Kaskus

Story

amyjk02Avatar border
TS
amyjk02
Jemari Amy (Kumpulan Cerpen Berbagai Genre)
Jemari Amy (Kumpulan Cerpen Berbagai Genre)


Wellcome to my imagine castle. Mau yang romantis? Ada. Mau yang horor? Ada juga. Mau yang sadis dan gore? Ada banget. Atau mau yang bikin ngakak? Ada juga, lho.

Selamat menikmati hasil kehaluan saya 🥰🥰



Jacka Taroob VS Vampire


Fantasi

Jemari Amy (Kumpulan Cerpen Berbagai Genre)






***

Aku merapatkan jaket, gemetar kedinginan. Tak peduli gelap dan jalanan licin, terus kubawa langkah menyusuri hutan. Sepi dan semakin dingin.

Terkejut ketika mataku menangkap sebuah kelebat bayangan. Bau anyir menguar, memenuhi hidung. Aku segera menggenggam senjataku dengan erat. Bersiap siaga. Kusembunyikan tubuh di balik pokok pohon besar dengan mata yang terus mengawasi sekitar.

Benar saja! Tidak jauh dari tempatku berdiri, dua makhluk berjubah hitam terbang rendah mengejar sesuatu.

"Tolong!" teriak seorang wanita yang terdengar panik dan ketakutan. Sementara pengejarnya semakin mendekat.

Aku membekap mulut melihat pemandangan di depanku. Dua lelaki bertubuh lebih besar dariku menerkam wanita yang tadi meminta tolong. Tubuh kecilnya tak berkutik ketika seorang di antara mereka menduduki perutnya. Sedangkan seorang lagi, menelungkup di atas tubuhnya. Aku memejamkan mata. Cukup ingatanku saja yang mengatakan apa yang selanjutnya terjadi.

"Apa ini yang terakhir?" Suara berat salah satu dari mereka bertanya.

"Tidak! Masih banyak. Mereka bersembunyi," jawab si penggigit.

Aku meremas tangan. Suara mereka mengingatkanku akan sebuah peristiwa memilukan setahun yang lalu.

Srak!

Aku keluar dari tempat persembunyian. Kutodongkan senjata ke arah mereka.

"Akhirnya aku menemukan kalian," ucapku dengan dada bergemuruh, menahan emosi.

"Ow, si tukang jagal rupanya. Kau akan ...."

Dor!

Satu di antara mereka tumbang dengan kepala hancur. Tersisa lelaki berambut pirang yang kukenal sebagai Leonard.

"Hei! Kita bisa berunding, bukan?" tanyanya berusaha menahanku. Aku terus menodongkan moncong senjata ke arahnya yang perlahan mundur.

"Aku tidak suka basa-basi." Kutekankan senjata ke dadanya. Mendorong tubuhnya hingga membentur pohon.

"Katakan pada saudaramu, Jacka Taroob akan datang! Dan ini ... untuk keluargaku!" Kutarik pelatuk pistolku, membuat bola perak di dalamnya berpindah ke dalam dada si vampir. Bersarang di jantungnya dan ... boom ....

Tubuhnya meledak. Cairan hitam dan serpihan daging mengotori wajah dan badanku.

Ya, akulah Jacka Taroob. Jagal vampir terkenal dari negeri BloddyField. Aku terus berkelana menyusuri berbagai tempat menumpas mahkluk bertaring yang mematikan.
Semenjak kejadian dua tahun silam.
⚔️⚔️⚔️

"Mereka marah karena kamu telah membunuh anggota keluarganya, Jacka," ucap seorang tetangga yang kutemukan berdarah di tepi hutan. Tidak ada gigitan di tubuhnya, tetapi cairan merah pekat itu nyaris membuatnya tiak dikenali lagi.

"Mereka menyiramkan darah keluargaku. Setelah membantainya di depanku. Mereka butuh jawaban tentang keberadaanmu, Jacka. Huhuhu ...." Kupeluk tubuhnya yang anyir. Darahku seolah mendidih mendengarkan ceritanya.

