- Beranda
- Stories from the Heart
[cinta. horror. roman] - The Second
...
TS
abangruli
[cinta. horror. roman] - The Second
![[cinta. horror. roman] - The Second](https://s.kaskus.id/images/2019/11/14/10479605_20191114110217.jpg)
“Kamu tidak perlu memilih dia atau aku.
Pilih dia saja.
Tak perlu kamu khawatirkan aku.
Aku cuma minta satu hal.
Maukah kamu sebut namaku dalam doa-doamu?”
***
Chapter 1 – Awal Kisah
Pukul 01.34 dini hari. Aku sendirian di kamar. Duduk tegak lurus dengan pandangan penuh ke layar laptop. Jemari kubiarkan menari di keyboard, mengetik setiap detik kisah hidup yang aku alami. Tentu saja nama-namanya aku pilih yang lebih keren, kota tempat kejadian aku geser beberapa ratus kilometer dari aslinya dan penggambaran para tokoh aku percantik dan perganteng sekian persen. Seolah menjadi kisah fiksi. Padahal tidak. Hanya saja aku tak ingin mereka tahu bahwa itu kisah asli.
Jemariku terus mengetik hingga mendadak aku merasa dingin. Tercium wangi yang khas.
Aha. Dia sudah datang.
“Hai apa kabar..” tanyaku sambil terus menatap layar. Tak perlu menengok agar aku tak tebuai dalam keindahan yang memabukkan. Tapi dari bayang-bayang yang memantul di layar, bisa terlihat siluetnya yang menarik. Suara lembut menjawab terdengar seolah tepat disampingku, padahal dia masih dibelakang, “kangen kamu..”
Tanpa sadar aku tersenyum. Entah dari siapa mahluk itu belajar merayu orang. Teringat beberapa bulan lalu saat dia pertama kali menyapa aku.
***
“Hai..” suara lembut seorang wanita dari belakang. Aku kaget dan segera menoleh. Terlihat seorang gadis menatap mataku dengan ceria. Senyumnya mengembang sempurna memamerkan deretan giginya yang rapi. Kulitnya putih, tubuhnya wangi. Rambutnya lurus sepundak khas remaja yang energik, yang tak ingin gerak geriknya terganggu oleh rambut panjang. Poninya yang aduhai, yang bikin aku terpesona sekian detik menatapnya. Aku memang sangat mudah jatuh cinta pada poni yang menghias kening seorang gadis. Membuat ia terlihat lebih feminin. Bajunya pun casual, kaos pink sedikit ketat dengan celana jeans yang pas di kaki jenjangnya. Sepatu kets warna pink menghiasi ujungnya.
Indah.
Harusnya moment tersebut menjadi moment yang sangat indah. Sayang, keindahan tersebut agak ternoda dengan waktu dan lokasi pertemuan yang tidak tepat. Aku melihat angka digital pada pergelangan tangan.
Pukul 01.20 di pinggir kompleks.
Komplek perumahan? Sayangnya bukan. Aku sedang berjalan melewati komplek pemakaman. Dengan tergesa-gesa karena tak ingin mengganggu keheningan kompleks tersebut. Ini terjadi karena aku harus lembur, pulang malam, sialnya mobilku mogok kehabisan bensin 1 kilometer dari rumah. Panggil ojek online gak bisa gegara handphone yang mati. Terpaksa jalan toh hanya 1 kilometer. Hanya saja aku memang harus melewati pemakaman untuk mencapai rumah. Ya sudah daripada tidur di mobil aku pun memutuskan untuk jalan. Bertekad setengah berlari saat melewati kuburan.
Tapi kini aku dapati bukannya berjalan terburu-buru seperti rencana awal, aku malah sedang mematung memandang seorang gadis. Gadis yang indah tapi di waktu dan background lokasi yang salah.
“Kami jin ya?” aku bertanya sambil tertawa. Berharap ia tertawa dan menggeleng.
Tapi ia hanya tertawa. Renyah. Tawa yang bikin lega, karena jauh dari kesan menakutkan. Masa sih kuntilanak ketawanya bikin gemes gitu.
