Kaskus

Story

yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
Selamat Datang di Thread Gue 
(私のスレッドへようこそ)


Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3


TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI DUA TRIT GUE SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT SELANJUTNYA INI, GUE DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK GUE DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DISINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR

Spoiler for Season 1 dan Season 2:


Last Season, on Muara Sebuah Pencarian - Season 2 :
Quote:




INFORMASI TERKAIT UPDATE TRIT ATAU KEMUNGKINAN KARYA LAINNYA BISA JUGA DI CEK DI IG: @yanagi92055 SEBAGAI ALTERNATIF JIKA NOTIF KASKUS BERMASALAH


Spoiler for INDEX SEASON 3:


Spoiler for LINK BARU PERATURAN & MULUSTRASI SEASON 3:



Quote:


Quote:

Quote:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 83 suara
Perlukah Seri ini dilanjutkan?
Perlu
99%
Tidak Perlu
1%
Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 10:25
sehat.selamat.Avatar border
JabLai cOYAvatar border
al.galauwiAvatar border
al.galauwi dan 142 lainnya memberi reputasi
133
342.8K
4.9K
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.8KAnggota
Tampilkan semua post
yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
#2040
Pertemuan, Lagi
Gue dan Emi sudah berada di sebuah mall di ibukota yang banyak menjual HP dan aksesoris pendukungnya.

“Lo maunya apaan jadinya?” tanya Emi.

“Pokoknya yang terbaik diantara yang terbaik. Hehehe.” Jawab gue yakin.

“Iya apaan? Kan merk banyak. Tipenya juga banyak.”

“Yang ada NFC nya kayaknya oke juga tuh. Ditahun-tahun segini kan belum banyak HP disini yang pake NFC.”

“NFC apaan Zy?”

Near Field Communication. Intinya kita lebih mudah untuk transfer-transfer. Kayak misalnya mau isi e-money, kita bisa tinggal tempelin itu kartunya ke HP kita, nanti diisi via aplikasi bank yang kita ikutin. Gitu kurang lebih sih.”

“Wah enak dong kalau misalnya kita kehabisan saldo di tol, bisa langsung isi ya? gitu kan?”

“Nah contohnya kurang lebih gitu, Mi.”

Kami berhenti disalah satu gerai ponsel terkenal se-nusantara yang menjual ponsel-ponsel kelas atas. Gue bertanya-tanya kepada SPG yang melayani. Mungkin karena muka gue dan Emi yang masih muda atau terlihat lebih muda dari umur kami, plus pakaian kami yang biasa-biasa aja, kami diarahkan ke HP-HP yang berharga lebih murah dari yang gue mau.

“Harusnya dia nggak begitu. semua konsumen sama mestinya. Masa mentang-mentang kita pakai baju santai begini, terus mukanya masih muda, terus dipikirnya nggak bisa beli HP yang rada mahal ya?” kata gue.

“Iya sih, gue juga bingung sama hidup gue. Dianggep bocah melulu dari dulu.”

“Ini ntar kalau gue nunjuk HP yang itu, pada pusing ntar mereka. Apalagi ini gue mau beli cash, kagak pake kredit-kreditan. Hahaha.” Kata gue, menunjuk salah satu HP kelas Flagship (HP tipe terbaik dari seluruh produk keluaran sebuah merk) yang sudah gue incar dari awal rilisnya.

“Hahaha, gitu aja, nanti lo tunjuk itu HP, bungkus bilang.”

Gue dan Emi lalu sepakat untuk mengikuti alur keterangan yang diberikan oleh mbak-mbak SPG ini. Kami terus diarahkan untuk membeli HP yang bukan incaran gue. Sungguh sebuah penilaian yang salah. sayangnya ini hampir selalu terjadi di bidang penjualan produk apapun di Indonesia.

