- Beranda
- Stories from the Heart
CATATAN VIOLET
...
TS
drupadi5
CATATAN VIOLET

Perjalanan ini akan membawa pada takdir dan misteri hidup yang mungkin tak pernah terpikirkan.
Ketika sebuah kebetulan dan ketidaksengajaan yang kita sangkakan, ternyata adalah sebuah rencana tersembunyi dari hidup.
Bersiaplah dan arungi perjalananmu
Kota Kenangan1
Kota Kenangan 2
Ardi Priambudi
Satrya Hanggara Yudha
Melisa Aryanthi
Made Brahmastra Purusathama
Altaffandra Nauzan
Altaffandra Nauzan : Sebuah Insiden
Altaffandra Nauzan : Patah Hati
Altaffandra Nauzan : the man next door
Sepotong Ikan Bakar di Sore yang Cerah
Expired
Adisty Putri Maharani
November Rain
Before Sunset
After Sunrise
Pencundang, pengecut, pencinta
Pencundang, pengecut, pencinta 2
Time to forget
Sebuah Hadiah
Jimbaran, 21 November 2018
Lagi, sebuah kebaikan
Lagi, sebuah kebaikan 2
Perkenalan
Temanku Malam Ini
Keluarga
03 Desember 2018
Jimbaran, 07 Desember 2018
Looking for a star
Ketika daun yang menguning bertahan akan helaan angin
Pertemuan
BERTAHAN
Hamparan Keraguan
Dan semua berakhir
Fix you
One chapter closed, let's open the next one
Deja Vu
Deja Vu karena ingatan terkadang seperti racun
Karena gw lagi labil, tolong biarin gw sendiri...
Semua pasti berujung, jika kau belum menemukannya teruslah berjalan...
Kepercayaan, kejujuran, kepahitan...
Seperti karang yang tidak menyerah pada ombak...
Damar Yudha
I Love You
Perjanjian...
Perjanjian (2)
Christmas Eve
That Day on The Christmas Eve
That Day on The Christmas Eve (2)
That Day on The Christmas Eve (3)
Di antara
William Oscar Hadinata
Tentang sebuah persahabatan...
Waiting for me...
Kebohongan, kebencian, kemarahan...
Oh Mama Oh Papa
Showing me another story...
Menjelajah ruang dan waktu
Keterikatan
Haruskah kembali?
Kematian dan keberuntungan
The ambience of confusing love
The ambience of love
Kenangan yang tak teringat...
Full of pressure
Persahabatan tidak seperti kepompong
Menunggu, sampai nanti...
Catatan Violet 2 (end): Mari Jangan Saling Menepati Janji
Jakarta, 20 Juni 2019 Lupakanlah Sejenak
Menjaga jarak, menjaga hati
First lady, second lady...
Teman
Teman?
Saudara
Mantan
Mantan (2)
Pacar?
Sahabat
Diubah oleh drupadi5 14-05-2021 15:13
JabLai cOY dan 132 lainnya memberi reputasi
129
23.8K
302
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
drupadi5
#31
Jimbaran, 16 November 2018
Before Sunset

“Mau ke mana weekend?” tanya Ardi yang tiba-tiba datang ke mejaku
“Belum juga pulang kerja,” sahutku acuh tanpa menolehnya
“ya nanya doang, siapa tahu lo udah ada planning.”
“Ngga ada.”
“Ya udah, gw mau ke toko dulu lgs cabut, ga balik kantor lagi,” katanya lagi. Kali ini aku mendongak menatapnya.
“Sama dia?” Aku menunjuk dengan mataku ke arah ruangannya Hanggara.
“Ngga lah, lg sibuk dia, gw sama Herman dan beberapa anak stock store aja. Oh ya, lo ga jalan sama temen kostan lo yg dulu itu?”
“Ngga lah, gw jalan sendiri juga bisa,” jawabku acuh.
“Ya udah asal lo hati-hati aja bawa motornya.”
