- Beranda
- Stories from the Heart
CATATAN VIOLET
...
TS
drupadi5
CATATAN VIOLET

Perjalanan ini akan membawa pada takdir dan misteri hidup yang mungkin tak pernah terpikirkan.
Ketika sebuah kebetulan dan ketidaksengajaan yang kita sangkakan, ternyata adalah sebuah rencana tersembunyi dari hidup.
Bersiaplah dan arungi perjalananmu
Kota Kenangan1
Kota Kenangan 2
Ardi Priambudi
Satrya Hanggara Yudha
Melisa Aryanthi
Made Brahmastra Purusathama
Altaffandra Nauzan
Altaffandra Nauzan : Sebuah Insiden
Altaffandra Nauzan : Patah Hati
Altaffandra Nauzan : the man next door
Sepotong Ikan Bakar di Sore yang Cerah
Expired
Adisty Putri Maharani
November Rain
Before Sunset
After Sunrise
Pencundang, pengecut, pencinta
Pencundang, pengecut, pencinta 2
Time to forget
Sebuah Hadiah
Jimbaran, 21 November 2018
Lagi, sebuah kebaikan
Lagi, sebuah kebaikan 2
Perkenalan
Temanku Malam Ini
Keluarga
03 Desember 2018
Jimbaran, 07 Desember 2018
Looking for a star
Ketika daun yang menguning bertahan akan helaan angin
Pertemuan
BERTAHAN
Hamparan Keraguan
Dan semua berakhir
Fix you
One chapter closed, let's open the next one
Deja Vu
Deja Vu karena ingatan terkadang seperti racun
Karena gw lagi labil, tolong biarin gw sendiri...
Semua pasti berujung, jika kau belum menemukannya teruslah berjalan...
Kepercayaan, kejujuran, kepahitan...
Seperti karang yang tidak menyerah pada ombak...
Damar Yudha
I Love You
Perjanjian...
Perjanjian (2)
Christmas Eve
That Day on The Christmas Eve
That Day on The Christmas Eve (2)
That Day on The Christmas Eve (3)
Di antara
William Oscar Hadinata
Tentang sebuah persahabatan...
Waiting for me...
Kebohongan, kebencian, kemarahan...
Oh Mama Oh Papa
Showing me another story...
Menjelajah ruang dan waktu
Keterikatan
Haruskah kembali?
Kematian dan keberuntungan
The ambience of confusing love
The ambience of love
Kenangan yang tak teringat...
Full of pressure
Persahabatan tidak seperti kepompong
Menunggu, sampai nanti...
Catatan Violet 2 (end): Mari Jangan Saling Menepati Janji
Jakarta, 20 Juni 2019 Lupakanlah Sejenak
Menjaga jarak, menjaga hati
First lady, second lady...
Teman
Teman?
Saudara
Mantan
Mantan (2)
Pacar?
Sahabat
Diubah oleh drupadi5 14-05-2021 15:13
JabLai cOY dan 132 lainnya memberi reputasi
129
23.8K
302
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
drupadi5
#24
Jimbaran, 11 November 2018
Sepotong ikan bakar di sore yang cerah

MInggu ini aku bangun lebih siang efek kemarin kekurangan tidur, jadi pelampiasannya hari ini. Bangun tidur perut keroncongan minta diisi. Akhirnya keluar cari sarapan. Untungnya ada ibu-ibu penjual nasi kuning yang mangkal tidak jauh dari minimart di dekat kostan. Oh ya, nasi kuning ini, kayak nasi kucing di Jogya, cuma nasinya pake nasi kuning, bisa beli lima ribuan dan udah dapat banyak, lumayanlah kalau buat sarapan.
Menjelang siang aku mulai bosan. Seharusnya saat-saat waktu luang kayak gini aku gunakan untuk explore Bali, mumpung aku di sini. Aku berpikir untuk chat Ardi, tapi aku urungkan, mengingat dia masih sakit dan ga enak juga ntar dikira minta dia nganterin aku jalan-jalan.
Akhirnya aku chat Monica, sepupuku.
Mon, lo sibuk ga?
Tak perlu menunggu lama dia langsung membalas pesanku.
Yoi, lagi anter tamu nih. Kenapa, Vi?
Aku mau sewa motor, lo punya channel ga?
Ada, ntar gw share contactnya
Tak perlu menunggu lama, kembali ada pesan masuk dari Monica.
Ini ya Sista, lo tlp aja, gw udah info orangnya lo sodara gw
Ok bebs, thx a lot.
Segera kusimpan contact no yang di berikan Monica, kemudian menghubunginya. Setelah deal, yang punya rental dengan senang hati mau membawakan motornya ke kostanku. Menunggu sekitar sejaman akhirnya motor sewaanku datang juga. Sekaraang pertanyaannya, aku mau pergi kemana? Aku mulai googling area-area sekitaran kostanku dulu, siapa tahu ada yang menarik. Setelah sekian lamaaa…..Akhirnya aku memutuskan lebih baik tidur siang saja. Penjelajahannya mulai minggu depan saja. Hehehehe.
Entah sudah berapa lama aku tertidur, kulihat di jam di ponselku menunjukkan pukul 3 siang. Lapaaaarr….pantes udah lewat jam makan siang. Masih sambil berbaring malas-malasan aku meraih ponselku dan membuka beberapa pesan masuk. Dari Monica menanyakan kabar motornya, segera aku balas.
Udah diterima bebs, tapi blom gw pake, lagi mager.
Kemudian ada sebuah pesan dari nomor tanpa nama
Vio… lagi ngapain?
Siapa ya, pikirku, kuketik sebuah balasan
sorry nomor kamu belum ke save, ini siapa ya?
Dan ada pesan dari the man next door
Udah makan belum?
Nah ini, pas banget nanyain makan pas perut keroncongan. Segera aku balas
Belum, aku baru bangun. Kenapa? Mau nraktir kah?
Sebuah balasan dari nomor tanpa nama
makanya di save dong! Biar nanti kalau kamu udah siap cerita langsung bisa telpon aku.
Aku berpikir, apa ini nomornya Hanggara, ya?
Angga ya?
Langsung kuterima balasannya tapi hanyaemoticon senyum dan aku yakin ini dia.
Kubalas lagi
Luka n lebam-lebamnya apa kabar?
Udah ga sakit tapi masih keliatan lebamnya
Good. Besok buka jaritannya, inget kan?
