- Beranda
- Stories from the Heart
CATATAN VIOLET
...
TS
drupadi5
CATATAN VIOLET

Perjalanan ini akan membawa pada takdir dan misteri hidup yang mungkin tak pernah terpikirkan.
Ketika sebuah kebetulan dan ketidaksengajaan yang kita sangkakan, ternyata adalah sebuah rencana tersembunyi dari hidup.
Bersiaplah dan arungi perjalananmu
Kota Kenangan1
Kota Kenangan 2
Ardi Priambudi
Satrya Hanggara Yudha
Melisa Aryanthi
Made Brahmastra Purusathama
Altaffandra Nauzan
Altaffandra Nauzan : Sebuah Insiden
Altaffandra Nauzan : Patah Hati
Altaffandra Nauzan : the man next door
Sepotong Ikan Bakar di Sore yang Cerah
Expired
Adisty Putri Maharani
November Rain
Before Sunset
After Sunrise
Pencundang, pengecut, pencinta
Pencundang, pengecut, pencinta 2
Time to forget
Sebuah Hadiah
Jimbaran, 21 November 2018
Lagi, sebuah kebaikan
Lagi, sebuah kebaikan 2
Perkenalan
Temanku Malam Ini
Keluarga
03 Desember 2018
Jimbaran, 07 Desember 2018
Looking for a star
Ketika daun yang menguning bertahan akan helaan angin
Pertemuan
BERTAHAN
Hamparan Keraguan
Dan semua berakhir
Fix you
One chapter closed, let's open the next one
Deja Vu
Deja Vu karena ingatan terkadang seperti racun
Karena gw lagi labil, tolong biarin gw sendiri...
Semua pasti berujung, jika kau belum menemukannya teruslah berjalan...
Kepercayaan, kejujuran, kepahitan...
Seperti karang yang tidak menyerah pada ombak...
Damar Yudha
I Love You
Perjanjian...
Perjanjian (2)
Christmas Eve
That Day on The Christmas Eve
That Day on The Christmas Eve (2)
That Day on The Christmas Eve (3)
Di antara
William Oscar Hadinata
Tentang sebuah persahabatan...
Waiting for me...
Kebohongan, kebencian, kemarahan...
Oh Mama Oh Papa
Showing me another story...
Menjelajah ruang dan waktu
Keterikatan
Haruskah kembali?
Kematian dan keberuntungan
The ambience of confusing love
The ambience of love
Kenangan yang tak teringat...
Full of pressure
Persahabatan tidak seperti kepompong
Menunggu, sampai nanti...
Catatan Violet 2 (end): Mari Jangan Saling Menepati Janji
Jakarta, 20 Juni 2019 Lupakanlah Sejenak
Menjaga jarak, menjaga hati
First lady, second lady...
Teman
Teman?
Saudara
Mantan
Mantan (2)
Pacar?
Sahabat
Diubah oleh drupadi5 14-05-2021 15:13
JabLai cOY dan 132 lainnya memberi reputasi
129
23.8K
302
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
drupadi5
#20
Altafandra Nauzan 3 : Patah Hati
Dari pembicaraan singkat Ardi dan Hanggara, kutahu kalau sekarang Ardi sedang melajukan mobil ke kediamaan Hanggara. Tak lupa aku meminta Ardi mampir membeli makanan karena tidak satu pun dari mereka tersentuh makanan dari tadi.
Ternyata rumah Hanggara tidak terlalu jauh dari kantor. Bangunannya hampir serupa dengan bangunan kantornya, yah, dia tinggal di salah satu villa milik orang tuanya, pantas saja tadi aku lihat ada dua lagi bangunan serupa di sebelah rumahnya ini.
Aku akui rumahnya nyaman dan bersih untuk ukuran laki-laki, apalagi dia tinggal sendirian di sini. Seperti biasa aku dapat info ini dari Ardi, sewaktu menyiapkan makanan untuk mereka.
Ardi dan Hanggara yang sedang duduk di ruang tengah menghentikan obrolannya ketika aku datang membawa makanan untuk mereka.
“Makan dulu,” aku menyodorkan piring kepada mereka berdua.
“Kamu mana?” tanya Hanggara karena aku hanya berdiri ngeliatin mereka.
“Nanti aja, blom laper.” Lalu aku mengambil obat yang tadi kuletakkan di atas meja makan di dapur.
Kembali ke ruang tengah, aku duduk di samping Ardi. Di ruang tengah Hanggara ini, ada satu TV LED besar entah berapa inchi ukurannya, aku tidak hapal. TV nya menempel di dinding dan di bawahnya diletakkan buffet panjang tempat barang-barang. Di depannya terhampar karpet berbulu halus dan lembut dengan bantal-bantal besar teman duduk lesehan.
“Ini obat lo, petunjuknya udah ada di bungkusnya,” kataku pada Ardi dan meletakkan kantong obat itu di sampingnya.
“Yang di atas buffet itu, punya kamu ya.” Kebetulan Hanggara memandangku. Dia hanya mengangguk kecil, mungkin dia ga bisa menjawab karena sedang mengunyah.
“Oh ya, perban kamu nanti harus dilepas, kata perawatnya ga usah diperban lagi tapi di jaga biar tetep kering. Yang lebam-lebam harus dikompres biar ga terlalu besar bengkaknya. Sama ada surat kontrol juga, lagi tiga hari, jahitan yang di pelipis harus dibuka,” jelasku.