“Iya bawel!” Sebelum pergi sempat-sempatnya dia menoyor kepalaku. Sial!
Kerjaan banyak di saat weekend itu sangat tidak menyenangkan. Rasanya jenuh sekali seharian melototi laptop ini. Akhirnya aku menyerah, masih ada hari esok, aku membatin, sekarang istirahat dulu. Cari makanan yang enak kayaknya bisa buat refreshing nih, pikirku. Aku membereskan laptop dan file-fileku, sebelum pamitan ke anak-anak yang lain yang masih ngelembur.
“Mbak Vio!” panggil Wulan, ketika aku hendak keluar dari lobby depan.
“Iya?”
“Ada telpon,” katanya sambil mengangkat gagang telpon. Aku sedikit tidak mengerti.
“Siapa?” tanyaku perasaan aku ngga pernah kasih tahu nomor telpon kantor ini ke kenalanku, tahu nomornya aja ngga.
“Pak Hanggara,” jawab Wulan. Astaga orang itu, kenapa ngga menelpon ke ponselku saja.
“Iya, ada apa?” tanyaku begitu melekatkan gagang telpon itu di telingaku
“Untung kamu belum pergi,” sahut Hanggara, “Kamu ada acara ntar?” tanyanya
“hmm… ngga ada. Kenapa?”
“Mau ngopi ngga? Di café temenku sambil liat sunset mumpung cuaca cerah,” ajaknya. Sepertinya aku tahu café siapa yang dia maksud.
“Di cafenya Made, ya?”
“Iya, udah pernah ke sana?” Ya udahlah nganter mantan kamu, tuh, batinku. Eh, ini kesempatan aku cari tahu soal Made dan Adisty, tapi kalau orangnya ada, kalau ngga ya gimana cari infonya.
“Udah, diajakin Ardi.”
“Kalau gitu, kamu tunggu bentaran ya, aku lagi dikit aja selesai.”
“Aku ke sana duluan aja, ntar ketemuan di sana.”
“Kenapa ngga bareng aku aja?”
“Trus motorku mau dibawa ke mana? Ditinggal di kantor gitu?! Ngga, ah!” tolakku
“Sejak kapan kamu bawa motor, bukannya selama ini kamu bareng Mas Ardi?”
“Udah seminggu ini aku jalan sendiri, aku sewa motor.”
“Ngapain sewa sih? Pake motorku aja.”
“Udah terlanjur, ya udah aku tunggu kamu di sana aja ya.”
Akhirnya dia setuju dengan usulanku. Aku pun meluncur ke kafenya Made, berharap aku bisa bertemu dengannya kali ini, dan berharap aku punya keberanian menanyakan soal Adisty padanya.
***
Sampai di cafenya Made, suasana masih sepi hanya ada 2 pasang bule yang sedang ngebeer. Aku coba tanya pada karyawannya, tapi tidak ada yang tahu di mana Made. Akhirnya aku memutuskan jalan-jalan ke pantai yang ada persis di seberang jalan.
Pantai di seputaran tempatku berada saat ini tidak terlalu ramai, hanya ada satu dua pengunjung yang kebanyakan wisatawan asing, sedang berjalan-jalan atau berjemur. Aku berjalan menuju ke bibir pantai, setelah menggulung celana yang kukenakan hingga lutut. Berjalan di pasir putihnya yang halus dan basah, membiarkan buih-buih ombak menghempas kakiku silih berganti, segar sekali rasanya. Kulepaskan ikatan rambutku dan membiarkan angin pantai mempermainkannya. Matahari masih berada di atas cakrawala, hanya saja terangnya mulai membias jjingga di awan-awan dan langit sore ini, dan pantulan sinarnya di permukaan air sangat menyilaukan mata.
“Vio!!!” sebuah suara memanggil namaku membuat aku kebingungan, entah dari mana datangnya suara itu. Aku masih toleh kanan kiri mencari orang yang memanggilku.
