Kaskus

Story

dwyzelloAvatar border
TS
dwyzello
(Short Story) Kisah Nyata Disesatkan Mahluk Halus Di Tengah Sawah
(Short Story) Kisah Nyata Disesatkan Mahluk Halus Di Tengah Sawah

Hai semuanya!
Kali ini aku akan berbagi cerita mistis yang secara nyata dialami oleh anggota keluargaku. Awalnya, aku cukup skeptis dengan kejadian - kejadian yang berbau horror atau sejenisnya, meskipun aku percaya, bahwa Tuhan juga menciptakan jin yang hidup berdampingan dengan manusia. Namun, aku yakin mereka hidup di dimensi yang berbeda sehingga tidak akan mungkin bisa berinteraksi langsung dengan kehidupan manusia.


Semua pemikiranku akhirnya berubah tatkala ibuku mengalami sebuah kejadian yang tak bisa dinalar dengan logika. Wallahua'lam, lambat laun aku pun menyadari kehadiran mereka.
Oke, kita mulai dari historikal ibuku dulu.


Ibuku bisa dibilang sedikit lemah bulu, dulu saat aku masih berusia kurang lebih lima tahunan, ibuku pernah mengagetkan seisi rumah. Bagaimana tidak? Saat ibuku sedang bersedih karena sesuatu yang tidak kumengerti, tiba - tiba diantara suara tangis ibuku, spontan terdengar suara wanita tua yang tertawa cekikikan. Aku dan kakak perempuanku pun terhenyak kaget, kami segera berlari menuju ke arah suara itu. Sungguh heran rasanya karena sumber suara itu ternyata dari ibuku. Bapakku hanya bisa menepuk pipinya dan berkata pelan, "Sadarlah, Bu ... sadarlah!".


Malam pun semakin larut, kira - kira waktu itu, jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Bapak dengan sigap segera membopong ibuku ke dalam kamarnya lalu merebahkannya di atas kasur, sembari terus berusaha menyadarkannya. Aku yang saat itu masih kecil hanya bisa terdiam melihat ibuku menunjukku dengan telunjuknya, sembari terus tertawa cekikikan.


"Koe sopo? (Kamu siapa?)" kata ibuku dengan suara serak nan tinggi seperti suara nenek - nenek. Kami hanya bisa terperangah, menatap ibuku yang menunjuk satu - persatu diantara kami dengan menyuguhkan pertanyaan yang sama.


"Lho lha ini anak lelakimu, Joko! Sadarlah Bu!" ujar bapak yang tak terlihat panik sama sekali.


Kutatap kakak perempuanku yang tiba - tiba beranjak mengambil air minum, lalu ia pun berkomat - kamit di atas gelas air minum itu, kemudian meniupnya.


"Bu, minum ini!" seru Kakakku yang saat itu sudah sekolah SMP. Tahukah bagaimana reaksi ibuku saat itu? Ia kembali tertawa cekikikan seperti mengejek perbuatan konyol kakakku. Kakakku hanya bisa menangis khawatir, sembari terus menciumi tangan ibuku.


Disaat ibuku masih dalam pengaruh kesurupan itu, beberapa kali sosok ibuku kembali, lalu tak lama kemudian, ia kembali lagi menjadi sosok yang lain.


"Simbah iki wonge apik, Pak! Dekno ora gelem nyakiti aku ... dekno wong apik, wonge seneng milu aku jarene, (nenek ini orangnya baik, Pak, beliau tidak akan menyakiti aku kok. Katanya beliau suka ikut sama aku,)" jelas ibuku dengan mata terpejam dan suara yang terdengar begitu lemas. Pokoknya yang paling aku ingat saat ibuku setengah sadar, ia menjelaskan bahwa nenek yang merasukinya adalah orang yang baik dan sosok yang berambut putih, panjang dan awut - awutan. Melihat ibuku yang tak kunjung sadar, bapak kemudian menyuruh kami untuk tak perlu khawatir dan segera pergi tidur karena waktu sudah menjelang dini hari. Aku pun tak tahu apa yang dilakukan bapak kepada ibu setelah itu. Namun ketika pagi menyongsong, ibuku sudah kembali seperti sedia kala.


