- Beranda
- Stories from the Heart
Ketika Cinta Terhalang Usia, Status dan Suku
...
TS
husnamutia
Ketika Cinta Terhalang Usia, Status dan Suku

Pixabay
LAJANG
Prolog
Ketika kamu merasakan jenuh dan bosan dengan pertanyaan, Kapan menikah? Sesungguhnya kau tak sendiri. Bukan hanya kau, aku pun merasakannya.
Selalu ada saja penyebab cinta kandas di tengah jalan. Meski niat ke pelaminan, jika takdir tak berpihak, semua hanyalah angan.
Haruskah pasrah menerima lelaki yang datang melamar? Meskipun hati tak cinta. Karena dikejar ketakutan disebut perawan tua.
Lantas sampai kapan menunggu?
Bagaimana akhirnya bisa menemukannya? Satu pemilik rusuk, di antara miliaran manusia.
Dekat atau jauhkah keberadaannya?
Jodoh selalu menjadi misteri.
Part 1
Lari Dari Brownes Kesandung Duda Manis

Wanita mana yang tak gelisah saat usia sudah lebih dua puluh lima tetapi masih jomblo saja? Ya, aku merasakannya. Sekuat apa pun, hati ini tetap sakit saat disebut perawan tua.
Cuek, selalu wajah ini yang kutampakan pada setiap orang. Lebih baik aku disebut betah sendirian dari pada disebut wanita kesepian.
Beruntung ada Aan, cowok ganteng tetangga kos-kosan. Terpaut usia empat tahun di bawahku, ia seperti adik, tetapi kadang sebagai cowok ia akan bersikap seperti pelindung. Nyaman dan saling membutuhkan, mungkin itulah yang membuat kami akrab.
Sayang kenyamanan itu harus terusik dengan gunjingan orang.
"Ternyata suka daun muda." Satu kalimat menyakitkan yang kudengar.
"Biarin aja sih, Mbak. Orang kita yang jalanin ini." Jawaban Aan setiap kaliku bicarakan mengenai hal itu. Cowok, memang tak sesensitif cewek.
Aku dan Aan memang hanya teman biasa, tetapi persahabatan cowok-cewek memang selalu mengundang curiga siapa pun yang melihatnya.
"Mbak, kenapa sih belum nikah?"
"Konyol, namanya juga nikah harus ada mempelai prianya dululah," jawabku menanggapi pertanyaan konyol Aan.
"Emang belum ada ya, Mbak?"
"Tau ah."
"Mbak nikah sama aku aja sih Mbak, aku udah mapan Mbak, udah karyawan tetap."
"Apa sih, gak lucu tahu bercandanya!"
"Aku serius Mbak, aku gak bercanda. Dari awal aku sudah suka sama Mbak Tia."
"Cukup! Atau kita tak usah berteman lagi.
" Mbak!"
"Aaan!" bentakku lagi.
Suasana hangat seketika membeku, aku tak pernah menyangka semua ini akan terjadi. Awalnya aku pikir Aan bercanda, tetapi raut wajah serius, serta sikapnya yang diam setelah kubentak. Hadirkan rasa tak enak.
"Maaf jika Mbak gak suka dengan hal ini. Mungkin, Mbak belum siap. Aku menunggu sampai Mbak siap," ucap Aan pelan, kemudian meletakan sebuah kotak kecil di atas meja.
"Aku pulang, Mbak," pamitnya lagi. Aku masih tetap diam, bingung dengan situasi yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Seminggu sejak kejadian itu Aan tak pernah muncul. Bisa saja aku mengetuk pintu kamar kostnya, tetapi urung dilakukan. Salah sangka, itu yang kutakutkan.
Sejujurnya tanpa Aan aku merasa kesepian, tak ada yang menemani saat sendiri.
Aku tersentak dari lamunan, saat HP di atas meja bergetar. Sebuah nomor asing tampak di layar.
Belum sempat mengucap Halo, suara di seberang sana langsung bicara panjang lebar tentang sebuah proyek yang tak ku mengerti apa.
"Maaf, salah sambung," ucapku begitu suara di seberang berhenti.
"What!"
"Iya salah sambung," ucapku sambil tertawa.
"Tawamu, merdu sekali,"
"What?"
"Iya, suaramu merdu sekali."
