- Beranda
- Stories from the Heart
CATATAN VIOLET
...
TS
drupadi5
CATATAN VIOLET

Perjalanan ini akan membawa pada takdir dan misteri hidup yang mungkin tak pernah terpikirkan.
Ketika sebuah kebetulan dan ketidaksengajaan yang kita sangkakan, ternyata adalah sebuah rencana tersembunyi dari hidup.
Bersiaplah dan arungi perjalananmu
Kota Kenangan1
Kota Kenangan 2
Ardi Priambudi
Satrya Hanggara Yudha
Melisa Aryanthi
Made Brahmastra Purusathama
Altaffandra Nauzan
Altaffandra Nauzan : Sebuah Insiden
Altaffandra Nauzan : Patah Hati
Altaffandra Nauzan : the man next door
Sepotong Ikan Bakar di Sore yang Cerah
Expired
Adisty Putri Maharani
November Rain
Before Sunset
After Sunrise
Pencundang, pengecut, pencinta
Pencundang, pengecut, pencinta 2
Time to forget
Sebuah Hadiah
Jimbaran, 21 November 2018
Lagi, sebuah kebaikan
Lagi, sebuah kebaikan 2
Perkenalan
Temanku Malam Ini
Keluarga
03 Desember 2018
Jimbaran, 07 Desember 2018
Looking for a star
Ketika daun yang menguning bertahan akan helaan angin
Pertemuan
BERTAHAN
Hamparan Keraguan
Dan semua berakhir
Fix you
One chapter closed, let's open the next one
Deja Vu
Deja Vu karena ingatan terkadang seperti racun
Karena gw lagi labil, tolong biarin gw sendiri...
Semua pasti berujung, jika kau belum menemukannya teruslah berjalan...
Kepercayaan, kejujuran, kepahitan...
Seperti karang yang tidak menyerah pada ombak...
Damar Yudha
I Love You
Perjanjian...
Perjanjian (2)
Christmas Eve
That Day on The Christmas Eve
That Day on The Christmas Eve (2)
That Day on The Christmas Eve (3)
Di antara
William Oscar Hadinata
Tentang sebuah persahabatan...
Waiting for me...
Kebohongan, kebencian, kemarahan...
Oh Mama Oh Papa
Showing me another story...
Menjelajah ruang dan waktu
Keterikatan
Haruskah kembali?
Kematian dan keberuntungan
The ambience of confusing love
The ambience of love
Kenangan yang tak teringat...
Full of pressure
Persahabatan tidak seperti kepompong
Menunggu, sampai nanti...
Catatan Violet 2 (end): Mari Jangan Saling Menepati Janji
Jakarta, 20 Juni 2019 Lupakanlah Sejenak
Menjaga jarak, menjaga hati
First lady, second lady...
Teman
Teman?
Saudara
Mantan
Mantan (2)
Pacar?
Sahabat
Diubah oleh drupadi5 14-05-2021 15:13
JabLai cOY dan 132 lainnya memberi reputasi
129
23.8K
302
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
drupadi5
#25
Jimbaran, 12 November 2018
Expired

Pagi-pagi sekali aku sudah sampai di kantor, sengaja biar jalanan tidak terlalu ramai. Sebelum mulai kerja, kubuat segelas teh dingin untuk menemani kerja nanti.
“Request kopi, dong!” Hampir saja aku menjatuhkan gelas yang kupegang karena kaget.
“Angga, kamu itu ngagetin aja!” protesku
“Hehehe sorry,” dia meraih gelas dari rak dan kemudian aku ambil alih untuk membuatkannya kopi
“Kamu ngapain kerja? Bukannya ntar harus ke rumah sakit? Wajah kamu juga masih lebam gitu," kataku.
“Ngga apa-apa, bosen di rumah sendirian, ntar bisalah ke rumah sakit pas istirahat siang.”
Aku hanya diam dan kosentrasi membuatkannya kopi. Setelah selesai, aku memberikan gelas itu padanya
“Sombong ya kamu?!” katanya tiba-tiba
“Hah?!” aku kaget dengan perkataannya
“Kenapa ga balas chat aku kemarin? Bilang mau bales tapi ga ada-ada.”
“Oh itu, sorry aku lagi di pasar kemarin.”
“Kamu ke pasar? Pasar mana?”
“Pasar ikan, di pantai…. Apa ya namanya kemarin…Kedongan, kayaknya.”
