Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
Selamat Datang di Thread Gue 
(私のスレッドへようこそ)


Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3


TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI DUA TRIT GUE SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT SELANJUTNYA INI, GUE DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK GUE DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DISINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR

Spoiler for Season 1 dan Season 2:


Last Season, on Muara Sebuah Pencarian - Season 2 :
Quote:




INFORMASI TERKAIT UPDATE TRIT ATAU KEMUNGKINAN KARYA LAINNYA BISA JUGA DI CEK DI IG: @yanagi92055 SEBAGAI ALTERNATIF JIKA NOTIF KASKUS BERMASALAH


Spoiler for INDEX SEASON 3:


Spoiler for LINK BARU PERATURAN & MULUSTRASI SEASON 3:



Quote:


Quote:

Quote:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 83 suara
Perlukah Seri ini dilanjutkan?
Perlu
99%
Tidak Perlu
1%
Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 03:25
sehat.selamat.
JabLai cOY
al.galauwi
al.galauwi dan 142 lainnya memberi reputasi
133
332.1K
4.9K
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.7KThread43.1KAnggota
Tampilkan semua post
yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
#2022
Kembali Lagi
Gue memastikan untuk kembali ke Emi. gue sudah membulatkan tekad dan niat gue. Dari awal juga memang sebenarnya nggak ada yang bisa melunturkan perasaan gue ke Emi. Hanya mungkin kemarin ini adalah kebodohan gue yang masih berpikiran untuk selalu bisa menaklukan segala macam jenis cewek yang memiliki beragam sifat.

Suatu hal yang bodoh tapi masih sulit hilang dari pikiran gue. Emi sudah memberikan segalanya, tapi gue masih merasa selalu bisa menaklukan yang lain walaupun sejatinya cinta gue ke Emi nggak pernah mati sama sekali. Gue selalu menyayangi dia dalam situasi apapun. Gue sadar sekali kalau sikap gue membuat Emi selalu menangis, sakit hati, luka perasaan dan lain sebagainya yang sedih-sedih.

Tapi gue berusaha untuk membuang pemikiran negatif itu. Gue harus usaha dulu untuk mendapatkan cinta sejati gue kembali. Minimal kalaupun Emi menolak gue, setidaknya gue sudah menemukan jawaban atas kebingungan hati gue ini.

Dengan hati deg-degan gue mengajak Emi untuk bertemu. Awalnya ada tarik ulur terlebih dahulu, apalagi dia selalu mengungkit urusan Lira yang sedari awal memang tidak ingin gue kejar. Hanya salahnya ketika itu gue menggunakan Lira sebagai senjata untuk menjauh sesaat dari Emi.

Ternyata benar juga pikiran gue, Lira menghubungi Emi. Tentunya terkait dengan kedatangan dia ke kantor tempo hari terkait pengambilan jaket. Benar-benar pribadi yang mudah ditebak Lira itu. Makanya itu juga jadi nggak ada tantangannya kalau menjalin hubungan dengan dia. Dijamin pasti bakalan cepat bosan.

--

Gue memberitahu Emi kalau gue udah ada didepan kantor dia. Kantor gue dan dia hanya berjarak nggak sampai 1 kilometer. Sama-sama berbentuk rukan (rumah kantor) juga. Bedanya, kalau dikantor gue nggak sampai 40 orang dalam satu gedung rukan 5 lantai, sedangkan kalau kantor Emi, isinya hampir 80 orang untuk rukan 3 lantai.

“Hah? Kok udah di sini aja?” Tanya Emi sesampainya dekat parkiran.

“Buruan naik. Gue mau balik ke kantor dulu. Minggu depan gue mesti ke Surabaya sehari, baru kita ngurus lamaran Dania.” Jawab gue dari balik helm fullface.

“Gue tunggu disini aja.”

“Berkas gue ada di kantor lama, sengaja gue simpen sana tadi barengan map gue yang lain. Tadi abis sortir berkas lama soalnya. Ini nggak ke kantor gue yang baru kok. Buruan. Ayo!

“Nggak usah, gue sendiri aja deh ke rumah lo. Lo urus dulu aja kerjaan kantor.”

“Nggak usah banyak cingcong. Kita banyak urusan.” Kata gue sambil menyerahkan helm yang biasa dia pakai kalau berboncengan dengan gue.

“Jaketnya Lira dibawa?”

Pertanyaan yang amat sangat nggak penting.

“Jaket mulu sih anj*ng. Ribet bener! Udah gue buang! Nggak tau sekarang ada dimana! Bilangin tuh sama si Lira.”

“Lah? Jahat amat sampe dibuang? Bilang sendiri lah sama pacar sendiri. Kenapa mesti tetep gue juga sih?”