Untung kamu ingetin
OMG. Pasang reminder!
Kamu aja yang jadi reminderku
Wani piro?
Berapa pun, apa pun, terserah kamu
Aku berpikir sejenak, apa maksudnya? Ok, let’s treat it as a joke.
Kayaknya bakalan susah…. Nyerah aja dah.
Kok gitu?
Ntar aku diamuk lagi, takut.
I promise, It’d be the last.
I’ll think ‘bout it
Beberapa lama aku tunggu tidak ada balasan lagi. Juga tidak ada balasan dari Monica. Mungkin dia lagi sibuk. Pun dari Fandra, sama saja tidak ada balasan.
Aku terkejut ketika sebuah ketukan terdengar dari pintu kamarku. Bergegas aku bangun dan membuka pintu. The man next door berdiri di sana, dengan senyumannya yang menawan. Masih dengan jaket kulit hitamnya dan sebuah topi biru navy berlambang tanda contreng yang mendunia. Sepertinya dia baru aja datang, mungkin dari tempat kerjanya.
“Hai, aku bangunin kamu ya?”
“Ngga, aku udah bangun dari tadi. Kenapa? Jadi mau traktir aku makan?”
Dia tertawa renyah. “Jadi, ayo!” ajaknya.
"Serius? Beneran?" tanyaku tidak percaya.
"Iya beneran, ayo!"
“Wait, cuci muka dulu, tapi kamu ga mau istirahat dulu, baru pulang kerja kan?”
“Cepetan, nanti keburu tutup!” balasnya masih dengan senyum mengembang. Karena perintahnya seperti itu ya aku manut-manut saja, dia yang lebih paham. Dan aku sepertinya mulai percaya padanya. Aku segera mencuci muka, gosok gigi super cepat, tidak perlu sisiran karena rambut ikalku yang sebahu tidak terlalu rewel cukup dikuncir saja, dan sebuah cardigan hitam untuk menutupi kaosku yang lecek karena kupakai tidur tadi, dan celana pendek selutut sepertinya tidak apa-apalah.
“Ayo!” ajakku padanya setelah mengunci pintu kamar. Dia yang sedang menunggu duduk di atas tembok balkon, dengan sigap meloncat turun.
“Ntar ya, aku pinjem helm dulu,” ujarnya ketika kami sampai diujung tangga bawah
“Eh, ngga usah, aku ada helm kok. Pake motorku aja,” sahutku
“Dapet dari mana?” tanyanya. Kini giliran dia yang mengikutiku ke parkiran motor
“Sewa…tadaaaa…” ujarku memamerkan motor sewaanku. Dia tersenyum kecil.
“Pakai motorku aja.” Dan dia segera naik ke atas motornya yang sepertinya dengan sengaja dia parkir di luar.
Aku menurutinya saja. Bergegas membukakan pintu gerbang dan kemudian naik di belakangnya. Aku masih belum tahu ke mana dia akan membawaku. Mudah-mudahan kali ini dia tidak membawaku kabur.
Dia menyusuri jalan utama, menuju persimpangan utama dan belok ke kanan beberapa ratus meter kemudian belok kiri masuk ke jalan yang lebih kecil, lurus terus ke barat dan violaaa….. PANTAI!!!
“Waahhh pantai!!!” refleks aku berteriak saking girangnya. Ngga menyangka kalau kostanku ternyata deket banget dari pantai.
“Ini Pantai Kedonganan biasanya buat nelayan cari ikan. Kalau Pantai jimbaran ada di sebelah sana, tau kan yang terkenal dengan restoran-restoran pinggir pantainya itu, tapi sama sekali ga cocok buat kantong anak kostan,” dia tertawa sambil menjelaskan tentang tempat yang kami kunjungi ini. Dia memarkirkan motornya dan aku pun mengikuti kemana pun dia melangkah.
Suasana tempat ini sangat ramai dengan berbagai macam pedagang dan juga pembeli, atau pun orang-orang yang sekedar berkunjung, semua berbaur jadi satu. Hanya sekitar 2 meter dari tempatku berjalan saat ini sudah bibir pantai, ada beberapa perahu nelayan yang bersandar dan orang-orang yang hilir mudik mengangkut tangkapan dari perahu ke tepian.
“Kalau di sini pasar ikannya, itu di sana.” Tunjuknya ke sebuah bangunan yang tertutup. “Tapi ada juga yang jualan langsung dipinggir pantai begitu ikan-ikannya selesai di timbang di bagikan ke pedagang pengecer. Jadi nanti kita beli ikan, trus ada banyak tempat yang bisa kita pilih buat bakar ikan-ikan yang kita beli, ongkosnya ga mahal dan udah komplit dapat sambalnya juga.” Jelasnya lagi.
Aku hanya diam mendengarkan. Mataku dengan rakus melihat kesegala penjuru tempat ini, sangat menarik buatku. Ah, aku senang sekali.
“Kamu mau ikut ke dalam beli ikannya apa nunggu di luar aja?” tanyanya membuyarkan pikiranku
“Ikutlah, aku pengen liat,’ sahutku.
“Yakin mau ikut?Di dalam itu kayaknya ga bakalan nyaman buat kamu.”
“Ya jelas ga nyamanlah, namanya juga pasar, apalagi pasar ikan.”
“Di dalam itu becek, bau amis, kotor, dan himpit-himpitan lho! Kamu di sini aja ya!”
“Trus ngapain kamu ajak aku ke sini kalau aku harus diem di luar?” protesku
“Ya… aku cuma pengen biar kamu tahu aja..” sepertinya dia tahu kalau dia salah ucap dengan menyuruhku diam di luas saja.
“Mama aku itu punya usaha catering, dan setiap minggu aku yang tukang belanja ke pasar, so…. kamu ga usah takut aku mabok di dalam sana, ayo!” Aku gregetan sekali dengan sikapnya yang sepertinya berpikir kalau aku ini cewek metropolitan yang anti berkotor-kotor. Dia berjalan mendahuluiku yang tadi langsung jalan duluan seolah-olah tahu ke mana harus melangkah. Aku mengikutinya masuk ke sebuah pintu kecil yang ternyata pintu masuk ke dalam pasar yang tidak begitu luas tapi sangat padat. Para pedagang berjejer-jejer menjajakan jenis dagangan yang sama yaitu ikan dan hasil laut lainnya. Aku bisa melihat berbagai macam jenis ikan di sini dengan berbagai macam ukuran pula.
