- Beranda
- Stories from the Heart
Jurnal Langit : Malam Terakhir Sebelum Kematian (KUMPULAN CERPEN)
...
TS
raganagori
Jurnal Langit : Malam Terakhir Sebelum Kematian (KUMPULAN CERPEN)
Selamat malam, agan-agan.
Cuma mau menyampaikan, STAY SAFE AND MAINTAIN YOUR HEALTH.
Dunia sedang dilanda musibah epidemi yang mematikan, Namun percayalah ini bukanlah yang pertama bagi manusia. Tetap berkepala dingin, bergerak, dan jaga diri serta orang-orang yang disayangi.
Sedikit tambahan, ada cerita baru, karena ane entah lagi kesambet inspirasi dari mana. Selamat menikmati.
NEW STORY :
Catatan Keempat Belas : Satu Hari dalam Hidup Elang
CATATAN JURNAL LANGIT :
Catatan Pertama : Penghibur Bagi Yang Kesepian
Catatan Kedua : Belajar Untuk Mencintaimu
Catatan Ketiga : Rasa Yang Dibawa Oleh hujan
Catatan Keempat : Tangan Kurus Ibu
Catatan Kelima : Lucid Dream
Catatan Keenam : Tidak Ada Makam Di Kotaku
Catatan 7.1 : Translucent (part 1)
Catatan 7.2 : Translucent (part 2)
Catatan Kedelapan : Garis Batas
Catatan 9.1 : Benang-Benang Kusut Di Kepalaku (Part 1)
Catatan 9.2 : Benang-Benang Kusut Di Kepalaku (Part 2)
Catatan Kesepuluh : Dua Denyut
Catatan Kesebelas : Punggung Ibu
Catatan 12.1 : Kisah Kisah Bulan Oktober (Part I)
Catatan 12.2 : Kisah Klise Bulan Oktober (Part II)
Catatan Ketiga belas : Separuh dan Kau
Cuma mau menyampaikan, STAY SAFE AND MAINTAIN YOUR HEALTH.
Dunia sedang dilanda musibah epidemi yang mematikan, Namun percayalah ini bukanlah yang pertama bagi manusia. Tetap berkepala dingin, bergerak, dan jaga diri serta orang-orang yang disayangi.
Sedikit tambahan, ada cerita baru, karena ane entah lagi kesambet inspirasi dari mana. Selamat menikmati.
NEW STORY :
Catatan Keempat Belas : Satu Hari dalam Hidup Elang
CATATAN JURNAL LANGIT :
Catatan Pertama : Penghibur Bagi Yang Kesepian
Catatan Kedua : Belajar Untuk Mencintaimu
Catatan Ketiga : Rasa Yang Dibawa Oleh hujan
Catatan Keempat : Tangan Kurus Ibu
Catatan Kelima : Lucid Dream
Catatan Keenam : Tidak Ada Makam Di Kotaku
Catatan 7.1 : Translucent (part 1)
Catatan 7.2 : Translucent (part 2)
Catatan Kedelapan : Garis Batas
Catatan 9.1 : Benang-Benang Kusut Di Kepalaku (Part 1)
Catatan 9.2 : Benang-Benang Kusut Di Kepalaku (Part 2)
Catatan Kesepuluh : Dua Denyut
Catatan Kesebelas : Punggung Ibu
Catatan 12.1 : Kisah Kisah Bulan Oktober (Part I)
Catatan 12.2 : Kisah Klise Bulan Oktober (Part II)
Catatan Ketiga belas : Separuh dan Kau
Diubah oleh raganagori 09-05-2020 02:46
tien212700 dan 56 lainnya memberi reputasi
57
11.1K
Kutip
35
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
raganagori
#35
Catatan Ketiga Belas : Separuh dan Kau
Selamat malam, agan-agan...
Semoga teman-teman tetap sehat dan aman di rumah masing-masing. Pertama, mau mengucapkan terima kasih buat agan-agan yang telah mengapresiasi thread ini. Sudah berbulan-bulan thread ini ane abaikan, karena memang kehilangan inspirasi dan semangat untuk nulis. Ane bener-bener gak sangka, ketika malam ini iseng ingin posting lagi, ternyata masih ada yang memperhatikan dan bahkan memberikan support positif. Sekali lagi, ane ucapkan terima kasih. (bahkan sampai ada yang ngiklan, berasa hot thread aja heheh)
Berikut ini, ane kembali share salah satu tulisan terbaru ane. Selamat membaca.
Stay Safe, agan and sista

Akasha menundukan muka, menjauhkan pandang, dan berjalan agak cepat begitu melihat seorang wanita tua renta dengan baju terusan lusuh berjalan mendekatinya. Nenek itu adalah pedagang kerupuk keliling, hanya bermodalkan kaki dan sekarung penuh berisi kerupuk-kerupuk yang tidak enak. Akasha tahu karena pernah suatu malam yang baik, ia membeli semua dagangan wanita tersebut. Namun kali ini, kondisi sedang berbeda. Karena epidemi Corona yang tengah mengganas di seantero bumi, pekerjaan Akasha menghadapi masalah yang rumit. Tugas menumpuk, bayaran yang terpotong, ibu dan ayahnya di Surabaya yang butuh bantuan untuk menyokong kehidupan sehari-hari, hutang-hutang yang menunggu pembayaran; dan yang terparah sekarang : Novi, pacarnya, positif hamil 2 minggu.
