- Beranda
- Stories from the Heart
Resolusi Love Part 1
...
TS
Queenencis
Resolusi Love Part 1
“Aku membenci kantor ini, tapi cinta dengan seluruh isinya.”
Rasanya ingin segera pulang. Kewarasan Tiar bisa kadaluwarsa kalau terus-terusan begini. Baru saja selesai satu pekerjaan, muncul yang lain. Namun, rutinitas ini adalah cita-cita wanita berkulit kuning langsat itu. Duduk di balik meja kerja dengan setelan rapi yang terlihat sebagai wanita mapan.
“Kenapa muka di tekuk begitu?” Maya---rekan kerja Tiar---bertanya ketika melihat Tiar menjatuhkan badan di kursi depan meja kerjanya. Dia partner kerja Tiar selama setahun terakhir.
“May, ini jam berapa?” Tiar menekuk muka dengan malas.
“Jam 5,” jawab Maya seenaknya tanpa melihat jam dinding.
“Pagi apa sore?”
Maya memutar bola matanya. “Lo mulai gila ya? Jelas sorelah.” Sekali lagi Maya menjawab dengan gemas sambil membereskan meja kerjanya.
“Gue tanya, kenapa malah ikut nanya?” Tiar menggerutu tak bersemangat. Karena semangatnya sudah sirna dengan melihat porsi kerjanya yang luar biasa. Energinya terkuras habis akhir-akhir ini.
“Kapan kita bisa pulang menatap matahari, May?” Tiar mulai mengeluh lagi. Rasanya tidak ada yang benar dengan pekerjaannya. Apalagi tentang keberadaannya di kantor ini. Gadis itu melihat penampilannya di cermin. Rambutnya masih rapi seperti pagi tadi, make up juga tidak berantakan meskipun sedikit luntur.
“Lo habis diapain sama Pak Alex?” Maya mengerutkan keningnya. Dia hafal sekali, setiap Tiar keluar dari ruangan Alex, air matanya yang meleleh pasti sudah kering begitu sampai di meja kerjanya. Terlihat dari cermin yang masih menempel di tangan kiri Tiar.
“Sebel gue. Pengajuan gue di tolak ‘Ibu Suri’. Dan itu karena kondisinya tidak sama dengan yang didapat kantor pusat.”
Sebenarnya, Tiar sangat ingin melempar berkas invoice suplier yang dikembalikan padanya. Ibu Suri adalah sebutan untuk ibu komisaris yang galaknya tiada ampun. Iya, karena galaknya, seluruh anak buahnya memberi julukan Ibu Suri. Dan Alex, dia adalah Branch Manajer untuk cabang kami. Atau, jongos elite yang diberi kuasa untuk memerintah kami para jongos kasta sudra. Parah sekali, kan? Untungnya cakep, tinggi, berkulit putih, good looking. Pokoknya idaman sangat buat kaum hawa. Satu lagi, kabarnya dia masih jomblo. Kalau informasinya tidak meleset.
“Eh, sumpah deh. Akhir-akhir ini si bos juga lebih sering ngamuk.” Maya membenarkan gerutu Tiar.
Tiar menunduk meratapi berkas yang ada di atas mejanya. Memang benar sekali, setiap masalah rasanya sudah sepaket dengan korek beserta bensin. Begitu tersulut sedikit, berkobarlah seisi kantor.
Gadis itu sadar, tidak harapan yang dia nantikan di kantor ini. Perbaikan nasib juga rasanya mustahil. Sesuatu yang pasti hanya keadaan emosinya yang semakin memburuk.
“Ini Mbak Rena ke mana sih?” Tiar melihat meja seberangnya kosong. Ruangan itu terisi oleh empat orang, tiga di antaranya adalah Maya, Rena, dan Sinta.
“Katanya sakit. Tadi gue lihat OB ngasih surat ijinnya ke Pak Alex,” jawab Maya.
“Kasihan banget, cuti karena sakit. Gue pikir cuti cari pacar. Biar enggak jomblo terus.” Duh ke-ngenas-an kedua juga bagi Tiar. Meski umur sudah seperempat abad lebih, belum ada satu pun cowok yang digandeng.
“Nggak usah komentar. Boro-boro punya pacar. Kehidupan sosial gue raib di telan kantor ini.” Maya tersenyum masam saat mengucapkan kalimat itu.