Harusnya SPG dilatih untuk memberikan pelayanan terbaik untuk calon pembeli, bukannya menilai calon pembeli dari penampilannya aja. Keliatan muda dikit, ah pasti duitnya sedikit. Pake kaos celana pendek dikit, ah ini mah kere. Tidak begitu seharusnya. Pelayanan mereka, baik yang berniat beli maupun lihat-lihat aja, itu harusnya sama.

Tapi namanya marketing, pastilah harus melakukan berbagai macam cara agar produknya laku. Kalau HP kelas atas, sudah pasti banyak yang kenal. Sekarang tugas mereka untuk mempromosikan produk yang kelasnya lebih rendah, agar semuanya bisa laku. Kenapa segmen menengah yang diarahkan? Ya karena pangsa pasar disini lebih cepat lakunya kalau HP-HP kelas menengah. Hanya saja, kembali lagi, jangan langsung menjustifikasi calon pembeli kalau mereka nggak punya uang sehingga diarahkan membeli HP kelas menengah.

Banyak orang-orang kaya di Indonesia yang sangat low profile. Kadang mereka hanya memakai kaos, celana pendek, sendal jepit, tapi kartu-kartu mereka dari berbagai bank lengkap. Baik kartu debit maupun kartu kredit. Ini yang sering luput dari pandangan para SPG ini.
Pada akhirnya gue melihat jam, kemudian menyudahi saja tur produk HP yang dijual di toko ponsel ini.

“Mbak, saya mau yang itu aja.” tunjuk gue langsung.

“Oh iya kak, mau yang warna apa?” kata mbaknya, ramah.

“Hitam aja. coba dong tolong jelasin dulu kelebihan HP ini apa aja.”

Seperti kebiasaan gue, kalau gue mau membeli sesuatu, apapun itu, gue membiasakan diri untuk googling terlebih dahulu. Jadi nggak ada ceritanya gue asal beli. Gue pasti cari tau dulu sampai detail. Ini dikarenakan setiap gue membeli barang, gue akan memastikan kalau barang ini benar-benar gue maksimalkan dalam membantu keseharian gue, memudahkan gue dan juga nggak menyusahkan jika gue nggak terlalu mengerti seluk beluk barangnya.

Gue sudah menduga, pasti mbak-mbak SPG ini menyebut kelebihan awalnya adalah daya tahan baterai, kemudian dilanjut dengan kemampuan kamera. Kenapa sih kalau beli HP itu terus yang jadi jualan utamanya? Padahal prosesor itu sangat penting bagi ponsel pintar masa kini. Tanpa prosesor serta RAM yang mumpuni, kemampuan perangkat keras yang ada di HP nggak akan bisa maksimal. Itu juga harus didukung dengan software yang memadai pula.

Makanya pada beberapa kasus, untuk kamera HP itu setelah di update softwarenya, kameranya bekerja lebih baik dan menghasilkan foto yang jauh lebih detail serta lebih memuaskan tentunya. Percuma HP kameranya sampai 4, 5, atau bahkan 6 sekalipun kalau nggak didukung ‘jeroan’ yang mumpuni. Hal ini pula yang masih saja selalu luput dari mbak-mbak SPG ini.

Product knowlegde adalah hal yang penting. Kenapa? Karena persaingan dengan merk-merk lain yang sejenis sudah sangat ketat. Harus ada pembeda yang perlu diketahui oleh calon konsumen, terlepas dari yang kelihatan dari luar seperti kamera, bodi atau daya tahan baterai.
Training adalah kunci suksesnya menurut gue. Mereka ditraining hanya sampai batas luar saja, nggak banyak diajarkan untuk sampai lebih detail dalam menjelaskan, jadinya ya nggak maksimal. Nggak salah mereka, tapi program yang dibuat untuk melatih mereka yang perlu ada perbaikan harusnya.