Gue hanya diam saja. Gue nggak mau banyak debat lagi dengan Emi soal Lira ini. Adanya nanti niatan gue untuk kembali lagi dengan Emi bisa berantakan karena perbedaan pendapat soal Lira. Nggak lama, gue sudah tiba dikantor lama yang jaraknya hanya sekitar 1 kilometer dari kantor Emi.

“Ayo masuk ke dalem.”

“Nggak mau, gue nunggu di depan aja.”

“Dalem aja buru. Di sini banyak nyamuk. Tuh liat banyak dus sama buku begini. Udah ayo masuk!”

Gue langsung menarik tangan Emi untuk masuk kedalam kantor lama gue yang kosong tapi masih banyak furnitur yang tidak terpakai serta masih tersusun rapi layaknya kantor biasa. Hanya saja kondisinya sangat gelap dan sepi. Tapi masih ada penjaganya yang sudah dipercayakan oleh om gue bertahun-tahun. Dia juga berdagang warung disebrang kantor lama gue ini.

Gue mengambil beberapa berkas pekerjaan lama yang masih tertinggal dikantor ini. Cukup berdebu yang akhirnya membuat gue bersin-bersin. Setelahnya gue masuk keruangan meeting tempat Emi menunggu. Gue menaruh berkas-berkas ini di meja. Gue masih nggak konsen antara membaca pekerjaan dan rencana gue untuk menyatakan gue ingin kembali lagi sama dia.

“Kapan emang ke Surabaya-nya?” tanyanya tiba-tiba.

“Antara Rabu atau Kamis.” Jawab gue.

“Nginep di sana?”

“Sehari doang.”

“Kalau Kamis, berarti baru balik Jum’at dong?”

“Emang kenapa?”

“Kan lamarannya Sabtu, nggak cape banget? Gue mesti ngurus semuanya sendirian gitu selama lo di Surabaya?”

“Ya nggak lah. Diurus dari besok sampai Senin atau Selasa. Kita kejarin. Harus kelar sebelum gue berangkat.”

“… kita kejarin? Kita? Kenapa nggak Lira aja sih?”

Perasaan gue yang sedang campur aduk malah jadi kesal ketika mendengar nama Lira disebut lagi. Daripada makin nggak jelas, lebih baik gue langsung aja nyatain kalau gue mau kembali dan nggak akan pernah putus.

“Mi, Kita ga akan pernah putus.” Ujar gue pelan.

Lalu kami menikmati kebersamaan kami itu dengan penuh peluh serta perasaan yang bercampur antara rindu, sayang dan juga kesal. Gue menikmati setiap momen bersama Emi tersebut. Rasa cinta dan rindu yang besar mengalahkan semuanya. Kalau memang sudah cinta, apapun yang dilakukan pasti akan terasa sangat seru dan enak.

Kecupan terakhir sebelum semuanya selesai, gue bilang ke dia kalau gue salah.

“Maafin aku. Aku salah. Aku sayang banget sama kamu. Cuman sayang sama kamu. Aku nggak mau kita putus. Aku sadar, kita seharusnya nggak akan pernah putus. Kasih aku kesempatan lagi…”

Emi hanya diam seribu bahasa. Dalam hati gue berpikir, kalau dia diam mungkin dia masih ragu. Tapi entah kenapa gue yakin aja dia pasti akan kembali bersama gue. Dan semoga aja dia nggak berpikir kalau momen gue meminta dia kembali ini bukan karena gue mau minta bantuan dia menyiapkan acara lamaran adik gue.

--

Gue merindukan momen-momen bersama Emi ketika berboncengan motor kemudian saling bertukar cerita. Lebih banyak Emi sih yang cerita sebenarnya selama ini. Gue selalu nagih kalau pulang bareng sama dia sebuah cerita, apapun itu. Kemampuan story teller Emi yang sangat baik mampu membuat gue menikmati segala cerita yang keluar dari mulutnya. Bahkan sampai kejadian recehan lucu yang sebenarnya nggak penting juga diceritakan.

“Zy, dikantor gue itu orang financenya kadang suka superior deh.” Kata Emi membuka percakapan.

“Kenapa emangnya?” kata gue, sambil membuka setengah helm gue. helm gue adalah helm tipe modular yang bisa dibuka menjadi helm half face, mulutnya jadi terbebas dan bisa bicara lebih jelas karena suaranya lebih terdengar.

“Masa katanya kalo nggak ada finance dan accounting kantor jadi nggak ada apa-apanya?”

“Hah? Jadi maksudnya si finance mikir kalau nggak ada divisi dia, kantor nggak bakal jalan gitu?”