“Mau apa?” tanyanya ketika berhenti di salah satu lapak ikan.
“Kerapu,” jawabku. Setelah tawar menawar, deal harga, dia memilih dua ekor kerapu. Untuk ukuran laki-laki dia lumayan ahli menawar. Aku saja yang sering ke pasar masih kalah, karena aku ga suka menawar. Kebiasaan buruk yang paling dibenci Mamaku kalau menyuruhku belanja ke pasar, aku lebih suka langsung tanya harga, kalau cocok dipilih barang yang dimau lalu bayar, kalau harga ga cocok ya tinggal pergi cari pedagang yang lain.
“Kamu ahli menawar ternyata ya?” bisikku ketika dia sudah selesai membayar. Dia hanya tertawa kecil. Bukannya keluar dia malah berjalan keliling lagi, entah apa yang dicari. Lalu dia berhenti di salah satu lapak dan mulai lagi menawar harga udang dan cumi.
“Fan, ga kebanyakan?” tanyaku, “kayaknya kamu lapar mata aja nih?”
Dia tertawa lagi. “Tenang, aku makannya banyak kok.”
Selesai membayar barulah kami keluar dari pasar. Dia mengajakku ke satu warung yang menjajakan jasa bakar ikan, yang sepertinya sudah sering dia datangi karena si penjual langsung kenal begitu dia datang. Dia memintaku mencuci tangan di wastafel yang sudah disiapkan di sana karena tadi aku juga sempat mentowel-towel beberapa ikan.
“Kamu sering ke sini ya?” tanyaku ketika kami sudah duduk di salah satu meja yang disediakan oleh pemilik warung. Di sepanjang jalan kecil ini banyak sekali warung-warung yang menawarkan jasa bakar ikan. Tidak sedikit kulihat ada juga bule-bule yang berbelanja langsung ke pasar ikan tadi.
“Lumayan, kalau lagi pengen makan seafood.”
“Ini kita harus makan di sini ya?”
“Ga kok, bisa dibungkus juga, tapi kalau kamu mau makan di sini juga bisa.”
“Enaknya gimana?”
“Makan di kost-an aja. Sekalian ntar bungkus nasinya juga.”
“Tunggu di sini…” katanya lalu berlalu pergi. Kulihat dia mendekati pedagang es kelapa muda. Dia melihat ke arahku, begitu tahu aku memperhatikannya dia menggerakkan bibirnya seperti bertanya apa aku mau es kelapa. Aku mengangguk mengiyakan.
Sambil menunggu aku iseng melihat ponselku. Beberapa pesan dari Hanggara.
need your decision asap
Kok diem? Tidur lagi?
Vio?
Karena sudah terlanjur aku baca, jadi aku balas saja pesannya
sorry….. lagi di jalan. Nanti aku chat lagi ya
Fandra datang sambil menenteng dua kantong plastic. Satu diserahkan padaku dan satu lagi diletakkan di atas meja.
“Kok banyak?” tanyaku
“Iya sekalian buat ntar di kostan."
“Wah makan besar nih!” seruku girang yang disambut dengan senyumannya.
“Ntar tinggal beli sayurannya aja.”
“tapi gimana masaknya?”
“Kan ada dapur.”
“Di sebelah mana?”
“Jadi kamu ga tau?”
Aku menggeleng.
“Itu lho pintu yang ada diantara tangga, nah di sana dapurnya, emang sih jarang dipakai, tapi perlengkapannya komplit kok. Ada kulkas juga, tapi kalau kamu simpan sesuatu di kulkas lebih baik di masukin kotak trus isi nama.” Jelasnya.
“Kamu udah lama ya kost di sana?”
“Sekitar setahunan, pas aku mulai kerja di sini lah.”
“Jadi emang dari awal di sana ya, belum pernah pindah-pindah?”
“Belum, betah lah di sana, aman dan nyaman,” sahutnya tersenyum, “Mudah-mudahan kamu juga nyaman di sana.”
“Amin.” Sahutku. “Sebelum kerja di hotel ini, kamu pernah kerja di mana?”
“Aku kerja pindah-pindah terus.”
“Dimana aja? Seputaran Bali aja atau pernah di luar Bali juga?” desakku
“Basic awalnya aku itu dulu bartender sempat magang di Singapura sewaktu masih kuliah, sekitar 3 bulan balik ke Bali nyelesain kuliah, hampir
drop out karena suka kelayapan dari pada kuliah hehhehe,” ceritanya sambil tertawa yang kusambut juga dengan senyuman
“Tapi selesai kan?”
“Alhamdulillah, selesai.”
“Trus?”
“Teruuusss… aku coba ngelamar di kapal pesiar, tapi bayarnya mahal, jadi aku pikir coba dulu di sini cari pengalaman kerja, ketrima magang di salah satu restoran di Seminyak, sempet part time juga jadi waitress di club malam, trus naik pangkat jadi bartender, trus aku ikut ngelamar kerja di Turki di Hotel, syukur bisa ketrima. Kerja di turki sekitar 2 tahunan, setelah kontrak selesai, ga aku perpanjang. Trus ada lowongan di Dubai, aku coba ngelamar dan ketrima lagi, di Dubai sekitar 4 tahunan. Trus pindah ke sini deh.”
“Trus kamu sekarang jabatannya Food and beverage apa? Ngga mungkin staff kan?” Aku menekankan pada kata 'staf'
“hahahhaha,” dia tertawa, “kenapa ga mungkin? Bisa aja kan?”
“Jadi apa?” Aku masih menuntut jawabannya
“Yah pokoknya kerja aja lah, ga penting jabatan apa, yang penting kerja dapat uang, makan, nikmati hidup, dan bersyukur, seperti sekarang ini, apa yang kurang coba, jalan-jalan dan makan ditemenin cewek cantik hehehe,” dia terkekeh dan sukses membuat wajahku memanas.
“Bagus!” kuacungkan dua jempolku di depannya, berusaha agar tidak ketahuan kalau wajahku memerah karena pujiannya. “Sering-sering ya, dengan senang hati aku temenin.”
Dia semakin tergelak.
Tidak beberapa lama, makanan kami pun jadi. Dia menolak ketika aku memaksa mambayar. Ya sudah, jadilah hari ini aku ditraktir full olehnya.
Sebelum kembali ke kost, dia mampir di sebuah warung yang menjual sayuran, membeli beberapa sayur untuk teman makan nanti.
