- Beranda
- Stories from the Heart
Mengenangmu
...
TS
yus.mnrg
Mengenangmu
Kalau dulu orang bisa saja bertemu jodohnya lewat berkirim surat, atau via sms karena salah sambung, tidak heran jika saat ini banyak orang yang bertemu jodohnya via media sosial ataupun aplikasi-aplikasi yang memang dipertujukan untuk hal tersebut seperti sekarang yang banyak di jumpai.
Spoiler for :
Spoiler for lagu kenangan:
https://youtu.be/07Dn-KDS-ag
Beberapa tahun lalu, waktu saya masih duduk di bangku menengah atas, saya bertemu dengan seseorang melalui sebuah media sosial yang saat itu sedang hits. Namanya John. Orang seberang pulau dimana kotanya dikenal selalu sejuk. Awalnya kami hanya saling sering bertukar komentar, tidak ada yang spesial dan semua hanya candaan receh biasa. Tapi karena begitu intens, hal tersebut rasanya jadi sesuatu yang pantang untuk di lewatkan di sela-sela aktifitas saya. Karena merasa sudah cukup akrab, beberapa obrolan kita pun beralih ke pesan pribadi yang bisa ditebak berakhir dengan saling bertukar nomer telepon.
Singkatnya entah bagaimana dan siapa yang memulai, kami bersepakat untuk berpacaran walau saat itu belum pernah bertatap muka. Bukan waktu yang singkat kalau dihitung-hitung mulai dari kami tidak sengaja bertemu di kolom komentar sampai akhirnya memutuskan menjalin hubungan, kurang lebih dua tahun prosesnya. Empat tahun penuh drama putus nyambung, tapi kami selalu berakhir bersama kembali. Iya, selama empat tahun itu juga kami belum pernah bertemu secara langsung. Hanya teknologi yang menghubungkan dua hati kami yang terbentang jarak.
John orang yang sederhana, baik, apa adanya dan tidak pernah bermanis-manis kata seperti kebanyakan pria yang pernah mendekati saya. Serta orang yang cerdas dan penuh kejutan. Banyak kemampuan yang dia kuasai seiring waktu saya mengenalnya. Kemampuannya bermain gitar tidak usah diragukan lagi. Dan yang membuat saya cukup tercengang adalah dia memiliki ketertarikan serta kemampuan dibidang programming. Padahal sekolahnya hanya sampai di bangku SD saja (ini saya ketahui setelah sekian lama ia berkelit tiap kali saya tanya latar belakang pendidikannya). Tak jarang banyak yang datang ke rumah John untuk minta bantuannya dalam hal tugas kuliah maupun kendala pada perangkat gawai mereka.
Setiap kali mengobrol dengannya, kami tidak pernah kehabisan topik untuk dibahas. Padahal saya tergolong orang yang buruk dalam membuat topik pembicaraan. Entah itu musik, anime, lirik lagu, film bahkan sampai kucing peliharaan tetangga. Semua hal menjadi menarik kalau sudah diperbincangkan dengan John. Tapi gak melulu kami mengobrol saat jaringan telepon saling terhubung. Kadang kala kami hanya diam dan saling sibuk dengan kegiatan masing-masing atau saling memandang dalam diam melalui teknologi panggilan video. Kemudian saling senyum lalu tertawa. Ahh iya sesederhana itu jatuh cinta dan melewati hari-hari bersamanya.
Pernah suatu waktu dia menelpon saat saya sedang makan. Kemudian mengalun melodi gitar bernuansa musik timur tengah, “Biar kamu berasa makan di restoran Arab hehe”. Aku hanya tertawa dan menikmati alunan petikan senar yang dimainkannya. Atau pernah juga suatu waktu di tengah malam saya terjaga kemudian meneleponnya. Tapi karena pulsa dan paket telepon tidak mendukung, maka panggilan harus terputus. Sebelum panggilan berakhir John berpesan, “Kamu jangan bobo dulu yaa tunggu sebentar”. Ternyata tengah malam John keluar rumah dan berjalan menyusuri pematang sawah hanya untuk mengisi pulsa. Iya, rumahnya memang agak jauh dari pusat keramaian dan jalan menuju rumahnya dikenal angker. Dia tetap nekat buat jalan kedepan sekedar mengisi pulsa. Padahal setelah dia mengisi pulsa saya malah ketiduran hingga pagi dan meninggalkan beberapa panggilan tak terjawab darinya dipagi berikutnya.
Selain itu John juga orang yang cukup sabar. Pernah entah bagaimana awalnya dia malah mengajari saya memainkan rekorder. Saya yang buta memainkan alat musik ini berhasil memainkan sebuah lagu dengan nada sederhana menggunakan rekorder berbekal petunjuk dari John. Walau berkali-kali terdengar sumbang, tapi dia dengan sabar mengajari saya.
Hingga diakhir tahun 2017, setitik embun sejuk seperti menerpa hubungan kami. John diterima bekerja disebuah kantor pusat data dan informasi sebuah perusahaan farmasi di Jakarta atas bantuan seorang temannya. Tentu saya sangat bahagia karena setelah sekian lama bersama, akhirnya kami punya gambaran jelas untuk masa depan kami walau ini masih bisa dibilang terlalu awal. Selama bertahun-tahun bersamanya dengan pekerjaan serabutan tidak jelas akhirnya dia mendapatkan pekerjaan yang cukup layak dan relevan dengan kemampuannya walau dengan ijazah seadanya.