“Sama, gue juga May. Apa jangan-jangan kutukan di sini kali, ya?” Kali ini Tiar setuju dengan kata-kata Maya. Berbeda sekali dengan bayangannya saat masih pengangguran dulu. Bekerja itu terlihat asyik, mandiri, pegang duit, bisa jalan-jalan, dan bebas membeli apa pun.
“Hus! Sembarangan. Urusin tuh laporan di meja. Hari gini masih aja percaya mistis.” Maya mengambil selembar kertas untuk mencetak dokumen sembari mengutak-atik komputernya.
“Apa gue resign aja ya?” celetuk Tiar yang di sambut tatapan tajam dari Maya dan Sinta yang dari tadi diam menyimak pembicaraan. Resign itu adalah kata sakral yang tidak boleh diucapkan sembarangan. Salah tempat bisa jadi panjang urusannya.
“Ngapain Mbak Tiar?” Sinta terlihat khawatir, karena dia masih di bawah asuhan Tiar sampai empat bulan ke depan. Alias lepas training. Dan belum banyak ilmu yang diserap oleh Sinta. Sehingga dia terlihat panik saat mendengar Tiar berbicara seperti itu.
“Bilang aja, gue resign biar dapet jodoh,” kata Tiar dan disambut dengan tawa keras dari Sinta dan Maya.
“Siapa yang cari jodoh?”
Bapak Alex yang terhormat tiba-tiba keluar dari ruangannya. Semoga dia tidak mendengar percakapan di ruangan itu, terutama masalah out.
Muka Tiar merah padam ketika Pak Alex meletakkan map beserta tumpukkan kertas di dalamnya lalu keluar tanpa menunggu respons mereka.
Oh, my God. Teriak Tiar tertahan di dalam hati. Betapa map itu sangat mengganggu matanya, juga orang yang menaruhnya.
*************
Bersambung...
Part selanjutnya
https://www.kaskus.co.id/show_post/5...7e93208e3d3970
Rasanya ingin segera pulang. Kewarasan Tiar bisa kadaluwarsa kalau terus-terusan begini. Baru saja selesai satu pekerjaan, muncul yang lain. Namun, rutinitas ini adalah cita-cita wanita berkulit kuning langsat itu. Duduk di balik meja kerja dengan setelan rapi yang terlihat sebagai wanita mapan.
“Kenapa muka di tekuk begitu?” Maya---rekan kerja Tiar---bertanya ketika melihat Tiar menjatuhkan badan di kursi depan meja kerjanya. Dia partner kerja Tiar selama setahun terakhir.
“May, ini jam berapa?” Tiar menekuk muka dengan malas.
“Jam 5,” jawab Maya seenaknya tanpa melihat jam dinding.
“Pagi apa sore?”
Maya memutar bola matanya. “Lo mulai gila ya? Jelas sorelah.” Sekali lagi Maya menjawab dengan gemas sambil membereskan meja kerjanya.
“Gue tanya, kenapa malah ikut nanya?” Tiar menggerutu tak bersemangat. Karena semangatnya sudah sirna dengan melihat porsi kerjanya yang luar biasa. Energinya terkuras habis akhir-akhir ini.
“Kapan kita bisa pulang menatap matahari, May?” Tiar mulai mengeluh lagi. Rasanya tidak ada yang benar dengan pekerjaannya. Apalagi tentang keberadaannya di kantor ini. Gadis itu melihat penampilannya di cermin. Rambutnya masih rapi seperti pagi tadi, make up juga tidak berantakan meskipun sedikit luntur.
“Lo habis diapain sama Pak Alex?” Maya mengerutkan keningnya. Dia hafal sekali, setiap Tiar keluar dari ruangan Alex, air matanya yang meleleh pasti sudah kering begitu sampai di meja kerjanya. Terlihat dari cermin yang masih menempel di tangan kiri Tiar.
“Sebel gue. Pengajuan gue di tolak ‘Ibu Suri’. Dan itu karena kondisinya tidak sama dengan yang didapat kantor pusat.”