"Maafkan aku ... tidak bisa menja-ga keluarga-mu. Akh ...."
Tubuhnya menggelepar. Darah segar menyembur dari mulut. Perlahan tubuh kurus itu menghitam dan ... berubah menjadi abu.

"Kurang ajar!" geramku emosi.

Aku lantas bergegas menuju rumah. Pikiran semakin kalut ketika dari jauh tampak kepulan asap dari bangunan kecil dan sederhana itu.

"Tidak!" teriakku semakin mempercepat lari. Darah berceceran di mana-mana. Memerahkan dinding papan dan lantainya. Kudobrak satu persatu pintu kamar. Nihil.
Kemana mereka?

"Nawang Wulan? Nawangsih?" Aku gemetar memanggil istri dan anakku. Terkesiap ketika melihat aliran darah dari dapur.

"Tidak!" Tulangku seakan remuk. Tersungkur di lantai tanah yang penuh darah. Mataku melotot tak percaya melihat dua orang yang kusayangi tergantung di dapur. Tanpa kepala. Sebuah kait besi menancap di perut mereka. Terhubung ke seutas tali yang terikat di palang dapur.
Darah segar masih menetes dari ujung kaki mereka.

"Ti-dak!"
....

⚔️⚔️⚔️

"Tolong Ayah! Sakit ...." Aku menggeliat mendengar rintihan Nawangsih. Mataku beredar mencari sumber suara.

"Tolong, Mas! Sakit ...." Aku tersentak. Di ujung sana, berdiri dua orang yang kusayangi. Bergaun putih dengan bercak darah yang jelas. Mereka melangkah tertatih-tatih mendekatiku.

"Wulan? Asih?"

Sret ....

"A-apa ini?" Akar pohon yang entah dari mana asalnha mengikat erat kakiku. Kutarik sekuat tenaga agar terlepas. Percuma. Ikatannya terlalu kuat.

"Tolong!" teriak mereka bersamaan. Menggapai-gapai memintaku mendekat.

"Wulan? Asih? Tung--"

"Hahaha .... Terlambat, Jacka!"

Dua orang berwajah pucat tiba-tiba berdiri di belakang Nawang Wulan dan Nawangsih. Tangan mereka mengunci leher anak dan istriku.

"Tidak! Jangan!" teriakku gelagapan.

"Kau terlalu lambat!" cibir lelaki berambut pirang.

Crash!

Aku terkesiap. Belati tajam memisahkan kepala dari tubuh anak dan istriku. Sangat cepat.

Bibirku kelu dengan tubuh bergetar. Belum cukup, dua vampir itu menusukkan belatinya ke perut Wulan dan Asih. Berkali-kali. Lantas membiarkan tubuh mereka terjatuh ke tanah.

"Tidak!" teriakku sekuat tenaga.

"Hahahaha ...," tawa mereka berderai lantas menghilang.

Aku jatuh terduduk. Menangis. Nyawaku seolah ditarik paksa. Membuat jantungku tak lagi normal memompa darah. Napas tersengal dan dada yang seolah terhimpit. Sakit!

"Tolong ...!" Suara serak dan kesakitan terdengar menyayat hati. Aku tergagap. Mengusap air mata dengan cepat. Berusaha menajamkan penglihatan.

Samar kulihat tubuh tanpa kepala anak istriku bergerak. Merangkak pelan menujuku.

"Tidak mungkin!" Aku menggeleng, tidak percaya.

Dalam sekejap mereka sudah mendekat. Dengan jelas aku melihat cerabut daging yang masih berdarah pada leher mereka. Gaun mereka pun tak lagi putih. Merah dan anyir.

"Tidak ...." Bibirku berucap pelan, takut. Tubuh tanpa kepala itu terus mendekat hingga membuatku terbaring di tanah. Tetesan darahnya membasahi wajahku.

"Tidak ...!" Aku terbangun dengan napas tersengal. Keringat mengucur deras dari sekujur tubuh. Mimpi itu lagi! Tepatnya kenangan kelam yang terus menjadi mimpi buruk.