Sudah dua minggu itu perasaan Akasha tidak menentu, emosinya semakin mudah meledak-ledak, dan hampir tidak bisa berkonsentrasi penuh pada pekerjaan. Dia semakin tidak betah berlama-lama di kantor, atau sekedar berkomunikasi dengan rekan-rekan kerjanya. Terlebih, kegundahannya semakin meradang tiap kali melihat pada Novi yang duduk di meja sebelahnya, tengah menunduk mengerjakan berkas-berkas.
Akasha menghirup nafas dalam-dalam. Ia berusaha menenangkan diri di depan Novi. Ia melirik kanan dan kiri, memperhatikan bila ada suara-suara atau tanda sekecil apapun dari satu orang di kantor. Namun siang ini, seperti biasa, hampir seluruh orang tidak berada di ruangannya. Sebagian besar pergi ke lapangan atau menemui customer di lantai satu. Setelah memastikan kondisi aman, Akasha mendekati Novi, mengelus kepalanya,
“Sudah makan?” tanyanya lembut. Novi menggeleng. Perempuan bertubuh mungil itu meraih tangan Akasha dan menuntunnya ke pipinya yang lembut. Sepasang matanya yang jernih dan bulat memandang Akasha. Perih menyayat ulu hati Akasha. Gumpalan rasa bersalah mengumpul dan mengendap di sana, menyesakkan nafasnya.
“Makan.”
Novi membuka mulut dan berucap dengan suara lirih, “Iya….”
Ragu sejenak, Akasha kembali bertanya, “Gimana kondisimu?”
Novi menggeleng. Akasha tersenyum, mengelus pipinya sekali, dan kembali ke mejanya. Matanya memandang nanar pada tumpukan tinggi berkas yang seolah tidak akan habis kecuali ia ambruk dan masuk rumah sakit, atau terdampak corona. Dengan enggan, tangannya meraih keyboard computer, dan mulai bekerja, mencoba menghapus sejenak kegundahannya. Tentu saja itu tidak berhasil.
Novi adalah kekasihnya yang kedua dalam sejarah romansa Akasha. Hubungan pertamanya terjadi lima tahun lalu, saat masih duduk di bangku kuliah. Mantan kekasihnya, Risa, adalah mahasiswa Fakultas Psikologi di universitas yang sama. Mereka bertemu melalui salah seorang teman Akasha saat mereka menjadi satu tim dalam kompetisi business plan. Sejujurnya, tidak banyak yang bisa diingat Akasha dalam hubungan pertamanya itu selain betapa bagusnya bentuk payudara mantan kekasihnya itu. TIdak terlalu besar, dan tidak terlalu kecil; Pas di tangan, padat, dan bentuknya yang sangat menarik hati. Tidak semua lelaki bisa mendapatkan keistimewaan itu tentu saja, karena buah yang indah itu terselubung rapat dalam gaya berpakaian Risa yang tertutup, selalu mengenakan pakaian longgar, serta kepribadiannya yang dingin.
Akasha dan Risa berpisah enam bulan kemudian karena alasan klasik dan menjemukan : komunikasi. Suatu ketika, Akasha mengidap kebosanan yang luar biasa. Ia jengah dan suntuk. Bagian besar dalam dirinya ingin berlari dan melompat masuk dalam gua dingin yang gelap, sendirian. Pemuda itupun pergi, tanpa memberi tahu siapapun, dan memutus semua komunikasi. Empat minggu kemudian, saat ia kembali muncul ke permukaan, Risa meminta putus darinya.
Akasha tidak berusaha membela diri, karena ia tahu ia yang bersalah. Tentu saja rasanya sakit, namun ternyata tidak sesakit itu. Jika ditelaah, rasa sakit itu mungkin lebih tepat disebut rasa tidak enak hati karena Akasha mengabaikan Risa begitu saja.
Sore menjelang. Akasha mengangkat wajah dari layar computer. Merenggakan punggungnya, berusaha menghasilkan bunyi gemeretak yang melegakan. Ia menoleh ke Novi yang tengah membereskan mejanya, bersiap pulang. Wajah gadis itu terlihat letih dan mendung. Tentu saja, apa yang kau harapkan? Pikir Akasha pada dirinya sendiri. Ia bangkit dan mendekati Novi,
.
“Kamu gak papa?”
“Gak papa, sayang…” Ia berujar lembur seraya meraih pipi Akasha. Perempuan itu menatap mata Akasaha dengan lembut, begitu dalam, seakan menyeruak ke dalam batin terdalam Akasha.
“Aku sehat… Kamu gak usah banyak pikirannya. Tuh, liat. Sampai anget dan pucet kamunya.”
Akasha tidak menjawab. “Ada perubahan lain?” Tanya Akasha.
Novi tersenyum dan menggeleng.
“Aku belikan pepaya muda sama jahe ya.. Please, dihabisin…”
“iyaa.” Jawab Novi. “Langsung pulang?”, Akasha mengangguk. Mereka berdua turun bersamaan.
