- Beranda
- Stories from the Heart
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
...
TS
yanagi92055
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
Selamat Datang di Thread Gue
(私のスレッドへようこそ)
(私のスレッドへようこそ)
TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI DUA TRIT GUE SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT SELANJUTNYA INI, GUE DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK GUE DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DISINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR
Spoiler for Season 1 dan Season 2:
Last Season, on Muara Sebuah Pencarian - Season 2 :
Quote:
INFORMASI TERKAIT UPDATE TRIT ATAU KEMUNGKINAN KARYA LAINNYA BISA JUGA DI CEK DI IG: @yanagi92055 SEBAGAI ALTERNATIF JIKA NOTIF KASKUS BERMASALAH
Spoiler for INDEX SEASON 3:
Spoiler for LINK BARU PERATURAN & MULUSTRASI SEASON 3:
Quote:
Quote:
Quote:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 83 suara
Perlukah Seri ini dilanjutkan?
Perlu
99%
Tidak Perlu
1%
Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 10:25
al.galauwi dan 142 lainnya memberi reputasi
133
342.8K
4.9K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
yanagi92055
#2033
Persiapan Matang
Rumah gue cukup ramai oleh para tetangga dan teman-teman karib Mama gue, yang mana tetangga juga sih sebenarnya. Sedikit mengenai ibu-ibu teman dekat Mama ini ya. Mereka adalah ibu-ibu yang berkarir alias bekerja penuh waktu, namun membina keluarga yang baik juga. Pekerjaan mereka pun beragam dan utamanya sudah mencapai titik karir tertinggi yang bisa mereka capai. Tapi apakah dengan atribut tersebut mereka menjadi sombong? Tidak sama sekali. Justru mereka sangat baik terhadap orang-orang sekitar dan malah dermawan.
Ada 8 orang ibu-ibu trendi yang anak-anaknya juga hampir seumuran dengan gue, bahkan ada yang sudah jadi teman main gue sejak kecil. Ibunya Adityo, salah satu sahabat gue sedari kecil juga merupakan teman dekat Mama dari dulu. Untuk diketahui, Adityo atau Tyo ini adalah anak band juga, bahkan band dia itu adalah band metal yang cukup punya nama besar di kota gue.
Begitu juga dengan 7 orang lainnya yang selalu gue sapa dengan awalan Tante ini. Mereka sudah bersahabat dengan Mama sejak kami berada dirumah ini, kemudian sempat pindah, lalu kemudian kembali lagi kerumah ini. Komunikasi tidak pernah putus.
Kebersamaan adalah kunci segalanya kata Mama. Setiap weekend, biasanya suka berkumpul dilapangan komplek untuk melaksanakan senam bersama dengan warga komplek lainnya. Selain itu, mereka suka juga jalan-jalan bersama jika ada waktu senggang disela kesibukan masing-masing.
Yang gue suka adalah, para tante ini nggak pernah yang namanya ngegosipin orang lain atau ngerumpi yang nggak perlu. Mungkin karena pada dasarnya mereka adalah orang sibuk bekerja, jadi waktu benar-benar berharga untuk sekedar bergosip nggak guna seperti itu. Ketika kumpul mereka lebih banyak membicarakan kegiatan-kegiatan sosial ataupun rencana jalan-jalan menikmati hari tua mereka.
Mereka juga menjadi alasan utama kenapa acara lamaran adik gue nggak memakai WO (Wedding Organizer) atau sejenisnya untuk pelaksanaannya nanti. Karena salah satu dari tante ini adalah orang yang punya WO, jadi semuanya secara teknis bisa langsung dirapatkan karena pengalaman salah satu tante ini. Tetapi, nggak pakai jasa WO nya dia tentunya, hanya dari bantuan beberapa saudara gue dan juga tante-tante ini. Mungkin nanti kalau pelaksanaan resepsi barulah memakai WO. Mereka sudah seperti saudara sendiri bagi keluarga gue.
Bicara soal saudara, tidak banyak saudara gue yang datang untuk rapat rencana lamaran adik gue. Salah satu yang datang adalah Uni (panggilan kakak perempuan pada budaya minang) Dona. Sepupu gue dari pihak Papa. Rumah sepupu gue ini berada di komplek tetangga yang jaraknya nggak sampai 1 kilometer dari komplek rumah gue. Dia tinggal dikomplek yang sama dengan Drian kebetulan.
“Assalamualaikum. Wah udah rame ini. Aku telat ya?” tanya gue kepada hadirin yang berkumpul diruang tamu.
“Waalaikumsalam. Ayo masuk Ija.” Kata para tante ini.
Gue kemudian salim ke seluruh tante teman Mama, ke tante saudara gue, kemudian terakhir ke Uni Dona. Nggak lupa juga gue mengenalkan Emi sebagai calon gue. Gue dengan sangat mantap mengucapkan hal tersebut dan disambut senyuman penuh arti dari para tante ini. Tapi tidak dengan Uni Dona.
