Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

KatakhoiAvatar border
TS
Katakhoi
Hilangnya Restu di Mulut Ibu


Quote:




Genap enam bulan kami menjalin hubungan secara diam-diam. Tidak ada orang yang tahu sama sekali hubungan ini selain dari kami berdua. Bukan karena tidak ingin memperkenalkan kekasihku pada Ibu, akan tetapi rasanya ini akan sangat sulit diterima oleh Ibu, bahkan seluruh anggota keluarga besarku.

Fiko Cendana. Itulah nama lengkapnya. Aku biasa memanggilnya Fiko atau Fik, sekadar untuk panggilan sayangku padanya. Kesukaannya adalah berdiskusi tentang ketuhanan dan kemanusiaan. Begitu berbeda dari laki-laki lainnya, apalagi jika dibandingkan dengan mantan kekasihku sebelumnya. Sungguh, sangat berbeda.

Pernah suatu hari saat kami berbincang tentang ketuhanan yang membuatku sangat tercengang.

"Allah?"

DEGH!

Tiga minggu aku baru mengenalnya dan baru mengetahui bahwa ternyata aku dengannya berada di jalan yang berbeda perihal keyakinan.

"Kamu tidak tahu Allah?" tanyaku begitu hati-hati kepadanya.

Raut wajahnya terlihat begitu santai. Ia menatapku dengan sorot mata yang dan berusaha agar tidak menyinggungku.

"Aku tahu Allah. Maksudku untuk apa kamu menyembah-Nya?"

Pertanyaannya yang ke sekian kalinya benar-benar membuatku tertegun. Kami memang belum tahu satu sama lain, apalagi perkenalan kami baru berumur tiga minggu. Akan tetapi karena sering bertemu di kampus, rasa suka itu mulai tumbuh. Baik dariku untuknya, maupun darinya untukku. Kami pun sudah saling mengungkapkan perasaan satu sama lain, hanya saja baru hari itu akan mengetahui bahwa ternyata keyakinan kami berbeda.

"Karena aku percaya bahwa Dia lah yang menciptakan alam semesta," jawabku hati-hati.

"Lalu apakah Tuhan agama lain itu bukan yang menciptakan alam semesta? Apakah teori bigbangdan teori-teori lainnya tentang penciptaan alam semesta itu tidak cukup meyakinkanmu bahwa alam semesta ini bisa saja tercipta tanpa Tuhan?"

Mendengar pertanyaan darinya serupa tersambar petir di siang bolong. Bagaimana mungkin aku baru mengetahuinya hari itu? Sekitar tiga minggu ke belakang aku ke mana saja? Bahkan, rasanya Fiko sangat rapi menyembunyikan tentang keyakinannya.

Semenjak percakapan kami saat itu, aku memutuskan diri untuk tidak lebih dulu memperkenalkannya pada Ibu. Aku tahu pasti Ibu akan menolak Fiko mentah-mentah. Apalagi keluargaku berasal dari keturunan kyai, bagaimana mungkin Fiko dapat diterima begitu baik oleh keluargaku?

Namun, meskipun begitu kami masih saling berkomunikasi dan melanjutkan perasaan satu sama lain tanpa merasa tersinggung dengan keyakinan masing-masing. Sikap Fiko pun tidak pernah menyinggungku, malah ia sangat menghormati keyakinanku, meskipun sesekali ia melontarkan pertanyaan yang membuatku terkadang merasa tidak nyaman. Aku percaya, suatu saat cinta mampu meluluhkannya. Itu saja harapanku. Meskipun aku tahu semua agama yang mengajarkan kebaikan itu benar, akan tetapi dalam agamaku tidak diajarkan untuk menikah dengan orang yang berbeda agama. Maka dari itu akan sangat sulit bagiku dengannya untuk bisa bersatu. Namun, meski kami mengetahui hal itu, kami masih melanjutkan hubungan kami. Dalamnya rasa cinta yang kami rasakan mampu menghormati keyakinan satu sama lain.

