- Beranda
- Stories from the Heart
CATATAN VIOLET
...
TS
drupadi5
CATATAN VIOLET

Perjalanan ini akan membawa pada takdir dan misteri hidup yang mungkin tak pernah terpikirkan.
Ketika sebuah kebetulan dan ketidaksengajaan yang kita sangkakan, ternyata adalah sebuah rencana tersembunyi dari hidup.
Bersiaplah dan arungi perjalananmu
Kota Kenangan1
Kota Kenangan 2
Ardi Priambudi
Satrya Hanggara Yudha
Melisa Aryanthi
Made Brahmastra Purusathama
Altaffandra Nauzan
Altaffandra Nauzan : Sebuah Insiden
Altaffandra Nauzan : Patah Hati
Altaffandra Nauzan : the man next door
Sepotong Ikan Bakar di Sore yang Cerah
Expired
Adisty Putri Maharani
November Rain
Before Sunset
After Sunrise
Pencundang, pengecut, pencinta
Pencundang, pengecut, pencinta 2
Time to forget
Sebuah Hadiah
Jimbaran, 21 November 2018
Lagi, sebuah kebaikan
Lagi, sebuah kebaikan 2
Perkenalan
Temanku Malam Ini
Keluarga
03 Desember 2018
Jimbaran, 07 Desember 2018
Looking for a star
Ketika daun yang menguning bertahan akan helaan angin
Pertemuan
BERTAHAN
Hamparan Keraguan
Dan semua berakhir
Fix you
One chapter closed, let's open the next one
Deja Vu
Deja Vu karena ingatan terkadang seperti racun
Karena gw lagi labil, tolong biarin gw sendiri...
Semua pasti berujung, jika kau belum menemukannya teruslah berjalan...
Kepercayaan, kejujuran, kepahitan...
Seperti karang yang tidak menyerah pada ombak...
Damar Yudha
I Love You
Perjanjian...
Perjanjian (2)
Christmas Eve
That Day on The Christmas Eve
That Day on The Christmas Eve (2)
That Day on The Christmas Eve (3)
Di antara
William Oscar Hadinata
Tentang sebuah persahabatan...
Waiting for me...
Kebohongan, kebencian, kemarahan...
Oh Mama Oh Papa
Showing me another story...
Menjelajah ruang dan waktu
Keterikatan
Haruskah kembali?
Kematian dan keberuntungan
The ambience of confusing love
The ambience of love
Kenangan yang tak teringat...
Full of pressure
Persahabatan tidak seperti kepompong
Menunggu, sampai nanti...
Catatan Violet 2 (end): Mari Jangan Saling Menepati Janji
Jakarta, 20 Juni 2019 Lupakanlah Sejenak
Menjaga jarak, menjaga hati
First lady, second lady...
Teman
Teman?
Saudara
Mantan
Mantan (2)
Pacar?
Sahabat
Diubah oleh drupadi5 14-05-2021 15:13
JabLai cOY dan 132 lainnya memberi reputasi
129
23.8K
302
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
drupadi5
#15
Jimbaran, 09 November 2018
Altaffandra Nauzan
Pagi ini aku agak kaget ketika melihat Hanggara keluar dari salah satu kamar yang dipakai sebagai ruang istirahat yang ada tempat tidurnya. Dia sepertinya baru bangun tidur. Rambut acak-acakan, memakai kaos oblong dan celana pendek, menuju kamar mandi di kebun belakang. Ketika balik ke kamar, dia seperti habis mandi, mukanya menunduk seperti menghindari bersitatap dengan orang lain. Anak-anak yang lain tampak biasa saja, hanya melihat sekilas dan kembali bekerja. Sepertinya sudah jadi kebiasaan kalau dia tidur di sini.
Setelah jam makan siang, anak-anak ribut seperti membahas sesuatu. Wajah-wajah mereka tampak sumringah sepertinya ada kabar gembira yang tidak kutahu.
Karena penasaran aku tanya ke Mega,
“Sepertinya semua pada happy nih, ada apaan?”
“Ini mbak, Pak Angga nraktir dinner ntar malam. Kan sekarang week end, deadline laporan awal bulan juga dah kelar semua, refreshing katanya,” jelas Mega
“Oh gitu.”