Ketika gue menyalami Uni Dona seperti tradisi keluarga gue, berjabat tangan kemudian cipika cipiki, semuanya normal. Tapi begitu Emi mau menyalami Uni Dona, dia langsung buang muka dan menarik dengan cepat tangan yang sedang berjabat dengan tangan Emi.
Gue langsung membaca keadaan tersebut, tapi gue diam saja. Entah kenapa Uni Dona seperti nggak suka melihat adanya Emi. Tapi, gue langsung merunut ke keadaan keluarga gue yang dari Papa. Hampir semua orang dikeluarga gue, entah bagaimana seperti selalu mengagungkan gerak gerik Emir, sepupu gue yang seumuran dengan gue.
Hanya Emir.
Bahkan adiknya Emir aja nggak terlalu jadi pusat perhatian. Padahal adiknya Emir itu masuk salah satu kampus negeri terbaik di Indonesia dengan jalur beasiswa, tapi tetap aja yang selalu dibanggakan saudara-saudara gue adalah Emir.
Begitu pula dengan Uni Dona. Uni Dona kalau udah berbicara berkaitan dengan Emir pasti langsung sumringah. Gue seringkali mendebat Mama untuk urusan keluarga Papa ini. Mama sering bilang kalau kita banyak dibantu oleh saudara-saudara Papa. Tapi gue nggak banyak melihat hal ini berimplikasi pada gue secara langsung.
Contoh paling nyata begini. Gue dulu masuk ke universitas negeri, Emir masuk swasta bonafid berbiaya mahal, tapi memang levelnya internasional. Siapa yang dibanggakan? Emir. Padahal gue masuk dengan jerih payah otak gue melalui serangkaian tes, salah satunya ujian masuk universitas yang dilaksanakan secara nasional. Gue masuk kampus gue dengan perbandingan 1:760. Jadi gue mengalahkan 760 orang lain yang memperebutkan satu kursi tersedia di jurusan gue, bukan hanya mengandalkan kekuatan finansial orangtuanya.
Kemudian gue berhasil mendapatkan juara dalam sebuah kejuaraan ilmiah nasional waktu dikampus, jadi ketua himpunan, kemudian dapat beasiswa untuk studi singkat ke Perancis. Tapi apa ada nama gue disebut? Nama Emir yang bahkan nggak banyak melakukan apapun ketika dikampusnya yang selalu disebut.
Dari urusan band, yang kebetulan Emir juga punya band, dia juga yang selalu jadi kebanggaan karena dianggap keren anak kuliahan masih bisa ngeband tanpa meninggalkan kuliahnya. Lah gue gimana? Gue bahkan waktu kuliah bisa keluar negeri, main di negeri orang, diundang, dibayarin semuanya layaknya selebritis. Plus catatan, kuliah gue eksakta murni, beda dengan Emir yang mengambil jurusan marketing management.
Anehnya, adiknya nggak diperlakukan seperti itu. Adiknya adalah salah satu pemain gitar klasik fingerstyle terhebat dikampusnya, bahkan sudah diakui dikomunitas para gitaris. Tapi memang dia nggak ngeband, sendirian aja. kuliah dia juga nggak main-main, ambil teknik industri yang tentunya masuknya nggak mudah, plus kuliahnya pun sama sulitnya. Tapi yang dibanggakan adalah Emir, bukan adiknya.
Untungnya, Papa Mamanya Emir bukanlah orang yang tinggi hati dan selalu berbangga. Mereka adalah orang yang sangat sederhana mengingat karir mereka yang sangat luar biasa dipekerjaan, bahkan gue anggap seperti orangtua gue sendiri. Gue sangat dekat dengan keluarga Emir. Emir juga adalah orang yang biasa-biasa aja, nggak sombong dan low profile.
Jadi, nggak ada alasan gue untuk membenci Emir dan keluarganya. Apalagi gue sangat dekat dengan adiknya karena setiap kami bertemu diacara keluarga, banyak hal yang kami bisa diskusikan dari mulai ilmu pengetahuan, musik, politik, konspirasi, agama dan utamanya adalah sejarah. Gue dan adiknya Emir sangat meminati sejarah.
Makanya gue bingung, disatu sisi gue sebenarnya suka nggak terima kenapa atribut-atribut serta capaian yang sudah gue raih selama ini seolah nggak dilihat sama sekali. sementara Emir yang nggak melakukan apapun, mencetak prestasi apapun tidak, kecuali dulu waktu SMP sempat dipanggil ke tim nasional sepakbola U-16, kemudian U-18, namun pada akhirnya harus berhenti karena masalah kebugaran fisiknya. Apalagi dia mewarisi penyakit keturunan keluarga Papa, asma. Gue juga sudah menunjukkan gejala asma sejak gue banyak menaiki motor dua tahun terakhir, padahal dulunya nggak pernah ada sakit asma. Sedangkan dia, sedari kecil sudah hidup dengan asma akut.