Pekerjaannya mengharuskan John tinggal disebuah kamar kos di Jakarta dekat dengan kantornya. Beruntung, pekerja sebelumnya yang bekerja dikantor yang sama, mewarisi John kamar lamanya beserta beberapa perlengkapan. Tentu itu sangat memberi kemudahan dan keringanan bagi John mengingat kondisi finansialnya yang kurang baik.
Sejak bekerja di kantor tersebut, kami bahkan makin intens berkomunikasi. Bahkan pagi-pagi sekali John akan menanyakan saya perihal baju mana yang harus dia pakai untuk berangkat bekerja. Tak jarang saya juga menemaninya hingga larut malam jika dia kebagian shift dua. Sepulang dari kantor biasanya dia akan singgah membeli nasi goreng yang mangkal di pinggir jalan. Atau dengan riangnya John akan menceritakan hari-harinya dan pengalaman barunya kepada saya.
Hingga memasuki bulan kedua di tahun 2018, John mengeluh demam setiap malam. Awalnya kami mengira itu adalah gejala penyakit tipus yang pernah dideritanya bertahun yang lalu. Kemudian John pulang kerumahnya diakhir minggu untuk berobat. Demamnya sempat membaik namun tidak sembuh sepenuhnya. Badannya kian habis secara drastis hanya dalam waktu singkat. Bulan berikutnya, ia kembali berobat dengan melakukan beberapa tes lab dan rontgen. Hasilnya mengejutkan. John divonis mengidap penyakit TBC.
Saya begitu terpukul dan sulit untuk percaya.Setiap kali melihatnya melalui panggilan video, tidak ada kata yang mampu keluar. Selalu saja saya menangis melihatnya dan itu membuatnya begitu marah. Beberapa teman yang berlatar belakang tenaga medis meyakinkan saya bahwa penyakit tersebut bisa sembuh. Saya pun mulai bangkit dan merasa yakin semua akan baik-baik saja pada akhirnya.
Namun tidak dengan John, vonis penyakit tersebut menguras kepercayaan dirinya hingga habis. Bahkan sekian lama kami menjalin hubungan, untuk kali pertama John meminta untuk menyudahi. Tentu saya menentang keras dan menolak dengan jelas. Berpuluh-puluh kali saya menelponnya namun selalu ia tolak. “Kita boleh putus asal kamu udah sembuh”. Pesan sms ku mulai kehabisan kata. Akhirnya dia pun luluh dan sedikit demi sedikit puing semangatnya ia kumpulkan kembali.
Hingga pertengahan bulan ketiga, pihak kantor meminta surat keterangan dokter dari John atas ketidakhadirannya beberapa hari belakangan. Melihat keterangan penyakit yang dideritanya, akhirnya pihak kantor mengambil kebijakan untuk merumahkan John selama enam bulan untuk menjalani perobatan. Singkatnya, John tidak bekerja lagi.
Tidak banyak yang kami bicarakan setiap kali saya menelpon. Bahkan bisa di bilang, komunikasi kami semakin berkurang kian hari. Tapi saya tak pernah surut untuk memberinya semangat untuk sembuh. Kian hari John terdengar kian lemah, bahkan beberapa kali menurutku dia agak berhalusinasi karena menceritakan hal yang “tidak wajar”. Yang kufikir itu hanya efek dari rasa depresi dan takut dari penyakit yang ia derita. Dan kian hari pula John semakin emosional. Entahlah, saya semakin gamang. Kadang kala, marahnya membuatku merasa sebagai pengganggu karena dia sedang butuh istirahat penuh.
Sampai hampir di akhir bulan keempat tahun itu, saya memutuskan untuk menyudahi hubungan kami. Karena saya merasa hanya menjadi seorang pengganggu tiap kali menelponnya. Yang seharusnya John butuh perhatian nyata. Bukan hanya sekedar pertanyaan basa-basi kala itu. Mungkin bisa dibilang itu hanya bentuk keegoisan saya saja yang mulai lelah dan tidak tahan dengan sikap emosional John kala itu. Saya mengiriminya kalimat pesan panjang lebar yang sekarang saya sadari itu tidaklah perlu. Saya blok semua nomer dan jalur komunikasi dengannya. Bukan untuk menghalanginya menghubungi saya tapi menahan jari jemari saya untuk berhenti mengganggunya. Karena John bukanlah orang yang akan minta keterangan atau apapun juga tiap kali saya minta putus. Dia akan cenderung diam.
Hingga kurang lebih tiga hari saya tidak berkomunikasi dengannya. Tentu rasa rindu telah memenuhi tiap celah di hati saya. Sore itu, awal bulan lima pukul tiga sore, untuk sedikit mengobati perasaan rindu saya, saya pun membuka akun media sosial milik John yang memang sejak lama saya tahu sandi untuk mengaksesnya. Hanya sekedar ingin mengetahui postingan terakhirnya bila ada. Walau saya tahu, John tidaklah begitu aktif lagi di dunia maya.
Bukan postingan lama seperti biasa yang saya temui di dalamnya. Bukan pula senda gurau John bersama teman-temannya di akun miliknya. Melainkan foto keranda yang ditutupi kain hijau dengan selembar kertas terkulai bertuliskan nama John lengkap diikuti dengan Bin oleh nama ayahnya. Serta ungkapan bela sungkawa dari para sahabatnya di kolom komentar.
Mengenangmu,
JJT ❤️
Spoiler for Lagu penutup:
nona212 dan 32 lainnya memberi reputasi
33
522
Kutip
6
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32KThread•44.9KAnggota
Tampilkan semua post
Richy211
#2
lagunya ost orange marmalade kah wkwkkw
pandukusumo memberi reputasi
1
Kutip
Balas
Tutup