“Kamu tinggal dimana sih, kok jam segini masih disini..” tanyaku. Pertanyaan bodoh yang seharusnya tak pernah aku lontarkan.
“Aku tinggal disini” jawabnya sambil tersenyum.
Anjay! Aku terdiam, seketika aku bisa merasakan rona hangat dari wajahku seperti terhisap habis dan menyisakan pucat pasi yang luar biasa, “ka.. kamu becanda?”
Ayo mengangguklah! Angguklah!
Sayang seribu sayang, bukannya mengangguk ia malah mengegeleng. Sambil terus tersenyum ia berkata “aku gak becanda, aku memang tinggal disini...”
Seolah belum puas melihat kengerianku, ia perjelas dimana ia tinggal, “itu di pohon kamboja sebelah sana”
Sungguh ingin rasanya kutempeleng bocah kurang ajar itu, seenaknya bikin air pipisku mendadak ingin keluar. Walaupun cantik tapi kalau bikin aku kencing dicelana harus diberi pelajaran. Tapi jangankan menampar, menggerakkan tangan saja aku gagal, “ini prank ya?”
“kalau prank aku pasti pakai kostum pocong atau suster ngesot atau apalah yang serem-serem..” ia terdiam sebentar, seolah sedang berpikir, “atau kamu mau lihat aku berubah pakai kostum itu?”
Aku terdiam bagai lumpuh. Lututku lemas, lidahku kelu.
“Gak lah, aku gak mau kamu takut. Aku begini karena aku tahu selera kamu. Aku tahu kamu suka cewek berponi, aku tahu kamu suka cewek casual, aku tahu kamu suka cewek yang ceria. Karena itu aku menjadi seperti ini...karena aku...”
Terdiam sejenak, “karena aku suka kamu..” jawabnya dengan mata yang luar biasa indah.
Aku ternganga. Aku pasti mimpi. Berdiri mematung di pinggir kuburan dengan sesosok mahluk entah apa yang sedang menyatakan cinta padaku. Ini pasti mimpi.
Mimpi romantis yang sayangnya bergenre horror.
Akhirnya aku merasakan kehangatan dipangkal celanaku. Anjay!
[bersambung]
INDEX
Chapter 2 - Pingsan
Chapter 3 - Rumah Sakit
Chapter 4 - Namaku Danang
Chapter 5 - Namanya Rhea
Chapter 6 - Maudy dan 'Maudy'
Chapter 7 - The Second
Chapter 8 - Konser
Chapter 9 - Bertemu Wulan
Chapter 10 - Rumah Sakit (Lagi)
Chapter 11 - Aku dan Rhea dan Satunya Lagi
Chapter 12 - Menggapai Dirinya
Chapter 13 - Dinner with Rhea
Chapter 14 - Wulan versus Rhea Featuring Vania
Chapter 15 - ..........................
Chapter 16 - Rindu
Chapter 17 - Semakin Rindu
Chapter 18 - Melepas Rindu
Chapter 19 - Maafkan Aku lah Bang!
Chapter 20 - Menusuk Tepat di Hati
Chapter 21 - Seribu Alasan Satu Jawaban
Chapter 22 - Belajar Mencintai
Chapter 23 - Would You?
Chapter 24 - The Show Must Go On
Chapter 25 - Tragedi
Chapter 26 - Mimpi
Chapter 27 - Arti Cinta
Chapter 28 - Sad Session
Chapter 29 - Stories of My Life
Chapter 30 - Dua Puluh Tahun Lalu
Chapter 31 - Who Are You?
Chapter 32 - Mya dan Temannya
Chapter 33 - Tok Tok Tok!
Chapter 34 - Menjelang Pertemuan
Chapter 35 - Wajah Itu
Chapter 36 - Pending
Chapter 37 - Dinner for Three
Chapter 38 - Bla Bla Bla
Chapter 39 - Little Heart
Chapter 40 - This Will Be a Long Nite
Chapter 41 - Story from My Side
Chapter 42 - Story from Vania's Side
Chapter 43 - Deja Vu
Chapter 44 - Permintaan Terakhir
Chapter 45 - One Last Dance
Bonus - Behind The Story [Road to Final Chapter]
Chapter 46 - Reality
Chapter 47 - No More Mr. Nice Guy
Chapter 48 - Shocking Reality
Session 2 - The Second - The Killing Rain
Klik dimari bro untuk lanjut ke Session 2
Enjoy the stories gaesss..
