- Beranda
- Stories from the Heart
Cinta Dua Dunia, Wanita di Balik Cadar [TAMAT]
...
TS
indahmami
Cinta Dua Dunia, Wanita di Balik Cadar [TAMAT]
![Cinta Dua Dunia, Wanita di Balik Cadar [TAMAT]](https://s.kaskus.id/images/2020/02/19/9532339_202002190735280576.png)
Quote:
Prolog
Sepoi angin dingin menusuk jiwa dalam kebekuan. Barbalut malam bertaburkan bintang-bintang, Seseorang duduk di tepian taman berhiaskan berjuta warna. Bersimpuh menatap tingginya langit malam. Air matanya terjatuh mengaliri pipi hingga ke hati, kosong menatap ribuan mil cahaya gelap.
"Kamu di sini, Zhe?" tanya seseorang dari samping.
"Iya, lagi pingin di sini," Zhe menjawab dengan singkat tanpa menoleh.
"Udah malam, kamu nggak pulang?"
"Sebentar lagi, Ve. Temani saja aku di sini," pinta Zhe.
"Sebenernya mau ngajak makan, tapi kalau maunya di sini, ya, nggak apa-apa."
Berdua hening menikmati malam yang semakin tenggelam. Aroma harum bunga menggoda penciuman hidung mungilnya. Begitu syahdu ditemani seorang sahabat sekaligus saudara. Saudara tidak harus sedarah, bukan? Zhe dan Veronica adalah sahabat sejak mereka kecil, lebih kental daripada ikatan sedarah.
"Udah malam, Zhe. Yakin masih pingin di sini?" tanyanya menyelidik.
"Baiklah, aku menyerah. Mari kita pulang."
Berdua bangkit dari tempat duduk yang berbahan besi, bercorak hitam dengan hiasan ukiran di sisi kanan dan kiri. Mereka berjalan menyusuri gelap malam dengan penerangan yang semakin terang. Namun, tidak mampu menerangi kegelapan dalam hatinya.
"Cepat pakai helmnya, malah ngelamun terus," ucap Ve membuyarkan lamunan.
"Eh, udah sampai parkiran. Okedeh, mana helmnya?"
Setapak demi setapak jalan telah mereka lalui, jarum jam terus berputar. Akhirnya, mereka tiba di kediaman kos bertembok coklat dengan pintu sederhana, kamar ukuran 3x3 menjadi tempat paling nyaman untuk melepas penat dan lelah setelah seharian berutinitas.
"Zhe, aku pulang dulu. Besok ke sini lagi, kamu jangan kemana-mana," kata Ve dari luar pintu kos.
Suara motor Ve menjauh sampai tidak terdengar lagi. Sepertinya malam akan sangat panjang. Zhe membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur berseprai ungu dengan lipatan-lipatan manis di setiap ujung.
Dada membuncah penuh deru amukan ombak mematikan. Zhe mencoba menutup kelopak mata, tapi tetap tidak sanggup. Bayangan itu, bayangan hitam yang selalu menghantui bertahun-tahun hingga mematikan seluruh urat saraf panca inderanya. Bahkan masih membekas indah diseluruh bagian raga dan jiwa.
Sekali lagi, Zhe mencoba memejamkan mata berharap malam menenggelamkan segala kegundahan jiwa. Melupakan semua dan berharap amnesia atau mungkin mati adalah jalan paling indah. Namun, Zhe tidak selemah itu, masih banyak orang yang menyayanginya daripada yang ia sayangi.
Tik Tok Tik Tok
Dentuman suara jarum jam terus berputar, tapi mata masih segar menatap langit-langit.
"Sepertinya sudah saatnya untuk sholat malam, siapa tahu kegelisahan hati akan menghilang," gumamnya.
Zhe bangkit dan berjalan menuju kamar mandi untuk membasuh diri, sebelum berserah diri kepada Sang Maha Pencipta.
"Ya Allah, berikan aku sebuah petunjuk untuk pilihan hidup yang aku jalani. Jika dia memang jodohku, dekatkan sedekat mungkin dan rubahlah dia menjadi yang paling terbaik. Namun, jika tidak, berikan jalan yang terbaik untuk kehidupan kami," senandung do'a yang dia panjatkan di setiap hajat.