Sampai di kost pun dia yang menyiapkan segalanya. Berhubung aku ngga punya alat makan, jadilah alat makannyalah yang dikeluarkan semua, meja kecil yang disediakan oleh pemilik kost kami keluarkan dan diletakkan jadi satu supaya lebar. Meja itu kami tempatkan di depan kamarku dilorong balkon, meski tempatnya sempit tapi muatlah. Dia juga yang memasak sayurannya dan aku hanya kebagian tugas memotong dan mencuci saja.
“Kamu sepertinya ahli banget ya urusan dapur,” kataku ketika kami sudah duduk dan menikmati makanan
“Udah biasa hidup di rantau hehehe,” ujarnya dengan mulut penuh makanan.
“Ikannya enak banget, Fan, sambelnya mantaf banget!”ujarku sambil mendesis kepedasan. Bergantian aku mencomot ikan, lalu udang lalu cumi dan mencocolnya ke 2 jenis sambal yang berbeda, ada sambal matah khas Bali juga. Benar-benar nikmat banget.
Dia tertawa melihatku kepedasan. Lalu menyodorkan segelas es kelapa muda yang dia beli tadi.
“Minum dulu, muka kamu sampe merah gitu, lho.” Katanya. Aku meneguk minuman yang dia berikan dan langsung habis setengah gelas besar.
“Pedes banget ya?” tanyanya lagi
“Iya… banget, tapi enak, nagihin.”
“Awas kalau ga kebiasan nanti sakit perut.”
“Aku biasa kok makan pedes tapi ga sepedas ini.” Sekali lagi aku mencomot ikan dan ketika hendak mencocolnya ke sambal, buru-buru mangkok sambalnya di ambilnya
“Kenapa?”
“Ntar aku ada sambal yang lain tapi ga pedes, kamu cobain deh.”
Dia berdiri dan masuk ke kamarnya. Kemudian dia datang sambil membawa sebuah botol salah satu merk kecap terkenal.
Dituangkannya sedikit di piringku, “coba dulu, kamu suka ga?” Kucocol dengan ikan yang tadi aku comot, teksturnya tidak cair dan juga tidak terlalu kental, rasanya campuran antara asam, agak manis, dan sedikit asin, tapi yang dominan adalah asam, sangat pas dengan ikan dan apalagi aku suka makanan yang ada rasa asam-asamnya. Kalau di campur dengan ikan yang sudah ada sedikit bumbunya yang juga sedikit pedas, ini jadinya enak banget
“Enak, ini apa?” tanyaku setelah merasakan rasanya
“Ini saos racikanku, hasil eksperimen waktu kerja di Turki. Beneran enak?”
“Kalau cuma saosnya aja, mungkin ga terlalu meledak, tapi karena di campur dengan sambal yang sedikit pedas di ikannya jadi komplit rasanya, jadi enak banget.”
Dia tersenyum, “komentarmu ternyata sama kayak temenku lainnya yang udah cobain ini.”
“Oh ya, beneran ini enak lho.” Aku menyuap lagi beberapa potong udang dan cumi yang kucocol dengan sambal racikannya.
Sebuah panggilan dari ponselku, sedikit membuatku kaget, dan buru-buru masuk ke kamar karena begitu sampai kostan aku tidak ada menjamahnya dan kugeletakkan saja di kamar. Sebuah panggilan dari Ardi.
“Hola, what’s up?” tanyaku begitu tersambung
“Lo dikostan ga?” tanyanya
“Iya. Kenapa?”
“Gw di depan kostan lo nih, keluar dong!”
“What?? Kenapa ngga bilang mau ke sini,” bergegas aku keluar kamar dan turun menuju ke gerbang. Sempat kulihat Fandra masih makan dan hanya menolehku sekilas yang melewatinya. Begitu gerbang kubuka, kulihat Ardi nangkring di atas motornya.
“Lo ngapain ke sini? Bukannya istirahat di rumah, muka masih lebam-lebam gitu juga.”
“Lo ga mau gw ke sini ya? Takut di gangguin ya?”
“Apaan sih lo?”
“Tuh yang makan sama lo siapa?Romantis bgt, makan di balkon gitu.”
Aku mengikuti arah mata Ardi, naik menuju ke arah kamarku. Dan ternyata memang kelihatan dari bawah sini, di sana Fandra masih asik makan sambil ngelihatin ponselnya.
“Gebetan baru ya??” Godanya
“Mulai deh lo! Dia itu temen kost gw, kamarnya sebelahan sama gw.”
“Cinlok nih ceritanya?”
“Udah deh, ga usah ngarang.”
“Tapi beneran juga ga apa-apa kok, Vi, santai aja, kan emang itu tujuan gw minta lo kesini, biar lo rileks dan nikmatin hidup lo lagi.”
“Iya, thanks bgt, gw mulai nikmati kok. Tapi bukan karena cowok lho ya!”
“Hehehe iya-iya gw ngerti.”
“Trus lo kesini mau ngapain?”
“Sebenernya sih mau ngajakin lo ke cafenya Made, tapi kayaknya lo ga bisa ya?”
“Iya nih, ga enak gw ninggalin temen gw, soalnya dia yang traktir trus nyiapin semuanya.”
“Cei…segitunya.”
“Jangan mulai deh, lo. Baik banget lho orangnya, lo tahu waktu lo nyuruh gw ke rumah sakit malam-malam, nah dia tuh yang anterin gw, mana gw waktu itu blom kenal dia udah mau nolong gw.”
“Oya? Gw pikir lo naik taksi.”
“Ga jadi, dia masih kebangun dan denger gw berisik, dia juga yang ga ngasi gw naik taksi.”
“Ya udah tapi lo tetep hati-hati ya, jangan mudah percaya gitu aja.”
“Iya gw tau.”
“Ya, udah gw cabut.” Ardi lalu bersiap naik ke motornya, sebelum dia benar-benar pergi, aku teringat satu hal yang harus kusampaikan padanya
“Eh, Di, besok lo kerja atau mau istirahat dulu?”
“Kerja, udah baikan lah gw, muka juga ga bonyok-bonyok amat.”
“Kalau gitu besok ga usah jemput gw ya, gw ke kantor sendiri aja.”
“Hmm,,, mentang-mentang udah punya temen baru nih, mau dia sekalian jadi sopir lo?”
“Ngawur bgt sih lo! Gw udah sewa motor, jadi gw bisa pergi ke manapun sesuka gw!”
“Sewa motor? Emang lo bisa naik motor?”