Sebenarnya, Tiar sangat ingin melempar berkas invoice suplier yang dikembalikan padanya. Ibu Suri adalah sebutan untuk ibu komisaris yang galaknya tiada ampun. Iya, karena galaknya, seluruh anak buahnya memberi julukan Ibu Suri. Dan Alex, dia adalah Branch Manajer untuk cabang kami. Atau, jongos elite yang diberi kuasa untuk memerintah kami para jongos kasta sudra. Parah sekali, kan? Untungnya cakep, tinggi, berkulit putih, good looking. Pokoknya idaman sangat buat kaum hawa. Satu lagi, kabarnya dia masih jomblo. Kalau informasinya tidak meleset.
“Eh, sumpah deh. Akhir-akhir ini si bos juga lebih sering ngamuk.” Maya membenarkan gerutu Tiar.
Tiar menunduk meratapi berkas yang ada di atas mejanya. Memang benar sekali, setiap masalah rasanya sudah sepaket dengan korek beserta bensin. Begitu tersulut sedikit, berkobarlah seisi kantor.
Gadis itu sadar, tidak harapan yang dia nantikan di kantor ini. Perbaikan nasib juga rasanya mustahil. Sesuatu yang pasti hanya keadaan emosinya yang semakin memburuk.
“Ini Mbak Rena ke mana sih?” Tiar melihat meja seberangnya kosong. Ruangan itu terisi oleh empat orang, tiga di antaranya adalah Maya, Rena, dan Sinta.
“Katanya sakit. Tadi gue lihat OB ngasih surat ijinnya ke Pak Alex,” jawab Maya.
“Kasihan banget, cuti karena sakit. Gue pikir cuti cari pacar. Biar enggak jomblo terus.” Duh ke-ngenas-an kedua juga bagi Tiar. Meski umur sudah seperempat abad lebih, belum ada satu pun cowok yang digandeng.
“Nggak usah komentar. Boro-boro punya pacar. Kehidupan sosial gue raib di telan kantor ini.” Maya tersenyum masam saat mengucapkan kalimat itu.
“Sama, gue juga May. Apa jangan-jangan kutukan di sini kali, ya?” Kali ini Tiar setuju dengan kata-kata Maya. Berbeda sekali dengan bayangannya saat masih pengangguran dulu. Bekerja itu terlihat asyik, mandiri, pegang duit, bisa jalan-jalan, dan bebas membeli apa pun.
“Hus! Sembarangan. Urusin tuh laporan di meja. Hari gini masih aja percaya mistis.” Maya mengambil selembar kertas untuk mencetak dokumen sembari mengutak-atik komputernya.
“Apa gue resign aja ya?” celetuk Tiar yang di sambut tatapan tajam dari Maya dan Sinta yang dari tadi diam menyimak pembicaraan. Resign itu adalah kata sakral yang tidak boleh diucapkan sembarangan. Salah tempat bisa jadi panjang urusannya.
“Ngapain Mbak Tiar?” Sinta terlihat khawatir, karena dia masih di bawah asuhan Tiar sampai empat bulan ke depan. Alias lepas training. Dan belum banyak ilmu yang diserap oleh Sinta. Sehingga dia terlihat panik saat mendengar Tiar berbicara seperti itu.
“Bilang aja, gue resign biar dapet jodoh,” kata Tiar dan disambut dengan tawa keras dari Sinta dan Maya.
“Siapa yang cari jodoh?”
Bapak Alex yang terhormat tiba-tiba keluar dari ruangannya. Semoga dia tidak mendengar percakapan di ruangan itu, terutama masalah out.
Muka Tiar merah padam ketika Pak Alex meletakkan map beserta tumpukkan kertas di dalamnya lalu keluar tanpa menunggu respons mereka.
Oh, my God. Teriak Tiar tertahan di dalam hati. Betapa map itu sangat mengganggu matanya, juga orang yang menaruhnya.
*************
Bersambung...
Part selanjutnya
https://www.kaskus.co.id/show_post/5...7e93208e3d3970
Diubah oleh Queenencis 05-05-2020 22:33
abellacitra dan 31 lainnya memberi reputasi
32
739
13
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
Queenencis
#8
Resolusi Love (Part III) Paranoid
Part sebelumnya https://www.kaskus.co.id/show_post/5...7e93208e3d3970
'Iya, nanti sore saya bisa.' Send.
Tiar menggenggam erat telepon selulernya. Bagai kupu-kupu terbang yang hinggap pada bunga yang sedang mekar. Perasaan lega mengguyur segenap hati Tiar. Tanpa di duga tanpa di sangka, orang yang pernah mencuri hati Tiar semenjak kuliah, mengajaknya bertemu. Sepertinya memang alam semesta berpihak pada Tiar. Gadis itu mengulum senyum sambil meletakkan ponsel di meja.