“Kurang lebih sih begitu. becanda sih. Tapi gue kurang suka sama pernyataannya dia kayak gitu. Soalnya kantor itu kan tim. nggak cuma satu divisi doang. Semuanya bersinergi bukan?”

“Iya lah. Logika gampangnya, kalau kantor lo nggak ada pemasukan, si finance sama accounting mau ngitung dan ngurus apaan? Disana peran marketing, customer service dan sales itu besar banget buat ngehasilin duit. Jadi nggak bisa itu peran satu divisi lebih tinggi dari divisi lain. Semua setara dan semuanya harus kerjasama biar kantor jadi tim yang kuat dan punya nama diluar sana.”

“Nah iya kan. Gue juga mikir begitu. percuma aja ada finance kalo nggak ada duit masuk ya kan? Haha.”

“Beg* juga kadang-kadang ya orang yang mikir gitu, Mi. Tapi emang biasanya didunia kerja, orang yang mikir superior itu ada sih. Dengan pola pikir begini ini yang bikin mereka stuck dikarir pekerjaan mereka. Karena berpikirnya sempit dan nggak menyeluruh. Sedangkan kalau lo mau jadi petinggi, kan kepentingan yang harus lo pikirin nggak cuma terfokus satu doang. Itu sebabnya kita ngenal namanya rapat pleno, atau rapat koordinasi. Tujuannya ya biar sinkron semua divisinya dan tingkat kedalaman pekerjaannya bisa diatur supaya hasilnya maksimal.”

“Itu dia. aneh banget asli. Oh iya Zy. Gue mau kasih tau ini dari lama sebenernya. Tapi kemarin ini kan kita nggak kontak-kontakan.”

“Kasih tau apaan Mi?”

“Gue udah naik jadi manajer GA. Tapi…”

“Wah alhamdulillah, selamat dong. Gue tau lo itu pasti bisa, Mi. tapi kenapa tu? Lanjutin.”

“Iya pekerjaan gue juga ngurus HR. Gue nggak punya pengalaman apalagi pendidikan yang berhubungan sama HR Zy. Ujugnnya, segala pekerjaan gue di GA yang banyak dipuji sama temen-temen gue jadi nggak keliatan sama Kak Irawan. Dia bilangnya gue nggak bagus nanganin pekerjaan ini.”

“Lah gimana si Irawan? Dia mestinya rekrut yang dari lulusan HR, psikologi atau komunikasi mungkin. Kalo lo ya jelas nggak bisa. Lo kan nggak ada pengalaman dan nggak ada urusannya sama sekali dengan HR. tapi ya biasa deh, kebiasaan orang. Kalo ada yang jelek, yang diinget yang jeleknya. Sedangkan prestasinya langsung luntur semua.”

“Nggak cuma itu aja Zy. Tapi gue juga di GA berasa jadi babu. Kalau misalnya ada tamu gitu, yang bikin minuman gue, yang nyuciin juga gue setelahnya. Terus kemarin ini gue baru bantu-bantu pindahin barang-barang di gudang karena itu gudang mau dibikin jadi mushola. Masa semuanya gue? lah gue kan disana sebagai GA bukan OB.”

“Waduh kalo gitu lo mesti minta kejelasan jobdesk dulu sama dia Mi. bahaya kalo kayak gitu terus. Emang dia nggak ada niatan buat ngerekrut OB gitu?”

“Kayaknya mau sih dia ngerekrut OB. Tapi nggak tau juga. lagi males gue urusan sama Kak Irawan. Gue jadinya sekarang suka lembur karena nggak kepegang sama gue kerjaan segitu banyak. Dan katanya sih Kak Irawan mau ngerekrut HRD yang beneran, soalnya melihat kinerja gue yang dikata nggak bagus menurut dia Zy.”

“Bentar, gue tebak, nanti dia pasti mau ngerekrut orang-orang yang deket sama dia deh? Istilahnya orang-orang yang ada di ring satu-nya Irawan yang direkrut. Soalnya tipikal start-upsih Mi, walaupun nggak semuanya begitu, tapi gue yakin Irawan ngerekrut orang yang lulusan universitas negeri keren kecuali kampus kita dan lulusan kampus negeri di jawa tengah itu, terus kalo swasta yang isinya banyak anak orang tajir yang ortunya punya koneksi. Terus lagi, kalau yang udah punya pengalaman kerja pasti yang direkrut yang pernah kerja, minimal magang diperusahaan yang dianggap keren oleh pegiat start up, kayak McKinsey, Nielsen, Goldman Sachs, BCG, gitu-gitu deh pasti. Finalnya, orang-orang ini pasti bakalan ada diposisi atas-atas, diatas lo semua yang udah ada sebelumnya di kantor itu. Bener nggak tebakan gue?”