“Vio!!” sekali lagi kudengar namaku dipanggil. Sampai akhirnya aku melihat sesosok laki-laki sambil mengamit surfboard, yang dari posturnya seperti pernah kulihat, berjalan setengah berlari dari arah pantai. Kakinya yang panjang melangkah lebar membuat air diskitarannya terpercik ke atas.
Semakin mendekat, aku mulai mengenalinya, laki-laki itu Made.
“Haaiii….” Sapaku melambaikan tangan padanya
Dia berhenti tepat di sampingku dengan nafas terengah-engah.
“Habis surfing ya?” tanyaku basa-basi.
“Iya,” sahutnya di antara nafasnya yang masih ngos-ngosan. “Duduk bentar yuk, di sana,” ajaknya sambil menunjuk ke arah pasir yang kering.
Aku mengangguk dan mengikutinya. Kami duduk bersebelahan dengan di batasi oleh papan surfingnya.
“Aaahhh…..” dia tidur terlentang, sepertinya dia kelelahan. Aku duduk dengan menekuk lututku, masih memandang ke barat, menunggu matahari menyentuh cakrawala.
“Masih lama yang tenggelamnya?” gumamku. Lalu dia bangun dari tidurnya dan duduk dengan posisi yang sama denganku.
“Lagi sebentar kayaknya, belakangan emang agak maleman baru turun mataharinya.”
“Sendirian?” tanyanya kemudian
“Iya, tapi tadi Hanggara bilang mau nyusul ke sini, ke kafe lo.”
“Oh, Angga…” gumamnya
“Lo kenal kan?” tanyaku
“Iya, gw kenal, dia kakak tingkat gw dulu waktu gw kuliah di Australi, trus waktu gw buat café ngga sengaja ketemu juga,” jelasnya dengan tersenyum manis. Berarti, Hanggara, Made, dan Adisty memang saling kenal.
“Sorry De, gw boleh nanya?”
“Nanya apa? Boleh dong.”
“Lo kenapa bisa kenal sama cewek yang sama gw kemarin itu?”
“Oh iya, gw lupa, thanks ya udah anter Adisty, lo kenapa bisa ketemu dia?” tanyanya balik bertanya padaku
“Kemarin itu dia ke kantor, ketemu sama Angga, trus pulangnya gw liat dia lagi di depan rumahnya Angga, ya gw samperin aja, gw takut aja dia kenapa-kenapa, soalnya kata Ardi, mereka baru aja break up.” Sengaja aku menceritakan semuanya aku ingin tahu apa reaksinya Made. Parah, kenapa gw jadi kepo gini sama urusan orang lain.
“Lo bilang mereka putus?” dia bertanya sambil menatapku tajam. Aku menelisik melalui matanya, ada keterkejutan di sana
Aku mengangguk, “Iya mereka baru aja putus, dia ngga cerita sama kamu?”
“Heh….” Made tersenyum sinis. “Dia ngga berubah ternyata….” Desisnya sangat lirih tapi aku masih bisa mendengarnya dengan sangat jelas.
“Kenapa, De?” tanyaku memancingnya untuk bicara.
Dia tersenyum, tapi kulihat ada sesuatu yang disembunyikannya, “Ngga apa-apa. Yang udah aku pulang dulu ya, ntar kalau gw ketemu Angga,
gw bilangin kalau lo di sini.” Dia berdiri dan mengangkat surfboardnya.
“Iya.” Sahutku sebelum dia berlalu pergi. Ada sesuatu yang Made sembunyikan, entah apa, tapi itu ada hbungannya dengan Adisty, atau mungkin juga dengan Hanggara. Ah, sudahlah, biarin aja mereka urus sendiri.
Mentari sudah menyentuh cakrawala, sinarnya sudah berubah menjadi jingga dan beberapa awan menutupinya sehingga tak terlihat bulat sempurna. Perlahan tapi pasti langit mulai meredup.
“Indah ya….” Suara yang sangat aku kenal, tapi tetap masih bisa membuat jantungku berdetak cepat. Sejak kapan dia di sini, selalu buat kaget saja.
