Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

suciasdhanAvatar border
TS
suciasdhan
Cinta Bersemi di Kedai Serabi
Kumpulan Cerita Romantis Bikin Baper

Cinta Bersemi di Kedai Serabi

Sumber: gambar di sini

Sepagi ini kedai Mak Otih sudah penuh sesak. Serabi buatan Mak Otih memang yang paling terkenal di desa Cipedes ini. Penganan yang terbuat dari campuran tepung terigu yang gurih dan air kelapa, banyak diburu oleh warga desa ini dan menjadi alternatif pilihan untuk sarapan. Cara memasaknya yang masih tradisional—menggunakan wajan yang terbuat dari tanah liat serta kayu bakar di bawahnya untuk mematangkan serabinya—membuat serabi ini memiliki rasa dan aroma yang khas. Varian serabinya hanya dua macam, yaitu topping oncom sangrai untuk rasa asin, dan serabi disiram kuah gula merah atau kinca untuk yang rasa manis. Bahkan, untuk serabi topping oncom bisa ditambahkan telur agar rasanya semakin gurih.

Sopi mengamati tangan Mak Otih yang menyendok adonan serabi ke dalam wajan tanah liat dengan cekatan. Adonan yang masih cair itu kemudian ditaburi oncom sangrai. Asap mengepul dari sana. Aroma serabi yang hampir matang membuat gadis itu menelan saliva berulang kali. Perutnya semakin keroncongan. Terbayang di mulutnya rasa legit kuah kinca bercampur dengan kue serabi yang gurih, lezat rasanya.

Empat orang pemuda iseng mulai melirik nakal ke arah Sopi yang terlihat cantik. Salah satu dari mereka mulai menggodanya.

"Hai, Neng geulis, sendirian aja nih. Boleh Akang temenin?"

"Akang mah mau langsung kenalan aja, boleh enggak?" Seorang pemuda lainnya mulai mendekati Sopi. Sementara dua pemuda yang lainnya hanya tertawa-tawa.

Sopi mulai jengah dengan gangguan dari keempat pemuda itu. Bahkan salah satunya yang tadi minta kenalan mulai berani mencolek lengannya. Segera saja Sopi menepis tangan jahil pemuda jangkung berambut keriting itu. Memangnya aku ini sabun colek apa? pikir Sopi, kesal.

"Widih, si Eneng meuni sombong ih. Belum tahu ya kita ini siapa? Kita teh F4, tapi bukan pemeran di drama Meteor Garden ya. Saya Firman, itu Fikri, Farid, dan Ferdi." Pemuda berkaus biru donker berlogo salah satu superhero terkenal di dunia, menunjuk ke arah ketiga temannya sambil ikut mendekat ke arah Sopi.

Sopi masih membisu, dalam hati ia geram dengan tingkah para pemuda itu. Perempuan di kedai ini kan banyak, kenapa hanya aku yang diperlakukan seperti ini? gumamnya.

Melihat gadis itu beranjak dari tempat duduknya, hendak berlalu dari kedai, keempat pemuda itu malah semakin gencar menggodanya.

"Mau ke mana Neng? Buru-buru amat. Kita kan belum saling mengenal. Tukeran nomor hp aja belum, udah mau pergi. Rumahnya di mana sih? Akang antar ya. Tenang, dijamin aman, selamat sampai tujuan." Pemuda berkaus hitam bergambar logo band Linkin Park mengejar Sopi dan menggenggam tangan gadis itu.

Sopi berusaha melepaskan diri, tetapi genggaman tangan pemuda itu malah semakin kuat. Ia meringis kesakitan. Keempat pemuda itu tertawa puas.

"Heii, kalian! Lepaskan gadis itu. Belum tahu ya kalau dia itu pacar saya? Seenaknya main antar pacar orang. Yuk, Neng Akang antar." Suara seorang lelaki tampan berdandan ala Kabayan berhasil menghalau keempat pemuda itu. Mereka pun menjauh dari Sopi. Setelah berpamitan pada Emaknya yang tengah membalikkan serabi dari wadah, pemuda itu pun berjalan beriringan dengan sang gadis.

"Yuk, Neng. Enggak usah takut, saya mah bukan lelaki cunihin seperti mereka. Kalau mau jahil ke perempuan, saya selalu ingat sama Emak. Gimana kalau Emak juga digodain kayak gitu? Saya pasti marah besar," ucap lelaki itu setelah agak menjauh dari kedai.

Dalam hati, Sopi memuji ucapan pemuda di sampingnya yang sangat santun dan hormat memperlakukan ibunya. Yang jadi istrinya, sudah pasti akan diperlakukan dengan baik juga. Sopi malu sendiri, dan buru-buru menepis pikiran yang baru saja terlintas di benaknya. Mereka berjalan berdampingan. Keduanya sama-sama merasa canggung, tak ada yang berani membuka percakapan. Hanya sesekali mereka saling beradu pandang, kemudian sama-sama tersenyum dan menunduk, malu. Hingga tiba di tempat tujuan pun, mereka masih diam seribu bahasa.