Jangan lupa cendol, subcribe dan shareee yaaaaa...
Ruli Amirullah
Diubah oleh abangruli 21-07-2024 16:25
pulaukapok dan 89 lainnya memberi reputasi
88
52.4K
945
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
abangruli
#358
Chapter 46 – Reality
Aku membuka mata dengan kondisi nafas terengah-engah.
Duduk dihadapanku Mya sedang menangis. Matanya terpejam dengan erat. Aku melihat sekeliling dan menyadari kini kami sedang menjadi tontonan. Beberapa orang yang sedang dinner saat itu melirik ke arah kami. Pasti aneh melihat dua orang yang sama-sama sedang terpejam dan genggam tangan dengan kondisi saling menangis. Aku berusaha memberikan senyum yang terbaik pada mereka, sambil berusaha memberi sinyal bahwa kami baik-baik saja. Beruntung jumlah tamu yang datang malam ini tak banyak. Melihat aku tersenyum dan tangis Mya mulai mereda, mereka kembali ke urusan masing-masing.
“Mya... “ panggilku dengan suara pelan. Mya sudah mulai bisa menguasai emosinya. Tangisnya tak lagi terdengar. Hanya sesekali dia menarik air dari hidungnya. Matanya terbuka dan memandangku. Perlahan aku melepaskan genggaman. Tanpa sadar kami saling genggam cukup erat tadi, sampai ada bekas jemarinya di tanganku.
Mya tak menjawab, hanya memandangku sedih. Aku sendiri merasa kikuk, tak tahu harus bicara apa, “Mya...” hanya itu yang kembali aku ucapkan. Memalukan. Seperti orang sedang manggil tukang jualan aja sampai berkali-kali aku panggil.
“Iya...” jawab Mya. Mungkin takut aku sampai manggil ketiga kalinya akhinya dia menjawab, suaranya masih terdengar bergetar.
Aku bingung mau bicara apa, mulutku hanya bisa terbuka sedikit tapi tak ada kata yang terucap. Kupikir aku bisa menemukan ide saat mulutku sudah dalam posisi siap bicara, tapi nyatanya tidak. Aku tetap tak bisa memikirkan apa yang harusnya aku ucapkan. Dari kejauhan aku melihat seorang dua orang pelayan sedang membawa piring. Aku berharap mereka berjalan menuju arahku agak aku tak terlalu lama mati gaya. Beruntung, harapanku kali ini dikabulkan.
“Excuse me Sir..” kata pelayan sambil meletakkan hidangan yang tadi kami pesan.
“Syukron..” kataku mengucapkan terima kasih pada pelayan itu. kami berdua memandang hidangan yang ada dihadapan. Kedua pesanan kami sebenarnya tampak luar biasa. Tapi kejadian tadi sepertinya meruntuhkan selera makan kami. Aku kembali memandang Mya, sementara Mya hanya bisa terdiam memandang piringnya. Mati gaya lagi. Ayo Danang, ucapkan sesuatu...
“Jadi.. Vania sudah pergi ya...” tanyaku lucu. Iyalah lucu. udah jelas tadi dia pamit tapi malah aku tanyakan lagi pada Mya.
“Iya...” jawab Mya sambil menyeka matanya yang sembab, “beberapa tahun belakangan ini aku seolah mendapat sahabat yang luar biasa..”
Oh syukurlah, dia menjawab pertanyaan lucuku, berarti mungkin aku tadi tak salah pilih pertanyaan, “Kamu tadi beneran hadir disana?”
“Iya...”
“Dan melihat semuanya?”
Mya mengangguk.
“Dan kamu.. percaya kalau dulu kamu adalah Rhea?” aku mendadak kembali deg-degan saat ini.
