Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
Selamat Datang di Thread Gue 
(私のスレッドへようこそ)




TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI DUA TRIT GUE SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT SELANJUTNYA INI, GUE DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK GUE DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DISINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR

Spoiler for Season 1 dan Season 2:


Last Season, on Muara Sebuah Pencarian - Season 2 :
Quote:




INFORMASI TERKAIT UPDATE TRIT ATAU KEMUNGKINAN KARYA LAINNYA BISA JUGA DI CEK DI IG: @yanagi92055 SEBAGAI ALTERNATIF JIKA NOTIF KASKUS BERMASALAH


Spoiler for INDEX SEASON 3:


Spoiler for LINK BARU PERATURAN & MULUSTRASI SEASON 3:



Quote:


Quote:

Quote:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 83 suara
Perlukah Seri ini dilanjutkan?
Perlu
99%
Tidak Perlu
1%
Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 03:25
sehat.selamat.
JabLai cOY
al.galauwi
al.galauwi dan 142 lainnya memberi reputasi
133
331.7K
4.9K
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.4KAnggota
Tampilkan semua post
yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
#2011
Makin Hari Makin Ribet
Gue dan Lira yang awalnya sepakat untuk tidak memperpanjang hubungan ini lagi malah beberapa kali masih bertemu. Tapi disini pula gue mengetahui kalau Lira ini nggak konsisten dengan keyakinannya. Gue beberapa kali menanyakan kenapa dia masih saja suka memberikan pelajaran-pelajaran yang dia dapat dari kajian bersama ustadzahnya itu ke gue.

Lira selalu berdalih katanya mau jadi pengikut agama yang lebih baik. Tapi giliran gue tanya kenapa beberapa waktu lalu dia mau bahkan menawarkan diri untuk berbuat macam-macam dengan gue, dia selalu mengelak dan berujung kami jadi ribut. Gue nggak pingin Lira ini menjadi sosok yang muna. Kalau memang masih mau mengurusi urusan duniawi, ya jalanin aja dulu. Nggak usah pakai sebar-sebar kajian dan segala macam. Toh sebenarnya dia kan belum mengamalkan sepenuhnya pelajaran-pelajaran yang dia dapat.

Pada akhirnya gue memutuskan untuk menyudahi semuanya. Gue bilang ke Lira kalau kita lebih baik nggak berhubungan lagi daripada cuma menjadi teman, tapi dia selalu seperti itu, menebarkan ajaran yang sebetulnya baik dan benar, hanya saja nggak sejalan dengan perilakunya.
Sebuah sikap yang aneh bagi gue apa yang ditunjukkan oleh Lira ini. Sehari binal, besoknya solehah. Harusnya pilih salah satu. Tapi dia selalu berdalih kalau semuanya masih belajar. Kalau masih belajar kenapa dalam beberapa kesempatan dia selalu bilang kangen gue dan mau mengulangi kejadian dikantor lama? Inkonsistensi seperti ini yang nggak bisa gue telorir.

Itu pula yang meyakinkan gue kalau Lira bukanlah orang yang tepat, yang sesuai dengan kriteria gue. gue memang bukan orang baik, tapi setidaknya gue tidak berusaha untuk menjual kebaikan atas nama agama jika berbicara dengan orang lain. Orang taunya gue selengean yaudah biarkan seperti itu. Mungkin satu saat ada waktu gue untuk berubah menjadi lebih baik, mungkin gue akan bisa juga berbicara dengan kaidah-kaidah kebaikan yang diajarkan oleh agama yang gue anut, setelah gue mengamalkannya terlebih dulu tentunya.

Satu hari sebelumnya.

“Aku mau coba kasih ini, dengerin dulu ya mas.” Kata Lira.

Gue mendengarkan dengan seksama, tapi sebenarnya malas. Gue hanya berpikiran kalau Lira ini sebenarnya belum pantas untuk memberikan materi yang sebetulnya bagus ini. Sangat terkesan nggak cocok dengan apa yang sudah dia lakukan kemarin ini.

“Aku udah denger.”

“Jadi gimana, kita bisa berubah jadi lebih baik kan?”