“Ya bisa lah, emang sih jarang-jarang gw pake motor, tapi gw bisa.”
“Tau jalan gitu?”
“Tau, klo pun kesasar kan ada google map atau gw tlp lo aja.”
“Ampun dah lo. Ya udah, tapi hati-hati lho ya, inget pake helm juga.”
“Iya gw tau.”
“Ya udah gw cabut.”
Setelah Ardi benar-benar pergi, aku kembali ke atas.
“Kok ga dihabisin?” tanyaku ketika melihat makanan masih banyak di meja
“Nunggu kamu.”
Agak kaget juga mendengar jawabannya.
“Ngapain nungguin aku, kamu makan aja. Itu tadi temenku di kantor, ngajakin ngopi.” Jelasku tanpa diminta
“Oh, jadi ntar mau pergi?”
“Ngga. Dia mau ke sana sekarang, aku ya ngga mau, pengen di kostan aja, besok biar fresh kerjanya.”
“Emang ngopi di mana?”
“Hmm… daerah Kuta, tempatnya asik sih, kapan-kapan aku ajak ke sana.”
“Boleh,” sahutnya tersenyum
“Tapi…..kayaknya aku ngga inget deh tempatnya di mana.”
Dia pun tertawa tergelak mendengarnya.
Melihatnya tertawa, merasakan nikmatnya makanan yang menyentuh di lidah, merasakan hangatnya sinar matahari, dan sejuknya semilir angin di sore ini, dengan sadar kunikmati semua ini, dan aku merasa bahagia.


MInggu ini aku bangun lebih siang efek kemarin kekurangan tidur, jadi pelampiasannya hari ini. Bangun tidur perut keroncongan minta diisi. Akhirnya keluar cari sarapan. Untungnya ada ibu-ibu penjual nasi kuning yang mangkal tidak jauh dari minimart di dekat kostan. Oh ya, nasi kuning ini, kayak nasi kucing di Jogya, cuma nasinya pake nasi kuning, bisa beli lima ribuan dan udah dapat banyak, lumayanlah kalau buat sarapan.
Menjelang siang aku mulai bosan. Seharusnya saat-saat waktu luang kayak gini aku gunakan untuk explore Bali, mumpung aku di sini. Aku berpikir untuk chat Ardi, tapi aku urungkan, mengingat dia masih sakit dan ga enak juga ntar dikira minta dia nganterin aku jalan-jalan.
Akhirnya aku chat Monica, sepupuku.
Mon, lo sibuk ga?Tak perlu menunggu lama dia langsung membalas pesanku.
Yoi, lagi anter tamu nih. Kenapa, Vi?
Aku mau sewa motor, lo punya channel ga?
Ada, ntar gw share contactnyaTak perlu menunggu lama, kembali ada pesan masuk dari Monica.
Ini ya Sista, lo tlp aja, gw udah info orangnya lo sodara gw
Ok bebs, thx a lot.Segera kusimpan contact no yang di berikan Monica, kemudian menghubunginya. Setelah deal, yang punya rental dengan senang hati mau membawakan motornya ke kostanku. Menunggu sekitar sejaman akhirnya motor sewaanku datang juga. Sekaraang pertanyaannya, aku mau pergi kemana? Aku mulai googling area-area sekitaran kostanku dulu, siapa tahu ada yang menarik. Setelah sekian lamaaa…..Akhirnya aku memutuskan lebih baik tidur siang saja. Penjelajahannya mulai minggu depan saja. Hehehehe.
Entah sudah berapa lama aku tertidur, kulihat di jam di ponselku menunjukkan pukul 3 siang. Lapaaaarr….pantes udah lewat jam makan siang. Masih sambil berbaring malas-malasan aku meraih ponselku dan membuka beberapa pesan masuk. Dari Monica menanyakan kabar motornya, segera aku balas.
Udah diterima bebs, tapi blom gw pake, lagi mager. Kemudian ada sebuah pesan dari nomor tanpa nama
Vio… lagi ngapain? Siapa ya, pikirku, kuketik sebuah balasan
sorry nomor kamu belum ke save, ini siapa ya?Dan ada pesan dari the man next door
Udah makan belum?Nah ini, pas banget nanyain makan pas perut keroncongan. Segera aku balas
Belum, aku baru bangun. Kenapa? Mau nraktir kah?Sebuah balasan dari nomor tanpa nama
makanya di save dong! Biar nanti kalau kamu udah siap cerita langsung bisa telpon aku. Aku berpikir, apa ini nomornya Hanggara, ya?
Angga ya?Langsung kuterima balasannya tapi hanyaemoticon senyum dan aku yakin ini dia.
Kubalas lagi
Luka n lebam-lebamnya apa kabar?
Udah ga sakit tapi masih keliatan lebamnya
Good. Besok buka jaritannya, inget kan?
Untung kamu ingetin
OMG. Pasang reminder!
Kamu aja yang jadi reminderku
Wani piro?
Berapa pun, apa pun, terserah kamuAku berpikir sejenak, apa maksudnya? Ok, let’s treat it as a joke.
Kayaknya bakalan susah…. Nyerah aja dah.
Kok gitu?
Ntar aku diamuk lagi, takut.
I promise, It’d be the last.
I’ll think ‘bout itBeberapa lama aku tunggu tidak ada balasan lagi. Juga tidak ada balasan dari Monica. Mungkin dia lagi sibuk. Pun dari Fandra, sama saja tidak ada balasan.
Aku terkejut ketika sebuah ketukan terdengar dari pintu kamarku. Bergegas aku bangun dan membuka pintu. The man next door berdiri di sana, dengan senyumannya yang menawan. Masih dengan jaket kulit hitamnya dan sebuah topi biru navy berlambang tanda contreng yang mendunia. Sepertinya dia baru aja datang, mungkin dari tempat kerjanya.
“Hai, aku bangunin kamu ya?”
“Ngga, aku udah bangun dari tadi. Kenapa? Jadi mau traktir aku makan?”
Dia tertawa renyah. “Jadi, ayo!” ajaknya.
"Serius? Beneran?" tanyaku tidak percaya.
"Iya beneran, ayo!"
“Wait, cuci muka dulu, tapi kamu ga mau istirahat dulu, baru pulang kerja kan?”