Jadilah sore ini, sebelum jam pulang, hampir semua anak-anak sudah pada santai. Dan hampir sejaman Ardi ada di kebun belakang dengan Hanggara. Dari mejaku dapat kulihat mereka sedang bicara. Mungkin masalah kerjaan, pikirku. Memang semingguan ini kuperhatikan Hanggara agak sedikit berbeda, dia yang biasanya murah senyum, tidak segan-segan menyapa lebih dulu pada siapa saja, kali ini…. [I]seem like he is not in a good mood[I]. Selalu memasang wajah serius ketika duduk di mejanya atau melamun sendiri di kebun belakang.
Beberapa hari yang lalu aku sempat nanya ke Ardi, tapi dia hanya angkat bahu tanda tak tahu.
“Dia ga ada ngomong apa-apa,” katanya ketika kutanya, “cie… perhatian bgt nih.” Dia malah lanjut dengan godaanya
“Mulai deh lo!” dengusku sebal, “gw pikir ada masalah kerjaan, kan lo tangan kanannya!”
“Dia ga ada bilang apa-apa, so everything should be okay.” Katanya lagi, ”mungkin masalah ceweknya.”
“Sok tau lo!”
“Ya kan gw bilang mungkin. Soalnya dia tuh selalu ada masalah tiap ceweknya ke Bali.”
“Darimana lo tau?”
“Dia pernah bilang gitu.”
“Emang ceweknya ga tinggal di sini?”
“Ngga. Ceweknya lagi kuliah S2 di Aussie.”
“Oh.”
*****
Aku sedang input data-data ketika tanpa kusadari Hanggara berdiri di sampingku.
“Sudah selesai?” tanyanya yang membuatku sedikit kaget.
“Hampir.” Jawabku setelah sesaat melihat ke arahnya dan kemudian kembali menekuri layar laptop.
“Kita semua mau dinner, kamu ikut ya?”
Aku berpaling melihatnya. Ada senyum tipis di wajahnya tapi matanya tidak berbinar seperti pertama kali aku melihatnya.
“Iya, mau berangkat sekarang?”
“Kamu udah selesai?” kali ini Ardi yang bertanya, mejanya ada tepat di samping mejaku, dia sedang merapikan berkas-berkas.
“Ini bisa aku kerjakan nanti.”
“Ya udah, siap-siap gih. Kita jalan sekarang.”
“Okay.”
*******
Pilihan tempat makan Hanggara kali ini lebih sederhana dari restoran sebelumnya, sewaktu dia mentraktirku makan siang. Sebuah rumah makan berkonsep Japanese Food Street.
Tempatnya ga jauh dari kantor, dan yang aku suka adalah view gemerlap lampu-lampu di sekitaran Jimbaran di bawah sana. Lokasi kantorku memang agak di atas di banding area lainnya.
Semua tampak senang dengan traktiran makan malam ini. Aku suka atmosfir seperti ini, sepertinya semua staff memiliki hubungan yang baik, tidak ada sirik-sirikan atau sinis-sinisan, seperti di kebanyakan perusahaan yang pernah aku masuki.
Tidak hanya dalam satu divisi, antar divisi pun mereka akrab. Aku salut dengan kepemimpinan Hanggara, benar apa yang pernah dia katakan, kalau kenyamanan dari suasana kerja juga menentukan produktivitas dan kualitas staff.
Hampir dua jaman kami makan. Hanggara juga memesankan beberapa beer B****** untuk yang mau ngebeer, terutama buat yang cowok-cowok.
“Vi, ntar lo pulang naik taksi ya, atau cari ojol ya,” ujar Ardi yang tiba-tiba datang dan duduk di sampingku.
“Emang lo mau kemana?”
“Aku di ajakin Angga pergi.”
Sebenarnya aku ingin tahu ke mana mereka akan pergi tapi aku tahan, karena sepertinya ga baik kalau aku terlalu kepo dengan urusan mereka.
“Iya, beres, ntar aku pesen ojol aja,” sahutku kemudian.
Dan akhirnya satu persatu mereka bubar, aku sedari tadi nunggu ojol yang mau terima pesananku, duh, kenapa jadi lama gini.
“Lho, Vio, kok kamu masih disini?” tanya Hanggara yang baru aja keluar dari dalam rumah makan. Sepertinya dia yang terakhir keluar.
“eh, iya nih, lagi nungguin ojol.”