Zhe merasakan ketenangan setelah mengutarakan keluh kesah hidup yang dialami. Zhe hanyalah manusia yang tidak mampu bercerita, tapi tidak mampu memendam segala derita seorang diri.
Bersambung...
Diubah oleh indahmami 26-03-2023 16:43
tatikartini dan 79 lainnya memberi reputasi
78
25.9K
499
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
indahmami
#208
Part 21

Di taman indah, kursi-kursi berderet rapi, bunga-bunga menghiasi di segala sisi. Pohon rindang mengayomi, menutupi dari panasnya terik matahari. Daun-daun saling berguguran ke tanah, berserakan tidak beraturan. Seseorang menyentuh setiap lekukan bagian pahatan kursi, lalu duduk bersandar, wajahnya menatap langit dengan kertas di tangannya. Menikmati setiap hembusan angin yang menerpa.
"Sayang," suara dari arah belakang, dia berbalik melihat siapa yang memanggilnya, lalu tersenyum. Orang tersebut berputar dan duduk di sampingnya.
"Lama nunggunya? Maaf, banyak urusan tadi. Gimana nilai kamu, bagus?"
"Alhamdulillah memuaskan, Rul. Mungkin orang tuaku akan senang."
"Alhamdulillah, kapan kamu mau nikahnya, Sayang? Sebentar lagi kuliah kita selesai." Pipinya berubah merah merona, lalu menutup wajahnya. Irul tersenyum, dia paling suka membuat Zhe tersipu seperti sekarang.
"Jangan malu-malu gitu, tinggal jawab," ucap Irul membuka tangannya yang menutupi.
"Aku nurut kamu dan orang tua aja, Rul. Coba ngobrol sama Ayah. Mungkin Ayah lebih mengerti." Zhe menatap intens ke dalam bola mata Irul, tatapan yang saling mencintai. Matanya begitu indah dan tidak ingin lepas..
"Sayang, kamu beneran ikut naik gunung?"
"Iya, tapi kalau kamu nggak ikut, aku pun nggak akan ikut, Rul." Irul tersenyum, lesung pipinya tercetak manis.
"Persiapkan diri, yah! Aku takut nanti kamu sakit di sana. Apalagi kamu belum pernah ke mana-mana."
"Iya, aku ngerti. Nanti aku menyiapkan diri biar setrong, kamu juga, ya," kata Zhe menggenggam jemari Irul.
Mereka menikmati momen, langit-langit begitu cerah dan awan putih menghias. Cinta mereka akhirnya berlabuh pada pelaminan, rencana demi rencana mereka bicarakan. Mereka saling memberi perhatian kecil, sentuhan lembut, dan kasih sayang. Tidak selamanya luka menjadi nestapa, ada kalanya luka awal dari bahagia. Sama halnya cinta mereka, banyak konflik yang terjadi, banyak rasa yang menghampiri, terkadang mereka ragu, lalu percaya kembali.
Matahari bergeser ke arah barat, mereka berjalan ke arah parkiran. Motor menyala dan melaju membelah keramaian kota. Zhe mengeratkan pelukan, meskipun motor jalan pelan. Irul tersenyum di balik kaca helm dan salah satu tangannya mengusap lembut jemari Zhe. Lalu kembali memegang stang kendali.
Semua hening, Zhe merasa degub jantungnya begitu jelas. Dia begitu mencintai Irul lebih dari dirinya sendiri, anggap saja dia bucin. Memang begitulah dirinya. Mereka sampai di kos, Irul berhenti di depan pagar.
"Sayang, aku langsung pulang yah. Mau bareng aku atau anak-anak?"
"Aku nurut aja, Rul. Bareng kamu juga nggak apa-apa."
Irul mengangguk, menutup kaca helm, lalu pergi meninggalkan Zhe seorang diri. Kos sepi karena sebagian penghuni pulang dan sebagian bekerja, rata-rata mereka luar kota dan luar pulau. Zhe senang memiliki banyak teman, contohnya tetangga di kamar kanan dan kirinya, mereka baik pada Zhe. Mereka saling berbagi satu sama lain, suka duka menjadi anak kos.
Kunci diputar dan pintu terbuka, Zhe meletakkan tas di atas meja, lalu membaringkan tubuhnya ke kasur. Semakin lama matanya terpejam, badanya lelah belum sempat membersihkan diri. Zhe tertidur pulas.