“Ya gimana mau jadi lebih baik kalau kamu disaat yang bersamaan juga terlihat nafsuan kayak gitu?”

“Itu kan manusiawi Mas. Setiap orang punya hawa nafsu. Nah dengan begini aku jadi punya filter.”

“Tapi sama aku kamu nggak ada filternya, sampai minta dimasukin. Untung aja aku nggak mau begitu aja Lir.”

“Maaf, mungkin kemarin aku kebawa suasana aja Mas.”

“Terus sekarang mau kamu apaan Lir?”

“Aku jujur ya. sebenarnya aku itu mau sama mas Ija, tapi gimana, aku udah punya yang disana walaupun sikapnya nggak banget. beda banget sama kamu yang baik banget dan perhatian. Bahkan ketika sebelum bubar sama Emi aja kamu udah baik banget.”

“Terus?”

“Aku bakal tetep balik sama pacar aku mas. Aku juga nggak mau kehilangan dia. Tapi aku mau tetep ngerasain kebaikan kamu. Karena itu benar-benar bikin aku nyaman. Apalagi dengan penolakan kamu terhadap ajakan aku untuk masukin kemarin itu, aku jadinya ngerti kalau kamu masih menghargai aku, dan menghargai Emi juga. itu yang bikin aku mau tetep ngejalanin dengan kalian berdua.”

“Aku udah bilang sama kamu. Aku nggak mau asal kayak gitu. Aku pasti akan izin dulu, mau atau nggak. Kalau mau oke, kalau nggak ya nggak. Kemarin aku yang nggak mau karena aku rasa ada yang kurang pas. Ternyata hati kamu masih ada buat pacar kamu. Dari sana juga aku sadar kok, yang aku butuhin emang sosok Emi. Tapi kamu nggak bisa begitu Lir. Mau sama pacar kamu, tapi nggak mau ninggalin aku. Gimana sih? Itu nggak bener lah caranya.”

“Kamu yang udah bikin aku nyaman Mas. Salah sendiri kenapa kamu bikin aku sayang?”

“Haduh. Iya mungkin hal ini salah aku. Tapi udah deh Lir, aku nggak bisa kalau misalnya begitu caranya. Dan lagian, dengan kayak begini aku udah sadar, kalau emang Emi segalanya buat aku. Sepertinya kamu juga tau walaupun kamu nggak pernah ketemu dengan dia sebelumnya.”

“Tapi mas..”

Please. Aku akan coba pelajarin dan buka hati ke kamu kalau kamu emang mau sama aku. Tapi kalau nggak, ya jawaban aku jelas. Aku akan kembali ke Emi, karena dari awal kenal dengan Emi, orang yang aku cari itu memang dia, dan nggak perasaan itu nggak pernah berubah walaupun mendadak ada kamu atau ada cewek-cewek lain. Sedangkan sekarang kamu mau jalanin dua-duanya. Maaf aku mungkin egois dan bukan orang baik, tapi aku sekarang akan lebih memilih Emi karena memang dia yang aku cari, daripada kamu. Kecuali ya itu tadi, kamu emang mau coba sama aku.”

“Aku belum bisa mas ngelepas dia.”
“Yaudah berarti sekarang ngelepasnya aku aja ya.”

“Aku nggak mau mas. Aku nyaman banget sama kamu.”

“Maaf Lir. Aku nggak bisa.”

Dan, sisanya adalah perdebatan tarik ulur soal hubungan ini. Gue memutuskan kalau harus disudahi saja. Mungkin disini memang kesalahan gue yang membuka harapan bagi hati Lira, sedangkan gue dari awal memang hanya penasaran aja dengan fisik dia.

Seiring dengan berjalannya waktu ternyata gue sempat berpikir apakah Lira bisa jadi alternatif lain untuk menyalurkan perasaan sayang gue ke seorang cewek setelah hubungan gue dengan Emi kandas. Ternyata gue nggak bisa membohongi hati gue kalau memang Emi masih jadi prioritas di hati gue.

Setelah kejadian dengan Lira hari itu, gue terus dihubungi Lira, tetapi gue sudah bilang ke dia, kalau kita lebih baik nggak ketemu lagi. Mungkin gue egois dengan sikap gue ke Lira ini. Tapi mau gimana lagi, gue sudah memilih.