“Iya, indah banget. Akhirnya aku bisa liat langsung, live… ”
Aku mendengar dia tertawa kecil, “lebih indah lagi kalau ada yg bisa kita ajak nikmati ini.”
“Kamu liat semua orang itu? Mereka juga sedang menikmatinya. Kita menikmatinya bersama.”
“Pengennya sih, berdua sama kamu aja.” Aku menolehnya yang tetap memandang lurus ke depan, melihat ke cakrawala. Aku memperhatikan wajahnya. Dia tampan, berkharisma, entah kenapa Adisty malah mensia-siakannya. Padahal kalau mereka disandingkan sudah pasti sangat serasi. Apa ini maksud dari Yang Maha Pengatur, bahwa yang cantik atau tampan, belum tentu bisa bersanding dengan dengan tampan atau cantik juga, dengan siapa mereka berjodoh hanya Beliau yang berhak menentukan.
Hanggara menoleh dan memergokiku sedang memandangnya. Aku tidak mengalihkan pandanganku, menantang matanya yang juga menatap mataku. Tidak ada lagi gurat sedih di sana, tapi kosong. Beberapa detik bertahan, kemudian aku mengalihkan pandanganku ke depan, mentari sudah setengahnya ditelan cakrawala.
“Kenapa?” tanyanya
“Apa?” tanyaku balik tanpa menolehnya
“Kenapa kamu mandang aku kayak gitu?”
“Ngga apa-apa, pengen aja liat wajah kamu.”
“Kamu mau cari apa di mataku?”
“Cari pelangi,” ujarku lalu tersenyum geli, mengingat lagu Jamrud yang berjudul Ada Pelangi di Matamu.
Kudengar degusannya, yang membuatku menolehnya, dan dia pun tersenyum. Candaanku boleh juga mencairkan suasana.
“Vio?”
“Iya, apa?”
“Kapan mau kamu buang?”
Aku mnengernyit tak paham. “Buang apa?”
“Your expired feeling…”
Aku mendengus, lagi-lagi dia mengungkitnya.
“How ‘bout you?”
“I’ve done with it. Aku tidak suka menyimpan sesuatu yang ngga berguna.”
Aku diam sejenak. “Kamu memang ngga menyimpannya tapi kamu masih belum melupakannya. Dan itu dua hal yang berbeda.”
Kini dia yang terdiam. Sementara di depan kami mentari hampir sepenunhnya tenggelam, hanya bias-bias jingganya yang masih memancar menerangi awan dan langit di ufuk barat.
Terang telah berganti malam, dan angin mulai bertiup semakin kencang. Beberapa orang melewati kami yang masih bertahan duduk dalam keremangan senja.
“Kamu ngga usah khawatir, aku pasti segera melupakannya.”
“Kenapa aku harus merasa khawatir?” tanyaku memandangnya. Sungguh aku tidak mengerti maksudnya. Dia memandangku, dengan tatapan yang kurasakan berbeda, sebuah tatapan yang membuatku takut. Biarpun sedikit gelap tapi aku melihat dengan jelas apa yang ada di matanya, apa yang telah kulihat berhari-hari yang lalu tapi kucoba tepiskan karena aku masih membiarkan diriku dalam pengaruh pikiran warasku. Bahwa apa yang kulihat dan kuduga adalah kesalahan.
Aku ngga akan membiarkannya mengakui apa yang kuduga sebagai kesalahan itu.
“Udah malam, balik yuk?!” aku hendak berdiri ketika dia menahan dengan menggengam tanganku, dan menarikku sehingga aku terduduk kembali.
“Aku belum jawab pertanyaanmu,” ujarnya.
