- Beranda
- Stories from the Heart
Pelet Orang Banten
...
TS
papahmuda099
Pelet Orang Banten

Assalamualaikum wr.wb.
Perkenalkan, aku adalah seorang suami yang saat kisah ini terjadi, tepat berusia 30 tahun. Aku berasal dari Jawa tengah, tepatnya disebuah desa kecil yang dikelilingi oleh perbukitan, yang masih termasuk kedalam wilayah kabupaten Purbalingga.
Aku, bekerja disebuah BUMN sebagai tenaga kerja outsourcing di pinggiran kota Jakarta.
Kemudian istriku, adalah seorang perempuan Sumatra berdarah Banten. Kedua orang tuanya asli Banten. Yang beberapa tahun kemudian, keduanya memutuskan untuk ber-transmigrasi ke tanah Andalas bagian selatan. Disanalah kemudian istriku lahir.
Istriku ini, sebut saja namanya Rara ( daripada sebut saja mawar, malah nantinya jadi cerita kriminal lagi
), bekerja disebuah pabrik kecil, di daerah kabupaten tangerang, sejak akhir tahun 2016. Istriku, karena sudah memiliki pengalaman bekerja disebuah pabrik besar di wilayah Serang banten, maka ia ditawari menduduki jabatan yang lumayan tinggi dipabrik tersebut.Dan alhamdulillah, kami sudah memiliki seorang anak perempuan yang saat ini sudah berusia 8 tahun. Hanya saja, dikarenakan kami berdua sama-sama sibuk dalam bekerja, berangkat pagi pulang malam, jadi semenjak 2016 akhir, anak semata wayang kami ini, kami titipkan ditempat orang tuaku di Jawa sana.
Oya, sewaktu kejadian ini terjadi (dan sampai saat ini), kami tinggal disebuah kontrakan besar dan panjang. Ada sekitar 15 kontrakan disana. Letak kontrakan kami tidak terlalu jauh dari pabrik tempat istriku bekerja. Jadi, bila istriku berangkat, ia cukup berjalan kaki saja. Pun jika istirahat, istriku bisa pulang dan istirahat dirumah.
Oke, aku kira cukup untuk perkenalannya. Kini saatnya aku bercerita akan kejadian NYATA yang aku alami. Sebuah kejadian yang bukan saja hampir membuat rumah tangga kami berantakan, tapi juga nyaris merenggut nyawaku dan istriku !

Aku bukannya ingin mengumbar aib rumah tanggaku, tapi aku berharap, agar para pembaca bisa untuk setidaknya mengambil hikmah dan pelajaran dari kisahku ini

*
Bismillahirrahmanirrahim
Senin pagi, tanggal 10 februari 2020.
Biasanya, jam 7 kurang sedikit, istriku pamit untuk berangkat bekerja. Tapi hari ini, ia mengambil cuti 2 hari ( Senin dan selasa ), dikarenakan ia hendak pergi ke Balaraja untuk melakukan interview kerja. Istriku mendapatkan penawaran kerja dari salah satu pabrik yang ada disana dan dengan gaji yang lebih besar dari gaji yang ia terima sekarang.
Karena hanya ada 1 motor, dan itu aku gunakan untuk kerja, ia memutuskan untuk naik ojek online saja.
Awalnya aku hendak mengantarnya
tapi jam interview dan jam aku berangkat kerja sama. Akhirnya, aku hanya bisa berpesan hati-hati saja kepadanya.Pagi itu, kami sempat mengobrol dan berandai-andi jika nantinya istriku jadi untuk bekerja di balaraja.
"Kalau nanti bunda jadi kerja disana, gimana nanti pulang perginya ?" kataku agak malas. Karena memikirkan bagaimana aku harus antar jemput.
"Nanti bunda bisa bisa ajak 1 anak buah bunda dari pabrik lama, yah," jawab istriku, "nanti dia bunda ajak kerja disana bareng. Kebetulan rumah dia juga deket disini-sini juga."
Wajahku langsung cerah begitu tahu, kalau aku nantinya tidak terlalu repot untuk antar jemput.