“Ngapain lo senyum-senyum nggak jelas?” Maya melihatnya penuh tanda tanya.
“Rahasia.” Tiar tersenyum penuh teka-teki. Kali ini adalah kesempatan emas bagi Tiar. Di tengah suasana kantor yang semakin panas, berita ini seperti oase di padang pasir.
“Sudah, ngaku aja mau kencan. Pakai bohong segala.” Maya masih curiga.
“Tuh Sinta kali udah dapet gebetan.” Tiar mencoba mengalihkan pembicaraan.
Sinta melotot mendengar tuduhan Tiar. “Belum Mbak, kalau mau dicariin juga boleh.”
“Sama Tomas mau?” tanya Tiar super halus dengan nada yang dibuat semanis mungkin.
“Ogah.” Sinta langsung menolak begitu mendengar nama Tomas.
“Si Tomcat kurang apa coba?” Tiar masih senang menggoda Sinta selain membicarakan kejelekan bos yang suka semena-mena kepadanya.
“Kurang kurus Mbak.” Tiar tidak bisa menahan pipinya agar tidak melebar, tapi gagal. Begitu pun Maya.
***
“Gila, gila, gila.” Tomas masuk setengah frustrasi. Dan ketiga wanita itu langsung menutup mulutnya. Mereka bingung melihat Tomas dengan ekspresi seperti itu
“Kenapa Tom?” Tiar melirik Maya ketika berbicara pada Tomas mengisyaratkan sebuah tanda tanya besar. Maya mengangkat bahu sebagai jawaban. Tomas tidak menghiraukan pertanyaan Tiar. Dia berjalan menghampiri Mbak Rena.
“Ren, gue butuh data pelanggan yang ikut program cashback tahun lalu,” mintanya kepada Mbak Rena.
“Lo kenapa?” tanya Mbak Rena sambil mengambil berkas yang di minta Tomas. Tentu saja Mbak Rena kebingungan dengan tingkah Tomas. Dia seperti ketempelan setan.
“Pantesan ya Alex uring-uringan.” Tomas mengambil napas sebelum melanjutkan cerita. “Dua bulan ini omset kita turun drastis katanya. Dan rupanya team marketing sudah di tekan sejak minggu kemarin.” jawabnya panik.
Mereka masih mencerna kata-kata Tomas. Banyak spekulasi melintas di kepala para wanita itu. Tapi enggak mungkinkan perusahaan ini bakalan bangkrut? Tanpa sadar Tiar menyuarakan isi pikirannya. Sebenarnya jika itu terjadi, Tiar bisa dengan mudah lepas dari perusahaan ini. Tapi mengapa hatinya justru merasa berat dengan kondisi seperti ini. Bagaimana dengan karyawan yang lain?
“Maybe..., Alex enggak punya wewenang buat handel pengadaan barang. Semua di handel dari pusat. Orang-orang pilihan ibu suri.” Tomas menyelesaikan penjelasannya.
“Terus?” Tiar belum bisa mencerna apa yang akan terjadi. Pikirannya sangat kalut.
“Dasar Oneng. Masih berani tanya?” Tomas melihat Tiar dengan gemas. “Yang jelas, kita tidak bisa mengatur segalanya sesuai dengan kebutuhan kantor ini,” lanjutnya.
“Kasihan juga ya si Bos.” Tiar ikut prihatin kalau kondisinya seperti ini. Tiba-tiba saja keinginannya punya pacar menguap. Bakal ada lembur berjilid-jilid ini. Dengan porsi kerja seperti ini punya pacar akan semakin menyiksa. Apalagi kalau pas apes, dapat pacar posesif. Lenyap sudah jam tidurnya yang berharga.
“Iya, dan hasil tahun kemarin cabang kita turun di peringkat lima. Peringkat lima Guys. Lo bayangkan gimana ke depannya?" Tomas menunjuk kelima jarinya satu per satu sambil menekankan kalimatnya sendiri.
“Wah bisa-bisa marketing kita jadi rendang nih,” timpal Tiar.
“Bukan cuma marketing. Salah satu dari kalian bisa di tendang juga,” imbuh Tomas.