Sudah tiga malam Akasha rutin menyuplai Novi dengan papaya muda, air jahe, dan terkadang nanas muda. Namun apa yang diharapkan pemuda itu tidak juga terjadi. Di kamar kost, Akasha kembali membuka aplikasi kalender ovulasi, memastikan tanggal menstruasi terakhir Novi dan tanggal saat mereka bersetubuh. Hasilnya tetap sama : Malam itu, adalah malam dengan kemungkinan kehamilan tertinggi dalam siklus menstruasi Novi.
Akasha menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Ia menghirup rokok dan menghembuskannya keras-keras. Malam itu hening, bahkan kost nya seakan tidak berpenghuni. Jalanan depan Kost nya juga tampak sepi, entah karena social distancing atau karena Akasha tidak lagi mampu merasakan sensasi di luar tubuhnya. Kamar kost 4x4 yang telah ia ditinggali selama dua tahun lebih itu terasa penuh. Seakan ada sosok hantu atau jin raksasa yang menyelinap masuk dan seenaknya memenuhi ruangan itu dengan tubuhnya.
Akasha menghubungi Novi. Namun perempuan itu hanya memberikan jawaban-jawaban singkat. Saat Akasha terus menanyakan pertanyaan yang sama, Novi menjawab singkat,
“Udah… Malam ini, kamu gak usah mikirin aku dulu…”
Akasha tidak tahu harus merespon apa. Dia diam memandangi jawaban Novi. Ia berusaha mencerna makna kalimat tersebut, namun percuma. Dalam kepalanya hanya berputar adegan-adegan suram masa depannya, dan rencana-rencananya yang gagal. Malam itu, sebuah hal yang sangat jarang terjadi, Akasha merasa tidak berdaya.
Dalam kondisi normal, biasanya Akasha akan melewati malam itu di Club sambil minum-minum atau menyewa seorang wanita panggilan di Hotel. Sayangnya saat ini pekerjaannya juga sedang bermasalah, tempat-tempat hiburan sudah dua minggu ditutup, dan lebih penting, uang serta tabungannya semakin menipis karena hutang. Akasha bingung, kehilangan tempatnya melepaskan diri. Lama dia termenung menatap langit-langit kamar dan tumpukan buku-buku koleksinya yang teronggok di rak dan sudut kamar.
Lalu, entah apa yang dia pikirkan, pemuda itu beranjak dari kamar menuju kamar mandi. Ia membasuh dirinya benar-benar di setiap sudutnya. Setelah itu, mengambil wudlu, kembali ke kamar, dan melakukan salat. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Akasha merasa tidak punya tempat lain selain memohon pada Tuhan yang telah lama ia abaikan.
Selesai salat, Akasha melanjutkan dengan dzikir dan membaca semua surat-surat pendek yang bisa dia ingat. Cukup lama ia berdzikir hingga ia merasakan kebas pada kedua kakinya akibat terlalu lama bersila. Lama ia menunduk dan berulang kali ia memohon, meminta untuk membatalkan kehamilan Novi. Ia meminta dengan kesungguhan yang belum pernah ia lakukan. Waktu berlalu, entah berapa lama, hingga akhirnya Akasha mengakhiri doanya. Tetap merasa kalut. Mungkin, Tuhan sendiri sudah jengah dengannya. Kini giliran tuhan mengabaikan dirinya.
Ah, tidak. Mungkin Tuhan tidak benar-benar mengabaikan dirinya. Mendadak sebuah ilham merasuki pikiran Akasha, mungkin ini ilham dari Tuhan. Akasha mengambil handphonenya, mencari sebuah kontak, dan mengirim sebuah pesan.
Akasha : Bos
Raya : Ya bos? Ada apa?
Akasha : Masih open PO?
Raya : Masih. Mau yang mana ni? Viagra biru? Yang golder? Atau yang mana?
Akasha : Enggak. Mau Tanya. Punya Cytotec?
Balasan tidak segera datang. Raya adalah penjual berbagai obat-obatan dan peralatan khusus dewasa yang beroperasi secara daring di Wilayah Ketapang. Barangnya yang lengkap serta pelayanan yang cepat, juga didukung dengan system penjualan per pil, membuat mantan napi tersebut menjadi supplier utama bagi para laki-laki dan wanita yang mencari kepuasan lebih. Namun nampaknya, kali ini, Raya ragu untuk segera membalas pertanyaan Akasha. Pemuda itupun memutuskan menunggu saja.
Selang sepuluh menit kemudian, sebuah pesan baru datang melalui aplikasi Telegram. Pesan dari Raya.
Raya : Sorry, bos. Lewat sini aja ya.
Akasha : Oke
Raya : Saya gak punya barangnya sih bos. Tapi keliatannya temen saya punya. Mau saya pesenkan? Butuh kapan?
Akasha : Secepat mungkin. Malam ini kalau bisa.
Tidak ada balasan. Mungkin Raya sedang berdiskusi dengan temannya. Lima menit kemudian, ia kembali membalas,
Raya : Oke. Bisa, bos. Harganya…
Akasha menyanggupi harganya. Tentu agak mahal kalau dibandingkan dengan kemampuan finansialnya sekarang, namun baginya itu pengeluaran yang lebih baik dibanding harus menjalani bayangan-bayangan suram dalam kepalanya. Setelah itu, mereka berdua membuat janji tempat bertemu. Akasha ingin transaksi segera terjadi, dan ia pun meminta pertemuan di depan ATM Hotel Aston.