"Siapa emang, bun?" tanyaku, "Diki?"
Diki adalah salah satu anak buah istriku dipabrik ini. Diki juga sudah kami anggap sebagai adik sendiri. Selain sesama orang lampung, juga karena kami sudah mengenal sifat anak muda itu.
"Bukan," jawab istriku.
Aku langsung memandang istriku dengan heran.
"Terus siapa?"
"Sukirman, yah. Dia anak buah bunda juga. Kerjanya bagus, makanya mau bunda ajak buat bantu bunda nanti disana."
"Kenapa bukan diki aja, bun?" tanyaku setengah menuntut.
Istriku menggelengkan kepalanya.
"Diki masih diperluin dipabrik bunda yang lama. Gak enak juga main asal ambil aja sama bos. Kalo kirman ini, dia emang anak buah bunda. Kasihan, yah. Dia disini gajinya harian. Mana dia anak udah 2 masih kecil-kecil lagi." Istriku menerangkan panjang lebar.
Aku akhirnya meng-iyakan perkataannya tersebut. Aku berfikir, "ah, yang penting aku gak susah. Gak capek bolak balik antar jemput. Lagian maksud istriku juga baik, membantu anak buahnya yang susah."
"Ya udah, bun. Asalkan jaga kepercayaan ayah ya sayang," aku akhirnya memilih untuk mempercayainya.
Jam 09:00 pas, aku berangkat kerja. Tak lupa aku berpamitan kepada istriku. Setelah itu aku berangkat dengan mengendarai sepeda motor berjenis matic miliku.
Waktu tempuh dari kontrakanku ketempat kerja sekitar 40-50 menit dengan jalan santai. Jadi ya seperti biasa, saat itu aku menarik gas motorku diantara kecepatan 50 km/jam.
Tapi tiba-tiba, saat aku sudah sampai disekitaran daerah Jatiuwung. Motorku tiba-tiba saja mati

"Ya ampun, kenapa nih motor. Kok tau-tau mati," kataku dalam hati.
Aku lalu mendorong motorku kepinggir. Lalu aku coba menekan stater motor, hanya terdengar suara "cekiskiskiskis...," saja

Gagal aku stater, aku coba lagi dengan cara diengkol.
Motor aku standar 2. Lalu aku mulai mengengkol.
Terasa enteng tanpa ada angin balik ( ya pokoknya ngemposlah ) yang keluar dari motor.
"Ya elah, masa kumat lagi sih ini penyakit," ujarku mengetahui penyebab mati mendadaknya motorku ini.
Penyebabnya adalah los kompresi
Penyakit ini, memang dulu sering motorku alami. Tapi itu sudah lama sekali, kalau tidak salah ingat, motorku terakhir mengalami los kompresi adalah sekitar tahun 2017.Lalu, entah mengapa. Aku tiba-tiba saja merasakan perubahan pada moodku.
Yang awalnya baik-baik saja sedari berangkat, langsung berubah menjadi jelek begitu mengalami kejadian los kompresi ini.
Hanya saja, aku mencoba untuk bersabar dengan cara memilih langsung mendorong motorku mencari bengkel terdekat.
Selama mendorong motor ini, aku terus menerus ber-istighfar didalam hati. Soalnya, gak tau kenapa, timbul perasaan was-was dan pikiran-pikiran buruk yang terus melintas dibenak ini.
"Astaghfirullah...Astaghfirullah...semoga ini bukan pertanda buruk," kalimat itu terus kuulang-ulang didalam hati.
Alhamdulillah, tak lama kemudian, aku menemukan sebuah bengkel. Aku langsung menjelaskan permasalahan motorku.
Oleh si lay, aku disarankan untuk ganti busi. Aku sih oke-oke saja. Yang penting cepet beres. Karena aku tidak mau terlambat dalam bekerja.
"Bang, motornya nanti lubang businya aku taruh oli sedikit ya," kata si lay itu padaku. Lalu lanjutnya, "nanti agak ngebul sedikit. Tapi tenang aja, bang. Itu cuman karena olinya aja kok. Nanti juga ilang sendiri."