“Tumben Lo cerdas,” kata Tiar setelah berhasil mencerna kata-kata Tomas. Ini yang bikin Tiar dan teman-temannya khawatir. Terus terang dia masih butuh pekerjaan. Kata resign yang selalu mereka ucapkan selama ini hanya sebuah pelampiasan. Tapi peringkat lima memang penurunan yang drastis dari sebelumnya yang peringkat dua. Kami yakin kinerja semua karyawan di sini sangat maksimal. Begitu juga Tomas dan kawan-kawan.
Tiar melihat Tomas sudah masuk ke ruangan Pak Alex. Ya Tuhan, sepi sekali. Kenapa jadi mencekam begini sih? Telepon di meja Tiar berbunyi. “H-hallo,” jawab Tiar yang sedikit tergagap.
“Ke ruangan saya sekarang.” Telepon di tutup tanpa sempat Tiar menjawab. Tiar menarik napas sebelum masuk ke ruangan maksiat itu.
“Barang dari PT Perdana,” kata Pak Alex setelah pantat gadis itu menempel di kursi depan mejanya. Tiar tercengang mendengar pertanyaan yang begitu keras dilontarkan kepadanya. “Berapa kita dapat diskon?” Pak Alex benar-benar mengerikan jika sudah seperti ini.
“Barang yang mana, Pak? Ada beberapa pembelian di sana.” Tiar berusaha mengatur suaranya. Lututnya sedikit bergetar mendengar raut suram yang mengarah tepat di depan mata.
“Terakhir yang di tolak.”
“18,18%, Pak.”
“Dari mana bisa dapat angka itu?” tanya Pak Alex keras. Seperti ini yang membuat Tiar merasa mual. Team pengadaan barang siapa yang di tanya siapa? “Pantes aja ditolak. Pusat dapatnya dua puluh persen,” cecarnya lagi.
“Dua puluh persen dari harga netto, Pak. Kalau PPn include jatuhnya 18,18%.”
Kenapa sih nggak tanya langsung ke team yang bersangkutan. Paranoid dapat peringkat lima? Itukan intern perusahan saja. Kalau di luar, perusahaan ini masih sangat mendominasi.
Rasa kasihan Tiar ke Si Bos hilang sudah ditelan kuntilanak. Tidak ada lagi rasa hormat yang mampu dia berikan kepada pimpinannya itu. Gadis itu sangat tidak terima diperlakukan seperti ini. Jelas-jelas ini bukan salahnya.
“Muka lusuh lagi,” gumam Mbak Rena saat melihat Tiar keluar dari ruangan kebesaran yang ada di kantor itu.
“Gue lagi badmood.” Itu tanda kalau memang Tiar sedang tidak bisa di ganggu.
***
Tepat Jam tujuh malam Tiar baru sampai di restoran tempatnya bertemu Radit. Semangatnya sudah lenyap, tidak seperti siang tadi saat menerima pesan dari Radit.
“Maaf, lama ya nunggunya?” Tiar merasa bersalah ketika menghampiri meja lelaki yang sudah terlihat bosan.
“Nggak kok.” Lelaki itu menyunggingkan senyum simpul.
Tiar tahu raut wajah Radit sudah kusam. Gadis itu terlambat setengah jam dan tiba di sana masih dengan pakaian kantor. Tiar tahu dia terpaksa tersenyum untuknya.
“Kak, sorry ya?” kata Tiar dengan wajah memelas agar lelaki yang duduk di depannya itu bisa sedikit memberi maaf untuknya.
“Iya.”
“Kalau gitu senyum donk.”
“Bukannya dari tadi juga senyum?”
“Yang ikhlaslah, Kak.” Radit terkekeh melihat Tiar merajuk.
“Baru pulang? Sampai larut begini?" Radit melihat setelan kerja yang masih melekat di tubuh Tiar. Gadis itu mengangguk dan menjatuhkan badannya di kursi yang mereka pesan. Akhirnya bisa juga melepas penat. Dia mengambil buku menu yang disodorkan kepadanya.
“Ini belum larut. Nanti deh aku ceritain kenapa jam segini baru kelar.”
“Mau pesan apa?” tanya Radit yang masih menekuri daftar menu. Nada bicaranya sedikit melunak.
“Ayam penyet level sepuluh.” Tiar menggembungkan pipinya lalu menghembuskan nafasnya. Radit hanya mengerutkan dahinya melihat itu.