Pukul setengah sembilan malam, Akasha sudah menunggu kurir yang biasa mengantarkan barang pesanan konsumen Raya di depan ATM BNI Hotel. Malam itu, awan memutuskan untuk menutupi bintang-bintang di langit malam. Deru kendaraan yang jarang-jarang melaju di kelenggangan jalan Ketapang. Bulan di sana sendiri dalam rupa separuhnya yang pucat. Halaman parkir Hotel Nampak kosong sejak epidemi karena banyak wilayah di daerah pelosok Ketapang telah melakukan lockdown lokal sejak beberapa hari lalu. Sekilas, Akasha memikirkan para pekerja club malam di hotel tersebut, juga wanita-wanita terapis yang bekerja di panti pijat di sana. Kemana mereka? Apa yang mereka lakukan sekarang?
Seseorang kemudian memarkirkan motornya di hadapan Akasha. Seorang laki-laki berumur sekitar tiga puluhan tahun, bertubuh ceking, dengan garis wajah yang keras turun dari motor, menyapa Akasha, dan menyerahkan sebungkus plastik hitam. Akasha menerimanya, memeriksa isinya, menyerahkan uang, dan transaksi pun selesai. Kurir tersebut (pernah mengaku juga sebagai mantan napi) mengangguk sambil tersenyum dan pamit pada Akasha. Ia membalas senyum itu.
Sembari menimang-nimang bungkus plastic tersebut, Akasha mengambil sebatang rokok, menyalakan api, dan menghirupnya pelan-pelan. Pandangannya beredar pada gumpalan awan hitam yang berpusar mengelilingi rembulan pucat. Dari sudut pandangnya, bulan itu seolah menyeruak dari jeruji langit dan terengah-engah menyembulkan tubuhnya di rongga angkasa. Perasaan Akasha nelangsa. Malam itu, saat bulan terlihat berusaha keras untuk muncul di langit, ia akan mengambil hak sebuah jiwa untuk hidup secara paksa. Jiwa itu masih belum matang, bahkan mungkin belum menyadari eksistensinya. Dan bagi Akasha, itulah saat terbaik untuk membunuhnya. Jiwa kecil, yang belum boleh muncul dalam rencana Akasha.
Pemuda itu meraih handphone dan mengirim pesan pada Novi.
Aku ke sana
Tanpa menunggu lama, Novi langsung membalas, oke.
Novi tinggal di rumah kost yang hanya berjarak tidak sampai lima menit dari kos Akasha, tepatnya di belakang sebuah Masjid Agung Ketapang. Sesampainya di depan Kost, Akasha memintanya untuk keluar. Malam belum terlalu larut, ia tidak ingin mengambil resiko ada tetangga yang menyaksikan dirinya dan Novi berduaan di kamar. Tidak lama, Novi muncul dari balik pintu. Terlihat kecil dan cantik dalam balutan gaun tidur terusannya yang berwarna putih bermotif bunga. Rambutnya yang biasa tertutup jilbab, terurai panjang; hitam dan lembut. Jantung Akasha berdegup, dalam hati, ia bersyukur memperoleh keistimewaan untuk menyaksikan kecantikan perempuan itu secara polos.
“Ada apa, mas? Kok tiba-tiba ke sini?”
Akasha mendekat, dan saat itulah ia menyadari di bawah penerangan lampu LED, berkas hitam yang samar di bawah kelopak mata Novi. Hati pemuda itu kembali tersayat perih. Gumpalan menyesakkan dalam dadanya kembali memenuhi serupa awan-awan di langit malam itu.
“Kamu kenapa?” Akasha bertanya seraya meraih pipi Novi. Perempuan itu menggeleng pelan, ia merapatkan tangan Akasha ke pipinya dengan tangan kecilnya. Matanya terpejam seakan mencoba menyerap setiap kehangatan dari tubuh laki-laki tersebut.
“Kamu sudah makan?” Tanya Novi.
Akasha tidak menjawab. Ia mengajak Novi duduk di pelataran teras kost. Tangan Akasha menggegam erat tangan Novi. Akasha kembali melemparkan pandangannya ke bulan yang menyembul dari pusaran awan. Sementara Novi menyandarkan kepalanya ke bahu Akasha.
Agak lama mereka saling membisu, hingga Akasha memutuskan untuk mulai bicara.
“Maaf…”
Novi tidak menjawab, hanya mengangkat kepalanya dari bahu Akasha dan memposisikan dirinya duduk menyamping untuk menghadap Akasha.
“Maaf…” Ujar Akasha sekali lagi. Ia mengerahkan segenap energinya untuk bisa menatap langsung mata perempuan di depannya itu. Dadanya terasa semakin sesak. Novi membelai rambut Akasha, memberikannya ketenangan yang sekerjap menaungi Akasha dan membantunya untuk lanjut berbicara.
“Saat tahu kamu hamil… kamu tahu apa yang aku pikirkan? Aku memikirkan diriku sendiri. Semua rencanaku, promosi jabatan, rumah untuk orang tuaku, traveling ke Jepang… Aku membayangkan semuanya hancur. Aku… aku takut…” Akasha bicara dengan suara bergetar.