“lho kok naik ojol? Bukannya kamu bareng Mas Ardi?”
Aku mengernyit heran, “Kata Ardi dia mau pergi bareng kamu, makanya aku naik ojol.”
“Badah, gimana sih Mas Ardi. Aku tadi minta dia antar kamu dulu pulang, baru ke sini lagi. Trus sekarang Mas Ardi mana?”
Aku angkat bahu tanda tak tahu. Dia lalu mengambil ponselnya, sepertinya dia berusaha menelpon Ardi.
“Angga, itu motornya Ardi, berarti dia masih di sini.” Ujarku setelah celingak celinguk melihat kesekeliling.
“Oh, iya…” ujarnya sambil mengikuti arah telunjukku.
“Woi,” terdengar suara Ardi yang membuat Aku dan Angga kompak menoleh ke sumber suara. Ardi muncul dari dalam restoran sambil cengar cengir.
“Sorry, gw kebelet, hehehe.”
“Ih, lo itu ya.”
“Blom pulang lo?” tanya Ardi padaku
“Mas, kita antar Vio dulu aja ya,” kata Angga kemudian, “Vi, cancel aja ojolnya, aku anter kamu pulang!”
Aku menurut karena kudengar nada bicara Hanggara sangat tegas cenderung memerintah.
“Motor gw gimana?” tanya Ardi ke Angga “atau kita sendiri-sendiri aja?”
“Ga, pake mobil gw aja. Motor lo taruh di kantor aja, Mas, gw ikutin lo ntar.”
Kemudian Hanggara berlalu ke parkiran mobil, Ardi memberi isyarat agar aku mengikutinya.
Ardi melaju di depan mobil Hanggara menuju kantor. Sampai di kantor kami disambut Pak Wayan, satpam kantor. Kudengar Hanggara berpesan kalau dia nitip motor Ardi dan akan balik nanti buat ambil motornya lagi.
Dalam hati aku berpikir, nantinya jam berapa, ini aja udah hampir jam sebelas malem.
“Kalau boleh tau, kalian mau kemana sih malem-malem gini?” tanyaku hati-hati ketika mobil melaju meninggalkan kantor dan menuju ke arah kostanku
“Hehehe malem mingguan Vio, kan weekend ini, buang stress,” sahut Ardi terkekeh.
Sedang Hanggara hanya diam dan seolah-oleh fokus mengemudi. Tidak seperti biasanya, dia pasti akan ikut nimbrung kalo aku dan Ardi lagi ngobrol.
Karena merasa suasana agak canggung gara-gara sikapnya, jadi aku memilih tidak melanjutkan obrolan.
“Berhenti di sini aja,” kataku begitu mobil Hanggara mendekati jalan belokan menuju kostanku.
“Di jalan ini belok?” tanyanya
“Iya, tapi aku turun di sini aja, jalan lagi dikit kok.” sahutku.
Entah dia budek atau gimana, dia malah langsung belok dan masuk ke jalan yang aku maksudkan. Aku ga bisa protes lagi.
“Rumah yang itu,” tunjukku.
Mobil Hanggara berhenti tepat di depan gerbang. Aku bersiap hendak turun,
“Dah Vio, tidur yg nyenyak ya, “gurau Ardi dari jok belakang.
“Jangan macem-macem lho!” aku menoleh ke Ardi dan mengisyaratkan sesuatu dari caraku memandangnya.
“Peace….” Dia mengangkat dua jarinya tanda mengerti akan maksudku.
“Makasi ya,” kataku kali ini pada Hanggara.
“Iya, kamu langsung masuk aja!”
Perasaan dari tadi cara bicaranya selalu seperti memerintah. Kenapa nih cowok? Lagi PMS kali ya?
Tanpa menyahutinya lagi aku langsung turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah. Ketika gerbang benar-bener tertutup dan aku beranjak menuju kamarku, baru aku dengar deru mesin mobilnya perlahan menjauh.
Aku bergegas masuk dan menaiki tangga menuju kamarku. Ketika berada di ujung tangga dan berbelok ke arah lorong menuju kamarku, kulihat sesosok, sepertinya laki-laki, keluar dari kamar yang ada tepat di sebelah kamarku, dan dia berjalan ke arah kamarku dan kemudian berhenti di depan pintu kamarku.