Dugaan gue dan Emi benar aja. gue memilih HP yang gue incar tersebut, dan apa yang terjadi? Beberapa SPG mendadak mendekat dan langsung ramah serta memberikan senyum terbaik. Terlebih lagi setelah gue membayar cash cara membayar menggunakan sebuah kartu debit, mereka seperti terkaget-kaget. Mungkin dalam benaknya, ‘wah, gile nih bocah, beli HP yang itu langsung, nggak pake kredit-kreditan.’ Atau yang suudzon mungkin bilangnya, ‘gile nih, kenceng bener duit bapaknya.’ Gue nggak peduli. Yang jelas gue sudah mendapatkan HP yang gue mau, yang sudah gue diskusikan dengan Emi sebelumnya, dan gue merasa sudah puas.

--

Setelah selesai mendekor dirumah, gue sempat menelpon PIC (Person in Charge) untuk rencana keberangkatan gue ke Surabaya.

“Makasih ya, Mi. Bagus banget dekornya.” Ujar Dania, ekspresinya luar biasa senang.

Gue langsung tersenyum dan membatin, ya jelaslah, otak kanan Emi itu seimbang sama kirinya. Untuk urusan kreatif apalagi bidang crafting kayak gitu? Ya Emi lah juaranya.

“Makasih juga, Kak. Nanti dipajang di teras aja. Kan prosesi-nya mau di teras kan?” kata Emi, ada ulas senyum tipis di bibirnya.

“Iya, nanti pas kakak pulang dari Surabaya, bantu dekorasi-nya ya.”

“Mudah-mudahan aku pulang hari Kamis, nggak Jum’at. Ya kalau nggak, dipajang aja sebelum aku berangkat.” Kata gue menimpali.

“Nggak surprise dong buat tamu yang datang nanti?” tanya Mama tiba-tiba.

“Emang mau siapa lagi sih dikasih kejutan? Intinya kan buat Dania. Udah lah jangan dibawa ribet.” Ujar gue ketus.

Gue malas banget kalau udah begini masih aja ada yang mau direncanain. Ribet sendiri jadinya. toh menurut Dania itu udah bagus, menurut gue udah bagus pula. Ngapain lagi mikirin orang lain. Nanti yang pada datang itu kan fokusnya pasti ke Dania dan calonnya, bukan ke hiasan yang ada.

“Ini kardus handphone baru Ija," gue mengeluarkan kardus HP gue, “Udah dibungkusin semuanya sama Emi. Jadi tinggal dikasihin aja pas prosesi. Dania nggak usah beliin Ija apapun lagi. Fokus aja sama lamarannya oke?”

Gue lalu membereskan isi tas, yang nggak perlu gue keluarkan dan gue masukkan kembali baju kerja gue. Gue mau mengantar Emi pulang.

“Lo mau kemana sih, Kak? Buru-buru amat.” tanya Dania dengan nada tinggi.

“Mau balik ke rumah Emi lah. Nganterin Emi pulang.” Balas gue.

“Pulang? Baru juga sampai di sini. Kemarin nggak pulang. Sekarang mau kesana lagi? Mau nginep lagi nggak pulang? Besok itu Senin, hari kerja. Heh. Di rumah itu, adik kamu mau lamaran. Kamu ada bantu adik kamu emang? Pacaran terus aja kamu sama Emi. Nggak pernah ada di rumah!” Mama juga ikut memarahi gue.

“Apaan sih? Kapan Ija nggak ada buat Dania? Skripsi, prewedding, sekarang sampai lamaran Dania semua diurusin sama Ija dan Emi. Masa masih kurang juga? Masih nuntut Ija buat standby untuk Dania?” nada gue sangat tinggi dalam bertutur.

“LHO? LHA IYA LAH! KARENA KAMU KAKAKNYA!” Bentak Mama.

“TAPI IJA BUKAN CALON SUAMINYA DANIA! JADI IJA JUGA BOLEH DONG ISTIRAHAT DULU NGURUS URUSAN IJA JUGA?”

“Kamu pulang aja, Mi! Bisa kan? Ga usah dianterin Ija. Biar Ija di rumah. Suruh istirahat. Biar nggak sakit pas hari H lamaran. Malu-maluin. Jadi sakit-sakitan begitu.” ujar Mama, ketika melihat ke arah Emi.