******
Suara gamelan, penyanyi, dan para penari menggema di seluruh ruangan. Riuh sorakan penonton menjadi semangat, gamelan itu seperti magic yang menghipnotis. Semua ikut menari tanpa kecuali. Zhe bingung, dia berjalan seorang diri di tengah-tengah hajatan yang tidak tahu di mana. Seseorang menepuk pundaknya, Zhe menengok, ternyata wanita paruh baya.
"Sedang apa, Nimas? Sampean terlalu jauh tersesat. Monggo saya tunjukan jalan pulang. Tidak baik masih di sini, di tempat yang bukan seharusnya," ucapnya penuh wibawa, auranya begitu dingin, tapi menghangatkan.
Zhe mengangguk dan menurut ke mana beliau menuntunnya. Zhe merasa dirinya memang tersesat, sepertinya dia tidak waras bisa menghayal sampai ke sini.
"Monggo, Nimas. Silahkan ikuti jalan ini, lurus saja. Jangan berbelok dan jangan menengok. Apa pun yang kamu dengar dan yang kamu rasakan, acuhkan, biarkan saja." Zhe mengangguk dan mau bertanya, tapi lidahnya kelu. Mulutnya tiba-tiba terkunci.
"Nggak usah banyak bertanya, Nimas. Ikuti saja apa yang saya jelaskan, monggo," katanya mengundurkan diri, Zhe mengangguk dan tersenyum.
Kemudian wanita itu pergi dan cepat sekali menghilang. Zhe menghela napas dan mengingat pesan yang baru saja dia terima. Zhe berjalan sesuai arahan, lurus tanpa belok dan menengok, tapi ada sesuatu yang membuatnya penasaran. Dia ingin menengok, tapi hati kecilnya menolak.
"Jangan! Tetap berjalan dan abaikan," suara hatinya berbisik.
Zhe terus berjalan sampai menemukan lorong, awalnya gelap, tapi lama-lama menjadi terang semakin terang dan silau. Sehingga dia memejamkan mata, lalu mata terbuka. Zhe berada di kamar miliknya. Zhe mengedarkan pandangan, memang betul ini kamarnya. Zhe bernapas lega, ternyata itu hanya mimpi. Namun dia merasa begitu nyata, mungkin ini yang dinamakan bunga tidur. Zhe melirik jam di dinding menunjukan pukul sepuluh malam. Beruntung dia sedang tidak sholat, sehingga hatinya tidak gelisah karena bangun jam sepuluh malam, tidurnya nyenyak.
Zhe membereskan barang-barang miliknya, semua siap, dan besok tinggal berangkat. Zhe merebahkan tubuhnya kembali, dia tidak sabar menunggu hari esok. Namun, mimpi yang baru saja dialami menjadi ketakutan tersendiri. Zhe menetralkan segala gejolak hati dan pikiran, dia harus positif thinking agar semua baik-baik saja.
Ting
Satu pesan diterima dari Sonia.
[Zhe, besok aku nggak bisa bareng. Mau bareng sama Johan dan Syarif]
[Iya, aku bareng Irul]
[Kumpul di rumah Johan]
[Iya, siap]
Ting
[Sayang, kamu belum tidur?]
Zhe tersenyum, mereka seperti punya ikatan batin. Baru saja Zhe merindukan Irul.
[Baru bangun, Rul. Udah tidur barusan]
Mereka berbalas pesan sampai tengah malam.
[Sayang, udah malam. Aku pamit mau tidur. Kamu juga, biar besok matamu nggak panda.]
[Iya, aku juga mau tidur]
Pesan diakhiri dengan emot sayang. Zhe melempar ponsel dan membongkar kembali tasnya untuk mengecek.
"Semua lengkap. Waktunya tidur," gumamnya.
Kemudian menghempaskan tubuhnya di atas kasur, nyaman, dan semakin lama matanya terpejam. Malam ini terasa lebih lama karena saling merindukan. Bintang-bintang menemani mereka ke alam mimpi, berlabuh pada hati masing-masing.
Selalu ada harapan dan mimpi untuk esok hari, apa pun yang terjadi senyum dan bahagia menjadi hal utama. Cinta, perhatian, dan kesetiaan menjadi satu lingkaran indah. Tidak ada yang menuntut sempurna, karena sejatinya mencintai adalah menerima dan memberi. Menyatukan banyak hal yang berbeda untuk saling memiliki. Sama halnya Irul dan Zhe, kisah mereka akan abadi di dalam hati. Selalu hidup meskipun mereka akan mati suatu hari nanti.