Nah sikap Uni Dona yang seperti kurang welcome dengan adanya Emi langsung gue asumsikan karena gue bukan Emir. Coba kalau gue Emir, pasti langsung cipika cipiki dia. Terbukti dulu juga pernah ketika masih bersama dengan Dee, gue dan Dee yang sedang jalan-jalan disalah satu mall terbesar di ibukota bertemu dengan dia. Apa yang terjadi? Hanya gue yang disalami. Sementara gue yang memperkenalkan Dee untuk jabat tangan, tidak dihiraukan oleh Uni Dona.
Apa karena materi atau harta juga yang membuat sikap Uni Dona seperti ini? Mungkin juga ada tendensi kearah sana. Tapi gue lebih kepada urusan, gue bukan Emir.
Pada satu pertemuan keluarga, semacam arisan gitu lah, dia bercerita dengan penuh semangat kalau bertemu dengan Emir bersama pacarnya yang cantik jelita, mantan finalis Gadis Sampul. Padahal gue juga bertemu dengannya, kejadianya sama, di mall yang sama, hanya beda waktu. Tapi yang diceritain ke keluarga besar pas kumpul-kumpul arisan itu ya pertemuan Uni Dona dengan Emir serta pacarnya waktu itu. Bukan gue dan pacar gue saat itu.
Mungkin gue terlalu baper. Tapi kalau itu sesekali nggak apa-apa. Sayangnya, sudah seringkali keluarga gue dianggap sebelah mata. Apalagi semenjak Papa meninggal. Kebanyakan kakak adik kandung Papa tetap bersikap sangat baik terhadap gue, tapi malah anak-anak mereka yang notabene adalah sepupu-sepupu gue, yang bersikap agak kurang bersahabat, kecuali Emir dan adiknya.
Ironis bukan? Salah satu alasan gue malas dengan keluarga Papa adalah karena gue seperti kalah pamor dibanding dengan Emir, tapi disisi lain yang paling baik ke gue adalah Emir dan keluarganya.
Gue mengkode Emi supaya nggak usah diambil hati atau dipikirin gimana-gimana, karena sikap Uni Dona ke orang baru biasanya seperti itu.
“Udah Mi, lo nggak usah mikir gimana-gimana. Dia begitu emang orangnya.”
“Gue cuma takut salah bersikap Zy.”
“Udah, santai aja. yang lain kan menyambut lo dengan baik.”
“Tapi kan mereka bukan keluarga lo Zy.”
“Iya, tapi mereka lebih dari sekedar keluarga buat gue dan keluarga gue. Udah santai aja ya.”
Kebiasaan lama Emi adalah seperti ini. Ketika ada sesuatu yang janggal, dia pasti langsung tidak percaya diri dan kemudian mulai menyalahkan diri sendiri. Menyebut segala kekurangan yang ada dalam dirinya, lalu kemudian kepikiran dalam waktu yang lama.
Hal ini yang selalu gue hindari sebenarnya. Tapi mau gimana, Emi dan Uni Dona harus bertemu dan kenal. Kalau nggak, nanti misalnya gue jadi dengan Emi, masa iya dia mau nggak di-welcome-in terus? Situasinya susah banget, tapi yaudah nggak apa-apa.
“Wah kalau aku sih emang dari awal nggak keberatan kok mau diduluin sama Dania. Jadi ya tanpa ada menjalankan tradisi melangkahi kayak gini pun aku sih monggo aja.” ujar gue.
“Tapi, ini kan tradisi, takutnya nanti membawa hal yang kurang bagus ke pernikahan adikmu, Mas Ija.” Kata salah satu tante.
“Iya, tapi aku nggak masalahin kok.” kata gue lagi.
“Yowes, gini aja. nanti nggak usah dilaksanakan penuh ya tradisi ini. Cukup dengan Dania memberikan hadiah atau semacam barang ke Mas Ija. Nanti Mas Ija terima sebagai bahan pertukaran atau secara simbolis mengizinkan adiknya untuk menikah duluan.” Sambung tante yang lain.
“Hmmm. Oke deh kalau begitu tante-tante. Aku ikutin aja. tapi aku nggak mau ngeribetin Dania aja pokoknya. Dan sehabis ini kita membicarakan teknis mengenai jalannya acara lamaran ya. terus disini calonku, Emi, udah siap dengan konsep dekornya. Nanti biar dia jelaskan sistematikanya gimana.”
Diskusi hangat ini berlangsung sekitar satu jam. Setelahnya semua sepakat dengan teknis acara serta dekor yang diidekan oleh Emi. Emi dan gue juga memberikan masukan saran diacara lamarannya seperti apa.
Gue dan Emi yang sebelumnya nggak diskusi sama sekali seperti sudah menemukan kekompakan ketika apa yang gue pikirkan ternyata sama dengan apa yang Emi pikirkan, jadinya ketika gue mengemukakan pendapat, langsung diiyakan oleh Emi dan diterima oleh para hadirin yang ikut rapat ini.
Selesai acara, gue mengantarkan Emi pulang. Gue menginap semalam dirumahnya, karena kala itu sudah lewat tengah malam, jadi mau pulang juga cukup riskan dengan segala macam resiko yang mungkin terjadi.