Sementara itu, Pak Asep yang sedari tadi merasakan perasaannya tak enak, selalu terbayang wajah putri cantiknya. Rasa kuatir menggelayuti pikirannya, takut sesuatu menimpa Sopi. Sesekali ia menatap ke arah jalan, mencari sosok yang membuat hatinya gelisah. Tidak berapa lama, ia melihat gadis itu. Namun, ia tidak sendirian, seorang pemuda jangkung terlihat berjalan di sampingnya.

"Hei, pemuda, siapa kamu? Kenapa tampang anakku seperti ketakutan begitu? Hmm, mau macam-macam ya sama anak Jawara Pencak Silat ini? Hayu lah, Bapak mah enggak takut. Kita tandang di lapang sebelah!" Pak Asep sudah pasang kuda-kuda, bersiap untuk menyerang sosok yang terlihat sebagai ancaman bagi putri tersayangnya. Sopi dan Aden pun bengong.

Dengan kekuatan penuh, Pak Asep bersiap melayangkan pukulan ke arah pemuda tampan yang sedang berdiri di samping putrinya.

“Daddy—Daddy, calm down.” Sopi menghalangi serangan ayahnya dengan menggenggam tangan pria paruh baya itu yang sudah bulat terkepal dengan sempurna.

“Minggir, Sopi. Biar dia merasakan bogem mentah Bapak. Walau Bapakmu ini sudah tua, tapi Bapak masih kuat. Ayo sini, pemuda, lawan!” Pak Asep menghempaskan tangan Sopi yang menghalanginya.

“Pak Asep? Ini benar Pak Asep kan? Alhamdulillah, akhirnya kita ketemu juga.” Aden mencium punggung tangan pria di hadapannya yang napasnya masih tak beraturan. Emosi memenuhi rongga dadanya. Kedua matanya memelotot ke arah pemuda itu.

“Apa-apaan kamu? Diajak tanding malah cium tangan? Nyalimu ciut, Jang?” Pak Asep menghempaskan tangan Aden dengan kasar.

“Bapak lupa ya? Ini teh Aden, putranya Mak Otih. Dulu waktu SD Aden kan belajar pencak silat dari Bapak. Wah senangnya masih bisa berjumpa dengan guru bela diri favorit Aden.”

Mendengar penuturan pemuda yang berdiri di hadapannya, perlahan-lahan emosi Pak Asep menurun. “Jadi, ini Aden? Masya Allah, meuni kasep. Maafkan Bapak yang terlalu kuatir dengan keselamatan putri Bapak satu-satunya. Maklum, sejak Ibunya meninggal, hanya dia yang Bapak miliki di dunia ini. Bapak enggak mungkin lupa, hanya tadi mah pangling aja, sampai-sampai enggak ngenalin. Kamu kan yang pernah ngompol, ketakutan karena Bapak bentak, hahaha. Terus kamu itu terkenal paling cengeng di antara murid-murid Bapak yang lain. Kesenggol sedikit saja nangis kejer.” Pak Asep menepuk-nepuk pundak bekas murid pencak silatnya itu.

Aden tersipu malu sambil melirik gadis cantik di sampingnya yang sedang bengong menyaksikan percakapan antara dirinya dan Pak Asep. “Jadi, Eneng ini teh putrinya Bapak?” lanjutnya.

“Iya, ini namanya Sopi, anak Bapak. Hayu atuh masuk, kita ngobrol-ngobrol di dalam. Sopi suguhkan makanan sama minuman.”

Sopi beranjak menuju dapur menyiapkan suguhan untuk sang tamu. Sementara itu Aden dan sang Ayah sudah duduk di kursi ruang tamu. Sesekali, Pak Asep melirik Aden yang mencuri pandang ke arah Sopi. Sepertinya pemuda itu tertarik pada putrinya. Sebuah senyuman tersungging di bibir lelaki paruh baya itu. Sementara Aden, yang kepergok sedang curi-curi pandang, jadi salah tingkah. Hatinya mengakui perempuan itu memang cantik, hanya dandanannya saja yang menurutnya terlalu berlebihan alias menor. Andai gadis itu berdandan sederhana, aura kecantikannya akan terpancar alami. Tidak berapa lama, Sopi muncul dengan baki berisi dua gelas teh manis dan beberapa stoples berisi kue kering juga makanan ringan.

“Ayo—ayo dimakan, Den,” tawar Pak Asep setelah Sopi menaruh semua bawaannya di atas meja.