"Sayang," suara dari arah belakang, dia berbalik melihat siapa yang memanggilnya, lalu tersenyum. Orang tersebut berputar dan duduk di sampingnya.
"Lama nunggunya? Maaf, banyak urusan tadi. Gimana nilai kamu, bagus?"
"Alhamdulillah memuaskan, Rul. Mungkin orang tuaku akan senang."
"Alhamdulillah, kapan kamu mau nikahnya, Sayang? Sebentar lagi kuliah kita selesai." Pipinya berubah merah merona, lalu menutup wajahnya. Irul tersenyum, dia paling suka membuat Zhe tersipu seperti sekarang.
"Jangan malu-malu gitu, tinggal jawab," ucap Irul membuka tangannya yang menutupi.
"Aku nurut kamu dan orang tua aja, Rul. Coba ngobrol sama Ayah. Mungkin Ayah lebih mengerti." Zhe menatap intens ke dalam bola mata Irul, tatapan yang saling mencintai. Matanya begitu indah dan tidak ingin lepas..
"Sayang, kamu beneran ikut naik gunung?"
"Iya, tapi kalau kamu nggak ikut, aku pun nggak akan ikut, Rul." Irul tersenyum, lesung pipinya tercetak manis.
"Persiapkan diri, yah! Aku takut nanti kamu sakit di sana. Apalagi kamu belum pernah ke mana-mana."
"Iya, aku ngerti. Nanti aku menyiapkan diri biar setrong, kamu juga, ya," kata Zhe menggenggam jemari Irul.
Mereka menikmati momen, langit-langit begitu cerah dan awan putih menghias. Cinta mereka akhirnya berlabuh pada pelaminan, rencana demi rencana mereka bicarakan. Mereka saling memberi perhatian kecil, sentuhan lembut, dan kasih sayang. Tidak selamanya luka menjadi nestapa, ada kalanya luka awal dari bahagia. Sama halnya cinta mereka, banyak konflik yang terjadi, banyak rasa yang menghampiri, terkadang mereka ragu, lalu percaya kembali.
Matahari bergeser ke arah barat, mereka berjalan ke arah parkiran. Motor menyala dan melaju membelah keramaian kota. Zhe mengeratkan pelukan, meskipun motor jalan pelan. Irul tersenyum di balik kaca helm dan salah satu tangannya mengusap lembut jemari Zhe. Lalu kembali memegang stang kendali.
Semua hening, Zhe merasa degub jantungnya begitu jelas. Dia begitu mencintai Irul lebih dari dirinya sendiri, anggap saja dia bucin. Memang begitulah dirinya. Mereka sampai di kos, Irul berhenti di depan pagar.
"Sayang, aku langsung pulang yah. Mau bareng aku atau anak-anak?"
"Aku nurut aja, Rul. Bareng kamu juga nggak apa-apa."
Irul mengangguk, menutup kaca helm, lalu pergi meninggalkan Zhe seorang diri. Kos sepi karena sebagian penghuni pulang dan sebagian bekerja, rata-rata mereka luar kota dan luar pulau. Zhe senang memiliki banyak teman, contohnya tetangga di kamar kanan dan kirinya, mereka baik pada Zhe. Mereka saling berbagi satu sama lain, suka duka menjadi anak kos.
Kunci diputar dan pintu terbuka, Zhe meletakkan tas di atas meja, lalu membaringkan tubuhnya ke kasur. Semakin lama matanya terpejam, badanya lelah belum sempat membersihkan diri. Zhe tertidur pulas.
******
Suara gamelan, penyanyi, dan para penari menggema di seluruh ruangan. Riuh sorakan penonton menjadi semangat, gamelan itu seperti magic yang menghipnotis. Semua ikut menari tanpa kecuali. Zhe bingung, dia berjalan seorang diri di tengah-tengah hajatan yang tidak tahu di mana. Seseorang menepuk pundaknya, Zhe menengok, ternyata wanita paruh baya.