Berawal dari salah sambung, akhirnya kami menjadi akrab. Bang, Rauf, begitu aku memanggilnya. Cowok asal madura bersetatus duda karena ditinggal mati istri, begitu menurut pengakuannya. Hingga tak terasa tiga bulan sudah kita berkomunikasi via suara. Akhirnya sepakat untuk saling bertemu.
"Oke, besok ketemuan yah di Es Teler 77, Lippo. Aku tunggu?" ucap Bang Rauf sebelum menutup teleponnya.
*****
Cahaya matahari sore menerobos masuk kamar, melewati jendela kaca. Biasanya sabtu sore, Aan nongol di balik tirai jendela. Namun lama batang hidungnya tak pernah kelihatan sejak kejadian waktu itu. Kangen, ya rasa itu ada tetapi Bang Rauf seolah hadir menggantikan ruang hangat di hatiku, yang biasa terisi canda tawa Aan.
Sesaat langkahku terhenti saat melewati kamar kos Aan, tampak ia tengah berbincang dengan teman-temannya di teras.
"Enak saja masa iya aku kencan sama nenek-nenek. Aku cuma kasihan aja, kalau ditemenin Mbak Tia kan seneng, nanti gampang keluar duitnya," ucap Aan, entah ia sadar atau tidak dengan kehadiranku.
Sakit, ya tentu. Aku merasa dikhianati, selama ini perasaan sayang seorang kakak aku berikan tulus untuknya. Namun, aku coba memaklumi perubahan sikapnya, mungkin itu karena ia kecewa.
Hanya butuh satu kali naik angkot untuk bisa sampai ke Lippo. Biasanya ke mana-mana Aan siap mengantar, kali ini aku jalan sendiri.
Sesampainya di mall, aku langsung menuju lokasi. Aku diam sejenak membaca pesan SMS. Beruntung, tempatnya tak terlalu ramai, hanya ada beberapa meja terisi.
"Meja paling tengah, lelaki bertopi biru dan memakai jaket levis warna cokelat." Pesan singkat Bang Rauf memberi petunjuk.
Dengan menahan rasa malu dan grogi aku menguatkan diri untuk menghampiri Bang Rauf. Belum sampai ke kursi kosong di seberang meja, lelaki itu menoleh dan tersenyum menyambut.
"Silahkan duduk, Mbak Tia!"
Seketika tubuhku bergetar, pipi menghangat dan jantung ini seakan mau copot. Gantengnya! Pekikku dalam hati. Namun, wajah itu tak asing.
Iya. Namun jawaban itu tak pernah meluncur dari mulut, tetap terkunci di hati, meskipun langkahku membawa tubuh ini duduk di kursi yang tersedia di seberang meja lelaki itu duduk.
"Bang Rauf?" tanyaku hati-hati, barang kali aku salah orang.
Lelaki itu terkekeh, mendengar pertanyaanku.
"Iya, kamu kaget ya? Aku kan sudah pernah bilang, aku sering melihatmu" ucapnya sambil menatapku lekat, membuat pipiku semakin panas. Entah seperti apa wajahku. Mungkin seperti tomat rebus, persis ilustrasi anime Jepang.
Wajah Bang Rauf memang tak asing, aku sering berpapasan dengannya saat berangkat mengajar. Saling mengangguk pengganti sapa setiap kali bertemu pandang di jalan.
"Hai, kamu grogi ya?"
"Engga kok," jawabku sambil mengarahkan pandangan ke tempat lain.
"Ternyata kamu berani cuma di telepon doang. Katanya kalau ketemu mau menatap mataku lama," ucapnya membuatku terpancing untuk melihat kearahnya.
Seketika kami saling diam saat mata saling beradu. Tak pernah menyangka ternyata hari ini, bertemu dengan orang yang selalu menemani hari-hariku via suara.
"Hai, bengong!" ucapnya lagi mengagetkan.
"Iiih," gerutuku pelan.
"Ternyata dari dekat kamu imut banget, gemesin, kamu terlihat seperti anak SMP,"
"Gombal!"
Kemudian, kami tertawa bersama.
Sejak pertemuan itu, kami semakin dekat. Terpaut usia sepuluh tahun, Bang Rauf sosok yang dewasa. Padanya kutemukan kenyamanan sebagai seorang adik juga kekasih tentunya. Tempat bermanja juga tempat bertanya banyak hal. Kecerdasan dan wawasan luas, membuat Bang Rauf serupa kamus berjalan.