“Ada masalah?” Dia tahu betul. Makanan pedas sama dengan tumpukan masalah dikepala Tiar.
“Capek.” Tiar menggeleng pelan. Sulit menjelaskan pada orang lain. Pandangan mata Tiar tertuju pada sebuah meja. Lelaki yang duduk di sana seperti tidak asing. Tiar memasang dan melebarkan matanya dengan baik. What the hell? Mata Tiar sukses membola. Disaat seperti ini dan di tempat ini? Tiar berusaha menutup wajahnya dengan buku menu yang masih dia pegang.
“Wah wah, lama tak jumpa,” kata Radit ketika orang yang dihindari Tiar mendekat. Apalagi ini? Pak Alex berada di sini dan Radit menyapanya.
“Lho, kamu di sini Tiar?”
Ingin Tiar jawab 'nggak, lagi di kolong meja pak bos' tapi yang keluar justru “Bapak kok ada di sini?”
“Jadi ini acaranya?” Kalimat itu bukan lagi terdengar seperti pertanyaan, melainkan sindiran. Dia menolak halus pekerjaan mendadak dari Pak Alex sore tadi. Setengah mati dia menjelaskan bahwa dirinya sedang ada acara penting yang tidak bisa ditinggalkan.
“Kalian kenal?” tanya Radit yang belum paham dengan situasi di depannya.
“Oh, kenal.” Pak Alex mengangguk mengiyakan pertanyaan Radit.
“Oh,” katanya singkat. Reaksi Radit tidak dapat ditebak. Hanya oh. Dan itu membuat Tiar semakin tidak enak hati.
“Kok Bapak kenal?" Tiar balik bertanya kepada Pak Alex.
“Sohib,” jawab Radit yang menyerobot dengan mantap.
What?Sohib?Ok. Fine. Gue mati kutu.
Part selanjutnya https://www.kaskus.co.id/show_post/5...1d3049881658e8
'Iya, nanti sore saya bisa.' Send.
Tiar menggenggam erat telepon selulernya. Bagai kupu-kupu terbang yang hinggap pada bunga yang sedang mekar. Perasaan lega mengguyur segenap hati Tiar. Tanpa di duga tanpa di sangka, orang yang pernah mencuri hati Tiar semenjak kuliah, mengajaknya bertemu. Sepertinya memang alam semesta berpihak pada Tiar. Gadis itu mengulum senyum sambil meletakkan ponsel di meja.
“Ngapain lo senyum-senyum nggak jelas?” Maya melihatnya penuh tanda tanya.
“Rahasia.” Tiar tersenyum penuh teka-teki. Kali ini adalah kesempatan emas bagi Tiar. Di tengah suasana kantor yang semakin panas, berita ini seperti oase di padang pasir.
“Sudah, ngaku aja mau kencan. Pakai bohong segala.” Maya masih curiga.
“Tuh Sinta kali udah dapet gebetan.” Tiar mencoba mengalihkan pembicaraan.
Sinta melotot mendengar tuduhan Tiar. “Belum Mbak, kalau mau dicariin juga boleh.”
“Sama Tomas mau?” tanya Tiar super halus dengan nada yang dibuat semanis mungkin.
“Ogah.” Sinta langsung menolak begitu mendengar nama Tomas.
“Si Tomcat kurang apa coba?” Tiar masih senang menggoda Sinta selain membicarakan kejelekan bos yang suka semena-mena kepadanya.
“Kurang kurus Mbak.” Tiar tidak bisa menahan pipinya agar tidak melebar, tapi gagal. Begitu pun Maya.
***
“Gila, gila, gila.” Tomas masuk setengah frustrasi. Dan ketiga wanita itu langsung menutup mulutnya. Mereka bingung melihat Tomas dengan ekspresi seperti itu
“Kenapa Tom?” Tiar melirik Maya ketika berbicara pada Tomas mengisyaratkan sebuah tanda tanya besar. Maya mengangkat bahu sebagai jawaban. Tomas tidak menghiraukan pertanyaan Tiar. Dia berjalan menghampiri Mbak Rena.
“Ren, gue butuh data pelanggan yang ikut program cashback tahun lalu,” mintanya kepada Mbak Rena.