“Ada pertanyaan?” celetuk Ardi pada Hanggara dengan wajah yang dibuat-buat serius. Hanggara malah tertawa melihat Ardi.
Akhirnya, aku bisa melihat dia tertawa lagi.
“Ada pertanyaan, ngga? Mumpung asisten dokternya ada di sini, nih.”
Aku melempar satu bantal besar ke Ardi dan tepat mengenai wajahnya. Sontak dia mengerang kesakitan.
“Lebay lo, cuma memar gitu aja sakit!” ejekku
“Sakit tau!” bentaknya kesal.
Tapi aku ngga peduli, yang penting aku bisa melihat Hanggara tertawa, sudah cukup. Rasanya senang aja bisa membuat orang yang sedang bersedih sedikit terhibur.
Aku berdiri lalu berlalu ke dapur. Kubuka lemari es dua pintu super geude di samping kitchen set. Aku berdecak melihat isinya, sangat mencerminkan isi kulkas orang yang tidak bisa masak. Tidak ada bahan baku buat memasak, adanya hanya minuman kaleng, frozen food, telur, bahkan kopi sachet juga masuk ke kulkas.
Kulkasnya aja gede tapi ga ada isinya, batinku. Untungnya yang kucari ada di sana. Lumayan banyak es batu di freezer. Ini buat kompres, pikirku. Aku mengambil kantong plastik yang masih bersih dan memasukkan es batu ke dalamnya, setelah ini dibungkus dengan kain supaya dinginnya tidak terlalu menyengat. Tapi tidak kutemukan kain, bahkan kain lap pun tidak ada, hanya ada tisu. Aku bergegas kembali ke ruang tengah.
“Angga, kamu punya kain ga? Ukuran sedang aja.”
“Sebentar,” dia lalu berdiri dan masuk ke salah satu kamar yang sepertinya kamar tidurnya.
Dia muncul lagi dengan sebuah handuk melingkar di lehernya dan sepotong kain yang lumayan lebar. Dia memberikan kain itu padaku.
“Kamu mau mandi?” tanyaku
“Iya, gerah.” Katanya
“Inget luka di pelipis sama dahi ga boleh kena air lho ya, mending jangan cuci muka dulu, di lap aja.”
“Siap!” Dia menjentikkan jari-jarinya di kepala tanda memberi hormat sambil tersenyum padaku.
“Mending lo ambil part time jadi perawat pribadinya Angga aja, Vi,” celetuk Ardi yang lagi-lagi menggodaku.
“Diem napa!?”Bentakku sebal, “Siniin piring lo!”
“Hehehe… thank you Vio,” celetuknya lagi sambil menyodorkan piringnya padaku.
Aku mengambilnya, begitu juga dengan piring makan Hanggara dan membawanya ke dapur.
***
Aku sedang meletakkan alat-alat makan di rak, ketika Hanggara datang ke dapur. Kulihat di tangannya dia membawa handuk kecil dan di tangan satunya membawa kotak P3K.
“Mau ngapain?” tanyaku ketika kulihat dia seperti kebingungan.
“Mau bersihin wajah.”
“Sebentar.” Aku menuangkan air panas yang tadi aku rebus ke dalam baskom dan mencampurnya dengan air dingin agar hangat. Kuletakkan di atas meja makan.
“Sini aku bantuin, sekalian lepasin perbannya.”
Hanggara masih mematung di sana.
“Sini, duduk!” Kali ini dia menurutiku.
Duduk di salah satu kursi dan aku mengambil handuk kecil itu darinya.
Pertama-tama aku lepaskan perban di lukanya. Air hangat kubagi dua, satu untuk membersihakan luka, satu lagi untuk mengelap wajahnya nanti. Aku membersihkan lukanya dengan kapas bersih, kemudian mengoleskan obat untuk luka luar. Setelah selesai dengan semua lukanya. Barulah aku mengelap wajahnya perlahan. Dia hanya diam sewaktu aku melakukan semuanya itu.
Jujur saja, tanganku sedikit gemetaran dan jantung agak terpacu lebih cepat karena jarak aku dan Hanggara begitu dekat dan yang paling mengusik adalah aroma maskulinnya yang menguar sangat mengganggu penciumanku dan langsung memberi stimulus ke otak.
“Sakit?” tanyaku ketika aku melihatnya meringis sewaktu aku mengelap bagian wajahnya yang lebam. Sekalian menghilangkan ketegangan di otakku juga.
“Sedikit.” Sahutnya lirih.
Aku memelankan usapanku pada setiap bagian wajahnya yang lebam.
“Sudah. Obatnya sudah di minum?” tanyaku
“Belum.” sahutnya sambil merapikan kotak P3K. Aku bergegas ke ruang tengah, mengambil obatnya. Kulihat Ardi terlentang di depan TV, sepertinya dia tertidur.
“Di…Ardi….” Aku menggoyang-goyangkan badannya.
“Hah…” tergagap dia terbangun
“Udah minum obat?”
“Bloom…,” katanya
“Jangan tidur, minum obatnya dulu, ntar aku ambilin,” sahutku bergegas ke dapur, mengambil air.
Setelah aku memberikannya obat, dia langsung meringkuk memeluk bantal. Kasihan dia, pasti ngantuk banget, semalaman ngga tidur.
Ketika aku kembali ke dapur, kulihat Hanggara sedang mencuci baskom yang kupakai tadi.