Ditengah kesibukan sebagai guru TK, kami selalu berkomunikasi lewat pesan SMS dan telepon. Hampir setiap kegiatanku, ia mengetahuinya. Demikian pula sebaliknya.
Rasa lelah menunggu, ditambah hawa panas di siang yang terik serta bisingnya suara di lapangan membuatku jengah. Ngobrol bersama teman-teman seprofesi guru yang sedang menunggu pengumuman lomba tak lagi menarik. Tiba-tiba HP yang kupegang bergetar. Pesan SMS masuk dari Bang Rauf.
Aku tersenyum, pesan itu seperti oase. Seketika hati terasa segar mendapat asupan cinta.
"Say, gimana lombanya?"
"Aku udah tampil, tapi kayaknya aku gak bakal juara deh," tulisku
"Tak apa, yang penting kamu sudah berusaha. Juara atau tidak, kau tetap juara di hatiku."
Aku tersenyum bahagia, mendapat suport manis darinya.
"Kau tetap juara di hatiku."
Aku terkejut bukan kepalang, ternyata Bu Mitha teman seprofesi yang duduk dibelakang mengintip. Ia terkekeh jail.
"Aku gak ngintip, orang kelihatan. Pegang HP-nya begitu."
"Cie, cie."
Kompak guru-guru yang lain ikut meledek, membuatku menunduk karena malu.
Dua bulan terhitung sejak pertemuan pertama dengan Bang Rauf, setelah tiga bulan sebelumnya hanya berkomunikasi lewat telepon dan SMS saja.
Benih-benih kemantapan semakin dalam tertancap di hati. Tak peduli status duda, Bang Rauf. Bagiku kecocokan hati yang terpenting.
"Jika menikah dengan Bang Rauf, berati kamu langsung dapat bonus satu anak. Jadi ibu tiri itu gak gampang loh, Tia," ucap Bu Mitha, saat kuceritakan tentang status Bang Rauf yang duda.
Ucapan Bu Mitha hanya satu dari sekian nasihat dari sahabat-sahabatku. Hanya karena status, teman, sahabat juga orang tua, tak ada yang mendukung hubunganku dengan Bang Rauf.
Meskipun demikian, aku tetap optimis. Bukankan setiap orang akan menemui ujiannya dalam cinta. Selama saling cinta, gelombang sebesar apa pun pasti terhalau juga.
Memangnya apa salahnya jika aku yang masih gadis ini menikah dengan seorang duda? Toh usiaku sudah dewasa, bahkan ada yang menyebutku sebagai perawan tua.
Semilir angin sore menerpa dengan lembut. Aku berjalan tergesa menuju taman dekat komplek kos-kosan. Hati tak menentu, ada firasat buruk kurasakan saat iba-tiba Bang Rauf mengajak bertemu. Ia memang tak pernah datang ke kost-kosan. Bertemu di luar selalu yang kami lakukan.
"Mbak Tia, mau kemana?"
Sontak langkahku terhenti, lamunanku buyar. Aan berdiri menghalangi jalanku.
"Aan, kamu." Setelah sekian lama akhirnya Aan mau menyapaku lagi.
"Eeh, maaf aku buru-buru. Aku mau ke taman, duluan yah." Aku tersenyum, sambil berlalu meninggalkannya.
Kurasa ia masih melihatku dari balik punggung. Kalau saja ia masih seperti dulu, mungkin aku akan memeluknya saat jadian dengan Bang Rauf, untuk berbagi kebahagiaan.
Aku sampai di taman lebih awal. Sepuluh menit berlalu, tetapi Bang Rauf belum muncul juga, tak seperti biasanya. Ia datang terlambat.
"Sudah lama sampainya?"
Tanpa kusadari, Bang Rauf telah berdiri di samping Bangku. Tak seperti biasanya wajahnya murung, membuatku gelisah.
"Tia," lirihnya sambil menatap tajam seolah mencari sesuatu di kedalaman mataku. Membuat hati semakin tak menentu.
"Maafkan aku," ucapnya lagi membuatku semakin yakin, ada hal buruk yang ingin disampaikannya.
"Dari awal, aku tidak pernah berniat main-main. Tujuanku adalah untuk mencari istri, ibu pengganti juga sebagai ibu dari anak-anakku kelak, tapi,"
"Tapi kenapa, Bang?" ucapku parau.
"Ibuku, inginkan menantu satu suku, Madura."