“Ngga perlu!” dengan cepat aku berdiri. Ketika aku hendak beranjak pergi, dia menyambar lagi tanganku dan menarikku keras hingga aku berbalik, dan sebelum aku jatuh di pelukannya, tanganku yang sebelah tertahan di dadanya sehingga posisi kami berdiri berhadapan sangat dekat tapi masih berjarak. Dia menatapku, dan melalui tanganku yang menempel di dadanya kurasakan jantungnya berdetak cepat.
“Kamu kenapa, Ga?” tanyaku dengan tenang, “Aku bukan Adisty. Aku bukan siapa-siapa kamu, kita hanya teman kerja.”
“Aku tahu kamu bukan Adisty, kamu sangat jauh berbeda darinya. Aku bisa ngerasainnya dari awal ketemu kamu. Karena itu aku suka kamu.” Dengan tenang dia berkata tanpa melepaskan tatapannya.
Aku merasakan wajahku memanas. Terlambat, tidak bisa aku menghindarinya lagi.
“Aku akui, akulah yang pertama berselingkuh darinya, berselingkuh dengan pikiranku karena kamu. Tapi aku masih bisa menahan perasaanku karena menghargainya dan menghargai kamu. Tapi setelah semua yang dia lakukan, aku ngga bisa menahannya lagi.”
Aku memandang matanya yang menatapku dalam, ada perngharapan di sana, “tolong hargai aku sekali lagi, karena aku masih perlu waktu untuk melupakan, dan yakinkan aku kalau kamu pun bisa melakukannya.”
Dia menghela nafas panjang, masih menatapku. Ada kekecewaan di sana.
Maafkan aku, Ga. Aku belum yakin dengan perasaanmu dan juga perasaanku sendiri.

“Mau ke mana weekend?” tanya Ardi yang tiba-tiba datang ke mejaku
“Belum juga pulang kerja,” sahutku acuh tanpa menolehnya
“ya nanya doang, siapa tahu lo udah ada planning.”
“Ngga ada.”
“Ya udah, gw mau ke toko dulu lgs cabut, ga balik kantor lagi,” katanya lagi. Kali ini aku mendongak menatapnya.
“Sama dia?” Aku menunjuk dengan mataku ke arah ruangannya Hanggara.
“Ngga lah, lg sibuk dia, gw sama Herman dan beberapa anak stock store aja. Oh ya, lo ga jalan sama temen kostan lo yg dulu itu?”
“Ngga lah, gw jalan sendiri juga bisa,” jawabku acuh.
“Ya udah asal lo hati-hati aja bawa motornya.”
“Iya bawel!” Sebelum pergi sempat-sempatnya dia menoyor kepalaku. Sial!
Kerjaan banyak di saat weekend itu sangat tidak menyenangkan. Rasanya jenuh sekali seharian melototi laptop ini. Akhirnya aku menyerah, masih ada hari esok, aku membatin, sekarang istirahat dulu. Cari makanan yang enak kayaknya bisa buat refreshing nih, pikirku. Aku membereskan laptop dan file-fileku, sebelum pamitan ke anak-anak yang lain yang masih ngelembur.
“Mbak Vio!” panggil Wulan, ketika aku hendak keluar dari lobby depan.
“Iya?”
“Ada telpon,” katanya sambil mengangkat gagang telpon. Aku sedikit tidak mengerti.
“Siapa?” tanyaku perasaan aku ngga pernah kasih tahu nomor telpon kantor ini ke kenalanku, tahu nomornya aja ngga.
“Pak Hanggara,” jawab Wulan. Astaga orang itu, kenapa ngga menelpon ke ponselku saja.
“Iya, ada apa?” tanyaku begitu melekatkan gagang telpon itu di telingaku
“Untung kamu belum pergi,” sahut Hanggara, “Kamu ada acara ntar?” tanyanya
“hmm… ngga ada. Kenapa?”
“Mau ngopi ngga? Di café temenku sambil liat sunset mumpung cuaca cerah,” ajaknya. Sepertinya aku tahu café siapa yang dia maksud.
“Di cafenya Made, ya?”