"Atur aja bang," kataku cepat.
Sekitar 5 menit motorku diperbaiki olehnya. Dan benar saja, motorku memang langsung menyala, tapi kulihat ada asap yang keluar dari knalpot motorku.
"Nanti jangan kau gas kencang dulu, bang," katanya.
"Oke,"
Setelah membayar biaya ganti busi dan lainnya. Aku langsung melanjutkan perjalananku.
Aku sampai dikantor telat 5 menit. Yakni jam 10:05. Jam operasional kantorku sudah buka. Aku langsung menjelaskan penyebab keterlambatanku kepada atasanku. Syukurnya, merek mengerti akan penjelasan ku. Hanya saja, kalau nanti ada apa-apa lagi, aku dimintanya untuk memberikan kabar lewat telepon atau WA.
Aku lalu, mulai bekerja seperti biasa lagi.
Jam menunjukan pukul 12:00 wib.
Itu adalah jam istirahat pabrik istriku. Aku lalu menulis chat untuknya. Contreng 2, tapi tak kunjung dibacanya. Aku lalu berinisiatif untuk menelponnya. Berdering, tapi tak diangkat juga.
"Kemana ini orang....," kataku agak kesal.
"Ya udahlah, nanti juga ngabarin balik," ujarku menghibur diri.
Jam 13:30 siang, disaat aku hendak melaksanak ibadah solat Dzuhur. HPku berdering.
Kulihat disana tidak tertera nama, hanya nomer telpon saja.
"Nomer siapa nih," desisku.
Awalnya aku malas untuk mengangkatnya.
Tapi sekali lagi nomer itu meneleponku.
Dan, entah kenapa jantungku tiba-tiba saja berdetak lebih cepat. Hatiku langsung merasakan ada sesuatu yang tidak menyenangkan akan aku dapatkan, bila aku mengangkat telpon ini.
Dengan berdebar, aku lalu menekan tombol hijau di HPku.
"Halo, Assalamualaikum...," jawabku.
"Halo, waalaikumsalam...," kata si penelpon.
"Maaf, ini siapa ya ?" tanyaku.
"Ini saya, mas. Sumarno," jawabnya.
"Oh, mas Sumarno," kataku.
Sumarno adalah laki-laki yang diserahi tanggung jawab untuk mengawasi dan mengurus kontrakan tempatku tinggal.
"Ada apa ya, mas ?" tanyaku dengan jantung berdebar-debar.
"Maaf mas sebelumnya," jawab mas Sumarno.
Aku menunggu kelanjutan kalimat mas Sumarno ini dengan tidak sabar.
Lalu, penjaga kontrakan kami ini melanjutkan ucapannya. Ucapan yang membuat lututku lemas, tubuhku menggigil hebat. Sebuah ucapan yang rasanya tidak akan terjadi selama aku mengenal istriku. Dari sejak kami berpacaran sampai akhirnya kami menikah.
Mas Sumarno berkata, "Mbak Rara berduaan sama laki-laki didalam kontrakan sekarang. Dan pintu dikunci dari dalam."
***
Part 1
Pelet Orang Banten
Quote:
Part 2
Teror Alam Ghaib
Quote:
Terima kasih kepada agan zafin atas bantuannya, dan terutama kepada para pembaca thread ini yang sudah sudi untuk mampir dilapak saya

*
Silahkan mampir juga dicerita saya yang lainnya
Diubah oleh papahmuda099 05-04-2024 04:27
bebyzha dan 248 lainnya memberi reputasi
235
333.7K
3.1K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
papahmuda099
#332
Misteri Kebun Abah
Kami berdua bernafas lega. Plong sekali rasanya.


Tapi, kami tak boleh terlalu lama terus berdiri disini. Takut terjadi apa-apa, kami lalu memutuskan segera kembali kerumah Abah.
Disepanjang perjalanan pulang. Aku dan Soleh terus berdiam diri. Saling membisu.
Aku saat itu sambil berjalan, terus memikirkan peristiwa apa saja yang sudah kami alami. Sebuah peristiwa yang baru seumur hidup aku alami.