Sampai disana, rumah sudah sepi dan sepertinya sudah pada tidur. Gue pun turun ke lantai bawah yang mana ada kamar mandinya. Gue mau bersih-bersih dulu. Emi juga ikut turun ke lantai bawah untuk bersih-bersih.
“Mi, bisa kali?” kata gue tiba-tiba, sambil tersenyum menggoda.
“Hah? Bisa apaan?” ujar Emi, pura-pura nggak tau, tapi ujung-ujungnya malah nyengir juga.
Nggak pakai lama, gue langsung menarik tangan Emi kearah badan gue. Gue langsung memeluk Emi, dan dia langsung membalas pelukan gue. Suasana lantai bawah yang hening membuat setiap pergerakan kecil menjadi terdengar. Rasa rindu melanda kami berdua.
Kami sangat berhati-hati karena dekat kamar mandi itu adalah kamar orang tua Emi. Justru disitulah tantangannnya. Iya-iya disamping kamar orang tua dimana didalamnya orangtuanya sedang tidur itu adalah sesuatu yang wah menurut gue.
Gue langsung melayangkan ciuman dibibir Emi yang kemudian dibalas langsung dengan hebat oleh Emi. pergerakan seperti ini yang memakai hati sudah lama sekali nggak gue nikmati. Kami saling mengulum dan bermain lidah dengan seru. Tentunya tetap berhati-hati agar tidak banyak menimbulkan suara.
Pergerakan selanjutnya adalah membuka sedikit kaos Emi sehingga akhirnya gue bisa juga melihat gunung kembar Emi yang cukup berisi itu setelah sekian lama. Gue langsung melahap semuanya. Nggak berapa lama gue bermain-main disana, gue langsung menurunkan celana Emi, yang kala itu memakai jeans. Agak sulit, tapi akhirnya Emi turut membantu sehingga memudahkan gue.
Gue membalikkan badan Emi. posisi badannya membelakangi gue. Secara cepat pula gue menurunkan celana gue dan mengeluarkan rocky yang sudah sedari tadi gagah perkasa seolah mengerti rumah ternyamannya sudah didepan mata, walaupun rocky nggak punya mata.
Permainan kilat ini sangat kami nikmati luar biasa. Apalagi ada rasa takut kalau berisik, atau yang paling apesnya adalah ketahuan orangtua Emi, entah misalnya salah satu dari mereka keluar kamar untuk ke kamar mandi misalnya.
“Mi, aku mau keluar, nanti langsung berbalik turun kebawah ya, keluar dimulut kamu….”
“Iya Zy. Ini udah belum?”
“Tanggung Mi, dikit lagi.”
Gue terus memacu pinggul maju mundur teratur dan Emi pun menikmati setiap momen ini. Sungguh luar biasa kalau bermain dengan hati itu. Gue nggak tau apa yang Emi rasakan, tapi entah kenapa gue yakin Emi juga bermain dengan hati.
Gue mencabut rocky tepat waktu dan otomatis Emi pun membalikkan badan dengan cepat dan berjongkok didepan gue.
“Telen Mi, biar kamu selalu sehat.”
Dia hanya mengacungkan dua jempol tangannya ke gue. gue tertawa melihat gimmick Emi ini. Sungguh malam yang seru sekaligus menegangkan, bagi gue, dan tentunya juga bagi Emi.
--
“Gue nggak mau dia ngeluarin uang lagi untuk tradisi begitu. Oke kita lakuin prosesi-nya nanti, tapi hadiahnya hanya berupa simbolis aja.” kata gue, keesokan harinya.
“Tradisi itu kepercayaan Zy. Semacam mitos yang kita nggak pernah tau benar apa nggak-nya. Lo nggak mau ngelakuin? Kalau lo nanti susah jodoh gimana?” timpal Emi.
“Susah jodoh? Jodoh gue itu lo. Kenapa gue mesti takut kalau gue bakalan kesusah nyari lagi? Gue nggak ada niat nyari lagi kok.” kata gue sambil menatap tajam Emi.
Dia nggak berkata-kata sama sekali.
“…”
“Kenapa? Mau diperkarain lagi urusan hubungan kita?”
“Udah lah, fokus sama urusan adik lo dulu. Ga usah ngurus hubungan kita.” Gue males weekend begini mesti debat sama dia. “Jadi selain dekor, yang mesti diurus cuman Petunjuk Teknis dan Petunjuk Pelaksanaan aja kan?”
“Hmm. Ya sama beli hadiah.”
“Beli hadiah?”
“Biar gue beli sendiri hadiah buat gue itu. Nanti kasih ke Dania sebagai simbolis aja kalau dia emang udah ngasih hadiah buat gue.”
“Nggak apa-apa emang begitu?”
“Ya nggak apa-apa kali. Bismillah aja. Nggak peduli juga gue. Yang penting dilakuin kan? Ayo siap-siap. Kan mau beli keperluan dekorasi bukan? Sekalian beli hadiahnya itu.”
“Lo mau beli apaan emang?”
“Hmm. Apa ya?”