“Biarin aja, ntar aku beresin. Obatnya udah kamu minum?”
“Belum.”
Lagi-lagi aku siapkan obat untuk Hanggara. Tapi, dia masih saja di depan wastafel, entah apa yang dicuci. Kutepuk punggungnya, dan dia pun menoleh kaget. Aku terkejut ketika melihat matanya berkaca-kaca. Kembali aku merasakan desiran di dadaku, sesuatu yang dulu, duluuu sekali yang juga pernah kurasakan. Aku sangat mengerti apa yang Hanggara rasakan saat ini.
Aku mencoba mengacuhkan apa yang aku lihat dan bersikap sewajarnya
“Denger ga sih aku bilang apa tadi? Biar aku yang beresin, kamu minum obatnya,” ujarku menekankan pada setiap kata-kataku.
Emang dia aja yang bisa main perintah-perintah. Dia tidak merespon tapi menuruti perkataanku. Aku membiarkan dia meminum obatnya sendiri, sedang aku melanjutkan membereskan peralatan yang dia cuci tadi.
Kulirik dia sekilas. Dia terdiam, seperti melamun. Aku menghampirinya, sambil membereskan obat-obatnya, kuteliti satu-satu setiap bungkusnya, memastikan kalau semua obat sudah diminum.
“Mau dikompres sekarang atau nanti aja?” tanyaku
“Aku ngga ada liat kamu makan dari tadi.”
Dia berkata sambil melihat satu bungkus nasi di atas piring. Kebiasaan, setiap ditanya ngga pernah jawab atau malah balik nanya.
“Aku kompres sekarang aja ya?” aku menuju kulkas untuk mengambil es batu yang sudah kusiapkan.
“Ga usah dikompres. Biarin aja!” sahutnya keras dengan suara agak bergetar.
Apa dia mau menangis? Ngga mungkin, sepertinya dia termasuk laki-laki yang pantang menangis di depan orang lain.
“Kenapa ga mau dikompres? Itu dokter lho yang saranin, bukan aku.”
“Kenapa kamu ngelakuin ini?”
Kali ini dia menatapku dengan tajam, tapi sangat jelas kulihat ada gurat kesedihan dan kekecewaan di sana. Jujur aku kasihan melihatnya.
Aku seperti melihat diriku sendiri, pastilah apa yang kupikirkan sekarang juga dipikirkan oleh orang-orang yang dulu melihatku seperti ini. Bahkan mungkin lebih parah.
Aku tidak menjawabnya, karena aku masih tidak mengerti apa maksud dari pertanyaannya.
“Ngelakuin apa?” tanyaku memastikan sekali lagi.
Tiba-tiba Hanggara bangun dari duduknya sehingga membuat kursi yang dia duduki terjungkal ke belakang. Dengan kasar dia meraih lenganku, mendorong tubuhku hingga membentur kulkas yang ada di belakangku. Dia manatapku seakan-akan hendak menelanku bulat-bulat.
Aku sangat kaget dengan reaksinya, tapi ketika kulihat lagi matanya, aku tahu, dia bukan Hanggara yang kukenal, dan kupastikan alam bawah sadarnya sudah menguasai pikirannya saat ini.
“Apa salahku, hah?!?!” teriaknya tepat di depan wajahku. “Kenapa kamu ngelakuin ini?? Kenapa?!!”
BRAAKk!!! Dia menghantam kulkas tepat di samping wajahku, meleset sedikit saja pasti wajahku sudah kena bogemnya. Aku kaget sekali. Tapi aku tidak meresponnya. Kutahan sakit di lenganku karena cengkramannya.
“Kalau dengan berteriak dan memukul bisa melampiaskan marah dan kekecewaanmu, lakuin aja.” Ujarku menantang matanya. “Tapi sebelumnya, sisakan sedikiiit saja kesadaranmu untuk mencerna, apa pantas sikap kamu itu? Apa layak kamu dipermainkan oleh perasaan kamu itu? Aku sangat yakin kamu tahu siapa yang harusnya pegang kendali. Abis itu kamu tinggal milih mau menang atau kalah?”
BRAAK!!BRAAAK!!BRAAAK!!! Aku memejamkan mata ketika dia lagi-lagi memukuli kulkas di samping wajahku.
Sekilas kulihat Ardi mencul dari balik dinding.
“Angga!!!!” teriaknya menghambur kearahku dan menarik keras bahu Hanggara sehingga dengan agak sempoyangan dia berbalik dan kemudian terjatuh terduduk di lantai.
“Sadar Ga!” teriak Ardi keras, “itu Vio, bukan Adisty!”
Hanggara menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Sebentar kemudian menjambak rambutnya sendiri, “Kle**, ba*****!!!” teriaknya menyumpah serapah.
Dia berdiri dan berlalu ke ruang tengah.
Aku hanya menghela nafas berusaha menenangkan diriku sendiri karena tanpa bisa kucegah air mataku merembes tanpa henti.
Sial, kenapa justru aku yang menangis.
“Vio, lo ga apa-apa?” tanya Ardi panik ketika melihat aku menyeka mata dan hidungku.
Aku menggeleng. Kuambil air minum dan kuteguk abis. Kuambilkan segelas dan kuberikan pada Ardi, “Suruh dia minum dulu, biar tenang!”