“Pantai Kedonganan,” ralatnya, “Kok bisa sampai sana? Tahu darimana?”
“Teman kostanku ngajakin ke sana, beli dan sekalian bakar ikan.”
“Oh….” Hanya itu jawabannya dan setelah itu dia hanya terdiam.
“Kerja dulu ya,” aku melewatinya keluar dari pantry
***
Minggu ini aku harus selesaikan target kerjaku untuk bulan ini, at least di minggu ketiga aku sudah harus setor laporan ke kantor pusat. Aku tidak suka kerja mendekati deadline, sebelum due date semua laporan harus selesai, ini prinsip kerjaku. Aku mulai mencicil mnegerjakannya. Aku masih memerlukan beberapa data dari divisinya Ardi untuk menyelesaikan laporanku bulan ini.
O ya, pagi ini juga sedikit heboh karena penampakan Hanggara dan Ardi. Ya tentu saja semua heboh melihat si bos dan Ardi muncul dengan tampang bonyok. Lebih-lebih Hanggara yang wajahnya luka-luka. Ardi dan Hanggara rupanya kompak mengarang cerita kalau mereka mendapat luka itu gara-gara berusaha menyelamatkan diri dari percobaan perampokan ketika acara dinner jumat malam kemarin. Hebat sekali mereka karena semua percaya dengan cerita pahlawan di siang bolong mereka itu. Kukirimkan sebuah pesan ke Ardi
Nice story. Pasti lo sutradaranya
Yang kemudian dibalasnya
Ide dan skenario oleh Satria Hanggaara Yudha
Aku hanya geleng-geleng kepala.
Konsentrasiku terusik lagi ketika ponselku berdenting tanda sebuah pesan masuk. Kulirik Ardi, dia sedang menelpon. Aku mengacuhkannya dan kembali konsentrasi ke laptopku. Semenit kemudian ponselku kembali berdenting. Akhirnya aku memutuskan melihat siapa yang mengirimkan pesan.
Cowok apa cewek?
Ntar ikut aku ke rumah sakit ya, sekalian aku traktir makan siang
Ternyata dari Hanggara. Aku melihat ke arah mejanya yang ada di balik pembatas kaca, dan pandanganku bertemu dengan matanya, dia mengisyaratkan sesuatu dengan matanya.
Kuketik balasan
Iya nanti aku temanin.
Baru saja aku hendak focus ke laptop, kembali ponselku berdenting
Pertanyaanku belum dijawab?
Pertanyaan yang mana?
Cewek apa cowok temen kamu?
Temen yang mana?
Yang pergi ke pasar bareng kamu
Oh… cowok. Kenapa? Ngarep cewek ya biar bisa kenalan? Ntar aku kenalin ke sepupuku aja
Balasku asal saja
Sama kamu aja
Udah ah, kerja dulu pak bos.
Tidak kupedulikan lagi apa balasannya.
Menjelang siang, satu persatu staff pada bubar buat makan siang.
“Vio, lo makan di mana?” tanya Ardi yang sepertinya akan pergi makan di luar
“Ntar aja gw makan. Blom laper.”
“Ya udah, gw mau keluar, lo mau nitip ga? Tapi gw balik abis istirahat siang.”
“Beliin es jeruk aja ya,” pintaku, “sama cemilan apa aja lah terserah lo hehehe.”
‘Iya iya, ada lagi?”
“Ga itu aja, bayarin ya?” pintaku lagi sambil pasang wajah memelas
“Iya iya!!!”
“Thanks Bossqu!” sahutku tersenyum puas.
Aku masih sibuk dengan laptopku ketika hampir semua orang sedang makan di luar atau di kebun belakang. Entah kenapa perutku sama sekali tidak lapar. Kerjaanku hari ini hampir selesai, tinggal dua halaman exel dari laporan Ardi yang perlu aku cek dan olah lagi.
“Jadi mau nganterin? Atau kamu masih sibuk?” ternyata Hanggara sudah ada di sampingku. Dan aku lupa janjiku tadi untuk nganterin dia ke rumah sakit.
“Jalan sekarang?” tanyaku
“Iya maunya, tapi kalau kamu masih sibuk, aku sendiri aja.”
Karena sudah berjanji maka harus aku tepati.
“Ayo, kalau gitu,” kataku lalu kemudian menutup laptopku.
“Mau makan dulu apa langsung ke rumah sakit?” tanyanya setelah kami berada di dalam mobilnya, begitu meluncur meninggalkan kantor.