“Apa yang lagi bener-bener lo butuhin saat ini?”.
“Gue kayaknya beli handphone aja deh. Kebetulan ada handphone yang udah gue incer. Handphone gue juga kebetulan kan udah harus ganti.”
“Yaudah, sekalian semuanya hari ini ya.”
“Iya, biar besok bisa pacaran. Berduaan sama gue.”
“Oh, bantuin gue bikin dekorasi kalau gitu.”
“Lo nggak mau jalan-jalan? Gue mau ke Surabaya loh minggu depan.”
“Ya karena lo mau ke Surabaya minggu depan, makanya kalau bisa semuanya udah selesai sebelum lo pergi.”
“Yaudahlah.”
Gue pun cukup kesal dibuatnya dengan penolakan ini. Tapi ya gue harus sabar, karena mungkin Emi masih beradaptasi lagi.
Ada 8 orang ibu-ibu trendi yang anak-anaknya juga hampir seumuran dengan gue, bahkan ada yang sudah jadi teman main gue sejak kecil. Ibunya Adityo, salah satu sahabat gue sedari kecil juga merupakan teman dekat Mama dari dulu. Untuk diketahui, Adityo atau Tyo ini adalah anak band juga, bahkan band dia itu adalah band metal yang cukup punya nama besar di kota gue.
Begitu juga dengan 7 orang lainnya yang selalu gue sapa dengan awalan Tante ini. Mereka sudah bersahabat dengan Mama sejak kami berada dirumah ini, kemudian sempat pindah, lalu kemudian kembali lagi kerumah ini. Komunikasi tidak pernah putus.
Kebersamaan adalah kunci segalanya kata Mama. Setiap weekend, biasanya suka berkumpul dilapangan komplek untuk melaksanakan senam bersama dengan warga komplek lainnya. Selain itu, mereka suka juga jalan-jalan bersama jika ada waktu senggang disela kesibukan masing-masing.
Yang gue suka adalah, para tante ini nggak pernah yang namanya ngegosipin orang lain atau ngerumpi yang nggak perlu. Mungkin karena pada dasarnya mereka adalah orang sibuk bekerja, jadi waktu benar-benar berharga untuk sekedar bergosip nggak guna seperti itu. Ketika kumpul mereka lebih banyak membicarakan kegiatan-kegiatan sosial ataupun rencana jalan-jalan menikmati hari tua mereka.
Mereka juga menjadi alasan utama kenapa acara lamaran adik gue nggak memakai WO (Wedding Organizer) atau sejenisnya untuk pelaksanaannya nanti. Karena salah satu dari tante ini adalah orang yang punya WO, jadi semuanya secara teknis bisa langsung dirapatkan karena pengalaman salah satu tante ini. Tetapi, nggak pakai jasa WO nya dia tentunya, hanya dari bantuan beberapa saudara gue dan juga tante-tante ini. Mungkin nanti kalau pelaksanaan resepsi barulah memakai WO. Mereka sudah seperti saudara sendiri bagi keluarga gue.
Bicara soal saudara, tidak banyak saudara gue yang datang untuk rapat rencana lamaran adik gue. Salah satu yang datang adalah Uni (panggilan kakak perempuan pada budaya minang) Dona. Sepupu gue dari pihak Papa. Rumah sepupu gue ini berada di komplek tetangga yang jaraknya nggak sampai 1 kilometer dari komplek rumah gue. Dia tinggal dikomplek yang sama dengan Drian kebetulan.
“Assalamualaikum. Wah udah rame ini. Aku telat ya?” tanya gue kepada hadirin yang berkumpul diruang tamu.
“Waalaikumsalam. Ayo masuk Ija.” Kata para tante ini.
Gue kemudian salim ke seluruh tante teman Mama, ke tante saudara gue, kemudian terakhir ke Uni Dona. Nggak lupa juga gue mengenalkan Emi sebagai calon gue. Gue dengan sangat mantap mengucapkan hal tersebut dan disambut senyuman penuh arti dari para tante ini. Tapi tidak dengan Uni Dona.
Ketika gue menyalami Uni Dona seperti tradisi keluarga gue, berjabat tangan kemudian cipika cipiki, semuanya normal. Tapi begitu Emi mau menyalami Uni Dona, dia langsung buang muka dan menarik dengan cepat tangan yang sedang berjabat dengan tangan Emi.
Gue langsung membaca keadaan tersebut, tapi gue diam saja. Entah kenapa Uni Dona seperti nggak suka melihat adanya Emi. Tapi, gue langsung merunut ke keadaan keluarga gue yang dari Papa. Hampir semua orang dikeluarga gue, entah bagaimana seperti selalu mengagungkan gerak gerik Emir, sepupu gue yang seumuran dengan gue.
Hanya Emir.
Bahkan adiknya Emir aja nggak terlalu jadi pusat perhatian. Padahal adiknya Emir itu masuk salah satu kampus negeri terbaik di Indonesia dengan jalur beasiswa, tapi tetap aja yang selalu dibanggakan saudara-saudara gue adalah Emir.