Siapa dia? hampir semingguan aku sudah di sini ngga pernah aku memperhatikan ada tanda-tanda kehidupan di kamar sebelahku, aku pikir orangnya sudah pindah. Ternyata malam ini tetanggaku itu memperlihatkan dirinya. Aku percepat langkahku karena penasaran apa maunya berdiri di depan kamarku seperti itu.
“Maaf, kamu cari apa?” kataku begitu aku mendekat.
Dia tampak kaget, ekspresi terkejut di wajahnya tampak jelas kulihat meski pencahayaan agak redup di balkon kamarku.
“Astagfirullah….” Dia beristighfar sambil mengelus-elus dadanya tanda dia memang kaget, “Kamu bikin aku kaget,” ujarnya kemudian.
Dia memiliki wajah pria khas campuran Indonesia-Arab dengan tubuh yang sedikit lebih tinggi dariku.
“Sorry. Kamu ngapain di depan kamarku?” tanyaku to the point.
“Oh, ini,” dia menunjuk ke bawah, aku mengikuti arah telunjuknya dan mataku melihat segalon air yang ada di depan pintu kamarku. Baru kusadari ada benda itu di sana. Dari tadi aku hanya focus pada sosok laki-laki yg berdiri di depanku ini.
“Maaf, Ini punyamu, ya?” tanyanya dengan sopan.
Aku berpikir sejenak. Perasaan aku ga ada pesen air gallon, selama ini aku selalu beli air botolan karena aku belum sempat beli yang galonan.
“Bukan,” sahutku.
“Kalau begitu bener berarti ini punyaku, sore tadi aku ada pesen air karena aku lagi di luar, aku minta orangnya naruh di depan kamarku, kayaknya orangnya salah taruh.”
“Oh, gitu.”
“Ya udah aku ambil ini ya,” ujarnya bersiap mengangkat gallon air yang jadi sumber masalah.
Aku menepi memberinya jalan ketika dia melewatiku, kasihan dia angkat-angkat gallon, kan berat. Tapi yah wajarlah, kan dia laki-laki, kalau cumanangkat gallon air sih enteng, aku aja sering di rumah kalau lagi bantuin Mama.
Ada rasa agak bersalah karena sudah berprasangka tidak baik pada tetanggaku itu.
“Kamu baru di sini ya?” tanyanya membuatku yg sedang mencari kunci pintu dalam tas menjadi sedikit terkejut. Sial, gantian aku yang dibuat kaget, kupikir dia udah masuk ke kamarnya.
“Iya…. Baru semingguan lah,” sahutku kembali megaduk-aduk tasku. Untunglah, segera kutemukan benda pipih kecil ini. Kalau ini hilang, matilah aku. Besok aku isi gantungan kunci aja biar gampang ditemukan.
“Pantesan.” Ujarnya lirih tapi masih bisa kudengar.
Ketika pintu berhasil kubuka, aku langsung masuk ke dalam, maunya sedikit basa basi tapi si tetangga sudah tidak ada di sana meski pintu kamarnya masih dibiarkan terbuka, jadi kuurungkan niatku.
Setelah bersih-bersih dan melakukan ritual sebelum tidur, aku mengecek pesan masuk sebentar sebelum benar-benar terlelap. Tapi ternyata tidak ada yang mengirimiku pesan. Ah, nasib ngenes jomblo ya begini.
Aku membuka salah satu applikasi medsosku, mengetik sebuah nama di kolom pencarian. Hasil pencarian tidak ada yang cocok. Di mana dia sekarang? Terasa air mata mulai menggenang di pelupuk mata. Kututup mataku, aku tidak boleh menangis, tidak boleh lagi. Sudah, cukup.
Pagi ini aku agak kaget ketika melihat Hanggara keluar dari salah satu kamar yang dipakai sebagai ruang istirahat yang ada tempat tidurnya. Dia sepertinya baru bangun tidur. Rambut acak-acakan, memakai kaos oblong dan celana pendek, menuju kamar mandi di kebun belakang. Ketika balik ke kamar, dia seperti habis mandi, mukanya menunduk seperti menghindari bersitatap dengan orang lain. Anak-anak yang lain tampak biasa saja, hanya melihat sekilas dan kembali bekerja. Sepertinya sudah jadi kebiasaan kalau dia tidur di sini.