“Iya, udah pernah ke sana?” Ya udahlah nganter mantan kamu, tuh, batinku. Eh, ini kesempatan aku cari tahu soal Made dan Adisty, tapi kalau orangnya ada, kalau ngga ya gimana cari infonya.
“Udah, diajakin Ardi.”
“Kalau gitu, kamu tunggu bentaran ya, aku lagi dikit aja selesai.”
“Aku ke sana duluan aja, ntar ketemuan di sana.”
“Kenapa ngga bareng aku aja?”
“Trus motorku mau dibawa ke mana? Ditinggal di kantor gitu?! Ngga, ah!” tolakku
“Sejak kapan kamu bawa motor, bukannya selama ini kamu bareng Mas Ardi?”
“Udah seminggu ini aku jalan sendiri, aku sewa motor.”
“Ngapain sewa sih? Pake motorku aja.”
“Udah terlanjur, ya udah aku tunggu kamu di sana aja ya.”
Akhirnya dia setuju dengan usulanku. Aku pun meluncur ke kafenya Made, berharap aku bisa bertemu dengannya kali ini, dan berharap aku punya keberanian menanyakan soal Adisty padanya.
***
Sampai di cafenya Made, suasana masih sepi hanya ada 2 pasang bule yang sedang ngebeer. Aku coba tanya pada karyawannya, tapi tidak ada yang tahu di mana Made. Akhirnya aku memutuskan jalan-jalan ke pantai yang ada persis di seberang jalan.
Pantai di seputaran tempatku berada saat ini tidak terlalu ramai, hanya ada satu dua pengunjung yang kebanyakan wisatawan asing, sedang berjalan-jalan atau berjemur. Aku berjalan menuju ke bibir pantai, setelah menggulung celana yang kukenakan hingga lutut. Berjalan di pasir putihnya yang halus dan basah, membiarkan buih-buih ombak menghempas kakiku silih berganti, segar sekali rasanya. Kulepaskan ikatan rambutku dan membiarkan angin pantai mempermainkannya. Matahari masih berada di atas cakrawala, hanya saja terangnya mulai membias jjingga di awan-awan dan langit sore ini, dan pantulan sinarnya di permukaan air sangat menyilaukan mata.
“Vio!!!” sebuah suara memanggil namaku membuat aku kebingungan, entah dari mana datangnya suara itu. Aku masih toleh kanan kiri mencari orang yang memanggilku.
“Vio!!” sekali lagi kudengar namaku dipanggil. Sampai akhirnya aku melihat sesosok laki-laki sambil mengamit surfboard, yang dari posturnya seperti pernah kulihat, berjalan setengah berlari dari arah pantai. Kakinya yang panjang melangkah lebar membuat air diskitarannya terpercik ke atas.
Semakin mendekat, aku mulai mengenalinya, laki-laki itu Made.
“Haaiii….” Sapaku melambaikan tangan padanya
Dia berhenti tepat di sampingku dengan nafas terengah-engah.
“Habis surfing ya?” tanyaku basa-basi.
“Iya,” sahutnya di antara nafasnya yang masih ngos-ngosan. “Duduk bentar yuk, di sana,” ajaknya sambil menunjuk ke arah pasir yang kering.
Aku mengangguk dan mengikutinya. Kami duduk bersebelahan dengan di batasi oleh papan surfingnya.
“Aaahhh…..” dia tidur terlentang, sepertinya dia kelelahan. Aku duduk dengan menekuk lututku, masih memandang ke barat, menunggu matahari menyentuh cakrawala.
“Masih lama yang tenggelamnya?” gumamku. Lalu dia bangun dari tidurnya dan duduk dengan posisi yang sama denganku.
“Lagi sebentar kayaknya, belakangan emang agak maleman baru turun mataharinya.”
“Sendirian?” tanyanya kemudian
“Iya, tapi tadi Hanggara bilang mau nyusul ke sini, ke kafe lo.”
