketemu aku di sini?” Dia menolehku dan menatapku dengan wajah bersungguh-sungguh. Aku mengangguk mengiyakan.
“Kamu mau aku bantu bicara sama Angga?” Entah kenapa aku menawarkan diri membantunya.
“Ngga usah, kamu baik banget!” dia tersenyum, ada ketulusan di matanya. “Aku ngga mau berharap lagi sama dia, mungkin ini karena aku juga. Aku sudah beberapa kali yah….main di belakangnya.” Dia tersenyum tanpa ada lagi rasa bersalah di matanya. “Bram juga marah sama aku.”
“Kenapa marah?”
“Dia tahu kalau aku baru putus sama Angga. Aku bohong sama dia. Aku bilang aku udah putus dari dulu sama Angga begitu Angga selesai kuliah dan balik ke Bali. Makanya dia berani ngajak aku pacaran selama kami di Aussie. Begitu dia balik ke Jakarta aku mutusin dia dengan alasan aku ngga mau LDR-an.” Kali ini aku terkejut dengan pengakuannya.
“Jadi kamu jalan dengan Made selama kamu LDR an sama Angga?”
Dia mengangguk dan tersenyum, “Sebenernya dengan Bram aku sudah sering putus nyambung sejak SMA, kita dulu satu SMA di Jakarta. Jadi aku tahu betul kalau Bram itu sebenernya suka banget sama aku.”
“Jadi kamu manfaatin dia?”
“Terlalu kasar kalau kamu bilang begitu,” dia tersenyum memandangku, “Kita saling membutuhkan, dia suka aku dan aku juga ngga mau kesepian.”
Oh damn!
“Aku yang memberitahu Made kalau kamu baru putus dari Angga,” ujarku kemudian. Aku kesal sekali dengan wanita ini. Dia memandangku ada keterkejutan di wajahnya, tapi kemudian segera memudar dan berganti dengan senyuman.
“Dia bertanya kenapa aku bisa sama kamu, yah, aku ceritakan semua,” kataku lagi masih menatapnya yang sudah mengalihkan pandangannya menatap lurus ke depan masih dengan senyum di wajahnya
“yah mau gimana lagi, sudah terlanjur kejadian, aku ngga nyalahin kamu juga, kan kamu ngga tahu,” sahutnya santai, “Apapun yang terjadi, life must go on, right?” dia tersenyum melirikku.
“Ya, kamu benar, apa pun yang terjadi, waktu akan terus berjalan, dan hidup harus terus berlanjut, entah pahit atau manis harus tetap di jalani,” aku bergumam pelan seperti mengingatkan pada diriku sendiri.
“Honey, what are you doing here?” sebuah suara bule mengagetkanku. Sesosok lelaki kulit putih berdiri menjulang tepat di samping Adisty. Wajahnya tampan dengan muka tirus dan mata birunya yang menawan
“hi, I just met with my friend.” Laki-laki bule itu menoleh memandangku yang kusambut dengan sedikit senyuman
“Kalau gitu aku jalan ke sana dulu, ya, kayaknya temenku udah nungguin,” ujarku kemudian berdiri
“Okay, thanks udah nemenin ngobrol, ya.” Balas Adisty dengan wajah yang ceria.
Setelah itu aku segera berjalan ke arah gazebo. Tapi tidak kutemukan Fandra di sana, apa dia belum selesai jogging?
Aku melihat lagi ke arah dari mana aku datang tadi, mencari-cari keberadaan Adisty dan teman bulenya itu. Sepertinya itu mereka yang sedang berendam di air pantai dapat kukenali dari warna baju renang Adisty yang mencolok. Aku menghela nafas, kemarin aku menemukan dia dengan berurai airmata tampak kacau dan menyedihkan, dan sekarang dia sudah kembali ceria seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu yang membebani pikirannya. Kenapa aku tidak bisa seperti itu? Apa karena aku belum menyelesaikan masalahku?
“Hei!!” Fandra menepuk bahuku dan duduk di bawah sambil menselonjorkan kakinya. Dia tampak terengah-engah.
“Udah berapa kali putaran?” tanyaku
“Bolak balik aja tadi entah berapa kali, dah capek nih!” ujarnya lalu menegak minuman yang dia bawa.
“Mending tidur ya, ngapain juga capek-capek olahraga.”
“Capek tapi segar, Vio, makanya kamu oahraga ntar rasain sendiri efeknya.”
“Ngga ah, males,” ujarku menggendikkan bahu. Dia tertawa geli melihatku.
“Eh, tadi ketemu siapa? Aku liat tadi kamu ngomong sama cewek cantik.”
