- Beranda
- Stories from the Heart
AKU, KAMU, DAN LEMON : SETELAH SEMUANYA BERAKHIR
...
TS
beavermoon
AKU, KAMU, DAN LEMON : SETELAH SEMUANYA BERAKHIR
Setelah beberapa tahun memutuskan untuk beristirahat, akhirnya Beavermoon kembali untuk menyelesaikan apa yang seharusnya bisa diselesaikan lebih cepat.
Sedikit bercerita bahwa cerita ini adalah akhir dari serial Aku, Kamu, dan Lemon. Cerita ini tidak lagi mengisahkan tentang Bram, Widya, Dinda, dan yang lainnya. Cerita ini akan mengisahkan tentang sang penulis dari Aku, Kamu, dan Lemon setelah seri Buku Harian Airin berakhir. Bagaimana ia harus menjalani hidup setelah semuanya berakhir, bagaimana ia harus menyelesaikan dan menjelaskan semua cerita yang sudah ia tulis.
Lalu kenapa cerita ini masih menjadi bagian Aku, Kamu, dan Lemon jika sudah tidak ada lagi para tokoh utama dari cerita tersebut? Mungkin, apa yang dirasakan oleh sang penulis bisa menjadi penutup dari serial ini, dengan catatan telah mendapatkan izin dari beberapa orang yang "namanya" pernah tercantum di cerita sebelumnya.
Untuk kalian yang baru bergabung, mungkin bisa baca seri sebelumnya terlebih dahulu sebelum membaca seri terakhir ini.
AKU, KAMU, DAN LEMON
AKU, KAMU, DAN LEMON : BUKU HARIAN AIRIN
Dan bagi kalian yang sudah mengikuti dari seri pertama, selamat datang kembali. Semoga apa yang menjadi pertanyaan selama ini bisa terjawab, jika tidak terjawab maka lebih baik bertanya di kolom komentar. Satu info terakhir, seri ini akan update 3X dalam seminggu (Senin, Rabu, Jum'at) agar tidak terlalu lama. Enjoy!

Spoiler for Index:
Episode 1
Episode 2
Episode 3
Episode 4
Episode 5
Episode 6
Episode 7
Episode 8A
Episode 8B
Episode 9
Episode 10
Episode 11
Episode 12
Episode 13
Episode 14
Episode 15
Episode 16
Episode 17
Episode 18A
Episode 18B
Episode 19
Episode 20
Episode 21
Episode 22
Episode 23
Episode 24
Episode 25
Episode 26
Episode 27
Episode 28
Episode 29
Episode 30
Episode 31
Episode 32
Episode 33
Episode 34 (Finale)
Episode 35A (Extended)
Episode 35B (Extended)
Episode 2
Episode 3
Episode 4
Episode 5
Episode 6
Episode 7
Episode 8A
Episode 8B
Episode 9
Episode 10
Episode 11
Episode 12
Episode 13
Episode 14
Episode 15
Episode 16
Episode 17
Episode 18A
Episode 18B
Episode 19
Episode 20
Episode 21
Episode 22
Episode 23
Episode 24
Episode 25
Episode 26
Episode 27
Episode 28
Episode 29
Episode 30
Episode 31
Episode 32
Episode 33
Episode 34 (Finale)
Episode 35A (Extended)
Episode 35B (Extended)
Diubah oleh beavermoon 27-06-2020 18:27
i4munited dan 31 lainnya memberi reputasi
32
27.1K
Kutip
395
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
beavermoon
#230
Spoiler for Episode 30:
"Jadi bagaimana tanggapan Mas Adrian tentang semakin banyaknya gerai kopi kekinian yang bermunculan?"
"Kalau bicara dari segi bisnis itu bagus karena ada kemungkinan kalau kita ngga bisa buka usaha sendirian maka usaha kita akan mati. Dengan bermunculan gerai kopi yang lain justru bisa menjadi pendamping bagi kita juga, baik yang sama-sama bergerak di bidang kopi maupun di bidang yang lan." Jawabku.
"Apakah tidak terpikirkan tentang persaingan antar gerai kopi?"
"Persaingan pasti ada, apapun itu bentuknya. Semuanya kembali ke kita bagaimana menanggapi persaingan tersebut. Seperti apa yang tadi saya bilang, justru ini bisa menjadi circleantar sesama gerai kopi." Jawabku lagi.
"Baiklah, terima kasih Mas Adrian..." wartawan tersebut menjabat tanganku, "sudah mau meluangkan waktunya untuk tanya jawab bersama kami. Selanjutnya kami kembalikan kepada..."
Aku pun tersenyum selagi menunggu wartawan tersebut menyelesaikan rekamannya. Selesai dengan hal tersebut, mereka kembali berterima kasih kepadaku karena sudah mau meluangkan waktu untuk tanya jawab dengan mereka. Kemudian aku pun berlalu menuju ke tempat acara ini berlangsung, sebuah acara di mana seluruhnya berisikan tentang kopi. Ada sesi tanya jawab dengan narasumber yang sudah jauh menggeluti dunia kopi, ada beberapa gerai yang menjajakan kopi mereka di booth yang di sediakan, dan ada juga kompetisi yang akan dilangsungkan.
Aku pun maju bersama dua orang lain, pembawa acara memulai acara tersebut dengan meriahnya sambutan penonton pada siang hari ini. Orang yang berdiri di samping kananku pun menyiku tanganku, "Akhirnya bisa juga lu jadi juri tamu."