“Cepetan, nanti keburu tutup!” balasnya masih dengan senyum mengembang. Karena perintahnya seperti itu ya aku manut-manut saja, dia yang lebih paham. Dan aku sepertinya mulai percaya padanya. Aku segera mencuci muka, gosok gigi super cepat, tidak perlu sisiran karena rambut ikalku yang sebahu tidak terlalu rewel cukup dikuncir saja, dan sebuah cardigan hitam untuk menutupi kaosku yang lecek karena kupakai tidur tadi, dan celana pendek selutut sepertinya tidak apa-apalah.
“Ayo!” ajakku padanya setelah mengunci pintu kamar. Dia yang sedang menunggu duduk di atas tembok balkon, dengan sigap meloncat turun.
“Ntar ya, aku pinjem helm dulu,” ujarnya ketika kami sampai diujung tangga bawah
“Eh, ngga usah, aku ada helm kok. Pake motorku aja,” sahutku
“Dapet dari mana?” tanyanya. Kini giliran dia yang mengikutiku ke parkiran motor
“Sewa…tadaaaa…” ujarku memamerkan motor sewaanku. Dia tersenyum kecil.
“Pakai motorku aja.” Dan dia segera naik ke atas motornya yang sepertinya dengan sengaja dia parkir di luar.
Aku menurutinya saja. Bergegas membukakan pintu gerbang dan kemudian naik di belakangnya. Aku masih belum tahu ke mana dia akan membawaku. Mudah-mudahan kali ini dia tidak membawaku kabur.
Dia menyusuri jalan utama, menuju persimpangan utama dan belok ke kanan beberapa ratus meter kemudian belok kiri masuk ke jalan yang lebih kecil, lurus terus ke barat dan violaaa….. PANTAI!!!
“Waahhh pantai!!!” refleks aku berteriak saking girangnya. Ngga menyangka kalau kostanku ternyata deket banget dari pantai.
“Ini Pantai Kedonganan biasanya buat nelayan cari ikan. Kalau Pantai jimbaran ada di sebelah sana, tau kan yang terkenal dengan restoran-restoran pinggir pantainya itu, tapi sama sekali ga cocok buat kantong anak kostan,” dia tertawa sambil menjelaskan tentang tempat yang kami kunjungi ini. Dia memarkirkan motornya dan aku pun mengikuti kemana pun dia melangkah.
Suasana tempat ini sangat ramai dengan berbagai macam pedagang dan juga pembeli, atau pun orang-orang yang sekedar berkunjung, semua berbaur jadi satu. Hanya sekitar 2 meter dari tempatku berjalan saat ini sudah bibir pantai, ada beberapa perahu nelayan yang bersandar dan orang-orang yang hilir mudik mengangkut tangkapan dari perahu ke tepian.
“Kalau di sini pasar ikannya, itu di sana.” Tunjuknya ke sebuah bangunan yang tertutup. “Tapi ada juga yang jualan langsung dipinggir pantai begitu ikan-ikannya selesai di timbang di bagikan ke pedagang pengecer. Jadi nanti kita beli ikan, trus ada banyak tempat yang bisa kita pilih buat bakar ikan-ikan yang kita beli, ongkosnya ga mahal dan udah komplit dapat sambalnya juga.” Jelasnya lagi.
Aku hanya diam mendengarkan. Mataku dengan rakus melihat kesegala penjuru tempat ini, sangat menarik buatku. Ah, aku senang sekali.
“Kamu mau ikut ke dalam beli ikannya apa nunggu di luar aja?” tanyanya membuyarkan pikiranku
“Ikutlah, aku pengen liat,’ sahutku.
“Yakin mau ikut?Di dalam itu kayaknya ga bakalan nyaman buat kamu.”
“Ya jelas ga nyamanlah, namanya juga pasar, apalagi pasar ikan.”
“Di dalam itu becek, bau amis, kotor, dan himpit-himpitan lho! Kamu di sini aja ya!”
“Trus ngapain kamu ajak aku ke sini kalau aku harus diem di luar?” protesku
“Ya… aku cuma pengen biar kamu tahu aja..” sepertinya dia tahu kalau dia salah ucap dengan menyuruhku diam di luas saja.
“Mama aku itu punya usaha catering, dan setiap minggu aku yang tukang belanja ke pasar, so…. kamu ga usah takut aku mabok di dalam sana, ayo!” Aku gregetan sekali dengan sikapnya yang sepertinya berpikir kalau aku ini cewek metropolitan yang anti berkotor-kotor. Dia berjalan mendahuluiku yang tadi langsung jalan duluan seolah-olah tahu ke mana harus melangkah. Aku mengikutinya masuk ke sebuah pintu kecil yang ternyata pintu masuk ke dalam pasar yang tidak begitu luas tapi sangat padat. Para pedagang berjejer-jejer menjajakan jenis dagangan yang sama yaitu ikan dan hasil laut lainnya. Aku bisa melihat berbagai macam jenis ikan di sini dengan berbagai macam ukuran pula.
“Mau apa?” tanyanya ketika berhenti di salah satu lapak ikan.
“Kerapu,” jawabku. Setelah tawar menawar, deal harga, dia memilih dua ekor kerapu. Untuk ukuran laki-laki dia lumayan ahli menawar. Aku saja yang sering ke pasar masih kalah, karena aku ga suka menawar. Kebiasaan buruk yang paling dibenci Mamaku kalau menyuruhku belanja ke pasar, aku lebih suka langsung tanya harga, kalau cocok dipilih barang yang dimau lalu bayar, kalau harga ga cocok ya tinggal pergi cari pedagang yang lain.
“Kamu ahli menawar ternyata ya?” bisikku ketika dia sudah selesai membayar. Dia hanya tertawa kecil. Bukannya keluar dia malah berjalan keliling lagi, entah apa yang dicari. Lalu dia berhenti di salah satu lapak dan mulai lagi menawar harga udang dan cumi.
“Fan, ga kebanyakan?” tanyaku, “kayaknya kamu lapar mata aja nih?”
Dia tertawa lagi. “Tenang, aku makannya banyak kok.”
Selesai membayar barulah kami keluar dari pasar. Dia mengajakku ke satu warung yang menjajakan jasa bakar ikan, yang sepertinya sudah sering dia datangi karena si penjual langsung kenal begitu dia datang. Dia memintaku mencuci tangan di wastafel yang sudah disiapkan di sana karena tadi aku juga sempat mentowel-towel beberapa ikan.
