- Beranda
- Stories from the Heart
[NOVEL] - Kinayung
...
TS
alva610
[NOVEL] - Kinayung
![[NOVEL] - Kinayung](https://s.kaskus.id/images/2020/04/23/10695606_202004230136260332.png)
Part 1
PROLOG
Sepenggal kisah dalam kehidupan manusia, kini kutulis kembali untuk mengerti arti indahnya sebuah kasih.
Ya, kasih adalah satu unsur dalam hidup. Entah dari mana datangnya kasih, tapi aku yakin saat terlahir di dunia, kasih adalah pertama didapat setiap insan. Kumandang adzan yang terlantun, tatapan yang penuh cinta dan belaian indah adalah unsur kasih.
Tapi bagaimana saat kasih sirna? Bagaimana saat tatapan penuh cinta itu menghilang? Ah,tegar hanyalah sebuah kata yang mudah diucap tetapi sulit diterapkan.
Namaku Kinayung. Aku adalah gadis berusia 14 tahun, yang kini sedang menuntut ilmu di bangku kelas 3 SMP. Aku adalah siswi berprestasi di sekolah favorit. Tetapi sayang, hidupku tak semanis prestasiku.
Hidupku mungkin adalah sebuah takdir. Tapi, bukanlah takdir itu bisa dirubah? Ya! Aku yakin takdir dalam hidupku bisa dirubah. Tergantung bagaimana aku menjalani dan menyikapi hidupku saat ini. Jika berlarut dalam sedih, tentu hidupku pun pasti akan sengsara.
Ah, sengsara itu tak nikmat. Sengsara itu membuatku nelangsa. So, hidup ini indah. Lakukan sesuai aturan. Jika aturan terlalu rumit, ya lupakan saja aturan itu. Asal tak berbuat kriminal, halal kok! Hehehe!
"Kinayung, kenapa lututmu memar?" sambil duduk mendekatiku, Ayunda pun mengagetkan lamunanku.
"Oh, tak apa-apa!"
"Tapi kenapa bisa begitu?" lanjut Ayunda yang kelihatannya ingin sekali jawaban dariku.
Aku tersenyum memandangi muka mungil Ayunda, sambil menghela nafas memikirkan kata apa yang akan kurangkai untuk menjawab. Jujur itu tidak perlu untuk menjaga privasi diri, itu menurutku.
"Biasalah, Ayunda! Aku kan anak gembala, pulang sekolah menggembala kambing. Kalau kambing lepas, ya aku kejar!"
"Oh, jadi kamu jatuh saat mengejar kambing gembalamu yang lepas, gitu?"
"Yup!"
Ayunda pun menghela nafas, sambil menahan tawa. Ya, aku tahu anak remaja seusiaku adalah masa di mana saat mulai mengenal cinta. Gengsi, wangi dan rapi adalah beberapa modal utama. Tapi apalah dayaku jika aku ingin seperti mereka?
"Kinayung, tapi kamu tetep wangi ya! Padahal setiap hari bersama kambing!" canda Ayunda yang tak membuatku berkecil hati.
"Kebersihan itu sebagian dari iman! Hehehe!"
"Bercanda, Kinayung!" ucap Ayunda sambil terus mengajakku mengobrol.
Aku sangat beruntung, mempunyai teman yang tetap menyayangiku walaupun mereka tahu, orang tuaku bukanlah orang berada seperti mereka. Bahkan rumahku pun masih terbuat dari bambu alias gedhek dan lantai terbuat dari batu putih alias tegel. Sungguh, teman-temanku adalah anugerah terindah dari Tuhan untukku.
Ya, kasih adalah satu unsur dalam hidup. Entah dari mana datangnya kasih, tapi aku yakin saat terlahir di dunia, kasih adalah pertama didapat setiap insan. Kumandang adzan yang terlantun, tatapan yang penuh cinta dan belaian indah adalah unsur kasih.
Tapi bagaimana saat kasih sirna? Bagaimana saat tatapan penuh cinta itu menghilang? Ah,tegar hanyalah sebuah kata yang mudah diucap tetapi sulit diterapkan.
Namaku Kinayung. Aku adalah gadis berusia 14 tahun, yang kini sedang menuntut ilmu di bangku kelas 3 SMP. Aku adalah siswi berprestasi di sekolah favorit. Tetapi sayang, hidupku tak semanis prestasiku.
Hidupku mungkin adalah sebuah takdir. Tapi, bukanlah takdir itu bisa dirubah? Ya! Aku yakin takdir dalam hidupku bisa dirubah. Tergantung bagaimana aku menjalani dan menyikapi hidupku saat ini. Jika berlarut dalam sedih, tentu hidupku pun pasti akan sengsara.
Ah, sengsara itu tak nikmat. Sengsara itu membuatku nelangsa. So, hidup ini indah. Lakukan sesuai aturan. Jika aturan terlalu rumit, ya lupakan saja aturan itu. Asal tak berbuat kriminal, halal kok! Hehehe!