Aku berbisik kepadanya, "Kalau lu ngga sujud-sujud kemarin di kedai gue, ngga bakalan gue di sini Bang."
"Itulah jurus yang udah gue siapin selama ini cuma buat ngundang lu jadi juri tamu, apa susahnya sih ngejuriin orang lain doang." Katanya.
"Lu tau sendiri gimana sifat gue Bang..."
"Mas Adrian orangnya beda Bang..." perkataanku dipotong oleh orang yang satu lagi, "dia ngga bisa juriin dadakan kayak gini, dia butuh waktu lebih."
"Nah dia aja paham, masa iya lu ngga paham juga Bang? Segala kemarin sujud-sujud di sana." Kataku.
"Udah ah berisik, acara mau mulai. Yang penting gue udah puas bisa datengin lu di sini." Katanya.
Sebenarnya memang ajakan dari seniorku ini untuk menjadi juri di sebuah kompetisi kopi sudah ia lakukan beberapa kali. Namun aku selalu saja menolaknya dengan berbagai alasan yang bisa ia terima. Sampai akhirnya kemarin ketika ia datang ke kedaiku, ia memintaku hingga harus bersujud-sujud di depan semua pelangganku. Dan sejujurnya dengan sangat terpaksa aku harus menyetujui ajakannya kali ini.
Acara pun di mulai, satu persatu peserta mulai presentasi tentang apa yang akan ia sajikan. Selagi mereka mempresentasikan, aku mulai mencatat apa yang mereka katakan dan apa yang mereka lakukan.
Beberapa jam sudah berlalu, penjurian sudah selesai dilakukan. Nama pemenang pun diumumkan, aku dapat melihat bagaimana reaksi pemenang tersebut. Namun yang menjadi perhatianku adalah peserta yang tidak menang, bagaimana mereka menanggapi tentang hasil yang sudah keluar.
Begitu acara selesai, aku sempat berbincang dengan beberapa orang. Termasuk para peserta yang mengikuti kompetisi ini, aku mulai bertanya tentang pendapat mereka tentang kompetisi ini.
"Saya sih seneng Mas seenggaknya udah lolos kualifikasi, bisa di sini sebuah kemajuan buat saya."
"Nggapapa Mas kalah yang penting ada pengalaman."
"Aku yakin suatu saat aku bisa kayak Mas Adrian."
Beberapa kali aku menganggukkan kepala, beberapa kali pula aku tersenyum menanggapi berbagai macam jawaban dari mereka. Setidaknya mereka sudah berusaha sekuat tenaga, apapun hasilnya mereka bisa menerima dengan lapang dada. Setelah sesi foto bersama berakhir, aku memutuskan untuk kembali ke kedai pada sore yang sudah menjelang malam kali ini.
Jalanan kembali tidak bersahabat, aku harus menempuh kemacetan yang entah sudah mulai dari kapan. Celah di antara mobil-mobil setidaknya bisa membantu sedikit untuk menembus kemacetan, aku hanya bisa berharap agar Syailendra tidak kembali ngambek seperti dulu.
Beberapa jam berlalu, akhirnya aku bisa memarkirkan Syailendra di antara motor-motor yang lain. Begitu aku mematikan mesin motor, aku langsung turun dari motor dan memperhatikan mesin.
"Jangan ngebul, jangan ngebul." Kataku seorang diri.
Plak! Aku menoleh ke arah di mana pundakku dipukul pelan, "Ngagetin aja lu bangke."
"Biasa aja dong jangan ngegas, kenapa si Syailendra?" Kata Ferdi.
"Harapan gue sedang melambung tinggi nih, semoga ngga ada kebulan kayak waktu itu." Kataku.
Beberapa saat kami berbincang di luar, akhirnya kami berdua masuk ke dalam di mana semua kursi sudah terisi penuh oleh para pelanggan. Aku berlalu melewati mereka untuk meletakkan tas dan sweater di tempat biasa.
"Gimana Mas Adrian acaranya?" Tanya Mita.
"Acaranya..." aku melepas sweater, "berlangsung baik dan aman."
"Macet ya?"
"Astaga!..." aku terkejut lalu membalikkan badan ke belakang, "loh kamu udah pulang? Ngagetin aja."
Bulan tersenyum, di belakangnya ada Rara dan Bella yang muncul. Mereka kembali masuk ke dalam dan mendekat ke arah aku berdiri. Kami pun berbincang-bincang seperti biasa, dan tak terasa sudah masuk waktunya kedai untuk tutup.
"Udah semua cuk?" Tanya Ferdi.
Aku menganggukkan kepalaku, ku nyalakan sebatang rokok lalu berbaur dengan mereka yang sedang berbincang di teras depan. Namun sebelumnya, ku bawa koper milik Bulan ke motorku untuk ku pasangkan di tempat biasa.
"Mas Adrian bener-bener ya ngga keabisan ide." Kata Gigi.
"Maksudnya gimana Gi?" Tanya Rara.
"Tuh..." Gigi menunjuk ke arahku, "maksudnya bisa kepikiran aja buat ngelakuin kayak gitu."
Secara bersamaan mereka menatap ke arahku tanpa ku ketahui, aku sedang memasangkan alat penunjang untuk meletakkan koper milik Bulan di atas tangki motor.
"Kalau boleh jujur sih hampir 70 persen ide kedai ini dari Adrian, hampir semuanya dia yang urusin kalau ngga percaya bisa tanya Bella. Selebihnya karena sisa uang aja jadi Adrian ngga mau ngurusin." Jelas Ferdi.