“Dasar cowok kalau liat cewek cantik aja, antenanya langsung konek.”
Dia tertawa terbahak, “iyalah aku kan cowok normal. Apalagi ceweknya cantik dan seksi banget, temen kamu, ya?”
“Cewekny…eh, salah, mantannya temenku di kantor. Mereka abis putus kemarin.”
“Wah, kesempatan dong!”
“Kesempatan apanya? Tuh liat, udah di pegang-pegang bule, mau kamu?” ujarku sambil menunjuk dengan mataku ke arah di mana Adisty dan cowok bulenya berada.
“Oh ya, mana?”
“Tuh!” kini aku menunjuk dengan tanganku memberitahu ke Fandra
“Yah, ngga jadi deh.” Fandra pura-pura memasang wajah sedih.
“Udah ah, balik yuk? Kamu kan kerja ntar,” ajakku setelah melihat ponselku menunjukkan jam 8 pagi
“Kamu laper ngga? Makan dulu yuk?”
“Iya sedikit laper nih,” ujarku sambil memegang perutku
“Yuk aku ajak makan, masakan khas Bali.” Dia berdiri dan berjalan mendahuluiku.
“Emang kamu boleh?” tanyaku. Kami berjalan beriringan kembali ke arah tadi. Tapi Fandra mengajakku berjalan di sepanjang trotoar supaya lebih gampang, meski lumayan rame oleh para turis dan orang lokal yang bersepeda di sana.
“Ya bolehlah, masak aku ngga boleh makan.”
“Bukan, maksudku halal kan?”
“Kamu muslim?” tanyanya menatapku
“Bukan aku, tapi kamunya.”
Dia tersenyum, “Tenang, ini tempatnya khusus yang jual olahan ayam, ngga ada babinya.”
Aku mengangguk mengerti.
“Kalau di sini itu aman kalau soal makanan. Apalagi yang di warung-warung, ya, kalau penjualnya jual olahan daging babi, ya bakalan di bilang mereka ada olahan babi, kaya babi guling, itu utuh babi gulingnya bakalan di tempatin di etalase. Kalau buat yang muslim ya cari aja, warung yang ada tulisan warung muslim, pasti dijamin halal. Kalau yang masakan khas bali, biasanya diisi di menunya ayam aja atau campur ada babinya. Jadi ngga ada yang ngumpet-ngumpet, bilang daging sapi atau ayam, eh malah pake daging babi.” dia menjelaskan panjang lebar sampai kami berujung di tempat parkir.
Dia membawaku ke sebuah warung nasi yang sederhana, tapi yang antri sudah banyak. Penjualnya melayani pembeli dengan cekatan, tak perlu menunggu lama, kami sudah duduk dengan hidangan yang sangat menggoda. Aku mencicipinya, menyuapkan nasi dan ditambah dengan beberapa macam jenis lauk.
“Gimana, enak?”
“Hm.., enak,” ujarku sambil mengunyah. “Bumbunya kerasa banget, kuat, pedes juga, tapi enak.”
“Ini yang khas Bali Betutu sama lawar.” Dia menunjukkan dua jenis lauk yang ada di piringku
“Betutu aku tahu, Mamaku lumayan sering juga bikin, tapi rasanya beda, lebih enak ini mah,” aku tertawa, “trus yang lawar ini pake apa buatnya.”
“Kalau lawar ada macem-macem, tergantung lawarnya dari mana, masing-masing daerah beda-beda cara buat dan bahannya. Kalau yang ini pake ayam, nangka muda, sama kacang panjang, di campur jadi satu diisi bumbu, biasanya pakai bumbu halus yang campur jadi satu ditambah rempah-rempah.”
Aku mengangguk-angguk saja mendengar penjelasannya. Rasa nikmat di mulutku jauh lebih berharga untuk di rasakan hehehehe.
Setelah selesai makan, barulah kami kembali ke kostan. Sekitar jam sepuluh kami sampai di kostan.
“Makasi ya, Fan, udah mau ngajak aku ke mana-mana.”
“It’s okay, ini salah satu cara nikmati hidup biar ngga stress, apalagi diteminin kamu hehehe,” Dia tertawa menggoda, “Abis ini mau kemana?” tanyanya kemudian.
“Tidur. Perut sudah kenyang, sekarang jadi ngantuk.”
Dia tertawa terkekeh. Lalu dia pamit bersiap berangkat kerja, dan aku memilih berberes kamar, kemudian mandi. Selesai mandi, benar saja, rasa kantuk menyerangku. Kesempatan membalaskan tidur yang tak ternyenyakkan.
JabLai cOY dan 5 lainnya memberi reputasi
6