"Bang, bukankah dari awal, Abang tahu, aku ini dari Jawa. Lantas kenapa, Abang dekati aku. Bukankah seharusnya dari dulu Abang tahu, Ibu menginginkan menantu satu suku."
Aku sudah tak kuasa lagi menahan air mati, nafas semakin sesak karena hidung mulai tersumbat.
"Aku pikir ibu akan berubah pikiran."
"Abang, memang tidak menginginkanku bukan, makanya menyerah begitu saja. Seharusnya, Abang ... "
"Tia, dengerin Abang," potong Bang Rauf. Kedua tangannya menggenggam jemariku, membuatku diam seketika.
"Menikah itu bukan hanya tentang kita berdua, terlebih aku duda beranak satu. Abang udah merasakan bagaimana menikah tanpa restu orang tua. Meskipun alasan beda suku, sesuatu yang tak bisa kuterima dengan logika. Tapi, Abang tak ingin mengulang kesalahan yang sama."
Aku sudah tak bisa berkata apa pun lagi, menangis hanya itu yang mampu kulakukan. Hingga hampir setengah jam lamanya kami duduk terdiam. Hingga tangisku reda dan hilang.
"Bang, apa kita tak bisa jadi sahabat."
"Tia, bukannya Abang gak mau, tapi mustahil perasaan yang terlanjur ada, berbalik menjadi biasa, jika kita ... "
"Iya, Bang aku ngerti kok," potongku.
"Selamat tinggal, Bang," ucapku sambil beranjak dari bangku. Aku terus berjalan menjauh dari Bang Rauf, tak peduli ia berteriak memanggil.
Pupus sudah harapanku, ada sesal, malu, sakit mengingatku sempat membayangkan bersanding di pelaminan dengannya.
Bagai bunga kembang tak jadi, mimpiku musnah sebelum sempat terjaga dari mimpi. Singkat waktu untuk menumbuhkan rasa di hati, tetapi melupakannya butuh waktu yang lama. Di usia yang telah terbilang dewasa, aku kembali menemui kegagalan dalam hubungan cinta. Pedih.
Langkahku terhenti, melihat seratus meter di depanku, Aan berdiri di memperhatikan. Aku berlari kearahnya, dan menangis sejadi-jadinya di pelukannya. Tak peduli apa yang terjadi di sekeliling, aku hanya ingin menangis untuk saat ini.
Bersambung
Quote:
Quote:

Diubah oleh husnamutia 28-02-2021 13:52
manik.01 dan 94 lainnya memberi reputasi
93
6.5K
465
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
husnamutia
#9
Part 2. Pesona Bronis Legit

Setelah gedoran pintu yang kesekian, akhirnya aku membukakan pintu untuk Aan dengan malas. Aku menunduk menghindar dari tatapannya. Menyembunyikan wajah kusut dan kelopak mata yang membengkak karena menangis semalaman. Tanpa disangka ia justru berjongkok dan melihat wajahku dari bawah.
"Mbak, asli jelek banget." Aan terbahak begitu melihat wajahku.
"Bodo!" Seruku sambil berlari ke sofa, kemudian kembali menangis.
"Mbak, kok nangis lagi sih? Udah dong, yah, cup-cup."
"Huahhh!" tangisku makin menjadi. Hilang sudah rasa gengsi, aku hanya ingin meluapkan segala emosi.
Aan terdiam ia tak berani meledek lagi, sesekali ia menyodorkan tisu saat hidungku mulai berlendir. Hingga tak terasa satu box tisu sudah habis.
Aku diam, air mata tak lagi bercucuran. Setelah hampir sejam menangis aku baru menyadari jam dinding sudah menunjukan pukul setengah sepuluh pagi.
"Aan, aku .... "
"Napa, Mbak." Aan beringsut dari duduknya, lebih mendekat ke arahku. Perlahan aku pun merapatkan tubuh padanya, pelan berbisik di telinga Aan.
"Aku lapar,"
"Asem, kirain apaan! Ya udah aku keluar dulu cari makanan, mau dibeliin apa?"
"Terserah, yang penting makan, laper," rajukku.
Aku tersenyum senang melihat Aan bergegas keluar mencari makan. Baru saja rebahan di sofa, HP di atas meja berdering nyaring.