"Mas Adrian kayak ngga keabisan ide buat ngelakuin apapun, aku sama Bang Fer kalau lagi mentok banget pasti langsung ke Mas Adrian." Lanjut Bella.
"Ngomongin siapa sih?..." aku menghampiri mereka, "kok seru banget."
"Biasa, ngomongin ekonomi makro yang lagi masa perkembangan..." Ferdi menatap ke arahku, "gimana menurut lu tentang poin IHSG yang merosot 0,23?"
Aku memandang malas kepadanya, "Ngomongin apaan lu barusan? Tau sendiri gue ngurus tabungan aja bingung, ini lagi ngomongin pasar saham."
Kami pun tertawa, sebelum pulang kami menyempatkan diri untuk berbincang selagi besok adalah hari libur. Tak terasa sudah semakin malam, akhirnya kami memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing.
Ku letakkan koper milik Bulan di tempat biasa, aku pun berlalu ke kamar mandi terlebih dahulu selagi ia membereskan barang-barang bawaannya di dalam koper. Beberapa menit berlalu, kami pun bergantian ke dalam kamar mandi. Ku rebahkan badanku di atas tempat tidur sambil memainkan handphone, beberapa pesan masuk yang belum sempat ku balas akhirnya ku balas satu persatu.
Waktu terus berjalan, Bulan keluar dari kamar mandi menuju ke meja. Ia duduk lalu menyalakan pengering rambut, secara perlahan ia mengeringkan rambutnya sambil melihar ke arah cermin.
"Yi, jangan lupa besok kita ke nikahan Fahri." Katanya.
"Besok?..." aku bangun dari tidurku, "bukannya minggu depan ya?"
"Besok tau, kamu cek lagi coba undangannya." Ucap Bulan.
Aku berlalu menuju meja TV, ku baca lagi undangan yang sudah ku terima. Ku bawa undangan tersebut ke tempat di mana Bulan duduk, "Oh iya besok ya, aku kira minggu depan. Kamu bawa baju buat besok?"
Bulan menganggukkan kepalanya, kemudian ia mematikan pengering rambut tersebut. Ia mengambil undangan yang ku pegang lalu membaca undangan tersebut, "Ngomong-ngomong dia bukan nikah sama temen SD kita juga kan ya?"
Aku mendekatkan wajahku ke arah undangan, "Setau aku sih bukan, ada satu orang tapi beda namanya."
"Kamu ngerasa ngga sih Yi, kadang suka dibikin iri sama yang ginian? Temen waktu kecil tiba-tiba udah ngasih undangan dia nikah? Aku kok suka mikir kayak gitu ya?" Tanya Bulan.
"Setiap orang punya kapasitasnya masing-masing Bu..."
Bulan mengalihkan pandangannya kepadaku, aku masih tetap menatap undangan tersebut.
"...Wajar aja sih kalau misalkan kita iri, karena kan pencapaian kita juga beda sama mereka. Rasanya ngga adil kalau apple to apple tentang pencapaian yang jelas-jelas beda, kecuali emang semuanya sama dari awal..."
Bulan mencium pipiku. Aku pun beralih memandang ke arahnya, "Jangan terlalu dipikirin, yang ada kamu nanti bingung sendiri."
Bulan mengangguk sambil tersenyum, mungkin benar apa yang dikatakan oleh Bulan. Terkadang rasa iri bisa muncul begitu saja, ketika kita melihat pencapaian orang lain yang belum kita capai dan kita tidak tau bagaimana rasanya ketika mencapainya. Namun aku memiliki pandangan lain ketika rasa iri itu muncul. Aku kembali melihat diriku saat ini dan beberapa tahun ke belakang, yang mungkin saja tidak semua orang bisa mencapai apa yang aku lakukan. Semua orang punya kapasitasnya masing-masing, kapan ia berkarir, kapan ia menikah, kapan ia pensiun, semuanya berbeda. Dan jika kamu merasakan apa yang Bulan rasakan, ingatlah tentang kapasitasmu. Tetap berusaha sekuat tenaga dan jangan lupa untuk mengikhlaskan.
*
"Kamu cukuran?" Tanya Bulan.
Aku mengangguk sambil melihat ke arahnya, kemudian aku kembali memandang cermin yang ada di depan pintu kamar mandi. Bulan mendekat ke arahku ketika aku sedang memotong rambut-rambut yang sudah tumbuh di sekitar pipiku.
"Aku boleh coba ngga?" Tanya Bulan lagi.
Aku menyerahkan pisau cukur kepada Bulan, lalu aku melebarkan kakiku agar ia bisa melihat lebih dekat. Bulan menerima pisau cukur itu dengan ragu, "Kok aku takut kamu luka ya?"
"Ngga kok, pelan-pelan aja jangan terlalu pakai tenaga." Kataku.
Bulan mulai menempelkan mata pisau ke pipiku, secara perlahan ia mulai mengikuti arahanku untuk menggerakkan pisau cukur tersebut. Butuh waktu lebih lama karena Bulan baru pertama kali melakukannya, dan akhirnya selesai sudah apa yang ia lakukan. Aku membersihkan wajahku dengan handuk sementara Bulan membersihkan pisau cukur tersebut.
"Aku jadi pangling lagi sekarang ngeliat kamu." Kata Bulan.
"Aneh ya keliatannya?" Tanyaku.
"Aku kayak ngeliat kamu pas masih SD tapi dengan badan yang sekarang." Jawabnya.