Menegangkan, bahkan terlalu menegangkan bagiku. Bertubi-tubi aku diperlihatkan dengan sesuatu yang baru pertama kali kulihat secara langsung. Mulai dari kuntilanak, pocong, sampai suara anak ayam yang tiba-tiba saja terdengar ditengah malam. Dan tentu saja perempuan berkamben coklat yang terakhir kami temui ditikungan tadi.
Aku tak habis pikir, apakah perempuan itu sebangsa makhluk halus jahat atau baik. Apakah dia membantu kami atau bagaimana, aku masih tak tahu.
"Nanti pasti akan kutanyakan kepada Abah," gumamku dalam hati.
Selama perjalanan pulang, aku dan Soleh hanya bercakap-cakap sekedarnya saja. Lidah kami seperti terlalu kaku untuk digerakkan.
Cahaya lampu rumah Abah mulai terlihat.

Kami berdua mempercepat tempo berjalan kami.
Pakaian yang kami kenakan sudah kotor belepotan tanah dan lumpur disana-sini. Seragam kerjaku pasti sudah bau dan kotor, meskipun ditutupi jaket.
"Hadeh...," Sedikit aku mengeluhkan hal itu.
Karena jujur saja, aku memang sudah mengira, bahwa tugas ini tidak akan semudah itu. Hanya mengambil daun bambu, dan pulang.
Tapi, aku sungguh tak menduga bila kesulitan itu ternyata amat sangat sulit. Kalau tidak dengan bantuan Soleh, entah aku akan berhasil atau tidak menyelesaikan tugas ini.
Disaat kami memasuki pekarangan belakang rumah Abah, Soleh tau-tau berbelok menuju pondokannya.
Aku langsung menyentuh pundaknya.
"Lho, Leh. Enggak ikut saya ketemu sama Abah?" Tanyaku.
Soleh menggeleng, "nanti saja, a. Soleh mauandi dan ganti baju dulu. Gak enak ketemu Abah dengan pakaian seperti ini," jawabnya.
Aku mengerti dengan alasannya. Karena sesungguhnya akupun berpikir demikian.
Tapi, aku sama sekali tidak membawa baju cadangan. Karena pakaian yang aku kenakan pun adalah pakaian kerjaku.
"Oh, ya sudah kalau gitu. Nanti saya yang akan ceritakan sama Abah. Kalau Soleh udah ngebantu saya buat nyari daun bbu ini," kataku.
Tapi sebelum Soleh berbalik dan pergi, aku segera teringat akan sesuatu.
"Oya, Leh," kataku.
Soleh terdiam. Menunggu perkataanku selanjutnya.
"Waktu kamu ambil daun ini, kamu pakai tangan yang mana?"
Soleh langsung menunjukan tangan kanannya.
"Pakai tangan kanan, a," jawabnya.
"Bagus," kataku sambil memberikan jempol.
Soleh tersenyum senang.
Ia lalu berpamitan untuk masuk kepondokannya.
Aku memandangi kepergian Soleh sampai ia menghilang masuk kedalam pondokannya. Memandangi punggung kecilnya yang didalamnya tersimpan sebuah keberanian yang besar. Melebihi keberanian yang kumiliki.
Tapi aku mencoba menghibur diri sendiri.
"Toh disaat-saat terakhir, aku juga bisa melindungi soleh," kataku dalam hati.
Aku tersenyum sendiri.
Lalu tak menunggu lama, aku segera melangkahkan kakiku ketempat Abah menunggu.
"Assalamualaikum," salamku ketika aku sudah berdiri didepan pondokan.
Abah yang saat itu tengah duduk bersila dengan mata terpejam, segera membuka matanya dan menjawab salamku.
"Wa'alaikumsalam, Alhamdulillah, mas. Mas akhirnya datang juga," jawab Abah seraya mempersilahkan ku untuk masuk.
Aku agak segan untuk naik kepondokan itu. Karena tubuhku yang masih kotor dengan tanah ini.
Abah lalu seperti tersadar dengan keadaanku.
Sambil tersenyum, ia berkata kepadaku.