Itulah sepenggal kisah yang menjadi awal mula bagi beliau, hingga kerap kali ibuku merasakan hal - hal yang tak lazim.


Pernah saat itu, ibuku tiba - tiba berlari kesana - kemari sembari bersungut - sungut.


"Koe mambu kembang melati, ora? (Kamu nyium bau bunga melati tidak?)" tanya ibuku dengan air muka penasaran.


Mendengar hal itu, kukembang - kempiskan hidungku untuk mencari sumber bau yang dikatakan oleh ibu. Tapi, tetap saja aku tak mencium bau wangi apapun. Tak hanya indera penciuman, terkadang ibuku mendengar suara - suara aneh yang tidak kami dengar sama sekali. Seperti suara wanita meraung dan minta tolong, suara orang sedang bertengkar dan suara - suara aneh lainnya.


Pernah suatu hari, ada sepupuku yang main ke rumah tanpa ibunya. Usianya sekitar empat tahunan. Saat waktu senja mulai datang, sepupuku merengek untuk diantar pulang ke rumahnya karena ia mencari ibunya. Dengan terpaksa, ibuku lah yang akhirnya mengantar pulang sepupuku dengan sepeda motornya. Saat itu sedang bulan puasa, sehingga setelah mengantarnya, ibuku segera bergegas pulang ke rumah.


Hari pun semakin petang dan jalanan desa semakin sepi. Rumahku bisa dibilang agak mblusuk atau jauh dari jalan raya. Sehingga, ibuku harus melewati area persawahan yang cukup panjang untuk bisa sampai ke rumah. Saat melewati area persawahan, tiba - tiba ibuku dikejutkan oleh sosok tinggi besar dan semua tubuhnya berwarna hitam. Sosok itu berdiri di tengah jalan sembari melototi ibuku yang saat itu hendak melewatinya. Syukurlah rasa syok ibuku masih bisa ia kendalikan, lalu beliau dengan rasa takut dan panik segera mempercepat laju motornya menyusuri jalanan yang terjal.


Spoiler for Posisi genderuwo tersebut berdiri ( jembatan ini memang terkenal horror di desa ane, oleh karena itu, pepohonan di sana dipangkas warga agar lebih terang dan bersih ):

Source : google maps

Itulah beberapa hal yang kutahu pernah dialami ibuku sebelum kejadian yang akan kuceritakan selanjutnya ini terjadi.


*****

Belum lama ini, ibuku jatuh tanpa sengaja di suatu tempat hingga kaki kirinya sakit, lebam dan tak bisa berjalan hingga berhari - hari. Lambat laun karena proses pengobatan, ibuku akhirnya bisa berjalan sedikit demi sedikit meskipun jalannya pincang. Namun, sakitnya tersebut mengakibatkan beliau tidak bisa menjalankan bisnis jualannya sehingga keuangan kami agak tersendat dan membuat penyakit darah tinggi ibuku kumat.


Suatu hari di tengah sakitnya itu, ada acara selamatan di rumah bibiku. Di dalam tradisi keluarga kami, rewang adalah keharusan apabila ada saudara yang memiliki hajat atau acara. Biasanya, ibuku memang paling cekatan jika rewang di rumah saudaraku. Namun, sakitnya tersebut membuat tenaganya lesu sehingga beliau hanya bisa membantu sebisanya saja. Karena itulah bibiku yang terkenal vokal bicaranya itu, berkata agak keras karena ibuku yang tak cekatan saat sedang repot - repotnya. Ibuku akhirnya sakit hati dan memutuskan untuk tak meneruskan kegiatan rewangnya.


Sore harinya, ibuku memutuskan untuk ikut ke sawah bersama dengan bapakku sembari menyiangi rumput di sekitar tanaman padi miliknya. Saat sedang duduk bersantai dengan bapak, terjadi perdebatan kecil yang membuat ibuku lebih sensitif.


"Bu, aku mau cari rumput sebentar buat menuhin karung, kamu tunggu di sini saja." ujar bapak kepada ibuku. Ibuku pun mengiyakannya. Bapak pun kembali melanjutkan kegiatan merumputnya.