Aku hanya bisa tersenyum menanggapinya, kemudian kami berlalu dari kamar mandi untuk bersiap-siap menuju ke tempat acara pada sore hari ini. Aku sudah siap dengan setelan yang sederhana, sementara Bulan sedang merias wajahnya di depan meja. Aku pun melihat ke arah Bulan lewat cermin.
"Kamu ngeliatin apa hayo?" Tanya Bulan.
Aku tersenyum, "Ngeliatin kamu lah, apalagi yang bisa aku liatin di situ."
"Sip selesai..." Bulan berdiri lalu menghadap ke arahku, "ayo berangkat."
"Loh udah?" Tanyaku heran.
"Loh emang kenapa?" Tanya Bulan balik.
Aku mendekat ke arah Bulan, "Kok keliatannya kayak ngga make-up sih? Jadi selama ini kamu tetep make-up? Aku kira ngga."
"Kalau make-up mah tetep, cuma ya bedanya tipis tebelnya aja. Aku ngga terlalu suka sama yang menor gitu, keliatannya aneh juga buat aku kalau mau menor." Jawabnya.
"Oh aku paham akan satu hal sekarang." Kataku.
"Apa tuh Yi?" Tanya Bulan.
"Kamu mau make-up atau ngga tetep cantik." Kataku.
Bulan tersenyum malu menanggapi apa yang baru saja aku katakan. Dan akhirnya kami pun bergegas untuk menuju ke tempat acara. Awalnya aku ragu, namun Bulan tetap memintaku untuk mengendarai Syailendra dengan alasan tempatnya dekat.
Memang benar, tidak 15 menit kami pun tiba di tempat acara dilangsungkan. Aku dan Bulan sudah turun dari motor, Bulan sempat menatap kaca spion sambil merapihkan rambutnya.
"Rusak ya rambutnya?" Tanyaku.
"Ngga kok Yi cuma butuh dirapihin sedikit aja." Jawabnya.
"Eh Adrian? Ini Bulan ya?"
Kami pun menoleh ke arah sumber suara berasal, "Eh Uli, aku kira siapa? Apa kabar?"
Bulan dan Uli pun saling berpelukan, kemudian bergantian aku memeluknya. Ia pun melihat ke arahku dengan heran, "Kamu banyak berubah ya Dri, sekarang udah ngga kayak dulu. Bulan lebih cantik kalau dibandingin sama dulu."
"Kamu malah yang bikin bingung Ul, dari dulu sampai sekarang masih sama aja. Kesannya kayak awet muda." Ucap Bulan.
"Kalau itu aku setuju, ngga berubah-berubah." Kataku.
"Ah bisa aja. Ngomong-ngomong kalian janjian sama yang lain atau..."
Kami sempat berbincang di parkiran sebentar sebelum akhirnya acara di mulai. Kami pun masuk ke dalam gedung dan melihat sedikit perhelatan yang disajikan pada sore hari ini. Bulan menggenggam tanganku, "Bagus banget ya Yi acaranya."
Aku hanya menganggukkan kepalaku. Selama acara berlangsung, beberapa kali aku melihat ke arah Bulan secara diam-diam. Aku dapat melihat kesenangan di raut wajahnya yang tergambar dengan jelas, senyum yang terbentuk dari bibirnya tidak dapat disembunyikan. Ku pindahkan tangannya yang sedang menggenggam telapak tanganku menuju lengan tanganku, kami pun sempat beradu pandang dan tersenyum. Dan setelah menunggu antrean, kami pun bersalaman dengan mempelai.
"Adrian!..." Fahri menjabat tanganku keras, "gila lu berubah banget sekarang, udah bukan kayak dulu lagi bikin pangling."
"Ah emang lu aja yang ngga pernah ketemu gue lagi. Ngomong-ngomong selamat ya atas pernikahannya." Kataku.
"Makasih ya Dri, kenalin nih Arinda istri gue..." ia menghadap ke arah Bulan, "Bulan makasih ya udah dateng."
"Selamat ya Fahri..." Bulan menyalami Arinda, "Selamat ya Arinda atas pernikahannya."
"Makasih ya udah bisa dateng." Kata Arinda.
"Jadi kalian kapan nyusul?" Tanya Fahri.
"Nyusul? Maksudnya? Tanyaku.
"Loh kalian pacaran kan?" Tanya Fahri lagi.
Aku dan Bulan hanya bisa tersenyum untuk menanggapi perkataannya. Kemudian kami menyempatkan diri untuk foto bersama sebelum meninggalkan pelaminan. Bulan dan Uli memisahkan diri untuk mencari makanan yang mereka suka, sementara aku memutuskan untuk berjalan sendiri.
Sesekali aku bertemu dengan teman-teman lamaku semasa SD, tak jarang pula aku bertemu dengan guru-guru yang sempat mengajarku saat SD. Tentu saja reaksi mereka masih tentang penampilanku yang berubah.
Malam pun tiba, Bulan dan Uli sudah ada di luar terlebih dahulu sementara aku baru akan keluar dari dalam gedung. Bulan dan Uli pun masih bertemu dengan teman-teman kami semasa SD meskipun sudah di luar gedung.
"Bulan dari SD kayaknya masih cantik aja." Kata Imam.
"Bisa aja Mam, Uli dong yang ngga berubah sama sekali dari dulu." Sahut Bulan.
"Gimana kerjaan sekarang?" Tanya Imam.
"Sekarang lagi jadi pramugari..." Bulan mengeluarkan handphonenya, "bentar ya."