"Mas, mas mandi aja dulu. Pakaian ganti sudah Abah persiapkan dideket ruangan buat solat. Disitu ada sarung sama baju Koko Abah. Mas pakai aja."
Aku segera mengangguk. Kulihat posisi istriku masih melayang satu jengkal diatas papan lantai pondok dengan mata terpejam. Seketika kesedihan sedikit merasuk kedalam diriku, demi melihat keadaannya.
"Sungguh besar sekali cobaan yang kau terima, sayang," desahku dalam hati.

Aku lalu mulai berbalik dan melangkahkan kakiku.
Tapi, Abah kembali berkata.
"Mas, daun bambunya keluarin dulu. Sini kasihkan ke Abah. Soalnya daun itu kalau sampai masuk kamar mandi, maka tuah dan penghuninya akan menghilang. Kembali ketempat mas menemukannya,"
"Heh, beneran bah?" Tanyaku.
Abah mengangguk.
Tanpa bertanya lagi, aku segera mengeluarkan daun itu dari saku jaketku. Kemudian daun itu aku serahkan kepada Abah.
Aku menaiki pondokan itu dengan berjinjit. Setelah dekat dengan Abah, daun itu segera aku angsurkan.
Abah menerimanya.
Kulihat Abah memperhatikan daun itu dengan seksama. Setelah merasa yakin, bahwa daun itulah yang ia inginkan. Abah lalu mengangguk.
"Terima kasih mas, mas sudah bersusah payah mengambil ini. Terima kasih juga sama Soleh, yang udah ngebantu mas," kata Abah.
Dan Abah seperti baru "ngeh" kalau aku datang sendirian.
"Lho, mas. Solehnya mana?" Tanya Abah.
Aku segera menjelaskan kepada Abah, jika Soleh ingin mandi dan berganti pakaian dulu. Setelah bersih dan rapi, batu datang kepondokan ini.
Abah mengangguk-angguk.
Beliau kemudian berkata, "ya udah, mas. Sekarang mas juga mandi dulu. Ganti baju sama celana simas dengan pakaian yang sudah Abah persiapkan, ya. Dan satu lagi, sebelum mandi, baca dulu ayat kursi 7x, terus tiupkan ke bak mandinya ya," kata Abah.
"Baik, bah. Saya pamit mandi dulu," kataku.
Dan akupun segera berjalan masuk kerumah Abah.
Sebelum masuk kedalam kamar mandi, aku melihat sehelai sarung dan sebuah baku koko berwarna kecoklatan sudah tersedia diatas meja, dekat tempat solat.
Seperti ada sesuatu yang mengganggu ketika aku melihat baju Koko berwarna coklat itu. Pikiranku langsung kemana-mana. Mengingat perempuan berkamben coklat dengan senyum dinginnya (menurutku).
"Ah bodo ah, ngapain mikiran yang aneh-aneh sih. Fokus bersihin dulu ajalah," kataku sambil menepuk-nepuk pipiku. Berusaha mengusir pikiran aneh yang tadi sempat muncul.
Kuambil pakaian dan kain sarung itu. Dan kubawa.
Aku lalu masuk kedalam kamar mandi. Tak lupa saran Abah tadi kulakukan. Kubaca ayat kursi didalam hati sebanyak 7x. Lalu kutiupkan kearah bak mandi.
Skip mandinya ya gan

Setelah selesai mandi, aku segera berganti pakaian dengan pakaian yang sudah Abah siapkan. Agak longgar sedikit baju kokonya, mungkin karena badan Abah yang sedikit gendut membuat pakaiannya sedikit besar ukurannya bagiku.
Tapi tak masalah, yang penting setelah mengenakan pakaian baru plus sudah mandi, badanku jadi lebih terasa enak.
Aku melihat sekeliling, sepi. Kemungkinan besar si ibu dan anak-anaknya sudah pada tidur.
Aku lalu melangkah kedepan. Menuju pondokan Abah.
Saat aku keluar pintu rumah, dipondokan itu ternyata sudah ada Soleh. Ia tampak duduk dengan kepala yang tertunduk. Sedangkan Abah masih bersikap sama seperti saat aku datang. Duduk bersila dibelakang tubuh istriku yang melayang.