“Maaf, kamu harus ikut menanggung beban dengan laki-laki semacam aku.”
Novi memandang mata Akasha lekat-lekat. Kemudian, perempuan berparas mungil dan polos itu mengelus tangan Akasha dengan lembut,
“Saat tahu aku hamil. Kamu tahu apa yang aku pikirkan?”
Jemari kecilnya menyelinap di antara jemari Akasha, mengaitnya dengan lembut.
“Kamu. Aku takut menjadi penghalang untuk semua rencana yang sering kamu ceritakan ke aku…”
Akasha terdiam. Pertahanannya runtuh. Aliran pelan air mata yang hangat jatuh dari matanya. Dadanya pecah dan meluberkan semuanya. Ia menggeggam erat tangan Novi, ia tempelkan dahinya ke dahi Novi.
“Maaf.” Ujar Akasha.
Novi menggeleng, “Umm… Maaf.”
Akasha meraih bungkusan plastik hitam di kantungnya, dan menunjukkan pada Novi. Perempuan membuka plastik, dan mengambil isinya. Pertama, perempuan itu termenung sejenak memandangi dua pil berwarna putih di tangannya. Ia bolak-balik melempar pandang pada Akasha dan pil tersebut. Akasha sendiri kehilangan keberanian dan kekuatan untuk menjelaskan. Namun sebentar kemudian, Novi mengangguk-angguk. Ia melempar senyum lemah pada Akasha.
“Maaf…”
Novi menggeleng, berdiri dari pelataran, mencium kening Akasha. Secercah keraguan tampak sekilas pada raut wajahnya, sebelum akhirnya ia menelan satu butir pil tersebut. Akasha menyaksikan adegan tersebut, di sinari oleh bulan separuh yang menyeruak dari kekangan awan malam.
Semoga teman-teman tetap sehat dan aman di rumah masing-masing. Pertama, mau mengucapkan terima kasih buat agan-agan yang telah mengapresiasi thread ini. Sudah berbulan-bulan thread ini ane abaikan, karena memang kehilangan inspirasi dan semangat untuk nulis. Ane bener-bener gak sangka, ketika malam ini iseng ingin posting lagi, ternyata masih ada yang memperhatikan dan bahkan memberikan support positif. Sekali lagi, ane ucapkan terima kasih. (bahkan sampai ada yang ngiklan, berasa hot thread aja heheh)
Berikut ini, ane kembali share salah satu tulisan terbaru ane. Selamat membaca.
Stay Safe, agan and sista
Spoiler for Catatan Ketiga belas : Separuh dan Kau:
Separuh dan Kau

Credit : Volokine Devian Art
Akasha menundukan muka, menjauhkan pandang, dan berjalan agak cepat begitu melihat seorang wanita tua renta dengan baju terusan lusuh berjalan mendekatinya. Nenek itu adalah pedagang kerupuk keliling, hanya bermodalkan kaki dan sekarung penuh berisi kerupuk-kerupuk yang tidak enak. Akasha tahu karena pernah suatu malam yang baik, ia membeli semua dagangan wanita tersebut. Namun kali ini, kondisi sedang berbeda. Karena epidemi Corona yang tengah mengganas di seantero bumi, pekerjaan Akasha menghadapi masalah yang rumit. Tugas menumpuk, bayaran yang terpotong, ibu dan ayahnya di Surabaya yang butuh bantuan untuk menyokong kehidupan sehari-hari, hutang-hutang yang menunggu pembayaran; dan yang terparah sekarang : Novi, pacarnya, positif hamil 2 minggu.
Sudah dua minggu itu perasaan Akasha tidak menentu, emosinya semakin mudah meledak-ledak, dan hampir tidak bisa berkonsentrasi penuh pada pekerjaan. Dia semakin tidak betah berlama-lama di kantor, atau sekedar berkomunikasi dengan rekan-rekan kerjanya. Terlebih, kegundahannya semakin meradang tiap kali melihat pada Novi yang duduk di meja sebelahnya, tengah menunduk mengerjakan berkas-berkas.
Akasha menghirup nafas dalam-dalam. Ia berusaha menenangkan diri di depan Novi. Ia melirik kanan dan kiri, memperhatikan bila ada suara-suara atau tanda sekecil apapun dari satu orang di kantor. Namun siang ini, seperti biasa, hampir seluruh orang tidak berada di ruangannya. Sebagian besar pergi ke lapangan atau menemui customer di lantai satu. Setelah memastikan kondisi aman, Akasha mendekati Novi, mengelus kepalanya,
“Sudah makan?” tanyanya lembut. Novi menggeleng. Perempuan bertubuh mungil itu meraih tangan Akasha dan menuntunnya ke pipinya yang lembut. Sepasang matanya yang jernih dan bulat memandang Akasha. Perih menyayat ulu hati Akasha. Gumpalan rasa bersalah mengumpul dan mengendap di sana, menyesakkan nafasnya.
“Makan.”
Novi membuka mulut dan berucap dengan suara lirih, “Iya….”
Ragu sejenak, Akasha kembali bertanya, “Gimana kondisimu?”