“Itu... itu masih terasa aneh bagiku...” Mya terdiam sejenak dan kemudian menarik nafas panjang, “Sungguh aku masih belum bisa menerima itu. Sejak kecil yang aku tahu namaku adalah Mya, setiap aku ngaca yang aku tahu adalah aku memandang wajah seseorang yang dipanggil sebagai Mya, setiap absen di sekolah yang dipanggil adalah nama Mya dan aku angkat tanganku. Semua memanggil aku Mya, ayah, bunda, teman, guru, they call me Mya... selama bertahun-tahun, sejak aku kecil hingga dewasa. Aku adalah Mya”
Giliran aku yang terdiam, menyimak yang ia katakan. Aku menyadari tentu susah untuk membalik suatu fakta yang lama ke suatu fakta baru. Pasti shock.
“Dan kemudian beberapa tahun kebelakang, hidupku mulai aneh. Mimpi-mimpi yang perlahan menguasai tidurku. Semakin ku lupakan semakin terbayang. Awalnya hanya sekali-kali bermimpi tapi kemudian menjadi hampir setiap malam, bahkan kemudian saat aku terlelap sebentar saja mimpi itu datang. Di mimpi itu, semua memanggilku Rhea... aku pernah cerita tentang hal ini ke temanku. Dia anggap aku punya dua kepribadian. Aku sempat percaya itu hingga kemudian aku sadar, sosok Rhea di mimpiku punya kepribadian yang sama persis dengan diriku. Aku bukan punya dua kepribadian, aku hanya punya dua nama dan dua kehidupan...”
Ini saat yang serius, tampaknya Mya sedang membuka dirinya
“Kemudian datanglah sosok Vania. Bukan di mimpi tapi dikehidupan nyataku. Aneh memang, padahal aku tak pernah memilikii bakat sebagai anak indigo. Aku tak pernah melihat mahluk-mahluk yang tak kasat mata. Tapi mendadak saja aku didatangi Vania...” Mya kembali terhenti. Mereguk orange juice dihadapannya sebelum kembali memulai ceritanya, “dan aku mendapati diriku semakin mirip orang sakit jiwa. Pertama karena mengalami mimpi-mimpi aneh setiap harinya. Kedua karena kemudian aku bertemu dan bahkan berteman dengan sosok gaib entah setan entah jin entah arwah. Kurang aneh apa coba? Andai aku cerita ke orang pasti aku dianggap gila....”
“Kamu gak gila kok...” jawabku memberi respon. Ia memang tak gila, tapi aku paham bagaimana jiwanya merasa bingung akan semua yang ia alami.
Mya hanya tersenyum mendengar ucapanku tadi, “Iya.. tapi saat itu aku anggap diriku gila. Sampai akhirnya aku membaca novel The Second. Saat pertama membacanya aku bingung luar biasa, mengapa ada orang yang gilanya sama denganku. Penulisnya pasti mengalami terror mimpi yang sama..”
Kali ini aku ingin tertawa mendengarnya, aku dianggap gila juga. Hahaha....
“Setiap detail dari tulisan di Novel itu melengkapi semua hal-hal yang sempat buat aku bingung. Novel mas Danang seolah menjadi kembalinya kepingan puzzle yang hilang sekaligus penyusun semua mimpi-mimpiku. Dan aku mendadak paham jalan ceritanya dengan utuh. Untuk pertama kalinya aku merasa tidak gila sendirian, ada penulis novel yang gila juga”
Aku tertawa lepas, “Tapi aku gak gila .Aku alami sendiri semua kejadian itu, bukan lewat mimpi..”
Mya ikut tertawa, “Hahaha... gitu ya.. tapi barusan aku merasa kembali gila, soalnya ada arwah yang nyuruh aku menerima lamaran seorang lelaki yang baru aku kenal, duda pula, dan gilanya lagi lelaki itu berumur dua kali lipat dari aku...”
Aku tersedak. Anjrit, to the point banget. Aku aja belum terpikir, masih bingung gimana mau ngomong ke arah sana. Ini malah udah dijawab sebelum aku tanya. Sial, kalah langkah, “Kamu.. bisa lebih halus sedikit gak sih mendeskripsikan tentang aku..?”