Begitu pula dengan Uni Dona. Uni Dona kalau udah berbicara berkaitan dengan Emir pasti langsung sumringah. Gue seringkali mendebat Mama untuk urusan keluarga Papa ini. Mama sering bilang kalau kita banyak dibantu oleh saudara-saudara Papa. Tapi gue nggak banyak melihat hal ini berimplikasi pada gue secara langsung.
Contoh paling nyata begini. Gue dulu masuk ke universitas negeri, Emir masuk swasta bonafid berbiaya mahal, tapi memang levelnya internasional. Siapa yang dibanggakan? Emir. Padahal gue masuk dengan jerih payah otak gue melalui serangkaian tes, salah satunya ujian masuk universitas yang dilaksanakan secara nasional. Gue masuk kampus gue dengan perbandingan 1:760. Jadi gue mengalahkan 760 orang lain yang memperebutkan satu kursi tersedia di jurusan gue, bukan hanya mengandalkan kekuatan finansial orangtuanya.
Kemudian gue berhasil mendapatkan juara dalam sebuah kejuaraan ilmiah nasional waktu dikampus, jadi ketua himpunan, kemudian dapat beasiswa untuk studi singkat ke Perancis. Tapi apa ada nama gue disebut? Nama Emir yang bahkan nggak banyak melakukan apapun ketika dikampusnya yang selalu disebut.
Dari urusan band, yang kebetulan Emir juga punya band, dia juga yang selalu jadi kebanggaan karena dianggap keren anak kuliahan masih bisa ngeband tanpa meninggalkan kuliahnya. Lah gue gimana? Gue bahkan waktu kuliah bisa keluar negeri, main di negeri orang, diundang, dibayarin semuanya layaknya selebritis. Plus catatan, kuliah gue eksakta murni, beda dengan Emir yang mengambil jurusan marketing management.
Anehnya, adiknya nggak diperlakukan seperti itu. Adiknya adalah salah satu pemain gitar klasik fingerstyle terhebat dikampusnya, bahkan sudah diakui dikomunitas para gitaris. Tapi memang dia nggak ngeband, sendirian aja. kuliah dia juga nggak main-main, ambil teknik industri yang tentunya masuknya nggak mudah, plus kuliahnya pun sama sulitnya. Tapi yang dibanggakan adalah Emir, bukan adiknya.
Untungnya, Papa Mamanya Emir bukanlah orang yang tinggi hati dan selalu berbangga. Mereka adalah orang yang sangat sederhana mengingat karir mereka yang sangat luar biasa dipekerjaan, bahkan gue anggap seperti orangtua gue sendiri. Gue sangat dekat dengan keluarga Emir. Emir juga adalah orang yang biasa-biasa aja, nggak sombong dan low profile.
Jadi, nggak ada alasan gue untuk membenci Emir dan keluarganya. Apalagi gue sangat dekat dengan adiknya karena setiap kami bertemu diacara keluarga, banyak hal yang kami bisa diskusikan dari mulai ilmu pengetahuan, musik, politik, konspirasi, agama dan utamanya adalah sejarah. Gue dan adiknya Emir sangat meminati sejarah.
Makanya gue bingung, disatu sisi gue sebenarnya suka nggak terima kenapa atribut-atribut serta capaian yang sudah gue raih selama ini seolah nggak dilihat sama sekali. sementara Emir yang nggak melakukan apapun, mencetak prestasi apapun tidak, kecuali dulu waktu SMP sempat dipanggil ke tim nasional sepakbola U-16, kemudian U-18, namun pada akhirnya harus berhenti karena masalah kebugaran fisiknya. Apalagi dia mewarisi penyakit keturunan keluarga Papa, asma. Gue juga sudah menunjukkan gejala asma sejak gue banyak menaiki motor dua tahun terakhir, padahal dulunya nggak pernah ada sakit asma. Sedangkan dia, sedari kecil sudah hidup dengan asma akut.
Nah sikap Uni Dona yang seperti kurang welcome dengan adanya Emi langsung gue asumsikan karena gue bukan Emir. Coba kalau gue Emir, pasti langsung cipika cipiki dia. Terbukti dulu juga pernah ketika masih bersama dengan Dee, gue dan Dee yang sedang jalan-jalan disalah satu mall terbesar di ibukota bertemu dengan dia. Apa yang terjadi? Hanya gue yang disalami. Sementara gue yang memperkenalkan Dee untuk jabat tangan, tidak dihiraukan oleh Uni Dona.
Apa karena materi atau harta juga yang membuat sikap Uni Dona seperti ini? Mungkin juga ada tendensi kearah sana. Tapi gue lebih kepada urusan, gue bukan Emir.
Pada satu pertemuan keluarga, semacam arisan gitu lah, dia bercerita dengan penuh semangat kalau bertemu dengan Emir bersama pacarnya yang cantik jelita, mantan finalis Gadis Sampul. Padahal gue juga bertemu dengannya, kejadianya sama, di mall yang sama, hanya beda waktu. Tapi yang diceritain ke keluarga besar pas kumpul-kumpul arisan itu ya pertemuan Uni Dona dengan Emir serta pacarnya waktu itu. Bukan gue dan pacar gue saat itu.