Setelah jam makan siang, anak-anak ribut seperti membahas sesuatu. Wajah-wajah mereka tampak sumringah sepertinya ada kabar gembira yang tidak kutahu.
Karena penasaran aku tanya ke Mega,
“Sepertinya semua pada happy nih, ada apaan?”
“Ini mbak, Pak Angga nraktir dinner ntar malam. Kan sekarang week end, deadline laporan awal bulan juga dah kelar semua, refreshing katanya,” jelas Mega
“Oh gitu.”
Jadilah sore ini, sebelum jam pulang, hampir semua anak-anak sudah pada santai. Dan hampir sejaman Ardi ada di kebun belakang dengan Hanggara. Dari mejaku dapat kulihat mereka sedang bicara. Mungkin masalah kerjaan, pikirku. Memang semingguan ini kuperhatikan Hanggara agak sedikit berbeda, dia yang biasanya murah senyum, tidak segan-segan menyapa lebih dulu pada siapa saja, kali ini…. [I]seem like he is not in a good mood[I]. Selalu memasang wajah serius ketika duduk di mejanya atau melamun sendiri di kebun belakang.
Beberapa hari yang lalu aku sempat nanya ke Ardi, tapi dia hanya angkat bahu tanda tak tahu.
“Dia ga ada ngomong apa-apa,” katanya ketika kutanya, “cie… perhatian bgt nih.” Dia malah lanjut dengan godaanya
“Mulai deh lo!” dengusku sebal, “gw pikir ada masalah kerjaan, kan lo tangan kanannya!”
“Dia ga ada bilang apa-apa, so everything should be okay.” Katanya lagi, ”mungkin masalah ceweknya.”
“Sok tau lo!”
“Ya kan gw bilang mungkin. Soalnya dia tuh selalu ada masalah tiap ceweknya ke Bali.”
“Darimana lo tau?”
“Dia pernah bilang gitu.”
“Emang ceweknya ga tinggal di sini?”
“Ngga. Ceweknya lagi kuliah S2 di Aussie.”
“Oh.”
*****
Aku sedang input data-data ketika tanpa kusadari Hanggara berdiri di sampingku.
“Sudah selesai?” tanyanya yang membuatku sedikit kaget.
“Hampir.” Jawabku setelah sesaat melihat ke arahnya dan kemudian kembali menekuri layar laptop.
“Kita semua mau dinner, kamu ikut ya?”
Aku berpaling melihatnya. Ada senyum tipis di wajahnya tapi matanya tidak berbinar seperti pertama kali aku melihatnya.
“Iya, mau berangkat sekarang?”
“Kamu udah selesai?” kali ini Ardi yang bertanya, mejanya ada tepat di samping mejaku, dia sedang merapikan berkas-berkas.
“Ini bisa aku kerjakan nanti.”
“Ya udah, siap-siap gih. Kita jalan sekarang.”
“Okay.”
*******
Pilihan tempat makan Hanggara kali ini lebih sederhana dari restoran sebelumnya, sewaktu dia mentraktirku makan siang. Sebuah rumah makan berkonsep Japanese Food Street.
Tempatnya ga jauh dari kantor, dan yang aku suka adalah view gemerlap lampu-lampu di sekitaran Jimbaran di bawah sana. Lokasi kantorku memang agak di atas di banding area lainnya.
Semua tampak senang dengan traktiran makan malam ini. Aku suka atmosfir seperti ini, sepertinya semua staff memiliki hubungan yang baik, tidak ada sirik-sirikan atau sinis-sinisan, seperti di kebanyakan perusahaan yang pernah aku masuki.
Tidak hanya dalam satu divisi, antar divisi pun mereka akrab. Aku salut dengan kepemimpinan Hanggara, benar apa yang pernah dia katakan, kalau kenyamanan dari suasana kerja juga menentukan produktivitas dan kualitas staff.
Hampir dua jaman kami makan. Hanggara juga memesankan beberapa beer B****** untuk yang mau ngebeer, terutama buat yang cowok-cowok.
“Vi, ntar lo pulang naik taksi ya, atau cari ojol ya,” ujar Ardi yang tiba-tiba datang dan duduk di sampingku.
“Emang lo mau kemana?”
“Aku di ajakin Angga pergi.”