Bulan sempat menghubungiku karena aku bertanya di mana ia sekarang. Setelah memberitahu di mana ia berada, ia kembali menuju tempat Uli dan Imam berada.
"Eh Uli aku duluan ya..." Ia berpelukan dengan Uli, "Mam, duluan ya. Sorry ngga bisa lama-lama."
Bulan pun meninggalkan Uli dan Imam. Imam pun mendekat ke arah Uli, "Kok kayaknya gue suka ya sama Bulan, apa karena udah ngga lama liat aja?"
"Mungkin aja sih." Jawab Uli singkat.
"Salah ngga sih kalau gue suka sama Bulan?" Tanya Imam lagi.
"Salah sih ngga cuma liat aja tuh..."
Mereka melihat ke arah Bulan di mana saat itu Bulan sedang menggenggam lengan tanganku lalu kami berlalu menuju parkiran.
"...kayaknya susah sih kalau mau suka sama Bulan sekarang." Jelas Uli.
"Loh dia pacaran sama Adrian?" Tanya Imam kaget.
Meninggalkan mereka yang sedang berbicara tentang kami tanpa kami ketahui, kami berjalan menuju parkiran di mana Syailendra berada. Ku kenakan helm kepada Bulan, lalu aku mengenakan helmku sendiri. Setelah menaiki Syailendra, kami meninggalkan kawasan gedung ini untuk pulang ke rumah.
Sepanjang perjalanan Bulan memeluk tubuhku dan menyandarkan kepalanya sementara aku mencoba untuk menembus kemacetan malam ini. Sampai akhirnya kami masuk ke dalam komplek perumahanku.
"Ayi."
Bulan memajukan kepalanya hingga kepalaku tergeser ke arah kanan, "Kenapa? Kamu kok sampai majuin kepala gitu?"
"...Will you marry me?"
***
"Kalau bicara dari segi bisnis itu bagus karena ada kemungkinan kalau kita ngga bisa buka usaha sendirian maka usaha kita akan mati. Dengan bermunculan gerai kopi yang lain justru bisa menjadi pendamping bagi kita juga, baik yang sama-sama bergerak di bidang kopi maupun di bidang yang lan." Jawabku.
"Apakah tidak terpikirkan tentang persaingan antar gerai kopi?"
"Persaingan pasti ada, apapun itu bentuknya. Semuanya kembali ke kita bagaimana menanggapi persaingan tersebut. Seperti apa yang tadi saya bilang, justru ini bisa menjadi circleantar sesama gerai kopi." Jawabku lagi.
"Baiklah, terima kasih Mas Adrian..." wartawan tersebut menjabat tanganku, "sudah mau meluangkan waktunya untuk tanya jawab bersama kami. Selanjutnya kami kembalikan kepada..."
Aku pun tersenyum selagi menunggu wartawan tersebut menyelesaikan rekamannya. Selesai dengan hal tersebut, mereka kembali berterima kasih kepadaku karena sudah mau meluangkan waktu untuk tanya jawab dengan mereka. Kemudian aku pun berlalu menuju ke tempat acara ini berlangsung, sebuah acara di mana seluruhnya berisikan tentang kopi. Ada sesi tanya jawab dengan narasumber yang sudah jauh menggeluti dunia kopi, ada beberapa gerai yang menjajakan kopi mereka di booth yang di sediakan, dan ada juga kompetisi yang akan dilangsungkan.
Aku pun maju bersama dua orang lain, pembawa acara memulai acara tersebut dengan meriahnya sambutan penonton pada siang hari ini. Orang yang berdiri di samping kananku pun menyiku tanganku, "Akhirnya bisa juga lu jadi juri tamu."
Aku berbisik kepadanya, "Kalau lu ngga sujud-sujud kemarin di kedai gue, ngga bakalan gue di sini Bang."
"Itulah jurus yang udah gue siapin selama ini cuma buat ngundang lu jadi juri tamu, apa susahnya sih ngejuriin orang lain doang." Katanya.
"Lu tau sendiri gimana sifat gue Bang..."
"Mas Adrian orangnya beda Bang..." perkataanku dipotong oleh orang yang satu lagi, "dia ngga bisa juriin dadakan kayak gini, dia butuh waktu lebih."
"Nah dia aja paham, masa iya lu ngga paham juga Bang? Segala kemarin sujud-sujud di sana." Kataku.
"Udah ah berisik, acara mau mulai. Yang penting gue udah puas bisa datengin lu di sini." Katanya.
Sebenarnya memang ajakan dari seniorku ini untuk menjadi juri di sebuah kompetisi kopi sudah ia lakukan beberapa kali. Namun aku selalu saja menolaknya dengan berbagai alasan yang bisa ia terima. Sampai akhirnya kemarin ketika ia datang ke kedaiku, ia memintaku hingga harus bersujud-sujud di depan semua pelangganku. Dan sejujurnya dengan sangat terpaksa aku harus menyetujui ajakannya kali ini.
Acara pun di mulai, satu persatu peserta mulai presentasi tentang apa yang akan ia sajikan. Selagi mereka mempresentasikan, aku mulai mencatat apa yang mereka katakan dan apa yang mereka lakukan.
Beberapa jam sudah berlalu, penjurian sudah selesai dilakukan. Nama pemenang pun diumumkan, aku dapat melihat bagaimana reaksi pemenang tersebut. Namun yang menjadi perhatianku adalah peserta yang tidak menang, bagaimana mereka menanggapi tentang hasil yang sudah keluar.