Mungkin gue terlalu baper. Tapi kalau itu sesekali nggak apa-apa. Sayangnya, sudah seringkali keluarga gue dianggap sebelah mata. Apalagi semenjak Papa meninggal. Kebanyakan kakak adik kandung Papa tetap bersikap sangat baik terhadap gue, tapi malah anak-anak mereka yang notabene adalah sepupu-sepupu gue, yang bersikap agak kurang bersahabat, kecuali Emir dan adiknya.
Ironis bukan? Salah satu alasan gue malas dengan keluarga Papa adalah karena gue seperti kalah pamor dibanding dengan Emir, tapi disisi lain yang paling baik ke gue adalah Emir dan keluarganya.
Gue mengkode Emi supaya nggak usah diambil hati atau dipikirin gimana-gimana, karena sikap Uni Dona ke orang baru biasanya seperti itu.
“Udah Mi, lo nggak usah mikir gimana-gimana. Dia begitu emang orangnya.”
“Gue cuma takut salah bersikap Zy.”
“Udah, santai aja. yang lain kan menyambut lo dengan baik.”
“Tapi kan mereka bukan keluarga lo Zy.”
“Iya, tapi mereka lebih dari sekedar keluarga buat gue dan keluarga gue. Udah santai aja ya.”
Kebiasaan lama Emi adalah seperti ini. Ketika ada sesuatu yang janggal, dia pasti langsung tidak percaya diri dan kemudian mulai menyalahkan diri sendiri. Menyebut segala kekurangan yang ada dalam dirinya, lalu kemudian kepikiran dalam waktu yang lama.
Hal ini yang selalu gue hindari sebenarnya. Tapi mau gimana, Emi dan Uni Dona harus bertemu dan kenal. Kalau nggak, nanti misalnya gue jadi dengan Emi, masa iya dia mau nggak di-welcome-in terus? Situasinya susah banget, tapi yaudah nggak apa-apa.
“Wah kalau aku sih emang dari awal nggak keberatan kok mau diduluin sama Dania. Jadi ya tanpa ada menjalankan tradisi melangkahi kayak gini pun aku sih monggo aja.” ujar gue.
“Tapi, ini kan tradisi, takutnya nanti membawa hal yang kurang bagus ke pernikahan adikmu, Mas Ija.” Kata salah satu tante.
“Iya, tapi aku nggak masalahin kok.” kata gue lagi.
“Yowes, gini aja. nanti nggak usah dilaksanakan penuh ya tradisi ini. Cukup dengan Dania memberikan hadiah atau semacam barang ke Mas Ija. Nanti Mas Ija terima sebagai bahan pertukaran atau secara simbolis mengizinkan adiknya untuk menikah duluan.” Sambung tante yang lain.
“Hmmm. Oke deh kalau begitu tante-tante. Aku ikutin aja. tapi aku nggak mau ngeribetin Dania aja pokoknya. Dan sehabis ini kita membicarakan teknis mengenai jalannya acara lamaran ya. terus disini calonku, Emi, udah siap dengan konsep dekornya. Nanti biar dia jelaskan sistematikanya gimana.”
Diskusi hangat ini berlangsung sekitar satu jam. Setelahnya semua sepakat dengan teknis acara serta dekor yang diidekan oleh Emi. Emi dan gue juga memberikan masukan saran diacara lamarannya seperti apa.
Gue dan Emi yang sebelumnya nggak diskusi sama sekali seperti sudah menemukan kekompakan ketika apa yang gue pikirkan ternyata sama dengan apa yang Emi pikirkan, jadinya ketika gue mengemukakan pendapat, langsung diiyakan oleh Emi dan diterima oleh para hadirin yang ikut rapat ini.
Selesai acara, gue mengantarkan Emi pulang. Gue menginap semalam dirumahnya, karena kala itu sudah lewat tengah malam, jadi mau pulang juga cukup riskan dengan segala macam resiko yang mungkin terjadi.
Sampai disana, rumah sudah sepi dan sepertinya sudah pada tidur. Gue pun turun ke lantai bawah yang mana ada kamar mandinya. Gue mau bersih-bersih dulu. Emi juga ikut turun ke lantai bawah untuk bersih-bersih.
“Mi, bisa kali?” kata gue tiba-tiba, sambil tersenyum menggoda.
“Hah? Bisa apaan?” ujar Emi, pura-pura nggak tau, tapi ujung-ujungnya malah nyengir juga.
Nggak pakai lama, gue langsung menarik tangan Emi kearah badan gue. Gue langsung memeluk Emi, dan dia langsung membalas pelukan gue. Suasana lantai bawah yang hening membuat setiap pergerakan kecil menjadi terdengar. Rasa rindu melanda kami berdua.
Kami sangat berhati-hati karena dekat kamar mandi itu adalah kamar orang tua Emi. Justru disitulah tantangannnya. Iya-iya disamping kamar orang tua dimana didalamnya orangtuanya sedang tidur itu adalah sesuatu yang wah menurut gue.