“Aku terserah kamu aja, aku ga terlalu lapar, tapi kalau kamu lapar ya cari makan aja dulu,” sahutku
“Ok, kalau gitu ke rumah sakit aja dulu ya.”
Dia melajukan mobil menuju rumah sakit.
Perlu sekitar 2 jaman menyelesaikan urusan di rumah sakit. Jahitan luka Hanggara sudah di lepas, dan dia juga ngga perlu datang untuk kontrol lagi, kecuali ada hal-hal di luar perkiraan yang sekiranya berbahaya, seperti pendaharaan atau infeksi, barulah dianjurkan untuk diperiksa lagi.
Dari rumah sakit, dia mampir di rumah makan padang, membeli makan siang tapi dia memilih membungkusnya, aku pikir dia akan makan di kantor. Tapi ternyata dugaanku salah, dia melajukan mobilnya ke arah rumahnya.
“Kamu mau pulang?”
“Iya, makan di rumah aja, biar lebih tenang.” Sahutnya dengan tenang. Aku diam saja sampai kami tiba di rumahnya.
Aku mengikutinya masuk ke dalam. Aku memilih langsung masuk ke dapur dan duduk di meja makan. Dia menyusul kemudian dengan membawa dua bungkusan nasi, meletakkanya di atas meja, lalu mengambil dua piring beserta sendoknya. Satu di berikannya padaku dan satu lagi untuknya.
“Ga apa-apa kan makan di sini?” tanyanya. Terlambat sekali pertanyaannya itu.
“Ya ga apa-apa, sudah terlanjur di sini juga.” Sahutku sambil membuka bungkusan nasi.
“Mau minum apa?” tanyanya
“Udah kamu makan aja, ntar aku ambil sendiri,” sahutku.
Sesaat lamanya kami hanya terdiam, hanya denting sendok di piring yang terdengar. Sampai akhirnya dia bicara lagi.
“Kemarin Adisty nelpon aku lagi.”
“Oh ya? Trus dia bilang apa?”
“Dia bilang… semuanya terjadi, di luar kendali dia, katanya mereka sama-sama ga sadar, jadi kejadian itu bukan keinginan mereka.”
“Trus, kamu bilang apa?”
Dia menarik nafas panjang dan meneguk minumannya sebelum menjawabku
“Aku bilang, kalau aku hanya percaya dengan apa yang kulihat. Selain itu, aku ga mau tahu.” Dia terdiam lagi. “Aku langsung menutup telponnya, aku ga mau berurusan lagi dengannya.”
“Kamu tahu gimana cewek kamu itu? Maksudku apa dia memang tipe seperti itu?”
“Hm… aku kenal dia selama aku kuliah di Aussie dan yang aku tahu dia cewek baik-baik, tapi setelah aku balik ke Bali lagi, aku ngga tahu gimana pergaulannya di sana, apa mungkin karena itu dia jadi berubah, aku juga ngga tahu.”
“Apa mungkin dia seperti itu karena kamu?” tanyaku hati-hati
“Maksudmu?”
“Terkadang orang bereaksi karena ada sesuatu yang menstimulasi. Apa mungkin karena kamu terlalu sibuk kerja, kamu jadi ga terlalu perhatian lagi dengannya, dan ditambah kalian LDR an….”
“Aku harus gimana lagi? Aku kerja untuk masa depan aku dan dia, aku beri dia perhatian tapi entah sesuai expektasi dia atau ngga. Aku pernah bilang sama dia, tolong bertahan kalau memang dia ingin bangun hubungan yang serius, aku juga pernah bilang ke dia, aku serius dan tidak main-main dengannya. Apa itu tidak cukup untuk meyakinkan? Coba sekarang, seandainya kamu yang di posisinya dan aku bilang seperti itu dari awal, apa kamu belum cukup teryakinkan?”
Aku terdiam, tapi dalam hati aku membatin, tidak akan pernah ada kata cukup, yang dibutuhkan adalah pembuktian bukan hanya sekedar perkataan.
Aku tidak ingin memperkeruh keadaan, “Ya sudah, yang jelas kamu harus selesaikan semua dengan baik-baik. Jangan ada ribut-ribut lagi. Emang sih aku ngga akan bisa sepenuhnya menegerti apa yang kamu rasakan, tapi aku ngerti rasanya sakit hati. Rasanya pengen ngamuk kalau sampai liat orangnya,” ujarku tertawa kecil membayangkan apa yang selama ini aku rasakan.