"Maafkan aku!" Dadaku sakit menahan tangis. Kerinduan, penyesalan, kemarahan dan dendam terasa menyesakkan.

"Hei, jangan begitu! Nanti rambutku basah." Aku tersentak ketika mendengar suara seorang wanita. Mataku melihat sekeliling. Semak-semak tempatku bersembunyi memang sedikit gelap. Padahal hari sudah pagi dan terang.

Kusibak sedikit semak di depanku, mengintip. Mataku terpana menatap telaga yang tak jauh dari tempatku.

"Siapa mereka? Bidadari?" Mataku tak berkedip menatap tiga wanita cantik yang tengah asyik bermain air. Mereka ... telanjang?

Aku menatap tumpukkan kain berbeda warna tak jauh dariku.

"Itu pasti pakaian mereka," gumamku.

Terbersit niat jahat di otakku. Ya, siapa yang tidak tergoda melihat wanita secantik mereka di tengah hutan begini?

Dua tahun rasanya sudah cukup mengobati sakitnya ditinggalkan. Petarung sepertiku harus cepat move on, bukan?

Tanganku sigap menarik salah satu tumpukkan baju. Kupilih warna merah. Warna yang selalu seksi dan menggoda menurutku. Itu juga warna favorit Nawangwulan. Sedikit mengobati kerinduan, kan?

"Tempatnya indah, aku jadi tidak ingin pulang, hihihi ...." tawa salah seorang dari mereka. Terdengar merdu dan menenangkan.

Aku berdebar menanti di balik semak. Benar saja! Salah satu dari mereka kebingungan mencari pakaiannya. Dua saudarinya membantu mencari.

"Kita harus segera pergi. Kalau tidak, kita akan terjebak di dunia ini selamanya," ucap salah satu dari mereka. Wanita dengan pakaian kuning.

"Benar! Maaf, kami harus pergi," ujar si hijau yang lantas bergegas. Wajah mereka seperti ketakutan.

"Ah, ini saatnya," gumamku keluar dari semak-semak setelah kedua saudari si merah pergi. Tak lupa kusembunyikan kain berwarna merah itu di balik batu.

"Ada yang bisa kubantu?" tanyaku dengan memalingkan wajah. Karena aku yakin dia pasti malu jika ketahuan tanpa busana.

"Si-siapa kau? Jangan mendekat!" cegahnya dengan suara bergetar, menahan tangis.

"Tenang! Aku hanya ingin membantu," ucapku seraya mengulurkan sebuah kain dan jaket padanya. Perlahan uluranku diterima.

"Terima kasih," ucapnya senang. Kini dia sudah ada di depanku.

Ya Tuhan! Ini sungguh bidadari.
Aku tak berkedip menatap wajah cantiknya. Kulit seputih susu dan sehalus porselen. Hidung mancung, bibir sensual dan mata birunya seolah memabukkanku.

"Maukah kau membawaku pulang? Di sini dingin," pintanya lemah dan takut-takut.

"Eh, i-iya. Tentu. Mari!" Aku berjalan mendahuluinya.

Akan kubawa ke mana dia? batinku bingung. Mana ada seorang pengembara mempunyai rumah?

Dan lagi, apakah dia tidak takut jika melihat senjataku?

"Bisakah kau sedikit lambat? Kakiku sakit." Aku menoleh. Oh God! Kenapa aku melupakannya?

Gadis cantik itu menunduk, memegangi telapak kakinya yang ... berdarah?

"Apa yang terjadi?" tanyaku khawatir. Aku segera berlutut memegangi kakinya. Kuperiksa kulit halus itu dengan teliti. Sebuah ranting tajam menggores telapak kakinya. Darah segar merembes pelan.

"Tenanglah! Aku akan mengikatnya." Kurobek ujung kausku lantas mengikatkan ke telapak kakinya.

"Kita harus bergegas. Bau darahmu pasti mengundang para vampir. Aku memang sudah membentengi diriku tapi adanya kamu bersamaku, mereka akan lebih mudah mendeteksi," jelasku seraya sibuk mengikat kakinya.