Sebenarnya aku ingin tahu ke mana mereka akan pergi tapi aku tahan, karena sepertinya ga baik kalau aku terlalu kepo dengan urusan mereka.
“Iya, beres, ntar aku pesen ojol aja,” sahutku kemudian.
Dan akhirnya satu persatu mereka bubar, aku sedari tadi nunggu ojol yang mau terima pesananku, duh, kenapa jadi lama gini.
“Lho, Vio, kok kamu masih disini?” tanya Hanggara yang baru aja keluar dari dalam rumah makan. Sepertinya dia yang terakhir keluar.
“eh, iya nih, lagi nungguin ojol.”
“lho kok naik ojol? Bukannya kamu bareng Mas Ardi?”
Aku mengernyit heran, “Kata Ardi dia mau pergi bareng kamu, makanya aku naik ojol.”
“Badah, gimana sih Mas Ardi. Aku tadi minta dia antar kamu dulu pulang, baru ke sini lagi. Trus sekarang Mas Ardi mana?”
Aku angkat bahu tanda tak tahu. Dia lalu mengambil ponselnya, sepertinya dia berusaha menelpon Ardi.
“Angga, itu motornya Ardi, berarti dia masih di sini.” Ujarku setelah celingak celinguk melihat kesekeliling.
“Oh, iya…” ujarnya sambil mengikuti arah telunjukku.
“Woi,” terdengar suara Ardi yang membuat Aku dan Angga kompak menoleh ke sumber suara. Ardi muncul dari dalam restoran sambil cengar cengir.
“Sorry, gw kebelet, hehehe.”
“Ih, lo itu ya.”
“Blom pulang lo?” tanya Ardi padaku
“Mas, kita antar Vio dulu aja ya,” kata Angga kemudian, “Vi, cancel aja ojolnya, aku anter kamu pulang!”
Aku menurut karena kudengar nada bicara Hanggara sangat tegas cenderung memerintah.
“Motor gw gimana?” tanya Ardi ke Angga “atau kita sendiri-sendiri aja?”
“Ga, pake mobil gw aja. Motor lo taruh di kantor aja, Mas, gw ikutin lo ntar.”
Kemudian Hanggara berlalu ke parkiran mobil, Ardi memberi isyarat agar aku mengikutinya.
Ardi melaju di depan mobil Hanggara menuju kantor. Sampai di kantor kami disambut Pak Wayan, satpam kantor. Kudengar Hanggara berpesan kalau dia nitip motor Ardi dan akan balik nanti buat ambil motornya lagi.
Dalam hati aku berpikir, nantinya jam berapa, ini aja udah hampir jam sebelas malem.
“Kalau boleh tau, kalian mau kemana sih malem-malem gini?” tanyaku hati-hati ketika mobil melaju meninggalkan kantor dan menuju ke arah kostanku
“Hehehe malem mingguan Vio, kan weekend ini, buang stress,” sahut Ardi terkekeh.
Sedang Hanggara hanya diam dan seolah-oleh fokus mengemudi. Tidak seperti biasanya, dia pasti akan ikut nimbrung kalo aku dan Ardi lagi ngobrol.
Karena merasa suasana agak canggung gara-gara sikapnya, jadi aku memilih tidak melanjutkan obrolan.
“Berhenti di sini aja,” kataku begitu mobil Hanggara mendekati jalan belokan menuju kostanku.
“Di jalan ini belok?” tanyanya
“Iya, tapi aku turun di sini aja, jalan lagi dikit kok.” sahutku.
Entah dia budek atau gimana, dia malah langsung belok dan masuk ke jalan yang aku maksudkan. Aku ga bisa protes lagi.
“Rumah yang itu,” tunjukku.
Mobil Hanggara berhenti tepat di depan gerbang. Aku bersiap hendak turun,
“Dah Vio, tidur yg nyenyak ya, “gurau Ardi dari jok belakang.
“Jangan macem-macem lho!” aku menoleh ke Ardi dan mengisyaratkan sesuatu dari caraku memandangnya.
“Peace….” Dia mengangkat dua jarinya tanda mengerti akan maksudku.
“Makasi ya,” kataku kali ini pada Hanggara.
“Iya, kamu langsung masuk aja!”
Perasaan dari tadi cara bicaranya selalu seperti memerintah. Kenapa nih cowok? Lagi PMS kali ya?