“Haha.. maap aku terlalu vulgar ya.. tapi gimana lagi, aku sendiri udah hampir gila rasanya. Aku kira segala mimpi-mimpi itu sekedar bunga tidur. Aku gak nyangka ujung-ujungnya seperti ini. Ini benar-benar bisa mengubah jalan hidupku..” jawab Mya penuh ironi, “mas Danang.. jujur deh, aku bingung sama semua ini. Mas gak berharap aku mengangguk kan?”
Eaaaaaa... aku sadar kalo ini bukan adegan dalam novel yang bisa aku tulis seenaknya. Ini adalah tentang perasaan seorang manusia. Seorang wanita. Yang gak bisa seenaknya aku rancang. Andai ini adegan novelku, pasti aku sudah mengakhiri dengan indah. Si cowok melamar, si gadis menangis bahagia, berpelukan penuh haru dan mereka hidup bahagia selamanya. The end. Tamat. Pembaca pun senang.
Tapi, sayangnya ini bukan novelku. Si cowok belum melamar, si gadis malah lagi stress krisis kepribadian. Melamar belum malah kayak udah mau ditolak. Duh duh.. aku menarik nafas panjang sambil menyenderkan tubuhku ke kursi. Selera makanku lenyap sudah. Buyar sudah anganku tentang happy ending.
“Andaai.. andai aku bisa menerima itu semua. Andai lho ya.. jangan dianggap serius. Harus ngomong apa aku ke orang tuaku? Mama, papa, ini aku mau nikah dengan lelaki yang berusia dua kali lipat dari aku, duda, dan baru aja ketemu beberapa hari ini..” tanya Mya sambil memandangku, “Coba mas pikir, kira-kira papaku bakal nyetrum aku atau manggil ustad untuk ngerukyah aku?”
Aku hanya bisa mendengus. Kalau kasusnya bukan di diriku mungkin aku akan tertawa terbahak-bahak mendengar kata-kata Mya barusan. Tapi kali ini aku kesal. Sebal karena apa yang ia katakan benar adanya. Andai aku jadi papanya Mya sudah pasti aku murka jika anak gadisku mengutarakan niat seperti itu. Oke keadaan ini harus diluruskan, aku harus bisa mengendalikan situasi, “Mya.. kita jangan berpikir panjang dulu ya. segala hal ini bisa bikin kita stress kalo semua dipikir bersamaan..”
Mya diam dan memandangku, “Maksudnya?”
“Kita duduk berdua disini adalah untuk membahas mimpi-mimpi kamu, aku jauh-jauh terbang ke Maroko adalah karena ada seorang gadis yang memiliki mimpi yang isinya sama persis dengan apa yang aku alami...” ujarku panjang lebar. Aku harus cerewet agar Mya tidak semakin bingung, “Kita gak usah memikirkan apa yang akan kita lakukan ke depan. Semua akan berjalan seperti biasa, beberapa hari lagi aku akan kembali ke Jakarta dan kamu akan kembali ke kampus kamu. Semua akan kembali normal. kita duduk berdua disini adalah untuk membahas mimpi kamu, untuk membahas kisah hidupku. Yang entah mengapa kedua hal itu bisa sama persis”
Mya semakin diam menyadari kepanikannya
“Kamu gak usah panik. Santai aja Mya.. aku disini untuk meng-interview kamu tentang mimpi kamu, bukan untuk yang lain...”
Raut wajah Mya terlihat lega.
“Sekarang, gimana kalo kita makan dulu?” ajakku untuk mencairkan suasana. Steak ku semakin dingin.
Mya mengangguk dan mulai mengambil garpu dan pisau. Aku menarik nafas lega. Masih ada waktu untuk berpikir dan menjadikan Mya lebih rileks.
[Bersambung]
Note from author :
Hiyaaaaaaa.... kok masih lanjut??.
Katanya Final Chapter gimana sih??