“Kamu sakit hati karena apa?” tanyanya memandangku
Aku tersenyum kecil, “sekarang ini kita lagi bahas masalahmu, ok!”
Dia tertawa tergelak. “it was me. Now is your turn.”
“Sorry, I don’t have any problem to be talked."
Dia tertawa berderai. “Sama sekali ga boleh tahu ya?”
“Bilang apa Ardi ke kamu?” tanyaku
“tentang apa?”
“Tentang aku?”
“Kalau tentang aku, dia bilang apa?” tanyanya balik. Aku menghela nafas panjang, yang disambut dengan senyumannya yang seperti menggodaku.
“Malam itu di rumah sakit waktu kamu, entah tidur atau ga sadar karena mabuk, dia bilang kalau kamu OTT cewek kamu tidur bareng temen bulenya. Trus, kamu ketemu si cowok di night club bareng cewek lain, trus kamu ngamuk.” Dia terdiam tapi wajahnya masih menyimpan senyum.
“Aku boleh nanya?” tanyaku lagi. Dia hanya diam memandangku dan dari sorot matanya kutahu kalau dia tidak keberatan dengan pertanyaanku.
“Kamu mukul itu cowok karena apa? Karena marah dia sudah tidur sama Adisty atau marah karena dia bermesraan dengan cewek lain yang pastinya bakalan nyakitin Adisty?”
Dia diam sejenak. “Kenapa kamu nanyain itu?”
Lagi-lagi aku menghela nafas, melepaskan kesal. “Bisa ngga sih, kalau ditanya itu dijawab, bukannya balik nanya!!” Kembali dia tertawa tergelak. Aku berdiri dari dudukku dan merapikan alat-alat bekas makanku dan Hanggara.
“Ayo balik kantor!” ajakku ketika aku sudah selesai membereskan semua.
“Lho kok balik? Tadi katanya minta jawaban.” Balasnya dengan senyum menggoda.
“Ilang minat gw!” sahutku acuh, menyambar tasku yang tergeletak di meja makan, dan tanpa menunggu Hanggara, aku bergegas keluar dari rumahnya menuju mobilnya yang diparkir di luar.
***
“Aku marah dengan keduanya, ya cowok itu ya Adisty juga. Terlebih dengan Adisty, sebenernya bukan marah sih, kecewa, lebih tepatnya.” Kata Hanggara tanpa kuminta ketika kami meluncur kembali ke kantor.
“Kecewa itu statusnya lebih tinggi dari marah,” sahutku.
“Dan kamu juga ngerasain kecewa, kan?Makanya kamu bisa bilang begitu,” tanyanya yang membuatku bungkam.
“Mas Ardi cerita ke aku kalau kamu lagi susah move on, masih sakit hati, masih kecewa sama mantan kamu yang bilangnya pergi dinas kerja tapi malah ga pernah ngasi kabar lagi. Sudah jadi mantan atau masih digantung?”
Darahku mendidih!! Buat apa Ardi cerita masalahku ke Hanggara. Sialan tu orang.
“Udah expired, tinggal di buang aja,” sahutku datar. Tinggal dikit lagi sampai kantor, sungguh aku ga mau bahas ini dengannya.
Dia tersenyum tanpa berkomentar lagi. Mobilnya memasuki halaman depan kantor. Sebelum aku hendak membuka pintu, dengan cepat dia menarik tanganku, membuatku menatapnya, protes.
“Bener-bener sudah di buang kan?” tanyanya menatapku serius, “atau… akan dibuang?”
“Akan dibuang,” sahutku menantang matanya
“Kapan?”
“Bukan urusanmu!”

Pagi-pagi sekali aku sudah sampai di kantor, sengaja biar jalanan tidak terlalu ramai. Sebelum mulai kerja, kubuat segelas teh dingin untuk menemani kerja nanti.
“Request kopi, dong!” Hampir saja aku menjatuhkan gelas yang kupegang karena kaget.
“Angga, kamu itu ngagetin aja!” protesku
“Hehehe sorry,” dia meraih gelas dari rak dan kemudian aku ambil alih untuk membuatkannya kopi
“Kamu ngapain kerja? Bukannya ntar harus ke rumah sakit? Wajah kamu juga masih lebam gitu," kataku.
“Ngga apa-apa, bosen di rumah sendirian, ntar bisalah ke rumah sakit pas istirahat siang.”