Sampai suatu hari, Ibu sempat memergokiku yang sedang asyik teleponan dengannya.


"Pacar baru, ya? Kok nggak cerita ke Ibu?" tanya Ibu duduk di sebelahku.

Telepon kami masih tersambung, mungkin Fiko pun mendengar pembicaraanku dengan Ibu.

"Mmm, iya, Bu. Nanti kalau sudah waktunya pasti aku kenalin ke Ibu," jawabku mencari alasan.

"Memangnya orang mana dia?" tanya Ibu lanjut.

Dengan sangat hati-hati kumatikan telepon dari Fiko agar menghindari percakapan-percakapan kami yang kian melebar.

"Asli Bandung, Bu. Hanya saja merantau ke Sukabumi karena berkuliah di sini dan sekampus denganku."

Diam-diam aku takut tidak bisa mengontrol diri dan menjaga ucapanku agar Ibu jangan dulu mengetahui perihal keyakinan Fiko.


"Oh, Bandung? Ya udah, besok Ibu mau ketemu dengan dia. Boleh?"

Habis riwayatku. Bagaimana ini? Fiko sebelumnya pernah memintaku untuk bertemu dengan Ibu, jika seandainya sekarang kuberi tahu, pasti Fiko langsung menyetujuinya.


"Besok? Tapi untuk apa, Bu?"

"Ibu hanya ingin berbincang-bincang saja dengannya dan ingin tahu juga lebih jauh tentang dia," jawab Ibu seadanya.

"Apa nggak terlalu kecepatan, Bu?" tanyaku hati-hati.

"Memangnya kalian sudah berapa lama berpacaran?" tanya Ibu.

Bukannya menjawab pertanyaanku, akan tetapi Ibu kembali bertanya padaku.

"Kurang lebih enam bulan. Baru sebentar," jawabku.

"Wah, itu sudah lumayan lama. Ya udah, kabari dia sekarang kalau Ibu memintanya besok datang ke sini."

Sejurus kemudian, Ibu keluar dari kamarku tanpa menungguku meresponnya.


Bagaimana ini? Ibu tetap memintanya datang ke rumah esok hari. Tidak ada pilihan lain bagiku untuk menuruti Ibu.

Dengan perasaan penuh kecemasan kuhubungi Fiko untuk memberi tahu bahwa Ibu ingin bertemu dengannya.

"Hallo, Fik. Besok ada acara nggak atau kegiatan himpunan gitu?"

"Nggak ada kok. Kenapa emang? Mau main?"

"Nggak, hanya saja Ibu memintamu untuk ke rumah besok."

"Serius? Kok bisa?"

"Aku juga nggak tahu. Besok kamu ke sini ya. Ya semoga Ibu merestui hubungan kita."

"Ya udah, kalau gitu besok aku ke sana."

Telepon itu terputus, akan tetapi kecemasanku masih berlanjut sampai esok hari. Rasanya aku tidak bisa bersikap baik-baik saja, apalagi jika Ibu bertanya tentang keyakinan Fiko. Sungguh, ini akan sangat menyakitkan jika Ibu tidak merestui hubungan kami.

Malam itu kuhabiskan waktu dengan terus berpikir dan mengkhawatirkan apa yang akan terjadi esok hari. Aku belum siap jika seandainya Ibu menyuruhku untuk memutuskan hubungan dengan Fiko. Namun, apa pun yang terjadi aku harus menghadapinya. Aku percaya Tuhan akan memberikan yang terbaik untukku.

"Siapa nama lengkapmu, Nak?" tanya Ibu pada Fiko.

Tepat jam sepuluh siang kami berbincang di ruang tamu. Keringat dingin membasahi tubuhku, pun dengan detak jantungku yang berdegup begitu kencang. Namun, aku berusaha agar semuanya terlihat baik-baik saja.