Maap yaak, seperti yang gue bilang kemarin di Behind The Story, khusus tulisan gue yang ini, semuanya tergantung ilham. Kali ini ilham seperti yang diatas lah yang mengetuk pintu khayalku, jadilah gue menulis seperti itu... Tetep kok akan berakhir, tapi ya itu.. ada alurnya ya gaes... hihi.. maap maap...
Aku membuka mata dengan kondisi nafas terengah-engah.
Duduk dihadapanku Mya sedang menangis. Matanya terpejam dengan erat. Aku melihat sekeliling dan menyadari kini kami sedang menjadi tontonan. Beberapa orang yang sedang dinner saat itu melirik ke arah kami. Pasti aneh melihat dua orang yang sama-sama sedang terpejam dan genggam tangan dengan kondisi saling menangis. Aku berusaha memberikan senyum yang terbaik pada mereka, sambil berusaha memberi sinyal bahwa kami baik-baik saja. Beruntung jumlah tamu yang datang malam ini tak banyak. Melihat aku tersenyum dan tangis Mya mulai mereda, mereka kembali ke urusan masing-masing.
“Mya... “ panggilku dengan suara pelan. Mya sudah mulai bisa menguasai emosinya. Tangisnya tak lagi terdengar. Hanya sesekali dia menarik air dari hidungnya. Matanya terbuka dan memandangku. Perlahan aku melepaskan genggaman. Tanpa sadar kami saling genggam cukup erat tadi, sampai ada bekas jemarinya di tanganku.
Mya tak menjawab, hanya memandangku sedih. Aku sendiri merasa kikuk, tak tahu harus bicara apa, “Mya...” hanya itu yang kembali aku ucapkan. Memalukan. Seperti orang sedang manggil tukang jualan aja sampai berkali-kali aku panggil.
“Iya...” jawab Mya. Mungkin takut aku sampai manggil ketiga kalinya akhinya dia menjawab, suaranya masih terdengar bergetar.
Aku bingung mau bicara apa, mulutku hanya bisa terbuka sedikit tapi tak ada kata yang terucap. Kupikir aku bisa menemukan ide saat mulutku sudah dalam posisi siap bicara, tapi nyatanya tidak. Aku tetap tak bisa memikirkan apa yang harusnya aku ucapkan. Dari kejauhan aku melihat seorang dua orang pelayan sedang membawa piring. Aku berharap mereka berjalan menuju arahku agak aku tak terlalu lama mati gaya. Beruntung, harapanku kali ini dikabulkan.
“Excuse me Sir..” kata pelayan sambil meletakkan hidangan yang tadi kami pesan.
“Syukron..” kataku mengucapkan terima kasih pada pelayan itu. kami berdua memandang hidangan yang ada dihadapan. Kedua pesanan kami sebenarnya tampak luar biasa. Tapi kejadian tadi sepertinya meruntuhkan selera makan kami. Aku kembali memandang Mya, sementara Mya hanya bisa terdiam memandang piringnya. Mati gaya lagi. Ayo Danang, ucapkan sesuatu...
“Jadi.. Vania sudah pergi ya...” tanyaku lucu. Iyalah lucu. udah jelas tadi dia pamit tapi malah aku tanyakan lagi pada Mya.
“Iya...” jawab Mya sambil menyeka matanya yang sembab, “beberapa tahun belakangan ini aku seolah mendapat sahabat yang luar biasa..”
Oh syukurlah, dia menjawab pertanyaan lucuku, berarti mungkin aku tadi tak salah pilih pertanyaan, “Kamu tadi beneran hadir disana?”
“Iya...”
“Dan melihat semuanya?”
Mya mengangguk.
“Dan kamu.. percaya kalau dulu kamu adalah Rhea?” aku mendadak kembali deg-degan saat ini.