“Lo kenapa?” tanya Mbak Rena sambil mengambil berkas yang di minta Tomas. Tentu saja Mbak Rena kebingungan dengan tingkah Tomas. Dia seperti ketempelan setan.
“Pantesan ya Alex uring-uringan.” Tomas mengambil napas sebelum melanjutkan cerita. “Dua bulan ini omset kita turun drastis katanya. Dan rupanya team marketing sudah di tekan sejak minggu kemarin.” jawabnya panik.
Mereka masih mencerna kata-kata Tomas. Banyak spekulasi melintas di kepala para wanita itu. Tapi enggak mungkinkan perusahaan ini bakalan bangkrut? Tanpa sadar Tiar menyuarakan isi pikirannya. Sebenarnya jika itu terjadi, Tiar bisa dengan mudah lepas dari perusahaan ini. Tapi mengapa hatinya justru merasa berat dengan kondisi seperti ini. Bagaimana dengan karyawan yang lain?
“Maybe..., Alex enggak punya wewenang buat handel pengadaan barang. Semua di handel dari pusat. Orang-orang pilihan ibu suri.” Tomas menyelesaikan penjelasannya.
“Terus?” Tiar belum bisa mencerna apa yang akan terjadi. Pikirannya sangat kalut.
“Dasar Oneng. Masih berani tanya?” Tomas melihat Tiar dengan gemas. “Yang jelas, kita tidak bisa mengatur segalanya sesuai dengan kebutuhan kantor ini,” lanjutnya.
“Kasihan juga ya si Bos.” Tiar ikut prihatin kalau kondisinya seperti ini. Tiba-tiba saja keinginannya punya pacar menguap. Bakal ada lembur berjilid-jilid ini. Dengan porsi kerja seperti ini punya pacar akan semakin menyiksa. Apalagi kalau pas apes, dapat pacar posesif. Lenyap sudah jam tidurnya yang berharga.
“Iya, dan hasil tahun kemarin cabang kita turun di peringkat lima. Peringkat lima Guys. Lo bayangkan gimana ke depannya?" Tomas menunjuk kelima jarinya satu per satu sambil menekankan kalimatnya sendiri.
“Wah bisa-bisa marketing kita jadi rendang nih,” timpal Tiar.
“Bukan cuma marketing. Salah satu dari kalian bisa di tendang juga,” imbuh Tomas.
“Tumben Lo cerdas,” kata Tiar setelah berhasil mencerna kata-kata Tomas. Ini yang bikin Tiar dan teman-temannya khawatir. Terus terang dia masih butuh pekerjaan. Kata resign yang selalu mereka ucapkan selama ini hanya sebuah pelampiasan. Tapi peringkat lima memang penurunan yang drastis dari sebelumnya yang peringkat dua. Kami yakin kinerja semua karyawan di sini sangat maksimal. Begitu juga Tomas dan kawan-kawan.
Tiar melihat Tomas sudah masuk ke ruangan Pak Alex. Ya Tuhan, sepi sekali. Kenapa jadi mencekam begini sih? Telepon di meja Tiar berbunyi. “H-hallo,” jawab Tiar yang sedikit tergagap.
“Ke ruangan saya sekarang.” Telepon di tutup tanpa sempat Tiar menjawab. Tiar menarik napas sebelum masuk ke ruangan maksiat itu.
“Barang dari PT Perdana,” kata Pak Alex setelah pantat gadis itu menempel di kursi depan mejanya. Tiar tercengang mendengar pertanyaan yang begitu keras dilontarkan kepadanya. “Berapa kita dapat diskon?” Pak Alex benar-benar mengerikan jika sudah seperti ini.
“Barang yang mana, Pak? Ada beberapa pembelian di sana.” Tiar berusaha mengatur suaranya. Lututnya sedikit bergetar mendengar raut suram yang mengarah tepat di depan mata.
“Terakhir yang di tolak.”
“18,18%, Pak.”
“Dari mana bisa dapat angka itu?” tanya Pak Alex keras. Seperti ini yang membuat Tiar merasa mual. Team pengadaan barang siapa yang di tanya siapa? “Pantes aja ditolak. Pusat dapatnya dua puluh persen,” cecarnya lagi.
“Dua puluh persen dari harga netto, Pak. Kalau PPn include jatuhnya 18,18%.”