Dengan posisi seperti ini tangan halusnya memegang pundakku. Sesekali mencengkaram leher, ketika aku terlalu kuat menyentuh lukanya. Sungguh rasa yang indah!

"Selesai. Mari ki ...." Aku terhenti ketika merasakan kuku runcing perlahan menusuk pundak. Dan perlahan semakin dalam.

Aku terkejut ketika mendongak. Wanita itu berubah. Wajahnya putih pucat dengan garis halus berwarna kemerahan. Mulutnya terbuka lebar, menampilkan barisan gigi dan taring yang tajam.

"Si-siapa kau?" Aku mundur, membuat cengkeramannya terlepas. Darah segar mengucur deras dari bekas kukunya.

"Hahaha. Benar saja! Si jagal memang kalah dengan wanita," ucapnya dengan seringai lebar. Aku meraba pinggang,
Mencari sesuatu.

"Kau mencari ini?" tanyanya menunjukkan senjataku yang sudah remuk. Bagaimana ini?

"Ini untuk Leonard!" teriaknya mencakar wajahku. Aku menjerit. Pedih dan panas seolah terbakar.

Aku berusaha mundur, tapi ... tubuhku terbentur batu.

"Tamat riwayatmu, tukang jagal!" Wanita menyeramkan itu berteriak lantang.

Aku hanya melihat bayangan kuning dan hijau yang secepat kilat menancapkan taringnya pada leherku. Kurasakan darahku tersedot habis.

Aku hanya bisa melotot melihat wanita yang tadi kutolong menancapkan kukunya ke dadaku. Merobek dan menarik isi di dalamnya.

Tubuhku bergetar. Hingga kemudian tak kurasakan apa-apa lagi.

Gelap.
....

***
"Selamat datang, Jack." Aku mengerjap ketika kudengar suara halus seorang wanita. Kulihat tiga wanita cantik dan puluhan lelaki berpakaian hitam berdiri di depanku.

Berkali-kali aku memejamkan mata. Ada yang aneh dengan penglihatanku. Lantas menutup mulut yang ... juga terasa aneh. Perlahan tanganku bergerak, bermaksud meraba.

Tunggu!

"A-apa ini?" Aku menatap jemariku yang meruncing dengan kuku hitam yang tajam.
Wanita bergaun merah menyerahkan sebuah cermin.

"Tidak!" bisikku pelan. Aku menggeleng.

Di pantulan cermin, aku melihat seseorang yang sangat mirip denganku. Bedanya dia berwajah pucat, bermata merah dan bertaring.
.
END

-AmyJK-
Baturaja, 10012020

Sc Pict: pinterest
Diubah oleh amyjk02 11-06-2020 18:55
jenggalasunyiAvatar border
bukhoriganAvatar border
inginmenghilangAvatar border
inginmenghilang dan 23 lainnya memberi reputasi
24
4.6K
360
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
amyjk02Avatar border
TS
amyjk02
#24
Manten Minggat
kaskus-image


Cerita Pengantin

"Rara nggak mau, Mak. Masak dijodohin, sih?" Gadis berlesung pipi itu menangis di ranjangnya.

"Ini kan demi kebaikan kamu, Nduk," ucap wanita paruh baya yang masih tetap cantik itu. Rara menggeleng keras.

"Terima saja. Semua sudah Bapak atur, besok pagi mereka datang!" Tiba-tiba Pak Danu muncul di pintu dan menatap lekat pada putri dan istrinya.

"Nggak mau, Mak." Rara memeluk mamaknya erat. Tak peduli jika usianya sudah hampir menginjak kepala tiga.

"Terima saja, ya! Bapak nggak akan salah milih orang. Bapak tau yang terbaik buat kamu. Ya?" Rara tetap saja menggeleng.