*****

Matahari mulai bersembunyi, langit senja mulai nampak di langit. Motor bapak seketika terdengar berderu di depan rumah. Ia terlihat terburu - buru sekali saat membuka pintu.


"Joko, Ibumu sudah pulang?" tanya bapak dengan sedikit membentak.


"Belum, aku baru pulang kuliah ini, Pak." jawabku datar.


Mendengar jawabanku, bapak kembali menaiki motornya dan mengendarainya dengan secepat mungkin. Saat itu, aku santai saja tanpa berpikir macam - macam.


Adzan magrib pun berkumandang dari mushola di dekat rumah. Motor bapak kembali berderu. Namun, wajahnya kali ini terlihat lebih panik dari sebelumnya.


"Ibumu wes mulih?(Ibumu sudah pulang?)" tanya bapak lagi kepadaku.


"Urung. (belum.)"


"Gowo senter, golek'i ibumu! (Bawa senter, cari ibumu!)" Sontak aku pun ikutan panik karena tahu bahwa ibuku belum juga sampai ke rumah dan tak tahu kemana rimbanya.


*****

Bersambung..

Next (Lanjutan)
Diubah oleh dwyzello 07-05-2020 12:51
tien212700Avatar border
bukhoriganAvatar border
pipiettripitakaAvatar border
pipiettripitaka dan 67 lainnya memberi reputasi
64
24.6K
120
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.8KAnggota
Tampilkan semua post
dwyzelloAvatar border
TS
dwyzello
#23
Part 4
Quote:



.*****

kaskus-image
Source : google search


Kerongkonganku terasa sesak, kepalaku terasa nyut - nyutan. Aku marah, aku kesal, aku capek. Bagaimana bisa seorang adik ipar berani membentak kakak iparnya dengan tak sopan seperti itu. Tak tahukah dia, kalau aku ini sedang sakit, badanku lemas, berjalan saja susah, apalagi dituntut untuk rewang dengan cekatan. Kalau aku sehat pasti akan aku bantu dengan sebaik mungkin.


"Jupukne bumbu nang mejo kui, Mbak!(Ambilkan bumbu di meja itu, Mbak!)" seru adik iparku, Suketi.


"Sikilku loro nggo ngadek, Ti, (kakiku sakit untuk berdiri, Ti,)" jawabku yang saat itu menggelesot di lantai sembari memetik daun bayam untuk lalapan.


"Halah, mung sedilit ae, koe seng cedak mejo kok, ndang! (Halah, cuman sebentar saja, lagian kamu yang lebih dekat dengan meja kok, cepat!)" teriak Suketi yang sedari tadi hanya berdiri di dekat pintu.


Teriakannya itu sungguh membuatku sakit hati. Hal itulah yang membuatku akhirnya memutuskan untuk segera pulang ke rumah dan beralasan sedang tak enak badan. Karena rasa suntuk yang tak kunjung mereda, aku pun ikut suamiku untuk pergi ke sawah sembari menyiangi rumput di sekitar tanaman padiku yang sebentar lagi akan berbuah.
Setelah menyiangi rerumputan yang membuatku cukup kelelahan, aku dan suamiku memutuskan untuk beristirahat dan duduk di dekat pematang sawah.


"Adikmu kui jan ora sopan tenan, Pak, ( adikmu itu sungguh tak sopan sekali, Pak,)" kataku memulai pembicaraan alih - alih ingin curhat kepada suamiku.


"Lha wataknya kan memang sudah begitu dari dulu, ngunu wae tersinggung, (gitu aja tersinggung,)" jawab suamiku sembari mengisap rokoknya.


"Koe kok malah mbelani dekno to? Mbok diomongi ojo mbengok - mbengok nek semaur karo Mbakyune! (Kamu kok malah belain dia sih? Harusnya dibilangin jangan teriak - teriak kalau ngomong sama Mbaknya!)" tukasku kesal.


"Wes, wes, aku tak ngaret meneh, dilit meneh rampung, tunggunen sik.(sudah - sudah, aku tak merumput lagi, sebentar lagi selesai, tunggu dulu ya.)"