“Bener lo ga apa-apa?” mata Ardi menelisikku dari atas ke bawah
“Bener. Udah sana!” bentakku kesal
Ardi menghilang dari balik dinding. Dan aku terduduk di meja makan, menenangkan desiran-desiran aneh di dadaku yang membuat sekujur badanku terasa ngilu.
****
Aku duduk di tepi kolam renang, kumasukan kedua kakiku kedalam air, terasa sejuk di siang yang panas ini.
Oh ya, ada kolam renang juga di rumah Hanggara ini, tapi bentuknya agak lonjong dan tidak terlalu luas. Aku memilih diam di luar mencari udara segar. Rasanya pengap sekali berdiam diri di dalam sana.
Tadi Hanggara masuk ke ruang kerjanya disusul Ardi, entah apa yang mereka bicarakan, biarlah Hanggara memilih bagaimana harus bersikap, mudah-mudahan Ardi bisa mencerahkan pikirannya.
“Vio….” Suara Hanggara memanggilku.
Aku menoleh dan Hanggara perlahan berjalan mendekat. Di tangannya ada piring dan nasi bungkus bagianku. Dia ikut duduk di sampingku. Mau apa dia sekarang.
“Ini… kamu belum makan kan?” dia menyodorkan piring yang dia bawa tadi. Aku memandangnya lekat, masih ada kesedihan di sana, tentu saja, tidak akan segampang itu menghilangkan rasa sakit yang disebabkan oleh orang yang kita sayangi.
“Hei… Vio?” dia menggerak-gerakkan tangannya di depan mataku. Matanya bertanya-tanya ada apa denganku. Kuambil piring yang dia bawa dan membuka bungkusan nasinya.
“Kamu kenapa mandangin aku kayak gitu?” tanyanya. Dia pun meniruku dengan mencelupkan kedua kakinya ke dalam kolam.
“Cuma mastiin kalau kamu Hanggara yang aku kenal,” sahutku sambil mengunyah.
Sekarang baru terasa kalau perutku lapar, pantas ini sudah siang, dan aku belum makan dari pagi tadi.
Kudengar dia tertawa kecil, “Iya, ini aku yang kamu kenal.”
“Bukan.”
“Maksudnya?
“Ya, bukan. Kamu bukan Hanggara yang aku kenal,“ sahutku lagi. “Hanggara yang aku kenal itu ga kaya kamu. Dia punya dua mata yang sangat bagus, bersinar dan penuh optimisme.”
Aku memandangnya lagi. Lagi-lagi dia tersenyum.
“Dan aku pengen liat itu dalam waktu yang sesingkat-singkatnya!” lanjutku.
Kini dia tertawa. “Memaksakan kehendak banget kamu.”
Aku tersenyum kecil.
“Mudah-mudahan bisa ya,” lanjutnya
“Harus bisa!!!”
“Oh ya, tadi Mas Ardi bilang kamu nangis, gara-gara aku ya?”
“Iiihh… pede banget kamu! Ngapain juga nangisin kamu,” ujarku se-cool mungkin.
Jangan sampai malah aku yang curhat. Karena seharusnya saat ini dialah yang curhat padaku.
“Trus, kenapa kamu nangis?”
Aku diam..... berpikir…….
“Karena…. Pengen aja,” sahutku akhirnya
Dia tersenyum. “Aku yakin Mas Ardi sudah cerita soal Adisty ke kamu. Dan kamu pasti tahu semua ceritaku. Lalu kenapa kamu ga bisa percaya aku untuk dengerin ceritamu? Kaya aku sekarang, aku ga punya banyak temen yang bisa aku percaya, tapi aku beruntung ada kamu dan ada Mas Ardi, yang mau dengarin aku, nemenin aku. Kamu tahu tadi kita ngapain di dalam? Mas Ardi itu cuma diem, liatin dan dengerin aku marah-marah. Terkadang hanya dengan didengarkan saja, kita bisa merasa lebih baik.”
“Aku juga siap kalau kamu perlu telingaku.” Kataku kemudian yang membuat dia tertawa
“Jadi… masih ngga mau cerita?” ternyata dia masih menuntut
“Aku harus cerita apa, Angga??” ujarku pura-pura kesal dengan pertanyaannya itu.
“Cerita kenapa kamu nangis??”
“Itu tadi ada cowok mabok, gebrak-gebrak kulkas, untung ga roboh tu kulkas. Trus...nih tangan aku dicengkram, sakit banget, sampe merah gini lho. sakit tau!” kilahku, sambil menarik lengan bajuku dan memperlihatkan bekas memerah dilenganku.
“Berarti kamu nangis gara-gara aku?”
“Iya deh, gara-gara kamu.”
Lagi-lagi dia tersenyum. “Maaf ya…,” ujarnya kemudian
“Apa?” tanyaku pura-pura ga mendengar
“Aku minta maaf, Violetta Anastasia!” ulangnya lebih keras.
Aku mengancungkan dua jempol padanya. Dia tertawa kecil.
“Coba sini aku liat tangan kamu?” dia mencoba menaril tanganku tapi segera aku tepis
“Udah ga apa-apa, aku cuma becanda kok,” sahutku tersenyum. “Rata-rata, cowok itu emang kayak gitu ya.”
“Maksudnya?”
“Sebenernya aku cuma nunggu kata maaf dari kamu aja. Harusnya, yang pertama kamu bilang itu, maaf dulu, baru kemudian yang lainnya. Tapi karena ego cowok itu biasanya tinggi banget. Jarang ada yang mau minta maaf di awal, biasanya ngeles sana sini dulu, kalau sudah terdesak baru keluar kata maafnya.”