Gadis itu masih menangis tersedu-sedu di kamar. Berharap sang bapak luluh hatinya dan menggagalkan perjodohan yang sudah direncanakan. Namun, harapan hanya tinggal harapan. Lelaki mantan tentara itu tetap keras hati dan tidak mau tahu. Berontak? Rara terlalu takut. Bukan pasal akan dipukul atau dikasari, dari kecil memang gadis itu tidak pernah berani menolak dan membantah perintah orang tuanya. Disiplin selalu menjadi hal yang diutamakan oleh sang bapak.
****

[Ram, aku mau dijodohin. Gimana?]

Lama Rara menunggu hingga pesan itu centang dua biru. Lebih lama lagi gadis itu menunggu balasannya.

[Ram, balas!]

Resah. Rara duduk menghadap ke luar jendela. Seharian gadis itu sudah menangis dan malam ini dia akan menyusun rencana. Rama satu-satunya orang yang bisa diandalkan. Sahabat sejak sekolah dasar itu pasti bisa membantunya.

[Ramaaa! Balas, atau kita musuhan!]

Rara geram. Terus ditatapnya layar ponsel yang menampilkan chat-nya dengan Rama. Pemuda yang berprofesi sebagai dokter di puskesmas desanya itu sedang mengetik.

[Mau dibantu apa?]

Rara dengan cepat membalas.

[Bawa aku kabur! Atau anter ke kota. Bisa? Harus bisa!]

Rara menutup ponsel. Kebiasaannya yang suka memaksa memang sering membuat Rama tak berdaya. Lelaki itu pasti akan manut saja apapun keputusan sahabatnya.

Tanpa membaca balasan dari Rama, Rara dengan cepat menurunkan koper dari atas lemari. Dengan cepat pula gadis itu mengeluarkan beberapa potong baju dan jeans yang biasa dia pakai ketika turun ke perkebunan warga, sosialisasi pertanian.

"Ehm, ke rumah Aliya dulu kayaknya. Minta anterin dia ke kota," gumamnya pada diri sendiri sembari mengetik pesan pada teman semasa kuliahnya itu.

Rara lantas mengirim pesan pada dua rekan kerjanya. Gadis itu izin beberapa hari tidak masuk kantor karena ada urusan mendadak yang harus dikerjakan. Meski Kantor Penyuluhan Pertanian tempatnya bekerja sedikit heran, tapi akhirnya mengijinkan juga.
****

Dengan sangat hati-hati Rara menurunkan koper dari jendela. Beban berat itu sedikit berkurang ketika Rama dengan cepat membantunya. Masih dengan dibantu Rama, Rara turun perlahan dari jendela kamarnya. Mereka berdua lantas mengendap-ngendap ke halaman dan dengan sangat pelan membuka pagar rumah. Rama segera menaikkan koper ke jok belakang dan segera menuntun sepeda motornya mengikuti Rara.

Setelah berada agak jauh dari rumah, Rama meminta Rara untuk naik ke boncengan dan memangku kopernya. Beruntung koper Rara tidak terlalu besar.

"Kamu sudah yakin?" tanya Rama sedikit berteriak karena laju motor yang sedikit kencang.

"Iya. Anterin ke rumah Aliya aja, ya!" jawab Rara juga berteriak.

"Tapi nunggu pagi, kan?" Rama sesekali menoleh untuk mendengar jawaban sahabatnya itu.

"Iya. Muter-muter aja dulu, nunggu pagi!" Rama langsung mengangguk.

Motor melaju pelan di dinginnya dini hari. Jalanan masih sepi karena memang masih pukul tiga pagi. Rara merapatkan jaket, begitu juga Rama. Hingga kemudian lelaki jangkung dan berkacamata itu menghentikan motor di sebuah taman yang tak jauh dari masjid.

"Kamu yakin sama keputusanmu?" tanya Rama sembari merapatkan jaket. Rara yang mencoba menghubungi Aliya mengangguk mantap. Sepertinya dia kesulitan membangunkan gadis kota itu.

"Kenapa? Kan kamu sendiri yang bilang pengen nikah." Rara meletakkan ponsel, menghembuskan napas lalu menatap Rama.

"Iya. Tapi ... aku maunya nikah sama orang yang bener-bener kukenal. Okelah cinta bisa tumbuh kapan saja, tapi harus kenal, kan?"