“Sakit jadi malu-maluin? Sini, gue anterin.” Gue memegang pergelangan tangan kanan Emi.

“Aku pulang dulu Tante. Maaf ngerepotin selama ini. Nanti insyallah aku dateng pas lamaran buat bantu-bantu lagi.” Dia melihat ke arah Dania,

“Aku pamit dulu ya, Kak.”

Emi melepas pegangan gue dan lalu pamit pulang. Gue mau mengejar tapi ditahan oleh Mama.

“Iya. Makasih, Mi. Ija biar di sini aja.” kata Dania datar.

“Mama itu kenapa sih? Kenapa jadi ngelarang-larang kayak gini? Toh selama ini aku juga udah bantu semampu aku. Kenapa sekarang malah dilarang?” ujar gue emosi.

“Kamu itu sekarang suka batuk-batuk, sakit. Dulu kan nggak pernah kayak gitu. Ini karena kamu kebanyakan ngeluyur aja. kerjanya pacaran terus, kerja nggak bener, berangkat suka-sukanya. Kamu tu mau jadi apa sih kak? Mau jadi kayak Papa kalau kamu kayak gini ya nggak akan pernah bisa.” Kata Mama, masih emosi.

Gue sangat tersinggung dengan ucapan Mama tadi. inilah yang membuat gue nggak nyaman dirumah. Bahkan sebelumnya gue sudah menceritakan tentang alasan kenapa gue lebih memilih untuk tidur dikantor atau main kerumah Emi daripada dirumah. Ya karena ini. Gue selalu diasumsikan tukang ngeluyur, pacaran terus, dan kerja nggak benar.

Gue sudah menjelaskan dengan sangat panjang lebar, serta detail tentunya, segala urusan gue. tapi tetap aja, tuduhan seperti ini terus berulang. Kalau kerja itu ya dari jam 09.00 sampe 17.00, bukan suka-sukanya. Gila kolot banget pemikirannya Mama, padahal sudah gue kasih pengertian dan penjelasan. Dirumah Emi pun sebenarnya Papanya yang umurnya jauh lebih tua dari Mama berpikiran yang sama. pemikiran-pemikiran ala boomer ini lah yang mau gue patahkan.

Gue selalu menunjukkan kalau gue nggak pernah kesusahan secara materi pun sepertinya belum cukup. Bahkan gue sudah membeli HP yang terbaik di negeri ini pun masih belum cukup juga. Gimana gue mau betah dirumah kalau selalu disudutkan nggak bisa kerja, sakit-sakitan dan nggak jelas hidupnya?

Debat seperti itu terus berlanjut dari hari ke hari. Makanya gue memutuskan untuk membawa kasur lipat ke kantor gue yang baru. Gue sering banget menginap dikantor. Atau gue minggatnya kerumah Emi. kadangkala ketika Emi bekerja, gue malah ada dirumahnya dan banyak ngobrol dengan orangtuanya. Mudah-mudahan aja orangtua Emi ga berpikir yang sama kayak Mama.

--

Akhirnya gue tiba di kota yang sangat berkesan buat gue, Surabaya. Gue sudah dihubungi oleh klien dan pihaknya telah mengirimkan orang untuk menjemput gue. nggak lupa gue mengabari Emi dan Mama kalau gue sudah tiba di Surabaya. Kebiasaan gue adalah, memberi kabar untuk Mama dan Emi setiap gue akan melaksanakan perjalanan keluar kota.

WILA CHAT

Quote:


Gue memberitahu terlebih dulu rencana fix gue untuk ke Surabaya ini ke Wila daripada ke Emi. menurut gue ini adalah kesalahan gue saat itu. Karena gue sedang membangun lagi hubungan baik dengan Emi, eh tapi gue malah seperti ini. Padahal gue juga nggak ada niatan macam-macam dengan Wila. Malahan Wila yang sangat bersemangat bertemu dengan gue. Tapi semuanya udah begitu aja, tanpa gue sadari.