"Kinayung, kenapa lututmu memar?" sambil duduk mendekatiku, Ayunda pun mengagetkan lamunanku.
"Oh, tak apa-apa!"
"Tapi kenapa bisa begitu?" lanjut Ayunda yang kelihatannya ingin sekali jawaban dariku.
Aku tersenyum memandangi muka mungil Ayunda, sambil menghela nafas memikirkan kata apa yang akan kurangkai untuk menjawab. Jujur itu tidak perlu untuk menjaga privasi diri, itu menurutku.
"Biasalah, Ayunda! Aku kan anak gembala, pulang sekolah menggembala kambing. Kalau kambing lepas, ya aku kejar!"
"Oh, jadi kamu jatuh saat mengejar kambing gembalamu yang lepas, gitu?"
"Yup!"
Ayunda pun menghela nafas, sambil menahan tawa. Ya, aku tahu anak remaja seusiaku adalah masa di mana saat mulai mengenal cinta. Gengsi, wangi dan rapi adalah beberapa modal utama. Tapi apalah dayaku jika aku ingin seperti mereka?
"Kinayung, tapi kamu tetep wangi ya! Padahal setiap hari bersama kambing!" canda Ayunda yang tak membuatku berkecil hati.
"Kebersihan itu sebagian dari iman! Hehehe!"
"Bercanda, Kinayung!" ucap Ayunda sambil terus mengajakku mengobrol.
Aku sangat beruntung, mempunyai teman yang tetap menyayangiku walaupun mereka tahu, orang tuaku bukanlah orang berada seperti mereka. Bahkan rumahku pun masih terbuat dari bambu alias gedhek dan lantai terbuat dari batu putih alias tegel. Sungguh, teman-temanku adalah anugerah terindah dari Tuhan untukku.
Bersambung...
Indeks Link : di sini
![[NOVEL] - Kinayung](https://s.kaskus.id/images/2020/04/23/10695606_202004230143160249.jpg)
Diubah oleh alva610 28-06-2020 00:28
makola dan 36 lainnya memberi reputasi
37
1.3K
26
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
alva610
#4
Part 4
Pukulan Kesekian Kali
Aku tetap menyapu halaman sampai selesai. Tak peduli lagi dengan ocehan setan lelaki calon penghuni neraka itu. Aku serba salah. Maju masuk jurang, mundur pun masuk jurang.
"Rinayung! Cepat jalankan perintahku atau kamu mau mati ditanganku sekarang!" teriaknya dari dalam.
Aku pura-pura tak mendengar. Tetap menyapu dedaunan kering di halaman rumah. Sampah dedaunan kering menggunung sangat tinggi. Sebentar lagi, akan aku bakar.
"Rinayung!" bentaknya.
Aku menoleh setelah api menyala. Ternyata ayahku sudah tepat berada di belakangku.
"Cepat curi emas nenekmu! Masuk rumahnya sekarang juga sebelum nenekmu pulang dari ladang!" katanya dengan suara pelan, sambil menjambak rambut panjangku yang kusam.
Setiap hari bisa berkali-kali rambut panjangku yang kusam ini dijambak ayahku. Aku berniat memotongnya besok pagi, ke salon tetangga yang harganya masih bersahabat. Aku ada sedikit uang, cukup untuk ke salon.
"Anak durhaka!" bentaknya.
"Siapa yang anak durhaka!" kataku sambil menatap tajam muka ayahku. Aku sudah sangat lelah untuk menuruti perintah bejatnya. Aku muak!
"Kamu! Paham?"
"Heh! Setan! Bukannya kamu anak durhaka?" balasku dengan penuh kemarahan. Baru kali ini aku berani memberontak kepada ayahku.
"Berani kamu jawab? Bodoh! Jangan ceramahi aku. Kalau bukan karena aku, kamu gak bakalan ada di dunia ini!" katanya sambil mendorong badanku.
Aku bisa menahan dorongan kuat itu. Jika tidak, pasti aku sudah masuk ke dalam api pembakaran dedaunan kering itu.
"Kalau aku boleh pilih, aku gak akan pilih kamu jadi ayahku. Kalau aku boleh minta sama Tuhan, aku akan minta dilahirkan oleh orang tua baik-baik yang bertanggung jawab menjaga titipan-Nya!"
"Taaarrr!"
Ayah menampar pipiku keras, sakit! Sakit sekali, hingga air mataku tak kuasa aku tahan. Darah pun perlahan mengalir dari sudut bibir kananku. Sungguh, sakit ini luar biasa. Aku melihat dengan samar, ibuku menyaksikan peristiwa ini. Tapi, tak ada niatnya untuk menolongku sama sekali. Adikku pun hanya diam, tapi aku makhum karena adikku masih terlalu kecil untuk memahami semua ini.
***
"Rinayung! Kenapa lagi kamu!" kata nenekku dengan panik saat melihat mataku sembab dengan pipi yang bengkak.
"Nek! Maafkan aku ya, tak seharusnya aku begitu! Aku dipaksa, Nek! Aku mau karena aku menghindari semua ini!" kataku sambil menangis.