Begitu acara selesai, aku sempat berbincang dengan beberapa orang. Termasuk para peserta yang mengikuti kompetisi ini, aku mulai bertanya tentang pendapat mereka tentang kompetisi ini.
"Saya sih seneng Mas seenggaknya udah lolos kualifikasi, bisa di sini sebuah kemajuan buat saya."
"Nggapapa Mas kalah yang penting ada pengalaman."
"Aku yakin suatu saat aku bisa kayak Mas Adrian."
Beberapa kali aku menganggukkan kepala, beberapa kali pula aku tersenyum menanggapi berbagai macam jawaban dari mereka. Setidaknya mereka sudah berusaha sekuat tenaga, apapun hasilnya mereka bisa menerima dengan lapang dada. Setelah sesi foto bersama berakhir, aku memutuskan untuk kembali ke kedai pada sore yang sudah menjelang malam kali ini.
Jalanan kembali tidak bersahabat, aku harus menempuh kemacetan yang entah sudah mulai dari kapan. Celah di antara mobil-mobil setidaknya bisa membantu sedikit untuk menembus kemacetan, aku hanya bisa berharap agar Syailendra tidak kembali ngambek seperti dulu.
Beberapa jam berlalu, akhirnya aku bisa memarkirkan Syailendra di antara motor-motor yang lain. Begitu aku mematikan mesin motor, aku langsung turun dari motor dan memperhatikan mesin.
"Jangan ngebul, jangan ngebul." Kataku seorang diri.
Plak! Aku menoleh ke arah di mana pundakku dipukul pelan, "Ngagetin aja lu bangke."
"Biasa aja dong jangan ngegas, kenapa si Syailendra?" Kata Ferdi.
"Harapan gue sedang melambung tinggi nih, semoga ngga ada kebulan kayak waktu itu." Kataku.
Beberapa saat kami berbincang di luar, akhirnya kami berdua masuk ke dalam di mana semua kursi sudah terisi penuh oleh para pelanggan. Aku berlalu melewati mereka untuk meletakkan tas dan sweater di tempat biasa.
"Gimana Mas Adrian acaranya?" Tanya Mita.
"Acaranya..." aku melepas sweater, "berlangsung baik dan aman."
"Macet ya?"
"Astaga!..." aku terkejut lalu membalikkan badan ke belakang, "loh kamu udah pulang? Ngagetin aja."
Bulan tersenyum, di belakangnya ada Rara dan Bella yang muncul. Mereka kembali masuk ke dalam dan mendekat ke arah aku berdiri. Kami pun berbincang-bincang seperti biasa, dan tak terasa sudah masuk waktunya kedai untuk tutup.
"Udah semua cuk?" Tanya Ferdi.
Aku menganggukkan kepalaku, ku nyalakan sebatang rokok lalu berbaur dengan mereka yang sedang berbincang di teras depan. Namun sebelumnya, ku bawa koper milik Bulan ke motorku untuk ku pasangkan di tempat biasa.
"Mas Adrian bener-bener ya ngga keabisan ide." Kata Gigi.
"Maksudnya gimana Gi?" Tanya Rara.
"Tuh..." Gigi menunjuk ke arahku, "maksudnya bisa kepikiran aja buat ngelakuin kayak gitu."
Secara bersamaan mereka menatap ke arahku tanpa ku ketahui, aku sedang memasangkan alat penunjang untuk meletakkan koper milik Bulan di atas tangki motor.
"Kalau boleh jujur sih hampir 70 persen ide kedai ini dari Adrian, hampir semuanya dia yang urusin kalau ngga percaya bisa tanya Bella. Selebihnya karena sisa uang aja jadi Adrian ngga mau ngurusin." Jelas Ferdi.
"Mas Adrian kayak ngga keabisan ide buat ngelakuin apapun, aku sama Bang Fer kalau lagi mentok banget pasti langsung ke Mas Adrian." Lanjut Bella.
"Ngomongin siapa sih?..." aku menghampiri mereka, "kok seru banget."
"Biasa, ngomongin ekonomi makro yang lagi masa perkembangan..." Ferdi menatap ke arahku, "gimana menurut lu tentang poin IHSG yang merosot 0,23?"
Aku memandang malas kepadanya, "Ngomongin apaan lu barusan? Tau sendiri gue ngurus tabungan aja bingung, ini lagi ngomongin pasar saham."
Kami pun tertawa, sebelum pulang kami menyempatkan diri untuk berbincang selagi besok adalah hari libur. Tak terasa sudah semakin malam, akhirnya kami memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing.
Ku letakkan koper milik Bulan di tempat biasa, aku pun berlalu ke kamar mandi terlebih dahulu selagi ia membereskan barang-barang bawaannya di dalam koper. Beberapa menit berlalu, kami pun bergantian ke dalam kamar mandi. Ku rebahkan badanku di atas tempat tidur sambil memainkan handphone, beberapa pesan masuk yang belum sempat ku balas akhirnya ku balas satu persatu.
Waktu terus berjalan, Bulan keluar dari kamar mandi menuju ke meja. Ia duduk lalu menyalakan pengering rambut, secara perlahan ia mengeringkan rambutnya sambil melihar ke arah cermin.
"Yi, jangan lupa besok kita ke nikahan Fahri." Katanya.
"Besok?..." aku bangun dari tidurku, "bukannya minggu depan ya?"
"Besok tau, kamu cek lagi coba undangannya." Ucap Bulan.