Siangnya, pekerjaan di lokasi pertama telah usai dan berlanjut ke lokasi kedua yang jaraknya cukup jauh. Pada akhirnya gue selesai jelang magrib. Hotel menjadi tempat paling nyaman gue saat di Surabaya. Kebetulan gue mendapatkan hotel bintang empat yang cukup fancyalias mewah.

Kenyamanan benar-benar gue dapatkan dikamar hotel ini. Andai aja Emi ada disini bersama gue, tentunya akan sangat menyenangkan. Dengan suasana tenang seperti ini, gue dan Emi pasti bisa brainstorming segala macam hal, dari mulai pendidikan, ilmu pengetahuan, agama, dan utamanya adalah bisa iya-iya dong. Hehehe.

Setelah selesai mandi, gue baru ngeh kalau didekat pintu kamar mandi yang terbuat dari kaca itu ada cermin seukuran badan gue. jadilah gue malah nemu ide untuk video call dengan Emi. gue langsung menghubungi Emi, bercerita pengalaman hari ini, dan berakhir malah VCS. Seru juga. Hahaha.

Esok hari, gue sudah menyelesaikan pekerjaan gue dilokasi ketiga. Udara Surabaya yang sangat panas membuat gue terasa sangat gerah. Tapi mau mandi lagi juga nggak mungkin karena gue sudah check out dari hotel. Jadinya gue ngadem di mall aja sambil menyeruput kopi disebuah kedai. Nggak lupa gue juga mengabari Emi kalau gue sudah selesai dan menunggu waktu kepulangan gue dengan pesawat di mall ini.

Gue juga sudah mengabari Wila kalau gue ada disebuah kedai kopi. Sekitar setengah jam gue menunggu, akhirnya dia datang. Gue sangat pangling dengan Wila. Kenapa? Karena dia sangat berbeda pada saat manggung dengan pada saat kasual seperti ini. Anak ini kayak bocah penampakannya. Tingginya setinggi Emi, tapi badannya lebih kurus. Mukanya juga nggak terlalu dewasa seperti yang gue lihat di Youtube kalau dia sedang manggung.

“Halo Wil. Sini duduk.” Kata gue, menjabat tangan dia dan kemudian mempersilakan duduk.

“Iya mas.” Katanya, dia tersenyum dan terlihat kedua gigi kelincinya dilengkapi dengan gingsul dikiri dan kanan.

Anak ini cukup manis juga ternyata kalau tanpa make up yang berlebihan seperti saat manggung. Utamanya, ya kayak bocah itu tadi. ternyata umur dia dibawah Emi satu tahun. Boleh dibilang masih seangkatan lah ya dengan Emi.

“Kamu pesan aja dulu ya Wil.” Kata gue.

“Iya mas. Aku lihat-lihat dulu menunya.” Ujarnya gugup dan terus menunduk.

“Wil, kamu kenapa? Nggak usah tegang gitu kali, kayak ketemu sama siapa aja. hahaha.”

“Haha iya, Mas. Aku masih nggak nyangka aja bisa ketemu dan lihat kamu secara langsung.”

“Lah, emang ada yang aneh? Kayaknya semua normal-normal aja. hehehe.”

“Iya bagi kamu normal, Mas. Bagi aku nggak. Ini luar biasa.”katanya malu-malu, sambil terus menatap menu. Sepintas gue melihat tangannya yang sedikit gemetaran.

“Yowes, anggep aja aku teman lamamu, yo. Ora usah isin.”

“Njeh Mas. Hehehe.”

Dia lalu memesan secangkir cappucino. Kemudian mulai berbicara. dari yang awalnya kikuk, menjadi terbiasa. Mungkin karena awalnya dia jarang ketemu cowok kali ya.

“Aku gugup karena aku ngefans karo kowe Mas. Hehehe.”