Dia tergelak mendengarku. “Perlu di ulang lagi, dari awal?!”
“Basi tau!” semprotku
Tiba-tiba Hanggara mendekat dan merangkulku. Badanku seketika menegang ketika tubuhnya menempel tanpa jarak di tubuhku.
“Boleh ya Vi, seperti ini. Sebentar aja.” Ujarnya pelan.
Aku diam dan berusaha merilekskan tubuh dan pikiranku. Tidak menyangka dia akan bereaksi seperti ini.
“Makasi.” Ujarnya lagi lebih lirih.
Agak ragu aku membalas pelukannya.
“Aku juga siap kalau kamu perlu telingaku, kapan pun kamu ingin cerita," bisiknya lagi.
Aku tidak menjawabnya, hanya terdiam, menikmati pelukannya.
Sesaat kemudian, perlahan aku mendorongnya dan melepaskan pelukannya.
“Aku blom mandi, Ga. Bau.”
Aku sengaja bergurau untuk mencairkan suasana
“Pantes, ada bau-bau ga enak gitu.” Selorohnya dan langsung cubitan mautku mendarat di lengannya.
“Vio, ini bengkak tau!” protesnya mengaduh kesakitan
“Biarin! Siapa suruh tadi malah ngamuk pas mau di kompres!” aku mendelik dan pergi meninggalkannya sendiri.
Mudah-mudahan secepatnya aku bisa melihat binar di matanya lagi
Dari pembicaraan singkat Ardi dan Hanggara, kutahu kalau sekarang Ardi sedang melajukan mobil ke kediamaan Hanggara. Tak lupa aku meminta Ardi mampir membeli makanan karena tidak satu pun dari mereka tersentuh makanan dari tadi.
Ternyata rumah Hanggara tidak terlalu jauh dari kantor. Bangunannya hampir serupa dengan bangunan kantornya, yah, dia tinggal di salah satu villa milik orang tuanya, pantas saja tadi aku lihat ada dua lagi bangunan serupa di sebelah rumahnya ini.
Aku akui rumahnya nyaman dan bersih untuk ukuran laki-laki, apalagi dia tinggal sendirian di sini. Seperti biasa aku dapat info ini dari Ardi, sewaktu menyiapkan makanan untuk mereka.
Ardi dan Hanggara yang sedang duduk di ruang tengah menghentikan obrolannya ketika aku datang membawa makanan untuk mereka.
“Makan dulu,” aku menyodorkan piring kepada mereka berdua.
“Kamu mana?” tanya Hanggara karena aku hanya berdiri ngeliatin mereka.
“Nanti aja, blom laper.” Lalu aku mengambil obat yang tadi kuletakkan di atas meja makan di dapur.
Kembali ke ruang tengah, aku duduk di samping Ardi. Di ruang tengah Hanggara ini, ada satu TV LED besar entah berapa inchi ukurannya, aku tidak hapal. TV nya menempel di dinding dan di bawahnya diletakkan buffet panjang tempat barang-barang. Di depannya terhampar karpet berbulu halus dan lembut dengan bantal-bantal besar teman duduk lesehan.
“Ini obat lo, petunjuknya udah ada di bungkusnya,” kataku pada Ardi dan meletakkan kantong obat itu di sampingnya.
“Yang di atas buffet itu, punya kamu ya.” Kebetulan Hanggara memandangku. Dia hanya mengangguk kecil, mungkin dia ga bisa menjawab karena sedang mengunyah.
“Oh ya, perban kamu nanti harus dilepas, kata perawatnya ga usah diperban lagi tapi di jaga biar tetep kering. Yang lebam-lebam harus dikompres biar ga terlalu besar bengkaknya. Sama ada surat kontrol juga, lagi tiga hari, jahitan yang di pelipis harus dibuka,” jelasku.
“Ada pertanyaan?” celetuk Ardi pada Hanggara dengan wajah yang dibuat-buat serius. Hanggara malah tertawa melihat Ardi.
Akhirnya, aku bisa melihat dia tertawa lagi.
“Ada pertanyaan, ngga? Mumpung asisten dokternya ada di sini, nih.”
Aku melempar satu bantal besar ke Ardi dan tepat mengenai wajahnya. Sontak dia mengerang kesakitan.
“Lebay lo, cuma memar gitu aja sakit!” ejekku
“Sakit tau!” bentaknya kesal.
Tapi aku ngga peduli, yang penting aku bisa melihat Hanggara tertawa, sudah cukup. Rasanya senang aja bisa membuat orang yang sedang bersedih sedikit terhibur.
Aku berdiri lalu berlalu ke dapur. Kubuka lemari es dua pintu super geude di samping kitchen set. Aku berdecak melihat isinya, sangat mencerminkan isi kulkas orang yang tidak bisa masak. Tidak ada bahan baku buat memasak, adanya hanya minuman kaleng, frozen food, telur, bahkan kopi sachet juga masuk ke kulkas.
Kulkasnya aja gede tapi ga ada isinya, batinku. Untungnya yang kucari ada di sana. Lumayan banyak es batu di freezer. Ini buat kompres, pikirku. Aku mengambil kantong plastik yang masih bersih dan memasukkan es batu ke dalamnya, setelah ini dibungkus dengan kain supaya dinginnya tidak terlalu menyengat. Tapi tidak kutemukan kain, bahkan kain lap pun tidak ada, hanya ada tisu. Aku bergegas kembali ke ruang tengah.