Kenapa sih nggak tanya langsung ke team yang bersangkutan. Paranoid dapat peringkat lima? Itukan intern perusahan saja. Kalau di luar, perusahaan ini masih sangat mendominasi.
Rasa kasihan Tiar ke Si Bos hilang sudah ditelan kuntilanak. Tidak ada lagi rasa hormat yang mampu dia berikan kepada pimpinannya itu. Gadis itu sangat tidak terima diperlakukan seperti ini. Jelas-jelas ini bukan salahnya.
“Muka lusuh lagi,” gumam Mbak Rena saat melihat Tiar keluar dari ruangan kebesaran yang ada di kantor itu.
“Gue lagi badmood.” Itu tanda kalau memang Tiar sedang tidak bisa di ganggu.
***
Tepat Jam tujuh malam Tiar baru sampai di restoran tempatnya bertemu Radit. Semangatnya sudah lenyap, tidak seperti siang tadi saat menerima pesan dari Radit.
“Maaf, lama ya nunggunya?” Tiar merasa bersalah ketika menghampiri meja lelaki yang sudah terlihat bosan.
“Nggak kok.” Lelaki itu menyunggingkan senyum simpul.
Tiar tahu raut wajah Radit sudah kusam. Gadis itu terlambat setengah jam dan tiba di sana masih dengan pakaian kantor. Tiar tahu dia terpaksa tersenyum untuknya.
“Kak, sorry ya?” kata Tiar dengan wajah memelas agar lelaki yang duduk di depannya itu bisa sedikit memberi maaf untuknya.
“Iya.”
“Kalau gitu senyum donk.”
“Bukannya dari tadi juga senyum?”
“Yang ikhlaslah, Kak.” Radit terkekeh melihat Tiar merajuk.
“Baru pulang? Sampai larut begini?" Radit melihat setelan kerja yang masih melekat di tubuh Tiar. Gadis itu mengangguk dan menjatuhkan badannya di kursi yang mereka pesan. Akhirnya bisa juga melepas penat. Dia mengambil buku menu yang disodorkan kepadanya.
“Ini belum larut. Nanti deh aku ceritain kenapa jam segini baru kelar.”
“Mau pesan apa?” tanya Radit yang masih menekuri daftar menu. Nada bicaranya sedikit melunak.
“Ayam penyet level sepuluh.” Tiar menggembungkan pipinya lalu menghembuskan nafasnya. Radit hanya mengerutkan dahinya melihat itu.
“Ada masalah?” Dia tahu betul. Makanan pedas sama dengan tumpukan masalah dikepala Tiar.
“Capek.” Tiar menggeleng pelan. Sulit menjelaskan pada orang lain. Pandangan mata Tiar tertuju pada sebuah meja. Lelaki yang duduk di sana seperti tidak asing. Tiar memasang dan melebarkan matanya dengan baik. What the hell? Mata Tiar sukses membola. Disaat seperti ini dan di tempat ini? Tiar berusaha menutup wajahnya dengan buku menu yang masih dia pegang.
“Wah wah, lama tak jumpa,” kata Radit ketika orang yang dihindari Tiar mendekat. Apalagi ini? Pak Alex berada di sini dan Radit menyapanya.
“Lho, kamu di sini Tiar?”
Ingin Tiar jawab 'nggak, lagi di kolong meja pak bos' tapi yang keluar justru “Bapak kok ada di sini?”
“Jadi ini acaranya?” Kalimat itu bukan lagi terdengar seperti pertanyaan, melainkan sindiran. Dia menolak halus pekerjaan mendadak dari Pak Alex sore tadi. Setengah mati dia menjelaskan bahwa dirinya sedang ada acara penting yang tidak bisa ditinggalkan.
“Kalian kenal?” tanya Radit yang belum paham dengan situasi di depannya.
“Oh, kenal.” Pak Alex mengangguk mengiyakan pertanyaan Radit.
“Oh,” katanya singkat. Reaksi Radit tidak dapat ditebak. Hanya oh. Dan itu membuat Tiar semakin tidak enak hati.
“Kok Bapak kenal?" Tiar balik bertanya kepada Pak Alex.
“Sohib,” jawab Radit yang menyerobot dengan mantap.
What?Sohib?Ok. Fine. Gue mati kutu.
Part selanjutnya https://www.kaskus.co.id/show_post/5...1d3049881658e8
Diubah oleh Queenencis 13-05-2020 17:50
0