“Kamu sering ke sini ya?” tanyaku ketika kami sudah duduk di salah satu meja yang disediakan oleh pemilik warung. Di sepanjang jalan kecil ini banyak sekali warung-warung yang menawarkan jasa bakar ikan. Tidak sedikit kulihat ada juga bule-bule yang berbelanja langsung ke pasar ikan tadi.
“Lumayan, kalau lagi pengen makan seafood.”
“Ini kita harus makan di sini ya?”
“Ga kok, bisa dibungkus juga, tapi kalau kamu mau makan di sini juga bisa.”
“Enaknya gimana?”
“Makan di kost-an aja. Sekalian ntar bungkus nasinya juga.”
“Tunggu di sini…” katanya lalu berlalu pergi. Kulihat dia mendekati pedagang es kelapa muda. Dia melihat ke arahku, begitu tahu aku memperhatikannya dia menggerakkan bibirnya seperti bertanya apa aku mau es kelapa. Aku mengangguk mengiyakan.
Sambil menunggu aku iseng melihat ponselku. Beberapa pesan dari Hanggara.
need your decision asap
Kok diem? Tidur lagi?
Vio?Karena sudah terlanjur aku baca, jadi aku balas saja pesannya
sorry….. lagi di jalan. Nanti aku chat lagi yaFandra datang sambil menenteng dua kantong plastic. Satu diserahkan padaku dan satu lagi diletakkan di atas meja.
“Kok banyak?” tanyaku
“Iya sekalian buat ntar di kostan."
“Wah makan besar nih!” seruku girang yang disambut dengan senyumannya.
“Ntar tinggal beli sayurannya aja.”
“tapi gimana masaknya?”
“Kan ada dapur.”
“Di sebelah mana?”
“Jadi kamu ga tau?”
Aku menggeleng.
“Itu lho pintu yang ada diantara tangga, nah di sana dapurnya, emang sih jarang dipakai, tapi perlengkapannya komplit kok. Ada kulkas juga, tapi kalau kamu simpan sesuatu di kulkas lebih baik di masukin kotak trus isi nama.” Jelasnya.
“Kamu udah lama ya kost di sana?”
“Sekitar setahunan, pas aku mulai kerja di sini lah.”
“Jadi emang dari awal di sana ya, belum pernah pindah-pindah?”
“Belum, betah lah di sana, aman dan nyaman,” sahutnya tersenyum, “Mudah-mudahan kamu juga nyaman di sana.”
“Amin.” Sahutku. “Sebelum kerja di hotel ini, kamu pernah kerja di mana?”
“Aku kerja pindah-pindah terus.”
“Dimana aja? Seputaran Bali aja atau pernah di luar Bali juga?” desakku
“Basic awalnya aku itu dulu bartender sempat magang di Singapura sewaktu masih kuliah, sekitar 3 bulan balik ke Bali nyelesain kuliah, hampir
drop out karena suka kelayapan dari pada kuliah hehhehe,” ceritanya sambil tertawa yang kusambut juga dengan senyuman
“Tapi selesai kan?”
“Alhamdulillah, selesai.”
“Trus?”
“Teruuusss… aku coba ngelamar di kapal pesiar, tapi bayarnya mahal, jadi aku pikir coba dulu di sini cari pengalaman kerja, ketrima magang di salah satu restoran di Seminyak, sempet part time juga jadi waitress di club malam, trus naik pangkat jadi bartender, trus aku ikut ngelamar kerja di Turki di Hotel, syukur bisa ketrima. Kerja di turki sekitar 2 tahunan, setelah kontrak selesai, ga aku perpanjang. Trus ada lowongan di Dubai, aku coba ngelamar dan ketrima lagi, di Dubai sekitar 4 tahunan. Trus pindah ke sini deh.”
“Trus kamu sekarang jabatannya Food and beverage apa? Ngga mungkin staff kan?” Aku menekankan pada kata 'staf'
“hahahhaha,” dia tertawa, “kenapa ga mungkin? Bisa aja kan?”
“Jadi apa?” Aku masih menuntut jawabannya
“Yah pokoknya kerja aja lah, ga penting jabatan apa, yang penting kerja dapat uang, makan, nikmati hidup, dan bersyukur, seperti sekarang ini, apa yang kurang coba, jalan-jalan dan makan ditemenin cewek cantik hehehe,” dia terkekeh dan sukses membuat wajahku memanas.
“Bagus!” kuacungkan dua jempolku di depannya, berusaha agar tidak ketahuan kalau wajahku memerah karena pujiannya. “Sering-sering ya, dengan senang hati aku temenin.”
Dia semakin tergelak.
Tidak beberapa lama, makanan kami pun jadi. Dia menolak ketika aku memaksa mambayar. Ya sudah, jadilah hari ini aku ditraktir full olehnya.
Sebelum kembali ke kost, dia mampir di sebuah warung yang menjual sayuran, membeli beberapa sayur untuk teman makan nanti.
Sampai di kost pun dia yang menyiapkan segalanya. Berhubung aku ngga punya alat makan, jadilah alat makannyalah yang dikeluarkan semua, meja kecil yang disediakan oleh pemilik kost kami keluarkan dan diletakkan jadi satu supaya lebar. Meja itu kami tempatkan di depan kamarku dilorong balkon, meski tempatnya sempit tapi muatlah. Dia juga yang memasak sayurannya dan aku hanya kebagian tugas memotong dan mencuci saja.
“Kamu sepertinya ahli banget ya urusan dapur,” kataku ketika kami sudah duduk dan menikmati makanan
“Udah biasa hidup di rantau hehehe,” ujarnya dengan mulut penuh makanan.
“Ikannya enak banget, Fan, sambelnya mantaf banget!”ujarku sambil mendesis kepedasan. Bergantian aku mencomot ikan, lalu udang lalu cumi dan mencocolnya ke 2 jenis sambal yang berbeda, ada sambal matah khas Bali juga. Benar-benar nikmat banget.
Dia tertawa melihatku kepedasan. Lalu menyodorkan segelas es kelapa muda yang dia beli tadi.
“Minum dulu, muka kamu sampe merah gitu, lho.” Katanya. Aku meneguk minuman yang dia berikan dan langsung habis setengah gelas besar.
“Pedes banget ya?” tanyanya lagi
“Iya… banget, tapi enak, nagihin.”
“Awas kalau ga kebiasan nanti sakit perut.”
“Aku biasa kok makan pedes tapi ga sepedas ini.” Sekali lagi aku mencomot ikan dan ketika hendak mencocolnya ke sambal, buru-buru mangkok sambalnya di ambilnya
“Kenapa?”