"Sedang apa, Nimas? Sampean terlalu jauh tersesat. Monggo saya tunjukan jalan pulang. Tidak baik masih di sini, di tempat yang bukan seharusnya," ucapnya penuh wibawa, auranya begitu dingin, tapi menghangatkan.
Zhe mengangguk dan menurut ke mana beliau menuntunnya. Zhe merasa dirinya memang tersesat, sepertinya dia tidak waras bisa menghayal sampai ke sini.
"Monggo, Nimas. Silahkan ikuti jalan ini, lurus saja. Jangan berbelok dan jangan menengok. Apa pun yang kamu dengar dan yang kamu rasakan, acuhkan, biarkan saja." Zhe mengangguk dan mau bertanya, tapi lidahnya kelu. Mulutnya tiba-tiba terkunci.
"Nggak usah banyak bertanya, Nimas. Ikuti saja apa yang saya jelaskan, monggo," katanya mengundurkan diri, Zhe mengangguk dan tersenyum.
Kemudian wanita itu pergi dan cepat sekali menghilang. Zhe menghela napas dan mengingat pesan yang baru saja dia terima. Zhe berjalan sesuai arahan, lurus tanpa belok dan menengok, tapi ada sesuatu yang membuatnya penasaran. Dia ingin menengok, tapi hati kecilnya menolak.
"Jangan! Tetap berjalan dan abaikan," suara hatinya berbisik.
Zhe terus berjalan sampai menemukan lorong, awalnya gelap, tapi lama-lama menjadi terang semakin terang dan silau. Sehingga dia memejamkan mata, lalu mata terbuka. Zhe berada di kamar miliknya. Zhe mengedarkan pandangan, memang betul ini kamarnya. Zhe bernapas lega, ternyata itu hanya mimpi. Namun dia merasa begitu nyata, mungkin ini yang dinamakan bunga tidur. Zhe melirik jam di dinding menunjukan pukul sepuluh malam. Beruntung dia sedang tidak sholat, sehingga hatinya tidak gelisah karena bangun jam sepuluh malam, tidurnya nyenyak.
Zhe membereskan barang-barang miliknya, semua siap, dan besok tinggal berangkat. Zhe merebahkan tubuhnya kembali, dia tidak sabar menunggu hari esok. Namun, mimpi yang baru saja dialami menjadi ketakutan tersendiri. Zhe menetralkan segala gejolak hati dan pikiran, dia harus positif thinking agar semua baik-baik saja.
Ting
Satu pesan diterima dari Sonia.
[Zhe, besok aku nggak bisa bareng. Mau bareng sama Johan dan Syarif]
[Iya, aku bareng Irul]
[Kumpul di rumah Johan]
[Iya, siap]
Ting
[Sayang, kamu belum tidur?]
Zhe tersenyum, mereka seperti punya ikatan batin. Baru saja Zhe merindukan Irul.
[Baru bangun, Rul. Udah tidur barusan]
Mereka berbalas pesan sampai tengah malam.
[Sayang, udah malam. Aku pamit mau tidur. Kamu juga, biar besok matamu nggak panda.]
[Iya, aku juga mau tidur]
Pesan diakhiri dengan emot sayang. Zhe melempar ponsel dan membongkar kembali tasnya untuk mengecek.
"Semua lengkap. Waktunya tidur," gumamnya.
Kemudian menghempaskan tubuhnya di atas kasur, nyaman, dan semakin lama matanya terpejam. Malam ini terasa lebih lama karena saling merindukan. Bintang-bintang menemani mereka ke alam mimpi, berlabuh pada hati masing-masing.
Selalu ada harapan dan mimpi untuk esok hari, apa pun yang terjadi senyum dan bahagia menjadi hal utama. Cinta, perhatian, dan kesetiaan menjadi satu lingkaran indah. Tidak ada yang menuntut sempurna, karena sejatinya mencintai adalah menerima dan memberi. Menyatukan banyak hal yang berbeda untuk saling memiliki. Sama halnya Irul dan Zhe, kisah mereka akan abadi di dalam hati. Selalu hidup meskipun mereka akan mati suatu hari nanti.
Bersambung....
Diubah oleh indahmami 26-07-2020 09:50
actandprove dan 5 lainnya memberi reputasi
6
Tutup
![Cinta Dua Dunia, Wanita di Balik Cadar [TAMAT]](https://s.kaskus.id/images/2019/10/07/9532339_201910071202330670.png)