“Bener banget-banget Zy. Kok lo tau sih? Kebaca banget ya itu? Tipikal banget ya?”

“Ya emang pergerakan begitu. udah gitu nanti kalo minta gaji nggak kira-kira. VC (Venture Capital) ngasih duitnya gila-gilaan di pendanaan tahap awal, tapi harusnya nggak berarti semua minta gaji gede padahal cuma modal pernah magang diperusahaan gede dan lulusan kampus bonafid karena punya duit bukannya pinter, malah di iyain. Kasian lulusan-lulusan negeri tapi lempeng jalannya (nggak ada koneksi orang tua ataupun anak-anak beasiswa), jadi kesempatan kerjanya sempit gara-gara perekrutan model begini.”

“Iya, sekarang udah mulai ada yang begitu dikantor gue Zy. Dan bener, dia pernah magang di McKinsey beberapa bulan. Lulusan swasta tajir juga sih. Plus dia keturunan bule juga.”

“Ha? Apa urusannya keturunan bule Mi?”

“Kita itu kan kalau ada hubungannya sama bule tingkat ketertarikannya pasti meningkat Zy. Lo sendiri juga suka bilang kan? Contoh, artis selebriti gitu, akting jelek nggak masalah asal ada bule-bulenya. Di pekerjaan kayak gini juga sama Zy.”

“Oh iya ya? gue pikir dunia hiburan doang yang begitu. hahaha. Geblek yak. Suseh emang mau intelek kayak apapun, mentalnya tetep mental terjajah. Payah banget lah. Hahaha.”

Pembahasan gue soal kantor start up tempat Emi bekerja ini sangatlah banyak gue bahas sampai nggak terasa sudah dekat kerumah gue. Gue dan Emi memang bercita-cita membangun perushaan sendiri, tentunya memanfaatkan kemampuan public speaking gue berpadu dengan kemampuan kreatif otak Emi. Emi adalah orang yang kurang bisa menyampaikan, sementara gue sangat percaya diri ketika berbicara didepan banyak orang. Gue rasa, perpaduan ini akan sangat pas untuk memulai sebuah usaha.

Pembahasan ini lancar-lancar aja keluar dari mulut Emi. tapi ketika pembahasan sudah merujuk pada hubungan kami berdua, Emi diam seribu bahasa. Gue masih merasa Emi masih bingung dan ragu. Nggak apa-apa, gue akan beri dia waktu untuk berpikir sebelum membuat keputusan.

“Adik kamu udah ngehubungin aku kemarin ini terkait sama persiapan acara lamarannya.” Emi kembali berbicara.

“Hah? Apaan?”

“Iya, aku udah bilang juga sebenernya bakalan dateng. Terlepas dari apa yang terjadi sama hubungan kita Zy.”

“Ah elah, t*i. kebiasaan banget sih adik gue itu. Kalau mau bertindak nggak pake kompromi dulu sama gue.”

Gue kesal bukan main dengan sikap adik gue itu. Rencana gue untuk kembali bersama Emi bisa benar-benar rusak. Inilah yang gue takutkan juga. Momen gue mengajak Emi balikan yang dekat sekali dengan rencana lamaran ini malah bisa menimbulkan asumsi baru, sesuai dengan gue takutkan. Takutnya Emi malah merasa, gue mengajak dia balik karena biar dia mau bantu acara adik gue. padahal nggak ada hubungannya sama sekali.

Disini pula gue jadi merasa agak antipati sama keluarga gue sendiri. Disatu sisi mereka nggak terlalu suka gue berhubungan dengan Emi. tapi disisi lain, Emi diminta bantuannya untuk mengurus lamaran. Bahkan waktu prewed aja sikap mereka nggak terlalu welcome dengan Emi, tapi Emi diminta bantuannya juga. dan ketika gue membicarakan hal ini dengan Mama atau Dania, berujung pasti ribut karena dianggapnya gue selalu membela Emi.

Posisi gue dirumah pun seperti tidak kuat karena ketidakjelasan gue dalam memilih pekerjaan gue. Entah kenapa Mama jadi mulai berpikiran seperti itu. Hal ini menimbulkan terlalu banyak drama nggak penting antara gue dengan Mama dan juga adik gue sendiri. Intinya sih sebenarnya Mama nggak mau melihat gue bekerja suka-sukanya seperti itu. Gue nggak bekerja suka-sukanya padahal.
yudhiestirafws
namikazeminati
khodzimzz
khodzimzz dan 23 lainnya memberi reputasi
24
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.