--

Kebingungan dan kehampaan hati gue masih terus berlanjut ketika gue coba untuk intens dengan Wila si anak dari Surabaya. Dia selalu memberikan respon positif. Tapi entah kenapa selalu aja ada yang nggak lengkap. Nggak selengkap dengan apa yang udah Emi berikan.

Selain Wila, ternyata efek dari naik daunnya band gue ini seperti menjadikan magnet bagi beberapa orang cewek. Mereka berusaha untuk berkomunikasi dan ingin mengenal gue lebih dekat. Gue hanya respon secara profesional karena memang tidak ada kecenderungan untuk mendekati mereka dan memberikan harapan yang lebih ke mereka.

Gue sempat bilang ke Wila kalau ada rencana untuk ke Surabaya terkait dengan pekerjaan gue. dia sangat senang mendengar kabar ini. Gue juga memang berniat menemui dia. sekedar kenal lebih dekat dengannya. Gue juga penasaran seperti apa sosoknya ketika bertemu langsung.

Ketika itu jadinya gue sangat banyak meladeni chat dari mereka, sampai pada akhirnya gue mengatur waktu untuk membalas chat dan bersosial media. Untungnya semua bisa ter-handle dengan baik. Suatu kebetulan juga mungkin, ketika gue sedang pisah dengan Emi, band gue sedang tidak ada panggungan. Praktis interaksi gue dengan Emi tidak ada sama sekali. Belum lagi hubungan gue dengan Arko yang sedang memburuk. Buruknya hubungan gue dengan Arko membuat satu band menjadi kurang suka dengan sikap Arko.

Memang secara logika, sikap Arko tidak sepenuhnya bisa dibenarkan. Mengutamakan keluarga memang selalu jadi nomor satu di band. Tapi membatalkan atau menunda sepihak apa-apa yang sudah diatur adalah hal yang tidak elok, melihat kepentingan personel lain yang juga ada, dan sudah ditunda atau di jadwalkan ulang karena sudah sepakat bersama dengan agenda yang ada di band.

Dengan masalah yang ada seperti ini, sosok Emi sangat dibutuhkan. Baik secara personal untuk gue, dan secara profesional untuk kepentingan band. Anak-anak sebenarnya sudah curiga ada yang nggak benar antara hubungan gue dengan Emi. atau mungkin kawan-kawan terdekat gue, Drian dan Arko sudah mengetahui gue sudah tidak bersama Emi lagi. Tapi mereka memang tidak ngomong apa-apa ke gue terkait masalah gue dengan Emi.

--

Beberapa hari terakhir menjadi hari yang sangat membosankan dan mengesalkan. Hal ini karena persiapan lamaran adik gue. seharusnya hal ini tidak menjadi hal yang sangat ribet. Tapi Mama mau semuanya sempurna, karena keluarga gue adalah pihak perempuan.

Terlihat baik dan bagus dimata calon besan adalah hal yang baik sebenarnya. Tapi kalau lebay dan akhirnya menyusahkan ketika harusnya bisa dibuat lebih mudah dan simpel, itu adalah hal yang jadi nggak bagus. Terutama buat gue.

Mama sempat menyindir gue dengan ketidakjelasan gue dalam pekerjaan. Pekerjaan gue kurang jelas apa? gue tetap mendapatkan proyek karena gue adalah tenaga ahli. Hanya saja, gue adalah subkontraktor atau freelance yang tidak terikat oleh perusahaan manapun.

Dalam benak Mama, bekerja itu adalah datang tepat waktu, pulang tepat waktu. Bukan suka-sukanya seperti itu. Jika begitu berpikirnya, mungkin generasi milenial dan Gen Z masa kini akan dianggap oleh orangtua mereka sebagai sarjana yang nggak jelas dan entah mau jadi apa karena kerja mereka nggak terikat waktu, bahkan pakaiannya pun kadang hanya mengenakan kaos santai, bahkan kadang ada yang bercelana pendek.

Kantor-kantor perusahaan start-up yang tidak terlihat seperti kantor konvensional pada umumnya juga mungkin akan membuat para orangtua ini memutuskan untuk menyuruh anaknya pindah kantor saja karena mungkin dianggap nggak jelas.