Aku hanya diam dan kosentrasi membuatkannya kopi. Setelah selesai, aku memberikan gelas itu padanya
“Sombong ya kamu?!” katanya tiba-tiba
“Hah?!” aku kaget dengan perkataannya
“Kenapa ga balas chat aku kemarin? Bilang mau bales tapi ga ada-ada.”
“Oh itu, sorry aku lagi di pasar kemarin.”
“Kamu ke pasar? Pasar mana?”
“Pasar ikan, di pantai…. Apa ya namanya kemarin…Kedongan, kayaknya.”
“Pantai Kedonganan,” ralatnya, “Kok bisa sampai sana? Tahu darimana?”
“Teman kostanku ngajakin ke sana, beli dan sekalian bakar ikan.”
“Oh….” Hanya itu jawabannya dan setelah itu dia hanya terdiam.
“Kerja dulu ya,” aku melewatinya keluar dari pantry
***
Minggu ini aku harus selesaikan target kerjaku untuk bulan ini, at least di minggu ketiga aku sudah harus setor laporan ke kantor pusat. Aku tidak suka kerja mendekati deadline, sebelum due date semua laporan harus selesai, ini prinsip kerjaku. Aku mulai mencicil mnegerjakannya. Aku masih memerlukan beberapa data dari divisinya Ardi untuk menyelesaikan laporanku bulan ini.
O ya, pagi ini juga sedikit heboh karena penampakan Hanggara dan Ardi. Ya tentu saja semua heboh melihat si bos dan Ardi muncul dengan tampang bonyok. Lebih-lebih Hanggara yang wajahnya luka-luka. Ardi dan Hanggara rupanya kompak mengarang cerita kalau mereka mendapat luka itu gara-gara berusaha menyelamatkan diri dari percobaan perampokan ketika acara dinner jumat malam kemarin. Hebat sekali mereka karena semua percaya dengan cerita pahlawan di siang bolong mereka itu. Kukirimkan sebuah pesan ke Ardi
Nice story. Pasti lo sutradaranyaYang kemudian dibalasnya
Ide dan skenario oleh Satria Hanggaara Yudha
Aku hanya geleng-geleng kepala.
Konsentrasiku terusik lagi ketika ponselku berdenting tanda sebuah pesan masuk. Kulirik Ardi, dia sedang menelpon. Aku mengacuhkannya dan kembali konsentrasi ke laptopku. Semenit kemudian ponselku kembali berdenting. Akhirnya aku memutuskan melihat siapa yang mengirimkan pesan.
Cowok apa cewek?
Ntar ikut aku ke rumah sakit ya, sekalian aku traktir makan siang Ternyata dari Hanggara. Aku melihat ke arah mejanya yang ada di balik pembatas kaca, dan pandanganku bertemu dengan matanya, dia mengisyaratkan sesuatu dengan matanya.
Kuketik balasan
Iya nanti aku temanin.Baru saja aku hendak focus ke laptop, kembali ponselku berdenting
Pertanyaanku belum dijawab?
Pertanyaan yang mana?
Cewek apa cowok temen kamu?
Temen yang mana?
Yang pergi ke pasar bareng kamu
Oh… cowok. Kenapa? Ngarep cewek ya biar bisa kenalan? Ntar aku kenalin ke sepupuku ajaBalasku asal saja
Sama kamu aja
Udah ah, kerja dulu pak bos.Tidak kupedulikan lagi apa balasannya.
Menjelang siang, satu persatu staff pada bubar buat makan siang.
“Vio, lo makan di mana?” tanya Ardi yang sepertinya akan pergi makan di luar
“Ntar aja gw makan. Blom laper.”
“Ya udah, gw mau keluar, lo mau nitip ga? Tapi gw balik abis istirahat siang.”
“Beliin es jeruk aja ya,” pintaku, “sama cemilan apa aja lah terserah lo hehehe.”
‘Iya iya, ada lagi?”
“Ga itu aja, bayarin ya?” pintaku lagi sambil pasang wajah memelas
“Iya iya!!!”
“Thanks Bossqu!” sahutku tersenyum puas.
Aku masih sibuk dengan laptopku ketika hampir semua orang sedang makan di luar atau di kebun belakang. Entah kenapa perutku sama sekali tidak lapar. Kerjaanku hari ini hampir selesai, tinggal dua halaman exel dari laporan Ardi yang perlu aku cek dan olah lagi.