Novi menggeleng. Akasha tersenyum, mengelus pipinya sekali, dan kembali ke mejanya. Matanya memandang nanar pada tumpukan tinggi berkas yang seolah tidak akan habis kecuali ia ambruk dan masuk rumah sakit, atau terdampak corona. Dengan enggan, tangannya meraih keyboard computer, dan mulai bekerja, mencoba menghapus sejenak kegundahannya. Tentu saja itu tidak berhasil.
Novi adalah kekasihnya yang kedua dalam sejarah romansa Akasha. Hubungan pertamanya terjadi lima tahun lalu, saat masih duduk di bangku kuliah. Mantan kekasihnya, Risa, adalah mahasiswa Fakultas Psikologi di universitas yang sama. Mereka bertemu melalui salah seorang teman Akasha saat mereka menjadi satu tim dalam kompetisi business plan. Sejujurnya, tidak banyak yang bisa diingat Akasha dalam hubungan pertamanya itu selain betapa bagusnya bentuk payudara mantan kekasihnya itu. TIdak terlalu besar, dan tidak terlalu kecil; Pas di tangan, padat, dan bentuknya yang sangat menarik hati. Tidak semua lelaki bisa mendapatkan keistimewaan itu tentu saja, karena buah yang indah itu terselubung rapat dalam gaya berpakaian Risa yang tertutup, selalu mengenakan pakaian longgar, serta kepribadiannya yang dingin.
Akasha dan Risa berpisah enam bulan kemudian karena alasan klasik dan menjemukan : komunikasi. Suatu ketika, Akasha mengidap kebosanan yang luar biasa. Ia jengah dan suntuk. Bagian besar dalam dirinya ingin berlari dan melompat masuk dalam gua dingin yang gelap, sendirian. Pemuda itupun pergi, tanpa memberi tahu siapapun, dan memutus semua komunikasi. Empat minggu kemudian, saat ia kembali muncul ke permukaan, Risa meminta putus darinya.
Akasha tidak berusaha membela diri, karena ia tahu ia yang bersalah. Tentu saja rasanya sakit, namun ternyata tidak sesakit itu. Jika ditelaah, rasa sakit itu mungkin lebih tepat disebut rasa tidak enak hati karena Akasha mengabaikan Risa begitu saja.
Sore menjelang. Akasha mengangkat wajah dari layar computer. Merenggakan punggungnya, berusaha menghasilkan bunyi gemeretak yang melegakan. Ia menoleh ke Novi yang tengah membereskan mejanya, bersiap pulang. Wajah gadis itu terlihat letih dan mendung. Tentu saja, apa yang kau harapkan? Pikir Akasha pada dirinya sendiri. Ia bangkit dan mendekati Novi,
.
“Kamu gak papa?”
“Gak papa, sayang…” Ia berujar lembur seraya meraih pipi Akasha. Perempuan itu menatap mata Akasaha dengan lembut, begitu dalam, seakan menyeruak ke dalam batin terdalam Akasha.
“Aku sehat… Kamu gak usah banyak pikirannya. Tuh, liat. Sampai anget dan pucet kamunya.”
Akasha tidak menjawab. “Ada perubahan lain?” Tanya Akasha.
Novi tersenyum dan menggeleng.
“Aku belikan pepaya muda sama jahe ya.. Please, dihabisin…”
“iyaa.” Jawab Novi. “Langsung pulang?”, Akasha mengangguk. Mereka berdua turun bersamaan.
Sudah tiga malam Akasha rutin menyuplai Novi dengan papaya muda, air jahe, dan terkadang nanas muda. Namun apa yang diharapkan pemuda itu tidak juga terjadi. Di kamar kost, Akasha kembali membuka aplikasi kalender ovulasi, memastikan tanggal menstruasi terakhir Novi dan tanggal saat mereka bersetubuh. Hasilnya tetap sama : Malam itu, adalah malam dengan kemungkinan kehamilan tertinggi dalam siklus menstruasi Novi.
Akasha menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Ia menghirup rokok dan menghembuskannya keras-keras. Malam itu hening, bahkan kost nya seakan tidak berpenghuni. Jalanan depan Kost nya juga tampak sepi, entah karena social distancing atau karena Akasha tidak lagi mampu merasakan sensasi di luar tubuhnya. Kamar kost 4x4 yang telah ia ditinggali selama dua tahun lebih itu terasa penuh. Seakan ada sosok hantu atau jin raksasa yang menyelinap masuk dan seenaknya memenuhi ruangan itu dengan tubuhnya.
Akasha menghubungi Novi. Namun perempuan itu hanya memberikan jawaban-jawaban singkat. Saat Akasha terus menanyakan pertanyaan yang sama, Novi menjawab singkat,
“Udah… Malam ini, kamu gak usah mikirin aku dulu…”
Akasha tidak tahu harus merespon apa. Dia diam memandangi jawaban Novi. Ia berusaha mencerna makna kalimat tersebut, namun percuma. Dalam kepalanya hanya berputar adegan-adegan suram masa depannya, dan rencana-rencananya yang gagal. Malam itu, sebuah hal yang sangat jarang terjadi, Akasha merasa tidak berdaya.