Padahal, banyak sekali start-up di Indonesia yang bahkan sudah lebih mapan daripada perusahaan-perusahaan konvensional yang sudah lebih dulu ada. Mungkin pada saat ini, perusahaan start-up belum balik modal atau minimal break even, tetapi setidaknya perusahaan-perusahaan ini bisa jadi masa depan cerah bangsa ini untuk terlibat sebagai penggerak roda perekonomian negara.

“Liat itu si Dania. Sekarang aja dia udah mau lamaran. Ngelangkahin kamu. Makanya kamu itu kerja yang bener. lagian ngapain sih kamu lama-lama sama Emi? atau jangan-jangan kamu nunda menikah karena belum cukup modal?” kata Mama, nadanya agak terdengar kesal.

“Ya nggak gitu lah. Semua orang beda-beda rezekinya, Ma. Nggak bisa diratakan gitu aja. walaupun aku sama Dania saudara kandung, tapi kan nasib dan rezekinya bisa aja beda. Lagian perasaan Dania itu baru pacaran sebentar doang, sekarang udah mau nikah. Emang yakin dia udah mengenal dengan baik bagaimana suaminya?” kata gue.

“Setidaknya calon suami Dania itu berani dan mau serius sama adik kamu. Itu perlu di apresiasi, Kak. Kamu gimana? Sekarang aja kerja kamu nggak jelas gitu. Terus sekarang juga kamu jadi suka batuk-batuk karena motoran melulu, jarang ada dirumah juga. Emi itu yakin mau kamu jadikan pilihan? Kok mama melihatnya kamu malah jadi semakin nggak jelas hidupnya.”

“Kok jadi nyalahin Emi sih? Aku kayak gini karena aku senang travelling dari dulu, tapi semuanya nggak ada yang bisa mendukung sepenuhnya, lain sama Emi. makanya aku jadi suka jalan-jalan, kemana-mana bareng sama dia karena dia mendukung hobi aku ini.”

“Terus kamu juga kenapa ngeband-ngeband lagi? Kamu itu udah nggak muda lagi, Kak.”

“Lah, band kan buat nyalurin hobi juga. kalau nggak ngeband bisa stres aku. Aku suka ngeband, suka jalan-jalan, terus emang nggak boleh punya hobi? Daripada hobinya nggak jelas terus malah jadi narkoba. Duitnya diarahin ke urusan nggak bener, emang Mama mau anaknya jadi begitu? udah untung itu kegiatannya positif semua. Aku nggak ngerokok dan nggak minum-minum, terus kenapa hobi aku sekarang jadi dipermasalahin?”

“Nah, karena hobimu itu kamu jadi nggak ada uang terus kan buat nabung. Kamu itu nabung. Masa kalah sama Dania.”

“Aku ngatur uang aku hasilin sendiri Ma. Jadi mau ada tabungan mau nggak, itu urusan aku. Dan aku juga udah persiapin buat masa depan aku nanti kok. dan Mama tenang aja, nanti kalau aku udah mau benar-benar nikah, aku nggak akan nyusahin Mama. Mama nggak perlu juga ngeluarin duit sepeser pun. Lagian nikah itu intinya ijab qabul, bukan rame-rame resepsi dan ngasih makan orang yang nggak mempelainya kenal.”

“Ya terserah kamu lah kak. Yang penting Mama itu mau kamu bahagia.”

“Aku bahagia dengan cara kayak gini.”

Setiap gue pulang, selalu aja ada friksi yang terjadi antara gue dengan Mama. Apalagi sekarang dengan mau adanya lamaran adik gue, seluruh perhatian gue seperti harus tertuju ke acara ini. Ini sangat membuat gue nggak nyaman apalagi dengan terus menerus dikata kerja nggak jelas dan seolah memperlihatkan kekurangsukaannya terhadap Emi. Emi nggak salah, dan sebenarnya gue yakin ini adalah cara Mama memperingatkan gue supaya lebih serius menatap masa depan, bukannya makin tambah umur, makin nggak jelas kerjanya, senang-senang terus, apalagi ditemani Emi yang usianya terpaut enam tahun dibawah gue yang menurut pemikiran Mama masih sangat bocah.