“Angga, kamu punya kain ga? Ukuran sedang aja.”
“Sebentar,” dia lalu berdiri dan masuk ke salah satu kamar yang sepertinya kamar tidurnya.
Dia muncul lagi dengan sebuah handuk melingkar di lehernya dan sepotong kain yang lumayan lebar. Dia memberikan kain itu padaku.
“Kamu mau mandi?” tanyaku
“Iya, gerah.” Katanya
“Inget luka di pelipis sama dahi ga boleh kena air lho ya, mending jangan cuci muka dulu, di lap aja.”
“Siap!” Dia menjentikkan jari-jarinya di kepala tanda memberi hormat sambil tersenyum padaku.
“Mending lo ambil part time jadi perawat pribadinya Angga aja, Vi,” celetuk Ardi yang lagi-lagi menggodaku.
“Diem napa!?”Bentakku sebal, “Siniin piring lo!”
“Hehehe… thank you Vio,” celetuknya lagi sambil menyodorkan piringnya padaku.
Aku mengambilnya, begitu juga dengan piring makan Hanggara dan membawanya ke dapur.
***
Aku sedang meletakkan alat-alat makan di rak, ketika Hanggara datang ke dapur. Kulihat di tangannya dia membawa handuk kecil dan di tangan satunya membawa kotak P3K.
“Mau ngapain?” tanyaku ketika kulihat dia seperti kebingungan.
“Mau bersihin wajah.”
“Sebentar.” Aku menuangkan air panas yang tadi aku rebus ke dalam baskom dan mencampurnya dengan air dingin agar hangat. Kuletakkan di atas meja makan.
“Sini aku bantuin, sekalian lepasin perbannya.”
Hanggara masih mematung di sana.
“Sini, duduk!” Kali ini dia menurutiku.
Duduk di salah satu kursi dan aku mengambil handuk kecil itu darinya.
Pertama-tama aku lepaskan perban di lukanya. Air hangat kubagi dua, satu untuk membersihakan luka, satu lagi untuk mengelap wajahnya nanti. Aku membersihkan lukanya dengan kapas bersih, kemudian mengoleskan obat untuk luka luar. Setelah selesai dengan semua lukanya. Barulah aku mengelap wajahnya perlahan. Dia hanya diam sewaktu aku melakukan semuanya itu.
Jujur saja, tanganku sedikit gemetaran dan jantung agak terpacu lebih cepat karena jarak aku dan Hanggara begitu dekat dan yang paling mengusik adalah aroma maskulinnya yang menguar sangat mengganggu penciumanku dan langsung memberi stimulus ke otak.
“Sakit?” tanyaku ketika aku melihatnya meringis sewaktu aku mengelap bagian wajahnya yang lebam. Sekalian menghilangkan ketegangan di otakku juga.
“Sedikit.” Sahutnya lirih.
Aku memelankan usapanku pada setiap bagian wajahnya yang lebam.
“Sudah. Obatnya sudah di minum?” tanyaku
“Belum.” sahutnya sambil merapikan kotak P3K. Aku bergegas ke ruang tengah, mengambil obatnya. Kulihat Ardi terlentang di depan TV, sepertinya dia tertidur.
“Di…Ardi….” Aku menggoyang-goyangkan badannya.
“Hah…” tergagap dia terbangun
“Udah minum obat?”
“Bloom…,” katanya
“Jangan tidur, minum obatnya dulu, ntar aku ambilin,” sahutku bergegas ke dapur, mengambil air.
Setelah aku memberikannya obat, dia langsung meringkuk memeluk bantal. Kasihan dia, pasti ngantuk banget, semalaman ngga tidur.
Ketika aku kembali ke dapur, kulihat Hanggara sedang mencuci baskom yang kupakai tadi.
“Biarin aja, ntar aku beresin. Obatnya udah kamu minum?”
“Belum.”
Lagi-lagi aku siapkan obat untuk Hanggara. Tapi, dia masih saja di depan wastafel, entah apa yang dicuci. Kutepuk punggungnya, dan dia pun menoleh kaget. Aku terkejut ketika melihat matanya berkaca-kaca. Kembali aku merasakan desiran di dadaku, sesuatu yang dulu, duluuu sekali yang juga pernah kurasakan. Aku sangat mengerti apa yang Hanggara rasakan saat ini.
Aku mencoba mengacuhkan apa yang aku lihat dan bersikap sewajarnya
“Denger ga sih aku bilang apa tadi? Biar aku yang beresin, kamu minum obatnya,” ujarku menekankan pada setiap kata-kataku.
Emang dia aja yang bisa main perintah-perintah. Dia tidak merespon tapi menuruti perkataanku. Aku membiarkan dia meminum obatnya sendiri, sedang aku melanjutkan membereskan peralatan yang dia cuci tadi.
Kulirik dia sekilas. Dia terdiam, seperti melamun. Aku menghampirinya, sambil membereskan obat-obatnya, kuteliti satu-satu setiap bungkusnya, memastikan kalau semua obat sudah diminum.
“Mau dikompres sekarang atau nanti aja?” tanyaku
“Aku ngga ada liat kamu makan dari tadi.”
Dia berkata sambil melihat satu bungkus nasi di atas piring. Kebiasaan, setiap ditanya ngga pernah jawab atau malah balik nanya.