Dalam kondisi normal, biasanya Akasha akan melewati malam itu di Club sambil minum-minum atau menyewa seorang wanita panggilan di Hotel. Sayangnya saat ini pekerjaannya juga sedang bermasalah, tempat-tempat hiburan sudah dua minggu ditutup, dan lebih penting, uang serta tabungannya semakin menipis karena hutang. Akasha bingung, kehilangan tempatnya melepaskan diri. Lama dia termenung menatap langit-langit kamar dan tumpukan buku-buku koleksinya yang teronggok di rak dan sudut kamar.
Lalu, entah apa yang dia pikirkan, pemuda itu beranjak dari kamar menuju kamar mandi. Ia membasuh dirinya benar-benar di setiap sudutnya. Setelah itu, mengambil wudlu, kembali ke kamar, dan melakukan salat. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Akasha merasa tidak punya tempat lain selain memohon pada Tuhan yang telah lama ia abaikan.
Selesai salat, Akasha melanjutkan dengan dzikir dan membaca semua surat-surat pendek yang bisa dia ingat. Cukup lama ia berdzikir hingga ia merasakan kebas pada kedua kakinya akibat terlalu lama bersila. Lama ia menunduk dan berulang kali ia memohon, meminta untuk membatalkan kehamilan Novi. Ia meminta dengan kesungguhan yang belum pernah ia lakukan. Waktu berlalu, entah berapa lama, hingga akhirnya Akasha mengakhiri doanya. Tetap merasa kalut. Mungkin, Tuhan sendiri sudah jengah dengannya. Kini giliran tuhan mengabaikan dirinya.
Ah, tidak. Mungkin Tuhan tidak benar-benar mengabaikan dirinya. Mendadak sebuah ilham merasuki pikiran Akasha, mungkin ini ilham dari Tuhan. Akasha mengambil handphonenya, mencari sebuah kontak, dan mengirim sebuah pesan.
Akasha : Bos
Raya : Ya bos? Ada apa?
Akasha : Masih open PO?
Raya : Masih. Mau yang mana ni? Viagra biru? Yang golder? Atau yang mana?
Akasha : Enggak. Mau Tanya. Punya Cytotec?
Balasan tidak segera datang. Raya adalah penjual berbagai obat-obatan dan peralatan khusus dewasa yang beroperasi secara daring di Wilayah Ketapang. Barangnya yang lengkap serta pelayanan yang cepat, juga didukung dengan system penjualan per pil, membuat mantan napi tersebut menjadi supplier utama bagi para laki-laki dan wanita yang mencari kepuasan lebih. Namun nampaknya, kali ini, Raya ragu untuk segera membalas pertanyaan Akasha. Pemuda itupun memutuskan menunggu saja.
Selang sepuluh menit kemudian, sebuah pesan baru datang melalui aplikasi Telegram. Pesan dari Raya.
Raya : Sorry, bos. Lewat sini aja ya.
Akasha : Oke
Raya : Saya gak punya barangnya sih bos. Tapi keliatannya temen saya punya. Mau saya pesenkan? Butuh kapan?
Akasha : Secepat mungkin. Malam ini kalau bisa.
Tidak ada balasan. Mungkin Raya sedang berdiskusi dengan temannya. Lima menit kemudian, ia kembali membalas,
Raya : Oke. Bisa, bos. Harganya…
Akasha menyanggupi harganya. Tentu agak mahal kalau dibandingkan dengan kemampuan finansialnya sekarang, namun baginya itu pengeluaran yang lebih baik dibanding harus menjalani bayangan-bayangan suram dalam kepalanya. Setelah itu, mereka berdua membuat janji tempat bertemu. Akasha ingin transaksi segera terjadi, dan ia pun meminta pertemuan di depan ATM Hotel Aston.
Pukul setengah sembilan malam, Akasha sudah menunggu kurir yang biasa mengantarkan barang pesanan konsumen Raya di depan ATM BNI Hotel. Malam itu, awan memutuskan untuk menutupi bintang-bintang di langit malam. Deru kendaraan yang jarang-jarang melaju di kelenggangan jalan Ketapang. Bulan di sana sendiri dalam rupa separuhnya yang pucat. Halaman parkir Hotel Nampak kosong sejak epidemi karena banyak wilayah di daerah pelosok Ketapang telah melakukan lockdown lokal sejak beberapa hari lalu. Sekilas, Akasha memikirkan para pekerja club malam di hotel tersebut, juga wanita-wanita terapis yang bekerja di panti pijat di sana. Kemana mereka? Apa yang mereka lakukan sekarang?
Seseorang kemudian memarkirkan motornya di hadapan Akasha. Seorang laki-laki berumur sekitar tiga puluhan tahun, bertubuh ceking, dengan garis wajah yang keras turun dari motor, menyapa Akasha, dan menyerahkan sebungkus plastik hitam. Akasha menerimanya, memeriksa isinya, menyerahkan uang, dan transaksi pun selesai. Kurir tersebut (pernah mengaku juga sebagai mantan napi) mengangguk sambil tersenyum dan pamit pada Akasha. Ia membalas senyum itu.