Tanpa menyahutinya lagi aku langsung turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah. Ketika gerbang benar-bener tertutup dan aku beranjak menuju kamarku, baru aku dengar deru mesin mobilnya perlahan menjauh.
Aku bergegas masuk dan menaiki tangga menuju kamarku. Ketika berada di ujung tangga dan berbelok ke arah lorong menuju kamarku, kulihat sesosok, sepertinya laki-laki, keluar dari kamar yang ada tepat di sebelah kamarku, dan dia berjalan ke arah kamarku dan kemudian berhenti di depan pintu kamarku.
Siapa dia? hampir semingguan aku sudah di sini ngga pernah aku memperhatikan ada tanda-tanda kehidupan di kamar sebelahku, aku pikir orangnya sudah pindah. Ternyata malam ini tetanggaku itu memperlihatkan dirinya. Aku percepat langkahku karena penasaran apa maunya berdiri di depan kamarku seperti itu.
“Maaf, kamu cari apa?” kataku begitu aku mendekat.
Dia tampak kaget, ekspresi terkejut di wajahnya tampak jelas kulihat meski pencahayaan agak redup di balkon kamarku.
“Astagfirullah….” Dia beristighfar sambil mengelus-elus dadanya tanda dia memang kaget, “Kamu bikin aku kaget,” ujarnya kemudian.
Dia memiliki wajah pria khas campuran Indonesia-Arab dengan tubuh yang sedikit lebih tinggi dariku.
“Sorry. Kamu ngapain di depan kamarku?” tanyaku to the point.
“Oh, ini,” dia menunjuk ke bawah, aku mengikuti arah telunjuknya dan mataku melihat segalon air yang ada di depan pintu kamarku. Baru kusadari ada benda itu di sana. Dari tadi aku hanya focus pada sosok laki-laki yg berdiri di depanku ini.
“Maaf, Ini punyamu, ya?” tanyanya dengan sopan.
Aku berpikir sejenak. Perasaan aku ga ada pesen air gallon, selama ini aku selalu beli air botolan karena aku belum sempat beli yang galonan.
“Bukan,” sahutku.
“Kalau begitu bener berarti ini punyaku, sore tadi aku ada pesen air karena aku lagi di luar, aku minta orangnya naruh di depan kamarku, kayaknya orangnya salah taruh.”
“Oh, gitu.”
“Ya udah aku ambil ini ya,” ujarnya bersiap mengangkat gallon air yang jadi sumber masalah.
Aku menepi memberinya jalan ketika dia melewatiku, kasihan dia angkat-angkat gallon, kan berat. Tapi yah wajarlah, kan dia laki-laki, kalau cumanangkat gallon air sih enteng, aku aja sering di rumah kalau lagi bantuin Mama.
Ada rasa agak bersalah karena sudah berprasangka tidak baik pada tetanggaku itu.
“Kamu baru di sini ya?” tanyanya membuatku yg sedang mencari kunci pintu dalam tas menjadi sedikit terkejut. Sial, gantian aku yang dibuat kaget, kupikir dia udah masuk ke kamarnya.
“Iya…. Baru semingguan lah,” sahutku kembali megaduk-aduk tasku. Untunglah, segera kutemukan benda pipih kecil ini. Kalau ini hilang, matilah aku. Besok aku isi gantungan kunci aja biar gampang ditemukan.
“Pantesan.” Ujarnya lirih tapi masih bisa kudengar.
Ketika pintu berhasil kubuka, aku langsung masuk ke dalam, maunya sedikit basa basi tapi si tetangga sudah tidak ada di sana meski pintu kamarnya masih dibiarkan terbuka, jadi kuurungkan niatku.
Setelah bersih-bersih dan melakukan ritual sebelum tidur, aku mengecek pesan masuk sebentar sebelum benar-benar terlelap. Tapi ternyata tidak ada yang mengirimiku pesan. Ah, nasib ngenes jomblo ya begini.
Aku membuka salah satu applikasi medsosku, mengetik sebuah nama di kolom pencarian. Hasil pencarian tidak ada yang cocok. Di mana dia sekarang? Terasa air mata mulai menggenang di pelupuk mata. Kututup mataku, aku tidak boleh menangis, tidak boleh lagi. Sudah, cukup.
JabLai cOY dan 5 lainnya memberi reputasi
6