Gue langsung melayangkan ciuman dibibir Emi yang kemudian dibalas langsung dengan hebat oleh Emi. pergerakan seperti ini yang memakai hati sudah lama sekali nggak gue nikmati. Kami saling mengulum dan bermain lidah dengan seru. Tentunya tetap berhati-hati agar tidak banyak menimbulkan suara.
Pergerakan selanjutnya adalah membuka sedikit kaos Emi sehingga akhirnya gue bisa juga melihat gunung kembar Emi yang cukup berisi itu setelah sekian lama. Gue langsung melahap semuanya. Nggak berapa lama gue bermain-main disana, gue langsung menurunkan celana Emi, yang kala itu memakai jeans. Agak sulit, tapi akhirnya Emi turut membantu sehingga memudahkan gue.
Gue membalikkan badan Emi. posisi badannya membelakangi gue. Secara cepat pula gue menurunkan celana gue dan mengeluarkan rocky yang sudah sedari tadi gagah perkasa seolah mengerti rumah ternyamannya sudah didepan mata, walaupun rocky nggak punya mata.
Permainan kilat ini sangat kami nikmati luar biasa. Apalagi ada rasa takut kalau berisik, atau yang paling apesnya adalah ketahuan orangtua Emi, entah misalnya salah satu dari mereka keluar kamar untuk ke kamar mandi misalnya.
“Mi, aku mau keluar, nanti langsung berbalik turun kebawah ya, keluar dimulut kamu….”
“Iya Zy. Ini udah belum?”
“Tanggung Mi, dikit lagi.”
Gue terus memacu pinggul maju mundur teratur dan Emi pun menikmati setiap momen ini. Sungguh luar biasa kalau bermain dengan hati itu. Gue nggak tau apa yang Emi rasakan, tapi entah kenapa gue yakin Emi juga bermain dengan hati.
Gue mencabut rocky tepat waktu dan otomatis Emi pun membalikkan badan dengan cepat dan berjongkok didepan gue.
“Telen Mi, biar kamu selalu sehat.”
Dia hanya mengacungkan dua jempol tangannya ke gue. gue tertawa melihat gimmick Emi ini. Sungguh malam yang seru sekaligus menegangkan, bagi gue, dan tentunya juga bagi Emi.
--
“Gue nggak mau dia ngeluarin uang lagi untuk tradisi begitu. Oke kita lakuin prosesi-nya nanti, tapi hadiahnya hanya berupa simbolis aja.” kata gue, keesokan harinya.
“Tradisi itu kepercayaan Zy. Semacam mitos yang kita nggak pernah tau benar apa nggak-nya. Lo nggak mau ngelakuin? Kalau lo nanti susah jodoh gimana?” timpal Emi.
“Susah jodoh? Jodoh gue itu lo. Kenapa gue mesti takut kalau gue bakalan kesusah nyari lagi? Gue nggak ada niat nyari lagi kok.” kata gue sambil menatap tajam Emi.
Dia nggak berkata-kata sama sekali.
“…”
“Kenapa? Mau diperkarain lagi urusan hubungan kita?”
“Udah lah, fokus sama urusan adik lo dulu. Ga usah ngurus hubungan kita.” Gue males weekend begini mesti debat sama dia. “Jadi selain dekor, yang mesti diurus cuman Petunjuk Teknis dan Petunjuk Pelaksanaan aja kan?”
“Hmm. Ya sama beli hadiah.”
“Beli hadiah?”
“Biar gue beli sendiri hadiah buat gue itu. Nanti kasih ke Dania sebagai simbolis aja kalau dia emang udah ngasih hadiah buat gue.”
“Nggak apa-apa emang begitu?”
“Ya nggak apa-apa kali. Bismillah aja. Nggak peduli juga gue. Yang penting dilakuin kan? Ayo siap-siap. Kan mau beli keperluan dekorasi bukan? Sekalian beli hadiahnya itu.”
“Lo mau beli apaan emang?”
“Hmm. Apa ya?”
“Apa yang lagi bener-bener lo butuhin saat ini?”.
“Gue kayaknya beli handphone aja deh. Kebetulan ada handphone yang udah gue incer. Handphone gue juga kebetulan kan udah harus ganti.”
“Yaudah, sekalian semuanya hari ini ya.”
“Iya, biar besok bisa pacaran. Berduaan sama gue.”
“Oh, bantuin gue bikin dekorasi kalau gitu.”
“Lo nggak mau jalan-jalan? Gue mau ke Surabaya loh minggu depan.”
“Ya karena lo mau ke Surabaya minggu depan, makanya kalau bisa semuanya udah selesai sebelum lo pergi.”
“Yaudahlah.”
Gue pun cukup kesal dibuatnya dengan penolakan ini. Tapi ya gue harus sabar, karena mungkin Emi masih beradaptasi lagi.
Diubah oleh yanagi92055 04-05-2020 23:01
itkgid dan 23 lainnya memberi reputasi
24