Aku berlalu menuju meja TV, ku baca lagi undangan yang sudah ku terima. Ku bawa undangan tersebut ke tempat di mana Bulan duduk, "Oh iya besok ya, aku kira minggu depan. Kamu bawa baju buat besok?"
Bulan menganggukkan kepalanya, kemudian ia mematikan pengering rambut tersebut. Ia mengambil undangan yang ku pegang lalu membaca undangan tersebut, "Ngomong-ngomong dia bukan nikah sama temen SD kita juga kan ya?"
Aku mendekatkan wajahku ke arah undangan, "Setau aku sih bukan, ada satu orang tapi beda namanya."
"Kamu ngerasa ngga sih Yi, kadang suka dibikin iri sama yang ginian? Temen waktu kecil tiba-tiba udah ngasih undangan dia nikah? Aku kok suka mikir kayak gitu ya?" Tanya Bulan.
"Setiap orang punya kapasitasnya masing-masing Bu..."
Bulan mengalihkan pandangannya kepadaku, aku masih tetap menatap undangan tersebut.
"...Wajar aja sih kalau misalkan kita iri, karena kan pencapaian kita juga beda sama mereka. Rasanya ngga adil kalau apple to apple tentang pencapaian yang jelas-jelas beda, kecuali emang semuanya sama dari awal..."
Bulan mencium pipiku. Aku pun beralih memandang ke arahnya, "Jangan terlalu dipikirin, yang ada kamu nanti bingung sendiri."
Bulan mengangguk sambil tersenyum, mungkin benar apa yang dikatakan oleh Bulan. Terkadang rasa iri bisa muncul begitu saja, ketika kita melihat pencapaian orang lain yang belum kita capai dan kita tidak tau bagaimana rasanya ketika mencapainya. Namun aku memiliki pandangan lain ketika rasa iri itu muncul. Aku kembali melihat diriku saat ini dan beberapa tahun ke belakang, yang mungkin saja tidak semua orang bisa mencapai apa yang aku lakukan. Semua orang punya kapasitasnya masing-masing, kapan ia berkarir, kapan ia menikah, kapan ia pensiun, semuanya berbeda. Dan jika kamu merasakan apa yang Bulan rasakan, ingatlah tentang kapasitasmu. Tetap berusaha sekuat tenaga dan jangan lupa untuk mengikhlaskan.
*
"Kamu cukuran?" Tanya Bulan.
Aku mengangguk sambil melihat ke arahnya, kemudian aku kembali memandang cermin yang ada di depan pintu kamar mandi. Bulan mendekat ke arahku ketika aku sedang memotong rambut-rambut yang sudah tumbuh di sekitar pipiku.
"Aku boleh coba ngga?" Tanya Bulan lagi.
Aku menyerahkan pisau cukur kepada Bulan, lalu aku melebarkan kakiku agar ia bisa melihat lebih dekat. Bulan menerima pisau cukur itu dengan ragu, "Kok aku takut kamu luka ya?"
"Ngga kok, pelan-pelan aja jangan terlalu pakai tenaga." Kataku.
Bulan mulai menempelkan mata pisau ke pipiku, secara perlahan ia mulai mengikuti arahanku untuk menggerakkan pisau cukur tersebut. Butuh waktu lebih lama karena Bulan baru pertama kali melakukannya, dan akhirnya selesai sudah apa yang ia lakukan. Aku membersihkan wajahku dengan handuk sementara Bulan membersihkan pisau cukur tersebut.
"Aku jadi pangling lagi sekarang ngeliat kamu." Kata Bulan.
"Aneh ya keliatannya?" Tanyaku.
"Aku kayak ngeliat kamu pas masih SD tapi dengan badan yang sekarang." Jawabnya.
Aku hanya bisa tersenyum menanggapinya, kemudian kami berlalu dari kamar mandi untuk bersiap-siap menuju ke tempat acara pada sore hari ini. Aku sudah siap dengan setelan yang sederhana, sementara Bulan sedang merias wajahnya di depan meja. Aku pun melihat ke arah Bulan lewat cermin.
"Kamu ngeliatin apa hayo?" Tanya Bulan.
Aku tersenyum, "Ngeliatin kamu lah, apalagi yang bisa aku liatin di situ."
"Sip selesai..." Bulan berdiri lalu menghadap ke arahku, "ayo berangkat."
"Loh udah?" Tanyaku heran.
"Loh emang kenapa?" Tanya Bulan balik.
Aku mendekat ke arah Bulan, "Kok keliatannya kayak ngga make-up sih? Jadi selama ini kamu tetep make-up? Aku kira ngga."
"Kalau make-up mah tetep, cuma ya bedanya tipis tebelnya aja. Aku ngga terlalu suka sama yang menor gitu, keliatannya aneh juga buat aku kalau mau menor." Jawabnya.
"Oh aku paham akan satu hal sekarang." Kataku.
"Apa tuh Yi?" Tanya Bulan.
"Kamu mau make-up atau ngga tetep cantik." Kataku.
Bulan tersenyum malu menanggapi apa yang baru saja aku katakan. Dan akhirnya kami pun bergegas untuk menuju ke tempat acara. Awalnya aku ragu, namun Bulan tetap memintaku untuk mengendarai Syailendra dengan alasan tempatnya dekat.
Memang benar, tidak 15 menit kami pun tiba di tempat acara dilangsungkan. Aku dan Bulan sudah turun dari motor, Bulan sempat menatap kaca spion sambil merapihkan rambutnya.
"Rusak ya rambutnya?" Tanyaku.