“Jadi mau nganterin? Atau kamu masih sibuk?” ternyata Hanggara sudah ada di sampingku. Dan aku lupa janjiku tadi untuk nganterin dia ke rumah sakit.
“Jalan sekarang?” tanyaku
“Iya maunya, tapi kalau kamu masih sibuk, aku sendiri aja.”
Karena sudah berjanji maka harus aku tepati.
“Ayo, kalau gitu,” kataku lalu kemudian menutup laptopku.
“Mau makan dulu apa langsung ke rumah sakit?” tanyanya setelah kami berada di dalam mobilnya, begitu meluncur meninggalkan kantor.
“Aku terserah kamu aja, aku ga terlalu lapar, tapi kalau kamu lapar ya cari makan aja dulu,” sahutku
“Ok, kalau gitu ke rumah sakit aja dulu ya.”
Dia melajukan mobil menuju rumah sakit.
Perlu sekitar 2 jaman menyelesaikan urusan di rumah sakit. Jahitan luka Hanggara sudah di lepas, dan dia juga ngga perlu datang untuk kontrol lagi, kecuali ada hal-hal di luar perkiraan yang sekiranya berbahaya, seperti pendaharaan atau infeksi, barulah dianjurkan untuk diperiksa lagi.
Dari rumah sakit, dia mampir di rumah makan padang, membeli makan siang tapi dia memilih membungkusnya, aku pikir dia akan makan di kantor. Tapi ternyata dugaanku salah, dia melajukan mobilnya ke arah rumahnya.
“Kamu mau pulang?”
“Iya, makan di rumah aja, biar lebih tenang.” Sahutnya dengan tenang. Aku diam saja sampai kami tiba di rumahnya.
Aku mengikutinya masuk ke dalam. Aku memilih langsung masuk ke dapur dan duduk di meja makan. Dia menyusul kemudian dengan membawa dua bungkusan nasi, meletakkanya di atas meja, lalu mengambil dua piring beserta sendoknya. Satu di berikannya padaku dan satu lagi untuknya.
“Ga apa-apa kan makan di sini?” tanyanya. Terlambat sekali pertanyaannya itu.
“Ya ga apa-apa, sudah terlanjur di sini juga.” Sahutku sambil membuka bungkusan nasi.
“Mau minum apa?” tanyanya
“Udah kamu makan aja, ntar aku ambil sendiri,” sahutku.
Sesaat lamanya kami hanya terdiam, hanya denting sendok di piring yang terdengar. Sampai akhirnya dia bicara lagi.
“Kemarin Adisty nelpon aku lagi.”
“Oh ya? Trus dia bilang apa?”
“Dia bilang… semuanya terjadi, di luar kendali dia, katanya mereka sama-sama ga sadar, jadi kejadian itu bukan keinginan mereka.”
“Trus, kamu bilang apa?”
Dia menarik nafas panjang dan meneguk minumannya sebelum menjawabku
“Aku bilang, kalau aku hanya percaya dengan apa yang kulihat. Selain itu, aku ga mau tahu.” Dia terdiam lagi. “Aku langsung menutup telponnya, aku ga mau berurusan lagi dengannya.”
“Kamu tahu gimana cewek kamu itu? Maksudku apa dia memang tipe seperti itu?”
“Hm… aku kenal dia selama aku kuliah di Aussie dan yang aku tahu dia cewek baik-baik, tapi setelah aku balik ke Bali lagi, aku ngga tahu gimana pergaulannya di sana, apa mungkin karena itu dia jadi berubah, aku juga ngga tahu.”
“Apa mungkin dia seperti itu karena kamu?” tanyaku hati-hati
“Maksudmu?”
“Terkadang orang bereaksi karena ada sesuatu yang menstimulasi. Apa mungkin karena kamu terlalu sibuk kerja, kamu jadi ga terlalu perhatian lagi dengannya, dan ditambah kalian LDR an….”
“Aku harus gimana lagi? Aku kerja untuk masa depan aku dan dia, aku beri dia perhatian tapi entah sesuai expektasi dia atau ngga. Aku pernah bilang sama dia, tolong bertahan kalau memang dia ingin bangun hubungan yang serius, aku juga pernah bilang ke dia, aku serius dan tidak main-main dengannya. Apa itu tidak cukup untuk meyakinkan? Coba sekarang, seandainya kamu yang di posisinya dan aku bilang seperti itu dari awal, apa kamu belum cukup teryakinkan?”