“Itu... itu masih terasa aneh bagiku...” Mya terdiam sejenak dan kemudian menarik nafas panjang, “Sungguh aku masih belum bisa menerima itu. Sejak kecil yang aku tahu namaku adalah Mya, setiap aku ngaca yang aku tahu adalah aku memandang wajah seseorang yang dipanggil sebagai Mya, setiap absen di sekolah yang dipanggil adalah nama Mya dan aku angkat tanganku. Semua memanggil aku Mya, ayah, bunda, teman, guru, they call me Mya... selama bertahun-tahun, sejak aku kecil hingga dewasa. Aku adalah Mya”
Giliran aku yang terdiam, menyimak yang ia katakan. Aku menyadari tentu susah untuk membalik suatu fakta yang lama ke suatu fakta baru. Pasti shock.
“Dan kemudian beberapa tahun kebelakang, hidupku mulai aneh. Mimpi-mimpi yang perlahan menguasai tidurku. Semakin ku lupakan semakin terbayang. Awalnya hanya sekali-kali bermimpi tapi kemudian menjadi hampir setiap malam, bahkan kemudian saat aku terlelap sebentar saja mimpi itu datang. Di mimpi itu, semua memanggilku Rhea... aku pernah cerita tentang hal ini ke temanku. Dia anggap aku punya dua kepribadian. Aku sempat percaya itu hingga kemudian aku sadar, sosok Rhea di mimpiku punya kepribadian yang sama persis dengan diriku. Aku bukan punya dua kepribadian, aku hanya punya dua nama dan dua kehidupan...”
Ini saat yang serius, tampaknya Mya sedang membuka dirinya
“Kemudian datanglah sosok Vania. Bukan di mimpi tapi dikehidupan nyataku. Aneh memang, padahal aku tak pernah memilikii bakat sebagai anak indigo. Aku tak pernah melihat mahluk-mahluk yang tak kasat mata. Tapi mendadak saja aku didatangi Vania...” Mya kembali terhenti. Mereguk orange juice dihadapannya sebelum kembali memulai ceritanya, “dan aku mendapati diriku semakin mirip orang sakit jiwa. Pertama karena mengalami mimpi-mimpi aneh setiap harinya. Kedua karena kemudian aku bertemu dan bahkan berteman dengan sosok gaib entah setan entah jin entah arwah. Kurang aneh apa coba? Andai aku cerita ke orang pasti aku dianggap gila....”
“Kamu gak gila kok...” jawabku memberi respon. Ia memang tak gila, tapi aku paham bagaimana jiwanya merasa bingung akan semua yang ia alami.
Mya hanya tersenyum mendengar ucapanku tadi, “Iya.. tapi saat itu aku anggap diriku gila. Sampai akhirnya aku membaca novel The Second. Saat pertama membacanya aku bingung luar biasa, mengapa ada orang yang gilanya sama denganku. Penulisnya pasti mengalami terror mimpi yang sama..”
Kali ini aku ingin tertawa mendengarnya, aku dianggap gila juga. Hahaha....
“Setiap detail dari tulisan di Novel itu melengkapi semua hal-hal yang sempat buat aku bingung. Novel mas Danang seolah menjadi kembalinya kepingan puzzle yang hilang sekaligus penyusun semua mimpi-mimpiku. Dan aku mendadak paham jalan ceritanya dengan utuh. Untuk pertama kalinya aku merasa tidak gila sendirian, ada penulis novel yang gila juga”
Aku tertawa lepas, “Tapi aku gak gila .Aku alami sendiri semua kejadian itu, bukan lewat mimpi..”
Mya ikut tertawa, “Hahaha... gitu ya.. tapi barusan aku merasa kembali gila, soalnya ada arwah yang nyuruh aku menerima lamaran seorang lelaki yang baru aku kenal, duda pula, dan gilanya lagi lelaki itu berumur dua kali lipat dari aku...”
Aku tersedak. Anjrit, to the point banget. Aku aja belum terpikir, masih bingung gimana mau ngomong ke arah sana. Ini malah udah dijawab sebelum aku tanya. Sial, kalah langkah, “Kamu.. bisa lebih halus sedikit gak sih mendeskripsikan tentang aku..?”
“Haha.. maap aku terlalu vulgar ya.. tapi gimana lagi, aku sendiri udah hampir gila rasanya. Aku kira segala mimpi-mimpi itu sekedar bunga tidur. Aku gak nyangka ujung-ujungnya seperti ini. Ini benar-benar bisa mengubah jalan hidupku..” jawab Mya penuh ironi, “mas Danang.. jujur deh, aku bingung sama semua ini. Mas gak berharap aku mengangguk kan?”