“Haha gitu toh? Tak kiro opo. Yaudah santai aja. Kita kan berteman. Jadinya santai lah. Kamu cerita-cerita dong gimana ngeband kamu, kuliah kamu, dan segala macam lah.”

“Tapi nanti gantian nggak?”

“Iya, gantian aku yang cerita Wil. Hehe.”

Dia menceritakan kalau dia itu adalah sulung dari dua bersaudara. Dari keluarga broken home. Dia ngeband itu sebenarnya ingin melampiaskan kemarahan dia terhadap kondisi keluarganya. Dan alasan kenapa dia menyukai simphonic metal karena lirik-liriknya menyampaikan amarah dengan cara yang elegan menurut dia.

Dia juga cerita kalau bandnya itu di Surabaya udah punya basis masa. Mirip keadaan band gue sebenarnya. Tapi kebanyakan kalau di Surabaya itu sama aja dengan di ibukota. Lebih banyak yang menyukai idol group yang diwakilkan dengan banyaknya dance cover. Hal yang sama terjadi juga di Jakarta, dimana dance-dance cover ini cukup mengganggu eksistensi band.

Gue bilang kalau jaman sudah berubah. Gue bercerita mengenai pengalaman gue dimasa jayanya band-band lokal dulu sebelum era AKB48 booming dan akhirnya merubah tatanan dunia komunitas jepangan. Tapi kita ya harus ikut arus, nggak bisa memaksakan diri. Pada akhirnya nanti kita yang akan ditinggalkan.

Obrolan ringan ini berjalan normal dan cukup menyenangkan. Hanya aja gue belum menemukan klik tertentu. Hal ini lah yang menyebabkan gue melihat Wila seperti salah satu teman yang sedang curhat biasa aja, nggak ada lebihnya. Gue memang juga nggak ada niatan untuk gimana-gimana, wong gue urusannya sama Emi.

“Aku seneng banget Mas. Hehe. foto dulu yuk.”

“Yaudah ayo boleh, mau dimana?”

“Disebelah sana aja.” katanya menunjuk satu titik di sudut mall.

Gue dan dia mengabadikan momen bersama dengan berswafoto. Beberapa kali dia mengambil gambar. Tapi semuanya memakai HP gue karena lebih bagus kamera depannya. Kemudian dia meminta foto itu dikirimkan via chat.

Ketika foto, gue merasakan dengan jelas gelagat Wila suka sama gue. dia terus mendekat ke gue, bahkan kalau sepi mungkin pipi gue udah kena sosor kali. Hahaha. Kepedean banget ya? tapi itu yang gue rasakan. Dan gue sudah berpengalaman akan hal-hal seperti ini.

“Mas makasih yo. Nanti kalau main lagi kesini, ketemu aku lagi ya. Tak ajak karokean. Kan sama-sama vokalis tuh kita. Hehe.” ujarnya bersemangat.

“Haha gampang, tapi aku belum tau lagi kapan mau kesini lagi.”

“Wis pokoke lek sampeyan arep reneh maneh, kabari aku. Oke?”

“Hahaha siyap.”

“Mas makasih sekali lagi. Aku nyaman banget ngobrol sama kamu. Berasa udah kenal lama. Padahal awalnya aku gugup banget. tapi kamunya bikin aku jadi bisa rileks. Makasih banget.” katanya, lalu memegang tangan kiri gue dengan kedua tangannya.

“Hahaha iya. Sama-sama Wil. Asyik juga kok ngobrol sama kamu. Yah mudah-mudahan nanti ada kesempatan buat ketemu lagi ya. dan ayo lah kita karokean. Hehehe.”

Gue dan Wila akhirnya berpisah karena waktu sudah menunjukkan saatnya pulang. Kondisi Surabaya yang jika sore juga macet membuat gue harus berangkat lebih awal menuju ke Bandara. Pertemuan ini dia bilang berkesan banget untuk dia.
yudhiestirafws
khodzimzz
itkgid
itkgid dan 25 lainnya memberi reputasi
26
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.