"Kan kamu belum liat dia kayak gimana? Kok main tolak aja?"

"Rama, please! Aku nggak mau debat sama kamu, ya!"

Rama terdiam.

"Dia sudah tua. Mungkin sebaya bapak. Masih ganteng, sih, tapi apa kamu rela aku nikah sama orang tua?" Rara mencoba menjelaskan. Dia teringat wajah lelaki yang pernah berbincang serius di teras bersama bapaknya sebelum perjodohan itu terjadi.

"Ya kan kamu bisa kenalan dulu," kata Rama. Dia menatap sahabatnya yang menopang dagu dengan kedua tangannya. Mengenal gadis bertubuh tinggi langsung itu bertahun-tahun memang tidak akan ada gunanya jika dia memberi saran. Rara akan tetap pada pendiriannya, tak peduli apa kata orang.

"Nggak. Aku nggak mau!" Rara menggeleng keras.
***

"Kita mau ke mana?" tanya Rara ketika Rama melajukan motor tidak sesuai permintaannya. Bukannya menjawab, pemuda itu malah tancap gas. Sontak saja Rara emosi dan memukul-mukul punggung Rama agar berhenti.

"Bukan begini caranya orang dewasa!" Rara terdiam ketika Rama membentaknya. Selama ini lelaki itu selalu lembut dan diam.

Rara akhirnya hanya bisa menangis ketika Rama ternyata membawanya kembali ke rumah. Gadis itu hanya menunduk saat Rama menghentikan motor. Pasti sudah sampai, pikir Rara. Benar saja, suara yang amat dikenalnya langsung menyongsong kedatangan mereka.

"Kamu baik-baik saja?" tanya mamak langsung memeluknya. Rara balik memeluk erat. Dia sudah bisa menebak jika sekarang sang ayah pasti sedang melotot ke arahnya.

"Masuk!" perintah sang ayah. Rara perlahan membuka mata dan betapa terkejutnya dia ketika mendapati seorang lelaki yang dihindarinya ada di sana.
*****

"Katanya mau nikah, kok malah kabur?" canda lelaki seusia Pak Danu yang langsung disambut tawa mamak dan bapaknya. Tak lupa Rama ikut tertawa. Meski akhirnya dia menunduk setelah Rara melotot ke arahnya.

"Kedatangan saya ke sini, ya melanjutkan pembicaraan kemarin, Mas Danu. Bagaimana?" Rara tetap menunduk. Dia tak berani menatap lelaki yang tepat di depannya itu.

"Kebetulan keduanya ada di sini, ya tanya langsung aja, Mas!"

Rara mengangkat wajah. Dia menatap bapak dan lelaki itu bergantian.

"Bagaimana, Rama?" tanya lelaki itu pada Rama. Rara menatap sahabatnya tak mengerti.

"Saya, sih, terserah Paman saja."

Rara semakin tak mengerti.

"Paman?" gumamnya.

"Iya, dia Paman Wira, adik almarhum ayahku," jawab Rama mantap.

"Maksudnya aku dijodohin sama paman kamu? Kamu ... kamu tahu tentang ini?" cerca Rara cepat.

Bukannya ada yang menjawab, mereka semua malah tertawa terbahak-bahak. Pak Danu bahkan sampai terbatuk-batuk.

"Makanya kalau bapak ngomong itu didengerin dulu, bukan malah ditinggal kabur. Untung yang nganterin kabur calon suami sendiri, ya, Mas?" Bapak mengedipkan satu mata pada paman Rama. Sedangkan Rama hanya tersenyum malu tak berani menatap sahabatnya yang pasti akan menagih jawaban darinya.

"Lha kamu mau nikah sama Paman? Kalau ndak mau, ya sama ponakan Paman saja, hehe."

Semua yang hadir tersenyum senang, tapi tidak dengan Rara. Gadis itu terus menatap Rama yang tak berani menatapnya.

END
****

Baturaja, 09 April 2020
trifatoyah
miftakhana
fiaperm
fiaperm dan 11 lainnya memberi reputasi
12
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.