Eaaaaaa... aku sadar kalo ini bukan adegan dalam novel yang bisa aku tulis seenaknya. Ini adalah tentang perasaan seorang manusia. Seorang wanita. Yang gak bisa seenaknya aku rancang. Andai ini adegan novelku, pasti aku sudah mengakhiri dengan indah. Si cowok melamar, si gadis menangis bahagia, berpelukan penuh haru dan mereka hidup bahagia selamanya. The end. Tamat. Pembaca pun senang.
Tapi, sayangnya ini bukan novelku. Si cowok belum melamar, si gadis malah lagi stress krisis kepribadian. Melamar belum malah kayak udah mau ditolak. Duh duh.. aku menarik nafas panjang sambil menyenderkan tubuhku ke kursi. Selera makanku lenyap sudah. Buyar sudah anganku tentang happy ending.
“Andaai.. andai aku bisa menerima itu semua. Andai lho ya.. jangan dianggap serius. Harus ngomong apa aku ke orang tuaku? Mama, papa, ini aku mau nikah dengan lelaki yang berusia dua kali lipat dari aku, duda, dan baru aja ketemu beberapa hari ini..” tanya Mya sambil memandangku, “Coba mas pikir, kira-kira papaku bakal nyetrum aku atau manggil ustad untuk ngerukyah aku?”
Aku hanya bisa mendengus. Kalau kasusnya bukan di diriku mungkin aku akan tertawa terbahak-bahak mendengar kata-kata Mya barusan. Tapi kali ini aku kesal. Sebal karena apa yang ia katakan benar adanya. Andai aku jadi papanya Mya sudah pasti aku murka jika anak gadisku mengutarakan niat seperti itu. Oke keadaan ini harus diluruskan, aku harus bisa mengendalikan situasi, “Mya.. kita jangan berpikir panjang dulu ya. segala hal ini bisa bikin kita stress kalo semua dipikir bersamaan..”
Mya diam dan memandangku, “Maksudnya?”
“Kita duduk berdua disini adalah untuk membahas mimpi-mimpi kamu, aku jauh-jauh terbang ke Maroko adalah karena ada seorang gadis yang memiliki mimpi yang isinya sama persis dengan apa yang aku alami...” ujarku panjang lebar. Aku harus cerewet agar Mya tidak semakin bingung, “Kita gak usah memikirkan apa yang akan kita lakukan ke depan. Semua akan berjalan seperti biasa, beberapa hari lagi aku akan kembali ke Jakarta dan kamu akan kembali ke kampus kamu. Semua akan kembali normal. kita duduk berdua disini adalah untuk membahas mimpi kamu, untuk membahas kisah hidupku. Yang entah mengapa kedua hal itu bisa sama persis”
Mya semakin diam menyadari kepanikannya
“Kamu gak usah panik. Santai aja Mya.. aku disini untuk meng-interview kamu tentang mimpi kamu, bukan untuk yang lain...”
Raut wajah Mya terlihat lega.
“Sekarang, gimana kalo kita makan dulu?” ajakku untuk mencairkan suasana. Steak ku semakin dingin.
Mya mengangguk dan mulai mengambil garpu dan pisau. Aku menarik nafas lega. Masih ada waktu untuk berpikir dan menjadikan Mya lebih rileks.
[Bersambung]
Note from author :
Hiyaaaaaaa.... kok masih lanjut??.
Katanya Final Chapter gimana sih??
Maap yaak, seperti yang gue bilang kemarin di Behind The Story, khusus tulisan gue yang ini, semuanya tergantung ilham. Kali ini ilham seperti yang diatas lah yang mengetuk pintu khayalku, jadilah gue menulis seperti itu... Tetep kok akan berakhir, tapi ya itu.. ada alurnya ya gaes... hihi.. maap maap...
namakuve dan 26 lainnya memberi reputasi
27
Tutup