"Fiko Cendana. Ibu boleh memanggil saya Fiko," jawabnya dengan senyum ramah.

"Oh, Nak Fiko. Asli Bandung, ya?" tanya Ibu kembali.

"Iya, Bu. Kok bisa tahu?"

"khoi yang ngasih tahu ibu. Lumayan jauh juga ya dari Bandung ke Sukabumi," jawab Ibu.

Obrolan Ibu dan Fiko berlanjut lumayan banyak, dan sampai sejauh ini masih terlihat baik-baik saja. Tentunya itu membuatku merasa jauh lebih lega. Karena sungguh aku sangat tidak ingin jika Ibu mengetahui keyakinan dari Fiko.

Rasanya ruang tamu itu terasa hangat dibalut dengan percakapan dan gelak tawa kami bertiga.


"Sudah adzan. Mari kita shalat dulu," ajak Ibu.

DEGH!

Untuk sekejap degup jantungku berhenti, dadaku terasa sesak, panas dingin mulai merundungiku lagi.

"Shalat?" tanya Fiko.

Aku melirik ke arahnya dengan sangat cepat. Berharap Fiko tidak membicarakan dulu keyakinannya. Ini akan sangat berbahaya bagi hubungan kami.

"Iya shalat. Di sini kami biasa tepat waktu atau mari kita berjamaah," jawab Ibu.

"Mohon maaf, Bu. Tapi saya tidak shalat."

Mataku semakin terbuka lebar saat Fiko berbicara seperti itu.

"Maksudnya?" selidik Ibu dengan tatapan tajam.

"Saya tidak memiliki agama," jawab Fiko tersenyum ramah.

"Apa? Tidak memiliki agama?"

Sontak Ibu melirik ke arahku dengan tatapan yang sangat terkejut.

"Oh, baiklah kalau begitu. Khoi ikut Ibu ke dalam sebentar," pinta Ibu.

Tanpa basa-basi Ibu langsung pergi dan aku pun terpaksa mengikuti Ibu.

"Tunggu sebentar, ya," ucapku pada Fiko.

Matanya melotot, pun dengan suara napasnya yang begitu memburu.

"Bagaimana bisa kamu berpacaran dengan orang yang tidak memiliki agama? Atheis? Ingat, kita itu keturunan kyai! Dalam agama kita tidak diajarkan untuk seperti ini!" sergah Ibu.

"Tapi, Bu--"

"Putuskan dia! Jika nggak, kamu bukan anak Ibu lagi!" potong Ibu.

"Dengarkan dulu penjelasan aku, Bu!"

"Putuskan dia!" Ibu terkekeh. Lalu, ia meninggalkan seorang diri di kamar.

Tanpa mendengarkan penjelasanku, Ibu langsung menyuruhku untuk memutuskan hubungan kami. Tidak ada lagi harapan bagi kami dan semenjak saat itu kami tidak lagi berhubungan. Sungguh, rasanya tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Begitu menyakitkan dan memilukan.

Namun, meski begitu kami masih sering berkomunikasi secara diam-diam di belakang Ibu. Hanya untuk sekadar menjalin silaturrahmi dan hubungan baik di kampus. Meski aku tahu Fiko pun masih sangat mencintaiku, begitu pun denganku yang masih begitu mencintainya.

- Sukabumi, 21 April 2020.

Sumber gambar: Di sini
ukhtyfit81
NadarNadz
nona212
nona212 dan 47 lainnya memberi reputasi
48
755
28
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.4KAnggota
Tampilkan semua post
ahmadzwdAvatar border
ahmadzwd
#5
Saya pernah mengalaminya juga... Namanya Vita simamora org batak dia, sudah sepertiga jalan namun berbeda keyakinan. . Awalnya bersahabat lalu menjadi Benih benih cinta... Haha. Tapi yaa sudah lah
ummusaliha
embunsuci
g.gowang
g.gowang dan 4 lainnya memberi reputasi
5
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.