"Ayo, masuk!" kata nenekku sambil menjatuhkan rumput yang ada di gendongannya, kemudian menggandengku masuk ke dapur.
"Kamu minum dulu," ucap nenekku sambil memberikan segelas air dingin dari dalam kendi.
"Terima kasih, Nek!"
"Nenek akan kompres lukamu pakai air hangat. Besok biar hilang bengkaknya. Kalau belum hilang, besok jangan sekolah dulu! Teman-temanmu pasti akan mengolok-olokmu!"
Kasih sayang dan kepedulian nenekku terhadapku semakin membuatku merasa bersalah dan tak bisa memaafkan diri sendiri. Sungguh bejat sekali aku ini. Tapi bagaimana caraku mengakui kesalahanku? Bagaimana caranya untuk aku jujur? Jika aku jujur, apakah nenekku akan memaafkan aku? Tuhan, tolong beri petunjuk kepadaku apa yang harus aku lakukan? Atau tolong kirimkan Malaikat-Mu untuk menolongku, membisikkan dukungan dan semangat kepadaku.
"Rinayung! Cepat jalankan perintahku atau kamu mau mati ditanganku sekarang!" teriaknya dari dalam.
Aku pura-pura tak mendengar. Tetap menyapu dedaunan kering di halaman rumah. Sampah dedaunan kering menggunung sangat tinggi. Sebentar lagi, akan aku bakar.
"Rinayung!" bentaknya.
Aku menoleh setelah api menyala. Ternyata ayahku sudah tepat berada di belakangku.
"Cepat curi emas nenekmu! Masuk rumahnya sekarang juga sebelum nenekmu pulang dari ladang!" katanya dengan suara pelan, sambil menjambak rambut panjangku yang kusam.
Setiap hari bisa berkali-kali rambut panjangku yang kusam ini dijambak ayahku. Aku berniat memotongnya besok pagi, ke salon tetangga yang harganya masih bersahabat. Aku ada sedikit uang, cukup untuk ke salon.
"Anak durhaka!" bentaknya.
"Siapa yang anak durhaka!" kataku sambil menatap tajam muka ayahku. Aku sudah sangat lelah untuk menuruti perintah bejatnya. Aku muak!
"Kamu! Paham?"
"Heh! Setan! Bukannya kamu anak durhaka?" balasku dengan penuh kemarahan. Baru kali ini aku berani memberontak kepada ayahku.
"Berani kamu jawab? Bodoh! Jangan ceramahi aku. Kalau bukan karena aku, kamu gak bakalan ada di dunia ini!" katanya sambil mendorong badanku.
Aku bisa menahan dorongan kuat itu. Jika tidak, pasti aku sudah masuk ke dalam api pembakaran dedaunan kering itu.
"Kalau aku boleh pilih, aku gak akan pilih kamu jadi ayahku. Kalau aku boleh minta sama Tuhan, aku akan minta dilahirkan oleh orang tua baik-baik yang bertanggung jawab menjaga titipan-Nya!"
"Taaarrr!"
Ayah menampar pipiku keras, sakit! Sakit sekali, hingga air mataku tak kuasa aku tahan. Darah pun perlahan mengalir dari sudut bibir kananku. Sungguh, sakit ini luar biasa. Aku melihat dengan samar, ibuku menyaksikan peristiwa ini. Tapi, tak ada niatnya untuk menolongku sama sekali. Adikku pun hanya diam, tapi aku makhum karena adikku masih terlalu kecil untuk memahami semua ini.
***
"Rinayung! Kenapa lagi kamu!" kata nenekku dengan panik saat melihat mataku sembab dengan pipi yang bengkak.
"Nek! Maafkan aku ya, tak seharusnya aku begitu! Aku dipaksa, Nek! Aku mau karena aku menghindari semua ini!" kataku sambil menangis.
"Ayo, masuk!" kata nenekku sambil menjatuhkan rumput yang ada di gendongannya, kemudian menggandengku masuk ke dapur.
"Kamu minum dulu," ucap nenekku sambil memberikan segelas air dingin dari dalam kendi.
"Terima kasih, Nek!"
"Nenek akan kompres lukamu pakai air hangat. Besok biar hilang bengkaknya. Kalau belum hilang, besok jangan sekolah dulu! Teman-temanmu pasti akan mengolok-olokmu!"
Kasih sayang dan kepedulian nenekku terhadapku semakin membuatku merasa bersalah dan tak bisa memaafkan diri sendiri. Sungguh bejat sekali aku ini. Tapi bagaimana caraku mengakui kesalahanku? Bagaimana caranya untuk aku jujur? Jika aku jujur, apakah nenekku akan memaafkan aku? Tuhan, tolong beri petunjuk kepadaku apa yang harus aku lakukan? Atau tolong kirimkan Malaikat-Mu untuk menolongku, membisikkan dukungan dan semangat kepadaku.
Bersambung...
Diubah oleh alva610 21-05-2020 06:22
lina.wh dan juragan.goyang memberi reputasi
2