"Assalamualaikum," sapaku saat aku hendak naik keatas pondok.
Abah dan Soleh serempak menjawab salamku.
"Wa'alaikumussalam,"
Aku lalu duduk disamping Soleh.
Entah kenapa, setelah sama-sama mengalami kejadian yang menegangkan plus menyeramkan seperti tadi. Aku kini merasa memiliki hubungan yang lebih dekat dengannya. Padahal, dulu, saat aku dan istriku datang, aku jarang bertegur sapa dengannya.
Abah kulihat masih memegang daun bambu itu. Ia masih menimang-nimangnya.
Sesaat kemudian, daun bambu yang sedari tadi beliau pegang. Beliau taruh tepat dibawah tubuh istriku yang melayang.
Aku dan Soleh lalu melihat tubuh istriku seolah bergetar. Bibir istriku tampak bergerak-gerak seperti menggigil kedinginan. Tapi dari dahinya, mulai muncul butiran-butiran keringat.
Aku melihat Abah.
"Bah," desisku.
Abah tersenyum santai.
"Tenang aja mas, saat ini, di alam bawah sadar si Eneng, sedang terjadi sesuatu yang menarik. Dan hal itu sangat membantu neng disana," kata Abah.
Aku hanya bisa terdiam sambil terus memperhatikan kondisi istriku.
Mungkin, kalau ada orang yang lewat. Dia akan heran, ada seorang perempuan yang bisa terbang, sedang dikelilingi oleh 3 orang laki-laki.

Abah menggeser letak duduknya. Beliau sekarang menghadap kearah kami berdua.
"Nah, sekarang coba si mas ceritakan tentang pengalaman mas dan Soleh tadi dikebun Abah," katanya.
Aku dan Soleh saling pandang.
Sebelum bercerita, aku menarik dan membuang nafas panjang terlebih dahulu.
Setelah hatiku tenang, aku lalu menceritakan pengalaman kami saat dikebun Abah. Dimulai dari proses mencari daun bambu itu, gangguan-gangguan yang kami terima, juga tentang sosok perempuan misterius yang terakhir kami temui.
Abah sesekali tersenyum, lalu mengangguk-anggukan kepalanya saat aku tengah bercerita.
"Ya, dan begitulah akhirnya, bah. Saya dan Soleh bisa pulang lagi kesini dengan selamat," kataku mengakhir kisah pengalaman kami.
"hemm...," Abah tampak berpikir akan sesuatu.
Abah kemudian berkata.
"Sebelumnya Abah minta maaf sama mas, karena ada sesuatu yang memang sengaja Abah tidak katakan. Tujuannya adalah, agar mas tahu, betapa beratnya ujian yang saat ini dihadapi oleh si Eneng. Karena disana," kata Abah sambil menunjuk istriku, "di alam sana, si Eneng sedang kesusahan, mencari jalan keluar sendirian, tanpa teman dan kawan. Jadi, agar mas juga ikut merasakan apa yang si Eneng saat ini rasakan, maka Abah menyuruh mas buat mengambil daun bambu itu dikebun Abah. Tapi, karena Abah tahu, kalau si mas ini tidak memiliki pegangan atau ilmu apapun, maka Abah gak tega juga ngelepas Simas sendirian. Makanya Abah minta Soleh untuk membantu."
"Tapi, sebenarnya Abah yang Abah sembunyikan dari saya itu?" Tanyaku penasaran.
Abah tersenyum.
"Soleh juga sebenarnya sudah tahu, tapi Abah memang melarang seluruh santri Abah untuk membuka rahasia ini," kata Abah sambil melirik Soleh.
Aku juga jadi ikut-ikutan melihat Soleh.
Soleh hanya menunduk saja dan tidak berkata apapun.
Abah tertawa melihat tingkah laku Soleh.
"Soleh mana berani melanggar perintah Abah, mas," katanya.