Sembari menimang-nimang bungkus plastic tersebut, Akasha mengambil sebatang rokok, menyalakan api, dan menghirupnya pelan-pelan. Pandangannya beredar pada gumpalan awan hitam yang berpusar mengelilingi rembulan pucat. Dari sudut pandangnya, bulan itu seolah menyeruak dari jeruji langit dan terengah-engah menyembulkan tubuhnya di rongga angkasa. Perasaan Akasha nelangsa. Malam itu, saat bulan terlihat berusaha keras untuk muncul di langit, ia akan mengambil hak sebuah jiwa untuk hidup secara paksa. Jiwa itu masih belum matang, bahkan mungkin belum menyadari eksistensinya. Dan bagi Akasha, itulah saat terbaik untuk membunuhnya. Jiwa kecil, yang belum boleh muncul dalam rencana Akasha.
Pemuda itu meraih handphone dan mengirim pesan pada Novi.
Aku ke sana
Tanpa menunggu lama, Novi langsung membalas, oke.
Novi tinggal di rumah kost yang hanya berjarak tidak sampai lima menit dari kos Akasha, tepatnya di belakang sebuah Masjid Agung Ketapang. Sesampainya di depan Kost, Akasha memintanya untuk keluar. Malam belum terlalu larut, ia tidak ingin mengambil resiko ada tetangga yang menyaksikan dirinya dan Novi berduaan di kamar. Tidak lama, Novi muncul dari balik pintu. Terlihat kecil dan cantik dalam balutan gaun tidur terusannya yang berwarna putih bermotif bunga. Rambutnya yang biasa tertutup jilbab, terurai panjang; hitam dan lembut. Jantung Akasha berdegup, dalam hati, ia bersyukur memperoleh keistimewaan untuk menyaksikan kecantikan perempuan itu secara polos.
“Ada apa, mas? Kok tiba-tiba ke sini?”
Akasha mendekat, dan saat itulah ia menyadari di bawah penerangan lampu LED, berkas hitam yang samar di bawah kelopak mata Novi. Hati pemuda itu kembali tersayat perih. Gumpalan menyesakkan dalam dadanya kembali memenuhi serupa awan-awan di langit malam itu.
“Kamu kenapa?” Akasha bertanya seraya meraih pipi Novi. Perempuan itu menggeleng pelan, ia merapatkan tangan Akasha ke pipinya dengan tangan kecilnya. Matanya terpejam seakan mencoba menyerap setiap kehangatan dari tubuh laki-laki tersebut.
“Kamu sudah makan?” Tanya Novi.
Akasha tidak menjawab. Ia mengajak Novi duduk di pelataran teras kost. Tangan Akasha menggegam erat tangan Novi. Akasha kembali melemparkan pandangannya ke bulan yang menyembul dari pusaran awan. Sementara Novi menyandarkan kepalanya ke bahu Akasha.
Agak lama mereka saling membisu, hingga Akasha memutuskan untuk mulai bicara.
“Maaf…”
Novi tidak menjawab, hanya mengangkat kepalanya dari bahu Akasha dan memposisikan dirinya duduk menyamping untuk menghadap Akasha.
“Maaf…” Ujar Akasha sekali lagi. Ia mengerahkan segenap energinya untuk bisa menatap langsung mata perempuan di depannya itu. Dadanya terasa semakin sesak. Novi membelai rambut Akasha, memberikannya ketenangan yang sekerjap menaungi Akasha dan membantunya untuk lanjut berbicara.
“Saat tahu kamu hamil… kamu tahu apa yang aku pikirkan? Aku memikirkan diriku sendiri. Semua rencanaku, promosi jabatan, rumah untuk orang tuaku, traveling ke Jepang… Aku membayangkan semuanya hancur. Aku… aku takut…” Akasha bicara dengan suara bergetar.
“Maaf, kamu harus ikut menanggung beban dengan laki-laki semacam aku.”
Novi memandang mata Akasha lekat-lekat. Kemudian, perempuan berparas mungil dan polos itu mengelus tangan Akasha dengan lembut,
“Saat tahu aku hamil. Kamu tahu apa yang aku pikirkan?”
Jemari kecilnya menyelinap di antara jemari Akasha, mengaitnya dengan lembut.
“Kamu. Aku takut menjadi penghalang untuk semua rencana yang sering kamu ceritakan ke aku…”
Akasha terdiam. Pertahanannya runtuh. Aliran pelan air mata yang hangat jatuh dari matanya. Dadanya pecah dan meluberkan semuanya. Ia menggeggam erat tangan Novi, ia tempelkan dahinya ke dahi Novi.
“Maaf.” Ujar Akasha.
Novi menggeleng, “Umm… Maaf.”
Akasha meraih bungkusan plastik hitam di kantungnya, dan menunjukkan pada Novi. Perempuan membuka plastik, dan mengambil isinya. Pertama, perempuan itu termenung sejenak memandangi dua pil berwarna putih di tangannya. Ia bolak-balik melempar pandang pada Akasha dan pil tersebut. Akasha sendiri kehilangan keberanian dan kekuatan untuk menjelaskan. Namun sebentar kemudian, Novi mengangguk-angguk. Ia melempar senyum lemah pada Akasha.
“Maaf…”
Novi menggeleng, berdiri dari pelataran, mencium kening Akasha. Secercah keraguan tampak sekilas pada raut wajahnya, sebelum akhirnya ia menelan satu butir pil tersebut. Akasha menyaksikan adegan tersebut, di sinari oleh bulan separuh yang menyeruak dari kekangan awan malam.
uni214 memberi reputasi
1
Kutip
Balas