“Oh, Angga…” gumamnya
“Lo kenal kan?” tanyaku
“Iya, gw kenal, dia kakak tingkat gw dulu waktu gw kuliah di Australi, trus waktu gw buat café ngga sengaja ketemu juga,” jelasnya dengan tersenyum manis. Berarti, Hanggara, Made, dan Adisty memang saling kenal.
“Sorry De, gw boleh nanya?”
“Nanya apa? Boleh dong.”
“Lo kenapa bisa kenal sama cewek yang sama gw kemarin itu?”
“Oh iya, gw lupa, thanks ya udah anter Adisty, lo kenapa bisa ketemu dia?” tanyanya balik bertanya padaku
“Kemarin itu dia ke kantor, ketemu sama Angga, trus pulangnya gw liat dia lagi di depan rumahnya Angga, ya gw samperin aja, gw takut aja dia kenapa-kenapa, soalnya kata Ardi, mereka baru aja break up.” Sengaja aku menceritakan semuanya aku ingin tahu apa reaksinya Made. Parah, kenapa gw jadi kepo gini sama urusan orang lain.
“Lo bilang mereka putus?” dia bertanya sambil menatapku tajam. Aku menelisik melalui matanya, ada keterkejutan di sana
Aku mengangguk, “Iya mereka baru aja putus, dia ngga cerita sama kamu?”
“Heh….” Made tersenyum sinis. “Dia ngga berubah ternyata….” Desisnya sangat lirih tapi aku masih bisa mendengarnya dengan sangat jelas.
“Kenapa, De?” tanyaku memancingnya untuk bicara.
Dia tersenyum, tapi kulihat ada sesuatu yang disembunyikannya, “Ngga apa-apa. Yang udah aku pulang dulu ya, ntar kalau gw ketemu Angga,
gw bilangin kalau lo di sini.” Dia berdiri dan mengangkat surfboardnya.
“Iya.” Sahutku sebelum dia berlalu pergi. Ada sesuatu yang Made sembunyikan, entah apa, tapi itu ada hbungannya dengan Adisty, atau mungkin juga dengan Hanggara. Ah, sudahlah, biarin aja mereka urus sendiri.
Mentari sudah menyentuh cakrawala, sinarnya sudah berubah menjadi jingga dan beberapa awan menutupinya sehingga tak terlihat bulat sempurna. Perlahan tapi pasti langit mulai meredup.
“Indah ya….” Suara yang sangat aku kenal, tapi tetap masih bisa membuat jantungku berdetak cepat. Sejak kapan dia di sini, selalu buat kaget saja.
“Iya, indah banget. Akhirnya aku bisa liat langsung, live… ”
Aku mendengar dia tertawa kecil, “lebih indah lagi kalau ada yg bisa kita ajak nikmati ini.”
“Kamu liat semua orang itu? Mereka juga sedang menikmatinya. Kita menikmatinya bersama.”
“Pengennya sih, berdua sama kamu aja.” Aku menolehnya yang tetap memandang lurus ke depan, melihat ke cakrawala. Aku memperhatikan wajahnya. Dia tampan, berkharisma, entah kenapa Adisty malah mensia-siakannya. Padahal kalau mereka disandingkan sudah pasti sangat serasi. Apa ini maksud dari Yang Maha Pengatur, bahwa yang cantik atau tampan, belum tentu bisa bersanding dengan dengan tampan atau cantik juga, dengan siapa mereka berjodoh hanya Beliau yang berhak menentukan.
Hanggara menoleh dan memergokiku sedang memandangnya. Aku tidak mengalihkan pandanganku, menantang matanya yang juga menatap mataku. Tidak ada lagi gurat sedih di sana, tapi kosong. Beberapa detik bertahan, kemudian aku mengalihkan pandanganku ke depan, mentari sudah setengahnya ditelan cakrawala.
“Kenapa?” tanyanya
“Apa?” tanyaku balik tanpa menolehnya
“Kenapa kamu mandang aku kayak gitu?”
“Ngga apa-apa, pengen aja liat wajah kamu.”