Suamiku pun berlalu dan melanjutkan kegiatan merumputnya, karena kami sadar bahwa waktu sudah hampir senja. Sudah saatnya untuk merampungkan pekerjaan dan segera pulang. Namun, yang membuatku semakin kesal, suamiku malah meremehkan pengaduanku tentang adik perempuannya itu. Ia menganggap, perbuatan adiknya adalah suatu hal yang wajar dan tidak perlu dipikirkan. Padahal sudah jelas - jelas perangainya itu berhasil membuat hatiku marah dan geram.


Kepalaku kembali pusing, kuputuskan untuk berjalan - jalan sebentar dan melihat - lihat tanaman padi milik kami. Kuseret kaki kiriku dan berjalan menyusuri hamparan padi yang sudah meninggi dan hijau itu.


Semburat mega merah semakin tampak, entah kenapa aku penasaran untuk menengok tanaman padi milik anak perempuanku. Aku pun terus berjalan menyusuri gundukan pematang sawah dengan kaki pincangku. Tak apa capek sedikit, siapa tahu bisa meluruhkan rasa emosiku.


Sampailah aku di sawah milik anak perempuanku, rasa syukur yang mendalam kupanjatkan kepada Gusti Allah karena tanaman tersebut bisa tumbuh dengan begitu baik.


Setelah puas melihat - lihat tanaman padi, aku pun berniat untuk kembali menyusul suamiku, siapa tahu ia sudah selesai merumput. Kuseret kakiku menuju ke arah dimana suamiku merumput, namun sawah terlihat sepi, hening dan tak ada siapapun di sana. Aku pun meneriaki nama suamiku.


"Bapak Joko! Bapak Joko!" seruku berulang - ulang.


Namun, tak ada sahutan sama sekali. Jangan - jangan ia sudah pulang duluan. Kupanggil sekali lagi sembari memutari sawahku, siapa tahu badannya tak terlihat karena tertutup tanaman. Lagi - lagi tak ada sahutan darinya.


"Dasar tego tenan! Aku ditinggal mulih disikkan! (Dasar tega sekali! Aku ditinggal pulang duluan!)" umpatku kesal sekali.


Sudah emosi, ditambahi perkara lagi, membuat hatiku semakin uring - uringan. Awas saja nanti kalau aku sampai rumah, akan kuomeli suamiku karena telah meninggalkanku.


Hari semakin petang, angin semilir mulai mendinginkan badan. Aku memutuskan untuk pulang berjalan kaki saja. Meskipun jalanku pincang, sedikit - sedikit pasti bisa sampai rumah. Menyesal rasanya aku tidak membawa HPku. Kalau ada HP, aku bisa menghubungi Joko untuk menjemputku.


Jalan utama menuju ke rumah terlihat begitu jauh, sedangkan jika aku pulang melewati jalan pintas, pasti akan lebih dekat. Baiklah, kuputuskan untuk pulang menerobos jalan pintas saja mumpung hari belum begitu gelap.


Kuseret kembali kakiku, menuruni petak - petak sawah yang landai. Tiba - tiba kulihat di sekitar sawah di dekat jembatan bambu, ada kurang lebih sepuluh ibu - ibu yang hendak pulang dari sawah. Aku pun tersenyum lebar, senang bukan main rasanya karena ada kawanan lain yang berbarengan denganku. Sebagian dari mereka sedang membawa caping dan rantang makanan.


"Arep mulih juga to Mbakyu? (Mau pulang juga ya Mbak?)" sapa salah satu diantara mereka.


"Nggih, Mbak," jawabku sembari melempar senyum.


"Sikile sampean loro to, Mbak? Wes kene bareng adewe wae mulihe,
(Kakinya sakit ya, Mbak? Yasudah ayo kita pulang sama - sama,)" tawar salah seorang yang tersenyum lebar kepadaku.


Aku pun mengangguk, menyeret kakiku lebih cepat lagi untuk menyusul mereka yang berhenti sejenak menungguiku.


*****

Bersambung..

Next
Diubah oleh dwyzello 29-04-2020 06:49
arip1992
nunuahmad
banditos69
banditos69 dan 13 lainnya memberi reputasi
14
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.