Aku terdiam, tapi dalam hati aku membatin, tidak akan pernah ada kata cukup, yang dibutuhkan adalah pembuktian bukan hanya sekedar perkataan.
Aku tidak ingin memperkeruh keadaan, “Ya sudah, yang jelas kamu harus selesaikan semua dengan baik-baik. Jangan ada ribut-ribut lagi. Emang sih aku ngga akan bisa sepenuhnya menegerti apa yang kamu rasakan, tapi aku ngerti rasanya sakit hati. Rasanya pengen ngamuk kalau sampai liat orangnya,” ujarku tertawa kecil membayangkan apa yang selama ini aku rasakan.
“Kamu sakit hati karena apa?” tanyanya memandangku
Aku tersenyum kecil, “sekarang ini kita lagi bahas masalahmu, ok!”
Dia tertawa tergelak. “it was me. Now is your turn.”
“Sorry, I don’t have any problem to be talked."
Dia tertawa berderai. “Sama sekali ga boleh tahu ya?”
“Bilang apa Ardi ke kamu?” tanyaku
“tentang apa?”
“Tentang aku?”
“Kalau tentang aku, dia bilang apa?” tanyanya balik. Aku menghela nafas panjang, yang disambut dengan senyumannya yang seperti menggodaku.
“Malam itu di rumah sakit waktu kamu, entah tidur atau ga sadar karena mabuk, dia bilang kalau kamu OTT cewek kamu tidur bareng temen bulenya. Trus, kamu ketemu si cowok di night club bareng cewek lain, trus kamu ngamuk.” Dia terdiam tapi wajahnya masih menyimpan senyum.
“Aku boleh nanya?” tanyaku lagi. Dia hanya diam memandangku dan dari sorot matanya kutahu kalau dia tidak keberatan dengan pertanyaanku.
“Kamu mukul itu cowok karena apa? Karena marah dia sudah tidur sama Adisty atau marah karena dia bermesraan dengan cewek lain yang pastinya bakalan nyakitin Adisty?”
Dia diam sejenak. “Kenapa kamu nanyain itu?”
Lagi-lagi aku menghela nafas, melepaskan kesal. “Bisa ngga sih, kalau ditanya itu dijawab, bukannya balik nanya!!” Kembali dia tertawa tergelak. Aku berdiri dari dudukku dan merapikan alat-alat bekas makanku dan Hanggara.
“Ayo balik kantor!” ajakku ketika aku sudah selesai membereskan semua.
“Lho kok balik? Tadi katanya minta jawaban.” Balasnya dengan senyum menggoda.
“Ilang minat gw!” sahutku acuh, menyambar tasku yang tergeletak di meja makan, dan tanpa menunggu Hanggara, aku bergegas keluar dari rumahnya menuju mobilnya yang diparkir di luar.
***
“Aku marah dengan keduanya, ya cowok itu ya Adisty juga. Terlebih dengan Adisty, sebenernya bukan marah sih, kecewa, lebih tepatnya.” Kata Hanggara tanpa kuminta ketika kami meluncur kembali ke kantor.
“Kecewa itu statusnya lebih tinggi dari marah,” sahutku.
“Dan kamu juga ngerasain kecewa, kan?Makanya kamu bisa bilang begitu,” tanyanya yang membuatku bungkam.
“Mas Ardi cerita ke aku kalau kamu lagi susah move on, masih sakit hati, masih kecewa sama mantan kamu yang bilangnya pergi dinas kerja tapi malah ga pernah ngasi kabar lagi. Sudah jadi mantan atau masih digantung?”
Darahku mendidih!! Buat apa Ardi cerita masalahku ke Hanggara. Sialan tu orang.
“Udah expired, tinggal di buang aja,” sahutku datar. Tinggal dikit lagi sampai kantor, sungguh aku ga mau bahas ini dengannya.
Dia tersenyum tanpa berkomentar lagi. Mobilnya memasuki halaman depan kantor. Sebelum aku hendak membuka pintu, dengan cepat dia menarik tanganku, membuatku menatapnya, protes.
“Bener-bener sudah di buang kan?” tanyanya menatapku serius, “atau… akan dibuang?”
“Akan dibuang,” sahutku menantang matanya
“Kapan?”
“Bukan urusanmu!”
Diubah oleh drupadi5 30-04-2020 14:24
JabLai cOY dan 6 lainnya memberi reputasi
7