Aku hanya bisa ber-oh saja. Aku mengerti kenapa Soleh tidak berkata apapun kepadaku, tentang keanehan kebun Abah. Karena Soleh, dan santri-santri yang lainnya juga, sudah dilarang oleh Abah untuk tidak bercerita apapun kepada orang lain.
"Sudah, sekarang kamu buatin abah dan si mas kopi dulu. Terus kamu istirahat saja nanti," perintah Abah kepada Soleh.
Soleh menurut.
Ia segera pergi kedapur guna membuatkan kami berdua kopi.
Abah sekarang melihatku.
"Nah, masalah gangguan itu, semua ada hubungannya dengan daun bambu yang mas cari itu. Dan lagi, kebun Abah itu memang terkenal sangat angker disekitar sini. Meskipun siang hari, warga sini gak ada yang berani meskipun lewat disekitar kebun Abah,"
Aku merasakan kebenaran dari kata-kata Abah.
Manusia normal pada umumnya, pasti tidak akan mau mendekati ataupun melewati kebun Abah yang cukup luas itu. Selain memang letaknya paling pinggir, juga hawanya itu lho. Gak enak banget.
"Mungkin mas masih bertanya-tanya. Kok bisa dikebun Abah banyak banget yang namanya makhluk-makhluk halus. Seperti yang mas dan Soleh lihat disana,"
Aku mengangguk.
"Jadi, kebun Abah itu, sebenarnya Abah gunakan sebagai tempat pembuangan jin,"
"Apa, bah?" Tanyaku seperti kurang yakin dengan kalimat Abah tadi.
Beliau tersenyum.
"Iya, mas. Jadi, kebun Abah itu, Abah jadikan sebagai tempat pembuangan jin-jin jahat yang ada dibadan-badan tamu-tamu Abah. Sebenarnya banyak banget jin disana. Tapi sebelumnya mas ini memang sudah Abah pagari. Makanya hanya beberapa saja yang bisa menampakan wujudnya dan bisa mas lihat," jelas Abah.
Ternyata, kebun Abah ini adalah tempat pembuangan jin yang Abah ambil dari tamu-tamu yang datang. Abah lalu memagari tempat itu supaya mereka tidak bisa keluar dari kebun Abah. Dan juga, Abah menempatkan sesosok jin yang tingkatannya lumayan tinggi, untuk menjaga tempat itu. Dan, penjaga dari kebun Abah itu tak lain adalah perempuan berkulit pucat, dan memakai kemben warna coklat itu!
Kata Abah, jin perempuan itu Abah dapatkan saat Abah tengah melakukan ziarah makam 9 wali tahun 2015.
Untuk tempat Abah mendapatkannya dimana. Abah tidak mau menceritakannya kepadaku. Menurut beliau, kita sebagai manusia, tidak boleh terlalu percaya dan tidak boleh bergantungan dengan kekuatan mereka. Karena nantinya, bagi manusia yang imannya tidak kuat, maka manusia itu bisa saja terjerumus dan melakukan perbuatan syirik. Dan itu adalah salah satu dosa besar.
Dan untuk Soleh, Abah bercerita. Kalau Soleh juga sedang Abah uji sampai mana tingkatannya. Karena diantara para santri, tingkatan Soleh ini masih dibilang paling rendah. Wajar saja, karena menurut Abah, Soleh ini belum genap satu tahun menjadi santri Abah. Dan Abah ingin lebih mendidiknya agar Soleh tidak terlalu tertinggal jauh dari santri-santri lainnya.
Begitulah cerita Abah mengenai maksud dan tujuan kenapa kami berdua disuruh pergi kekebun Abah.
Tujuan Abah menyuruhku kesana adalah, agar aku juga mengetahui, betapa beratnya keadaan istriku di alam sana. Sehingga untuk membantunya dan merasakan kesulitannya, aku disuruhnya mengambil daun bambu itu.
Sedangkan untuk Soleh, Abah memiliki tujuan agar Soleh bisa secepatnya mengejar ketertinggalannya dari para santri lainnya.
***
Untuk post selanjutnya. Akan kembali berfokus dengan pengalaman istriku dialam sana.
sampeuk dan 60 lainnya memberi reputasi
61
Tutup