Bang Rauf nama kontak yang tampak di layar. Sengaja kubiarkan, hingga berhenti sendiri. Baru beberapa saat HP kembali berdering, kali ini sengaja aku merejecknya. Namun kembali HP berbunyi tetapi dari nomer berbeda, tetap saja hati enggan mengangkatnya.
Lima belas menit berlalu, Aan kembali dengan menenteng tas kresek warna hitam. Aku tersenyum menyambut kedatangannya, saat ia masih berdiri di ambang pintu terbuka selama.
"Mbak, makan nih yang banyak biar punya tenaga untuk nangis lagi," ucap Aan sambil menampakan sesungging senyum di sudut bibirnya.
"Enak aja sapa juga yang mau nangis lagi," kilahku sambil menarik bungkusan nasi padang dari tangan Aan.
"Kok cuman beli satu?"
"Buat, Mbak aja, aku udah sarapan tadi."
"Ah, gak seru makan sendirian, kita makan bareng yu!" Aan tersenyum tanpa sepatah kata pun berucap, ia perlahan duduk di seberang meja kecil, tempat aku meletakan nasi padang.
Kami makan dengan diam, meski pun lapar, rasanya nasi ini begitu susah masuk melewati tenggorokan. Rasa sesak di dada membuat sempit saluran pencernaan.
Baru beberapa suap, tanganku berhenti menyendok nasi. Semakin keras berusaha menelan, dada ini terasa semakin sesak.
Perlahan aku bangkit, tetapi tiba-tiba, Aan menarik lenganku hingga aku terduduk kembali.
"Maksud Mbak apa? Tadi katanya laper, minta dibeliin nasi, minta ditemenin makan, kenapa malah gak jadi makan?" ucap Aan sedikit keras.
"Ayo makan!" ucap Aan lagi, membuatku reflek menurutinya.
Aku tak berani menatap Aan hingga, tandas sebungkus nasi padang kami habiskan.
"Mbak Jalan yu," ucap Aan memecah kesunyian.
Aku menatap Aan, nada suaranya kembali riang seperti biasanya. Rasa yang entah sempat membuatku kikuk, seketika mencair. Aan telah kembali seperti biasanya, periang, gokil dan ...
"Malah bengong!"
"Kamu gak marah lagi?" tanyaku hati-hati.
Aan tampak terkejut dengan pertanyaanku. Ia terdiam, melihatku dengan seksama, hingga tatapan kami bertemu. Lagi-lagi aku membuat kesalahan bodoh, dengan bertanya hal yang membuatnya tersinggung. Aku menunduk, mengindari tatapan mengintimidasinya.
"Jadi Mbak pikir begitu," tanya Aan sambil mencolek pipiku.
"Ihh, kamu songong banget sih!" teriakku.
"Heleeeh baru dicolek pipinya dikit aja marah, coba siapa yang kemarin peluk-peluk ditempat umum?"
Telak, ucapan Aan membuatku mati kutu, mengingat kejadian kemarin.
"Itu, itu, itu kan gak sengaja! Karena lagi patah hati aja, jadi diluar kendali," jawabku sekenanya.
"Sering-sering aja patah hati! Aku siap melapangkan dadaku untuk membuatmu nyaman menangis dipelukanku,"
"Apaan siih lo," ucapku menahan tawa dengan tingkah gokil Aan, sambil menyipratkan air kran di atas westafel.
Tanpa kusadari Aan telah berdiri di sampingku dan membalas mencipratkan air.
"Aan, ih rese, Aan," teriakku.
Aku mendongak, saat tak ada lagi Air bercipratan. Aan tersenyum, dengan menatapku intens. Sikapnya sukses membuat getaran lain, yang entah apa, aku sendiri tak mengerti itu apa?
"Kita, jalan yu!"
"Kemana?"
"Pantai," ucap Aan dengan binar mata beningnya. Ia tersenyum. Manis, semanis brownies cokelat kesukaanku.
"Mbak, ayo!" Ajak Aan lagi, sambil meraih jari tanganku.
"An, aku ... "
Aan menggenggam jemariku, kemudian duduk bersimpuh, dengan terus menatapku intens.
Apa yang Aan, lakukan? Apa ia mau menembak lagi? Aku harus jawab apa?
"Aan ... "
Bersambung
Part 3, Di Antara Deburan Ombak (Aan?)
Rabu, 3 Juni 2020
Diubah oleh husnamutia 13-02-2021 09:00
gajah_gendut dan 9 lainnya memberi reputasi
10