“Kamu mau cari apa di mataku?”
“Cari pelangi,” ujarku lalu tersenyum geli, mengingat lagu Jamrud yang berjudul Ada Pelangi di Matamu.
Kudengar degusannya, yang membuatku menolehnya, dan dia pun tersenyum. Candaanku boleh juga mencairkan suasana.
“Vio?”
“Iya, apa?”
“Kapan mau kamu buang?”
Aku mnengernyit tak paham. “Buang apa?”
“Your expired feeling…”
Aku mendengus, lagi-lagi dia mengungkitnya.
“How ‘bout you?”
“I’ve done with it. Aku tidak suka menyimpan sesuatu yang ngga berguna.”
Aku diam sejenak. “Kamu memang ngga menyimpannya tapi kamu masih belum melupakannya. Dan itu dua hal yang berbeda.”
Kini dia yang terdiam. Sementara di depan kami mentari hampir sepenunhnya tenggelam, hanya bias-bias jingganya yang masih memancar menerangi awan dan langit di ufuk barat.
Terang telah berganti malam, dan angin mulai bertiup semakin kencang. Beberapa orang melewati kami yang masih bertahan duduk dalam keremangan senja.
“Kamu ngga usah khawatir, aku pasti segera melupakannya.”
“Kenapa aku harus merasa khawatir?” tanyaku memandangnya. Sungguh aku tidak mengerti maksudnya. Dia memandangku, dengan tatapan yang kurasakan berbeda, sebuah tatapan yang membuatku takut. Biarpun sedikit gelap tapi aku melihat dengan jelas apa yang ada di matanya, apa yang telah kulihat berhari-hari yang lalu tapi kucoba tepiskan karena aku masih membiarkan diriku dalam pengaruh pikiran warasku. Bahwa apa yang kulihat dan kuduga adalah kesalahan.
Aku ngga akan membiarkannya mengakui apa yang kuduga sebagai kesalahan itu.
“Udah malam, balik yuk?!” aku hendak berdiri ketika dia menahan dengan menggengam tanganku, dan menarikku sehingga aku terduduk kembali.
“Aku belum jawab pertanyaanmu,” ujarnya.
“Ngga perlu!” dengan cepat aku berdiri. Ketika aku hendak beranjak pergi, dia menyambar lagi tanganku dan menarikku keras hingga aku berbalik, dan sebelum aku jatuh di pelukannya, tanganku yang sebelah tertahan di dadanya sehingga posisi kami berdiri berhadapan sangat dekat tapi masih berjarak. Dia menatapku, dan melalui tanganku yang menempel di dadanya kurasakan jantungnya berdetak cepat.
“Kamu kenapa, Ga?” tanyaku dengan tenang, “Aku bukan Adisty. Aku bukan siapa-siapa kamu, kita hanya teman kerja.”
“Aku tahu kamu bukan Adisty, kamu sangat jauh berbeda darinya. Aku bisa ngerasainnya dari awal ketemu kamu. Karena itu aku suka kamu.” Dengan tenang dia berkata tanpa melepaskan tatapannya.
Aku merasakan wajahku memanas. Terlambat, tidak bisa aku menghindarinya lagi.
“Aku akui, akulah yang pertama berselingkuh darinya, berselingkuh dengan pikiranku karena kamu. Tapi aku masih bisa menahan perasaanku karena menghargainya dan menghargai kamu. Tapi setelah semua yang dia lakukan, aku ngga bisa menahannya lagi.”
Aku memandang matanya yang menatapku dalam, ada perngharapan di sana, “tolong hargai aku sekali lagi, karena aku masih perlu waktu untuk melupakan, dan yakinkan aku kalau kamu pun bisa melakukannya.”
Dia menghela nafas panjang, masih menatapku. Ada kekecewaan di sana.
Maafkan aku, Ga. Aku belum yakin dengan perasaanmu dan juga perasaanku sendiri.
pintokowindardi dan 6 lainnya memberi reputasi
7