“Aku kompres sekarang aja ya?” aku menuju kulkas untuk mengambil es batu yang sudah kusiapkan.
“Ga usah dikompres. Biarin aja!” sahutnya keras dengan suara agak bergetar.
Apa dia mau menangis? Ngga mungkin, sepertinya dia termasuk laki-laki yang pantang menangis di depan orang lain.
“Kenapa ga mau dikompres? Itu dokter lho yang saranin, bukan aku.”
“Kenapa kamu ngelakuin ini?”
Kali ini dia menatapku dengan tajam, tapi sangat jelas kulihat ada gurat kesedihan dan kekecewaan di sana. Jujur aku kasihan melihatnya.
Aku seperti melihat diriku sendiri, pastilah apa yang kupikirkan sekarang juga dipikirkan oleh orang-orang yang dulu melihatku seperti ini. Bahkan mungkin lebih parah.
Aku tidak menjawabnya, karena aku masih tidak mengerti apa maksud dari pertanyaannya.
“Ngelakuin apa?” tanyaku memastikan sekali lagi.
Tiba-tiba Hanggara bangun dari duduknya sehingga membuat kursi yang dia duduki terjungkal ke belakang. Dengan kasar dia meraih lenganku, mendorong tubuhku hingga membentur kulkas yang ada di belakangku. Dia manatapku seakan-akan hendak menelanku bulat-bulat.
Aku sangat kaget dengan reaksinya, tapi ketika kulihat lagi matanya, aku tahu, dia bukan Hanggara yang kukenal, dan kupastikan alam bawah sadarnya sudah menguasai pikirannya saat ini.
“Apa salahku, hah?!?!” teriaknya tepat di depan wajahku. “Kenapa kamu ngelakuin ini?? Kenapa?!!”
BRAAKk!!! Dia menghantam kulkas tepat di samping wajahku, meleset sedikit saja pasti wajahku sudah kena bogemnya. Aku kaget sekali. Tapi aku tidak meresponnya. Kutahan sakit di lenganku karena cengkramannya.
“Kalau dengan berteriak dan memukul bisa melampiaskan marah dan kekecewaanmu, lakuin aja.” Ujarku menantang matanya. “Tapi sebelumnya, sisakan sedikiiit saja kesadaranmu untuk mencerna, apa pantas sikap kamu itu? Apa layak kamu dipermainkan oleh perasaan kamu itu? Aku sangat yakin kamu tahu siapa yang harusnya pegang kendali. Abis itu kamu tinggal milih mau menang atau kalah?”
BRAAK!!BRAAAK!!BRAAAK!!! Aku memejamkan mata ketika dia lagi-lagi memukuli kulkas di samping wajahku.
Sekilas kulihat Ardi mencul dari balik dinding.
“Angga!!!!” teriaknya menghambur kearahku dan menarik keras bahu Hanggara sehingga dengan agak sempoyangan dia berbalik dan kemudian terjatuh terduduk di lantai.
“Sadar Ga!” teriak Ardi keras, “itu Vio, bukan Adisty!”
Hanggara menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Sebentar kemudian menjambak rambutnya sendiri, “Kle**, ba*****!!!” teriaknya menyumpah serapah.
Dia berdiri dan berlalu ke ruang tengah.
Aku hanya menghela nafas berusaha menenangkan diriku sendiri karena tanpa bisa kucegah air mataku merembes tanpa henti.
Sial, kenapa justru aku yang menangis.
“Vio, lo ga apa-apa?” tanya Ardi panik ketika melihat aku menyeka mata dan hidungku.
Aku menggeleng. Kuambil air minum dan kuteguk abis. Kuambilkan segelas dan kuberikan pada Ardi, “Suruh dia minum dulu, biar tenang!”
“Bener lo ga apa-apa?” mata Ardi menelisikku dari atas ke bawah
“Bener. Udah sana!” bentakku kesal
Ardi menghilang dari balik dinding. Dan aku terduduk di meja makan, menenangkan desiran-desiran aneh di dadaku yang membuat sekujur badanku terasa ngilu.
****
Aku duduk di tepi kolam renang, kumasukan kedua kakiku kedalam air, terasa sejuk di siang yang panas ini.
Oh ya, ada kolam renang juga di rumah Hanggara ini, tapi bentuknya agak lonjong dan tidak terlalu luas. Aku memilih diam di luar mencari udara segar. Rasanya pengap sekali berdiam diri di dalam sana.
Tadi Hanggara masuk ke ruang kerjanya disusul Ardi, entah apa yang mereka bicarakan, biarlah Hanggara memilih bagaimana harus bersikap, mudah-mudahan Ardi bisa mencerahkan pikirannya.
“Vio….” Suara Hanggara memanggilku.
Aku menoleh dan Hanggara perlahan berjalan mendekat. Di tangannya ada piring dan nasi bungkus bagianku. Dia ikut duduk di sampingku. Mau apa dia sekarang.
“Ini… kamu belum makan kan?” dia menyodorkan piring yang dia bawa tadi. Aku memandangnya lekat, masih ada kesedihan di sana, tentu saja, tidak akan segampang itu menghilangkan rasa sakit yang disebabkan oleh orang yang kita sayangi.
“Hei… Vio?” dia menggerak-gerakkan tangannya di depan mataku. Matanya bertanya-tanya ada apa denganku. Kuambil piring yang dia bawa dan membuka bungkusan nasinya.