Keribetan-keribetan ini yang membuat gue merindukan sosok Emi. bukan untuk dimanfaatkan agar bisa membantu gue, tapi memang seperti yang diawal sudah gue bilang, semua checklist yang gue buat ada di Emi. Gue butuh Emi.

--

Kesalahan gue terus berlanjut. Gue lebih banyak menghabiskan waktu mengerjakan tugas-tugas S2 gue yang sangat banyak dan nggak kenal kompromi walaupun gue masuk kelas eksekutif (isinya orang kerja semua) dengan Mila. Pihak kampus tidak mau tahu urusan pekerjaan kami dan tetap memberikan porsi tugas dan pekerjaan rumah yang sama banyaknya dengan kelas reguler yang notabene fokus untuk berkuliah saja.

Memang sangat banyak perbedaan pendapat antara gue dengan Mila. Tapi dengan seringnya kami berselisih paham ini membuat gue jadi dekat dengan Mila. Awalnya nggak ada yang salah dengan ini semua. Gue juga nggak tertarik sama sekali dengan Mila. Tapi, dia yang sepertinya mulai tertarik dengan gue.

Dari yang awalnya duduk berhadapan, menjadi duduk sebelahan ketika mengerjakan tugas, entah itu dilingkungan kampus, maupun diluar kampus seperti di kafe atau tempat-tempat seperti co-working space. Seringkali gue pulang larut malam berdua dengan dia.

“Ja, kita kan sering berantem ya masalah tugas dan urusan-urusan kampus, tapi kok lo tetep baik sih sama gue?” tanyanya suatu kali.

“Iya itu kan urusan profesional, biasa toh ada perbedaan. Setelahnya ngapain diambil hati? Ya kan? Lo kan tetep teman sekelas gue Mil. Haha.”

“Iya, tapi dengan begitu guenya jadi nggak enak dihati.”

“Hah? Maksudnya gimana tuh?”

“Lo udah sering gue marahin, gue kata-katain kalau kita lagi ribut, tapi lo tetep aja baik sama gue. lo tetep barengin gue kalo pulang, tetep suka bawain cemilan kalo dikampus pas kita lagi nugas disana, dan lainnya. Gue heran aja, sementara gue sadar kok, banyak anak-anak dikelas yang nggak suka sama sikap gue ini. Menurut mereka gue egois, mau menang sendiri, gue tau itu Ja. Tapi lo tetep aja mau nemenin gue.”

“Yah namanya juga temen Mil. Lagian gue mau ngandelin siapa lagi selain lo? ya walaupun emang harus gue akuin lo rese banget kalau udah urusan tugas dan urusan kampus ini. Tapi selebihnya ya biasa aja. lo temen sekelas gue dan harusnya nggak harus dibedain sikapnya, terlepas dari sikap lo yang menurut mereka egois dan sebagainya itu.”

“Hmmm. Makasih ya Ja. Lo masih mau temenan sama gue.” katanya seraya memegang punggung tangan kiri gue. Tangan kanannya halus banget, nggak pernah susah kayaknya hidupnya ini anak.

“Haha, sama-sama Mil. Santai aja sama gue mah.” Kata gue, tangan gue memegang punggung tangan kanan Mila yang ada diatas punggung tangan kiri gue. disana gue juga melihat perbedaan warna kulit yang cukup kontras. Mila putihnya pakai banget.
Tiba-tiba dia memeluk gue dari samping kiri gue. gue otomatis mematung karena di kafe tersebut masih ramai orang.

“Mil, diliatin orang nih.” Kata gue.

“Nggak apa-apa. buat teman yang baik kayak lo sesekali orang perlu ngeliat.” Sahut Mila.

“Buset nggak gitu juga kali. Hahaha.”

“Iya, pokoknya makasih banget lo masih mau jadi temen gue ya.”

Mila melepaskan pelukannya dan gue hanya mengangguk mengiyakan omongannya.

--
yudhiestirafws
namikazeminati
khodzimzz
khodzimzz dan 27 lainnya memberi reputasi
28
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.