"Ngga kok Yi cuma butuh dirapihin sedikit aja." Jawabnya.
"Eh Adrian? Ini Bulan ya?"
Kami pun menoleh ke arah sumber suara berasal, "Eh Uli, aku kira siapa? Apa kabar?"
Bulan dan Uli pun saling berpelukan, kemudian bergantian aku memeluknya. Ia pun melihat ke arahku dengan heran, "Kamu banyak berubah ya Dri, sekarang udah ngga kayak dulu. Bulan lebih cantik kalau dibandingin sama dulu."
"Kamu malah yang bikin bingung Ul, dari dulu sampai sekarang masih sama aja. Kesannya kayak awet muda." Ucap Bulan.
"Kalau itu aku setuju, ngga berubah-berubah." Kataku.
"Ah bisa aja. Ngomong-ngomong kalian janjian sama yang lain atau..."
Kami sempat berbincang di parkiran sebentar sebelum akhirnya acara di mulai. Kami pun masuk ke dalam gedung dan melihat sedikit perhelatan yang disajikan pada sore hari ini. Bulan menggenggam tanganku, "Bagus banget ya Yi acaranya."
Aku hanya menganggukkan kepalaku. Selama acara berlangsung, beberapa kali aku melihat ke arah Bulan secara diam-diam. Aku dapat melihat kesenangan di raut wajahnya yang tergambar dengan jelas, senyum yang terbentuk dari bibirnya tidak dapat disembunyikan. Ku pindahkan tangannya yang sedang menggenggam telapak tanganku menuju lengan tanganku, kami pun sempat beradu pandang dan tersenyum. Dan setelah menunggu antrean, kami pun bersalaman dengan mempelai.
"Adrian!..." Fahri menjabat tanganku keras, "gila lu berubah banget sekarang, udah bukan kayak dulu lagi bikin pangling."
"Ah emang lu aja yang ngga pernah ketemu gue lagi. Ngomong-ngomong selamat ya atas pernikahannya." Kataku.
"Makasih ya Dri, kenalin nih Arinda istri gue..." ia menghadap ke arah Bulan, "Bulan makasih ya udah dateng."
"Selamat ya Fahri..." Bulan menyalami Arinda, "Selamat ya Arinda atas pernikahannya."
"Makasih ya udah bisa dateng." Kata Arinda.
"Jadi kalian kapan nyusul?" Tanya Fahri.
"Nyusul? Maksudnya? Tanyaku.
"Loh kalian pacaran kan?" Tanya Fahri lagi.
Aku dan Bulan hanya bisa tersenyum untuk menanggapi perkataannya. Kemudian kami menyempatkan diri untuk foto bersama sebelum meninggalkan pelaminan. Bulan dan Uli memisahkan diri untuk mencari makanan yang mereka suka, sementara aku memutuskan untuk berjalan sendiri.
Sesekali aku bertemu dengan teman-teman lamaku semasa SD, tak jarang pula aku bertemu dengan guru-guru yang sempat mengajarku saat SD. Tentu saja reaksi mereka masih tentang penampilanku yang berubah.
Malam pun tiba, Bulan dan Uli sudah ada di luar terlebih dahulu sementara aku baru akan keluar dari dalam gedung. Bulan dan Uli pun masih bertemu dengan teman-teman kami semasa SD meskipun sudah di luar gedung.
"Bulan dari SD kayaknya masih cantik aja." Kata Imam.
"Bisa aja Mam, Uli dong yang ngga berubah sama sekali dari dulu." Sahut Bulan.
"Gimana kerjaan sekarang?" Tanya Imam.
"Sekarang lagi jadi pramugari..." Bulan mengeluarkan handphonenya, "bentar ya."
Bulan sempat menghubungiku karena aku bertanya di mana ia sekarang. Setelah memberitahu di mana ia berada, ia kembali menuju tempat Uli dan Imam berada.
"Eh Uli aku duluan ya..." Ia berpelukan dengan Uli, "Mam, duluan ya. Sorry ngga bisa lama-lama."
Bulan pun meninggalkan Uli dan Imam. Imam pun mendekat ke arah Uli, "Kok kayaknya gue suka ya sama Bulan, apa karena udah ngga lama liat aja?"
"Mungkin aja sih." Jawab Uli singkat.
"Salah ngga sih kalau gue suka sama Bulan?" Tanya Imam lagi.
"Salah sih ngga cuma liat aja tuh..."
Mereka melihat ke arah Bulan di mana saat itu Bulan sedang menggenggam lengan tanganku lalu kami berlalu menuju parkiran.
"...kayaknya susah sih kalau mau suka sama Bulan sekarang." Jelas Uli.
"Loh dia pacaran sama Adrian?" Tanya Imam kaget.
Meninggalkan mereka yang sedang berbicara tentang kami tanpa kami ketahui, kami berjalan menuju parkiran di mana Syailendra berada. Ku kenakan helm kepada Bulan, lalu aku mengenakan helmku sendiri. Setelah menaiki Syailendra, kami meninggalkan kawasan gedung ini untuk pulang ke rumah.
Sepanjang perjalanan Bulan memeluk tubuhku dan menyandarkan kepalanya sementara aku mencoba untuk menembus kemacetan malam ini. Sampai akhirnya kami masuk ke dalam komplek perumahanku.
"Ayi."
Bulan memajukan kepalanya hingga kepalaku tergeser ke arah kanan, "Kenapa? Kamu kok sampai majuin kepala gitu?"
"...Will you marry me?"
***
oktavp dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Kutip
Balas