“Kamu kenapa mandangin aku kayak gitu?” tanyanya. Dia pun meniruku dengan mencelupkan kedua kakinya ke dalam kolam.
“Cuma mastiin kalau kamu Hanggara yang aku kenal,” sahutku sambil mengunyah.
Sekarang baru terasa kalau perutku lapar, pantas ini sudah siang, dan aku belum makan dari pagi tadi.
Kudengar dia tertawa kecil, “Iya, ini aku yang kamu kenal.”
“Bukan.”
“Maksudnya?
“Ya, bukan. Kamu bukan Hanggara yang aku kenal,“ sahutku lagi. “Hanggara yang aku kenal itu ga kaya kamu. Dia punya dua mata yang sangat bagus, bersinar dan penuh optimisme.”
Aku memandangnya lagi. Lagi-lagi dia tersenyum.
“Dan aku pengen liat itu dalam waktu yang sesingkat-singkatnya!” lanjutku.
Kini dia tertawa. “Memaksakan kehendak banget kamu.”
Aku tersenyum kecil.
“Mudah-mudahan bisa ya,” lanjutnya
“Harus bisa!!!”
“Oh ya, tadi Mas Ardi bilang kamu nangis, gara-gara aku ya?”
“Iiihh… pede banget kamu! Ngapain juga nangisin kamu,” ujarku se-cool mungkin.
Jangan sampai malah aku yang curhat. Karena seharusnya saat ini dialah yang curhat padaku.
“Trus, kenapa kamu nangis?”
Aku diam..... berpikir…….
“Karena…. Pengen aja,” sahutku akhirnya
Dia tersenyum. “Aku yakin Mas Ardi sudah cerita soal Adisty ke kamu. Dan kamu pasti tahu semua ceritaku. Lalu kenapa kamu ga bisa percaya aku untuk dengerin ceritamu? Kaya aku sekarang, aku ga punya banyak temen yang bisa aku percaya, tapi aku beruntung ada kamu dan ada Mas Ardi, yang mau dengarin aku, nemenin aku. Kamu tahu tadi kita ngapain di dalam? Mas Ardi itu cuma diem, liatin dan dengerin aku marah-marah. Terkadang hanya dengan didengarkan saja, kita bisa merasa lebih baik.”
“Aku juga siap kalau kamu perlu telingaku.” Kataku kemudian yang membuat dia tertawa
“Jadi… masih ngga mau cerita?” ternyata dia masih menuntut
“Aku harus cerita apa, Angga??” ujarku pura-pura kesal dengan pertanyaannya itu.
“Cerita kenapa kamu nangis??”
“Itu tadi ada cowok mabok, gebrak-gebrak kulkas, untung ga roboh tu kulkas. Trus...nih tangan aku dicengkram, sakit banget, sampe merah gini lho. sakit tau!” kilahku, sambil menarik lengan bajuku dan memperlihatkan bekas memerah dilenganku.
“Berarti kamu nangis gara-gara aku?”
“Iya deh, gara-gara kamu.”
Lagi-lagi dia tersenyum. “Maaf ya…,” ujarnya kemudian
“Apa?” tanyaku pura-pura ga mendengar
“Aku minta maaf, Violetta Anastasia!” ulangnya lebih keras.
Aku mengancungkan dua jempol padanya. Dia tertawa kecil.
“Coba sini aku liat tangan kamu?” dia mencoba menaril tanganku tapi segera aku tepis
“Udah ga apa-apa, aku cuma becanda kok,” sahutku tersenyum. “Rata-rata, cowok itu emang kayak gitu ya.”
“Maksudnya?”
“Sebenernya aku cuma nunggu kata maaf dari kamu aja. Harusnya, yang pertama kamu bilang itu, maaf dulu, baru kemudian yang lainnya. Tapi karena ego cowok itu biasanya tinggi banget. Jarang ada yang mau minta maaf di awal, biasanya ngeles sana sini dulu, kalau sudah terdesak baru keluar kata maafnya.”
Dia tergelak mendengarku. “Perlu di ulang lagi, dari awal?!”
“Basi tau!” semprotku
Tiba-tiba Hanggara mendekat dan merangkulku. Badanku seketika menegang ketika tubuhnya menempel tanpa jarak di tubuhku.
“Boleh ya Vi, seperti ini. Sebentar aja.” Ujarnya pelan.
Aku diam dan berusaha merilekskan tubuh dan pikiranku. Tidak menyangka dia akan bereaksi seperti ini.
“Makasi.” Ujarnya lagi lebih lirih.
Agak ragu aku membalas pelukannya.
“Aku juga siap kalau kamu perlu telingaku, kapan pun kamu ingin cerita," bisiknya lagi.
Aku tidak menjawabnya, hanya terdiam, menikmati pelukannya.
Sesaat kemudian, perlahan aku mendorongnya dan melepaskan pelukannya.
“Aku blom mandi, Ga. Bau.”
Aku sengaja bergurau untuk mencairkan suasana
“Pantes, ada bau-bau ga enak gitu.” Selorohnya dan langsung cubitan mautku mendarat di lengannya.
“Vio, ini bengkak tau!” protesnya mengaduh kesakitan
“Biarin! Siapa suruh tadi malah ngamuk pas mau di kompres!” aku mendelik dan pergi meninggalkannya sendiri.
Mudah-mudahan secepatnya aku bisa melihat binar di matanya lagi
JabLai cOY dan 5 lainnya memberi reputasi
6