“Ntar aku ada sambal yang lain tapi ga pedes, kamu cobain deh.”
Dia berdiri dan masuk ke kamarnya. Kemudian dia datang sambil membawa sebuah botol salah satu merk kecap terkenal.
Dituangkannya sedikit di piringku, “coba dulu, kamu suka ga?” Kucocol dengan ikan yang tadi aku comot, teksturnya tidak cair dan juga tidak terlalu kental, rasanya campuran antara asam, agak manis, dan sedikit asin, tapi yang dominan adalah asam, sangat pas dengan ikan dan apalagi aku suka makanan yang ada rasa asam-asamnya. Kalau di campur dengan ikan yang sudah ada sedikit bumbunya yang juga sedikit pedas, ini jadinya enak banget
“Enak, ini apa?” tanyaku setelah merasakan rasanya
“Ini saos racikanku, hasil eksperimen waktu kerja di Turki. Beneran enak?”
“Kalau cuma saosnya aja, mungkin ga terlalu meledak, tapi karena di campur dengan sambal yang sedikit pedas di ikannya jadi komplit rasanya, jadi enak banget.”
Dia tersenyum, “komentarmu ternyata sama kayak temenku lainnya yang udah cobain ini.”
“Oh ya, beneran ini enak lho.” Aku menyuap lagi beberapa potong udang dan cumi yang kucocol dengan sambal racikannya.
Sebuah panggilan dari ponselku, sedikit membuatku kaget, dan buru-buru masuk ke kamar karena begitu sampai kostan aku tidak ada menjamahnya dan kugeletakkan saja di kamar. Sebuah panggilan dari Ardi.
“Hola, what’s up?” tanyaku begitu tersambung
“Lo dikostan ga?” tanyanya
“Iya. Kenapa?”
“Gw di depan kostan lo nih, keluar dong!”
“What?? Kenapa ngga bilang mau ke sini,” bergegas aku keluar kamar dan turun menuju ke gerbang. Sempat kulihat Fandra masih makan dan hanya menolehku sekilas yang melewatinya. Begitu gerbang kubuka, kulihat Ardi nangkring di atas motornya.
“Lo ngapain ke sini? Bukannya istirahat di rumah, muka masih lebam-lebam gitu juga.”
“Lo ga mau gw ke sini ya? Takut di gangguin ya?”
“Apaan sih lo?”
“Tuh yang makan sama lo siapa?Romantis bgt, makan di balkon gitu.”
Aku mengikuti arah mata Ardi, naik menuju ke arah kamarku. Dan ternyata memang kelihatan dari bawah sini, di sana Fandra masih asik makan sambil ngelihatin ponselnya.
“Gebetan baru ya??” Godanya
“Mulai deh lo! Dia itu temen kost gw, kamarnya sebelahan sama gw.”
“Cinlok nih ceritanya?”
“Udah deh, ga usah ngarang.”
“Tapi beneran juga ga apa-apa kok, Vi, santai aja, kan emang itu tujuan gw minta lo kesini, biar lo rileks dan nikmatin hidup lo lagi.”
“Iya, thanks bgt, gw mulai nikmati kok. Tapi bukan karena cowok lho ya!”
“Hehehe iya-iya gw ngerti.”
“Trus lo kesini mau ngapain?”
“Sebenernya sih mau ngajakin lo ke cafenya Made, tapi kayaknya lo ga bisa ya?”
“Iya nih, ga enak gw ninggalin temen gw, soalnya dia yang traktir trus nyiapin semuanya.”
“Cei…segitunya.”
“Jangan mulai deh, lo. Baik banget lho orangnya, lo tahu waktu lo nyuruh gw ke rumah sakit malam-malam, nah dia tuh yang anterin gw, mana gw waktu itu blom kenal dia udah mau nolong gw.”
“Oya? Gw pikir lo naik taksi.”
“Ga jadi, dia masih kebangun dan denger gw berisik, dia juga yang ga ngasi gw naik taksi.”
“Ya udah tapi lo tetep hati-hati ya, jangan mudah percaya gitu aja.”
“Iya gw tau.”
“Ya, udah gw cabut.” Ardi lalu bersiap naik ke motornya, sebelum dia benar-benar pergi, aku teringat satu hal yang harus kusampaikan padanya
“Eh, Di, besok lo kerja atau mau istirahat dulu?”
“Kerja, udah baikan lah gw, muka juga ga bonyok-bonyok amat.”
“Kalau gitu besok ga usah jemput gw ya, gw ke kantor sendiri aja.”
“Hmm,,, mentang-mentang udah punya temen baru nih, mau dia sekalian jadi sopir lo?”
“Ngawur bgt sih lo! Gw udah sewa motor, jadi gw bisa pergi ke manapun sesuka gw!”
“Sewa motor? Emang lo bisa naik motor?”
“Ya bisa lah, emang sih jarang-jarang gw pake motor, tapi gw bisa.”
“Tau jalan gitu?”
“Tau, klo pun kesasar kan ada google map atau gw tlp lo aja.”
“Ampun dah lo. Ya udah, tapi hati-hati lho ya, inget pake helm juga.”
“Iya gw tau.”
“Ya udah gw cabut.”
Setelah Ardi benar-benar pergi, aku kembali ke atas.
“Kok ga dihabisin?” tanyaku ketika melihat makanan masih banyak di meja
“Nunggu kamu.”
Agak kaget juga mendengar jawabannya.
“Ngapain nungguin aku, kamu makan aja. Itu tadi temenku di kantor, ngajakin ngopi.” Jelasku tanpa diminta
“Oh, jadi ntar mau pergi?”
“Ngga. Dia mau ke sana sekarang, aku ya ngga mau, pengen di kostan aja, besok biar fresh kerjanya.”
“Emang ngopi di mana?”
“Hmm… daerah Kuta, tempatnya asik sih, kapan-kapan aku ajak ke sana.”
“Boleh,” sahutnya tersenyum
“Tapi…..kayaknya aku ngga inget deh tempatnya di mana.”
Dia pun tertawa tergelak mendengarnya.
Melihatnya tertawa, merasakan nikmatnya makanan yang menyentuh di lidah, merasakan hangatnya sinar matahari, dan sejuknya semilir angin di sore ini, dengan sadar kunikmati semua ini, dan aku merasa bahagia.

JabLai cOY dan 7 lainnya memberi reputasi
8