“Eh iya, ngomong-ngomong serabi pesanan Bapak mana?” Kali ini pandangan mata pria itu beralih pada Sopi.

“My mood is going down, Daddy. So maafkan Sovia yang tak jadi membelinya.”
Aden menatap heran gadis yang duduk di samping Pak Asep. Buset, bukan hanya dandanannya yang lain, cara bicaranya juga aneh, gumamnya.

“Kok bisa?” Kening Pak Asep berkerut. Tak mengerti dengan kalimat yang diucapkan putrinya barusan. Sejurus kemudian, lelaki itu manggut-manggut menyimak cerita putrinya.

“Duh, Den. Maafkan Bapak yang sudah menuduhmu yang bukan-bukan. Terima kasih telah menyelamatkan putri Bapak." Sudah waktunya Sopi punya pendamping hidup, yang akan melindunginya dari marabahaya, gumam Pak Asep dalam hati sambil menatap lekat-lekat Aden yang sedang mencuri pandang ke arah wajah Sopi. Untung saja, pemuda ini baik hati, jadi dia tetap membiarkan Aden memandang wajah Sopi sampai puas. Kalau pemuda culas yang melakukannya, pasti sudah dia gibas tanpa ampun sampai kapok.
***
“Daddy, ini kopinya.”

“Terima kasih, Sopi.” Gadis cantik itu mengangguk dan beranjak hendak menuju kamarnya.

“Sopi, mau ke mana? Sini duduk dulu sebentar, Bapak mau bicara.”

“Daddy, Sovia mau ke kamar, belum beres merapihkan alis.”

“Bentar doang kok. Enggak nyampe lima belas menit.” Pak Asep menyeruput kopinya. “Sopi, kopi buatan kamu mengingatkan Bapak sama almarhumah Ibumu. Racikannya sama-sama enak. Rasa kopi dan gulanya seimbang, pas.”
Sopi tersenyum melihat Ayahnya yang begitu penuh penghayatan menyeruput kopinya, terlihat sekali pria paruh baya itu menikmati setiap tegukan cairan hitam itu yang masuk ke kerongkongannya.

“Jadi begini, Geulis. Kamu sekarang sudah besar. Kuliah pun sudah selesai.” Pak Asep menatap wajah putri tersayangnya sebelum ia melanjutkan bicara. Pria itu tampak memutar otak mencari kalimat yang pas untuk menyampaikan maksudnya pada Sopi. “Sudah saatnya Bapak melepasmu, Sopi,” lanjutnya.

“Maksud Daddy?” Sopi tercengang mendengar ucapan lanjutan dari Ayahnya. Dahinya berkerut, tak paham dengan arah pembicaraan sang Ayah.

“Begini, Neng. Maksud Bapak—kamu—sudah waktunya kamu punya pendamping hidup.”

“What? Jadi maksud Daddy Sovia harus segera married? Menikah begitu? No, Daddy!”

“Dengar dulu Sopi. Bapak sudah pikirkan matang-matang hal ini. Bapak ....”

“Tapi, Daddy. Sovia enggak mau berpisah dari Daddy.” Sopi mulai terisak.

“Jangan nangis atuh, Neng. Bapak kan jadi ikut sedih. Setelah menikah nanti Sopi boleh kok tinggal di sini. Lagian calon kamu juga tinggalnya deket-deket sini kok.” Pak Asep mengelus lembut punggung putri tercintanya itu.

“Memangnya siapa orangnya, Daddy?” tanya Sopi, heran. Keningnya berkerut, seolah mencari siapa sosok pemuda yang tinggal di dekat sini. Ia menggelengkan kepalanya, nihil. Tak satu pun wajah lelaki yang bisa terbayang di benaknya.

“Kamu mau kan Bapak nikahkan sama Aden?” Pak Asep malah balik bertanya.
Sopi terperanjat mendengar Ayahnya menyebut nama itu. “What? Daddy enggak salah jodohin Sovia sama dia? Orangnya ganteng sih, tapi dandanannya persis seperti si Kabayan. Jangan-jangan dia juga pemalas, sama seperti Kabayan itu.”

“Sopi, kamu ingat waktu dia melindungi kamu dari pemuda-pemuda yang mengganggu?” Sopi mengangguk. “Nah, Bapak rasa dia bisa menjaga kamu dengan baik. Kesan pertama melihat dia, Bapak yakin dia anak yang baik, tidak seperti kebanyakan pemuda lainnya.”

Sopi tertegun. Pak Asep membiarkan gadis itu hanya diam saja, mungkin putrinya sedang mencoba meresapi semua ucapannya. Hanya helaan napas gadis cantik itu yang sesekali terdengar.
Setelah hening beberapa saat, tak lama kemudian, Sopi pun buka suara, “Baiklah, Daddy, beri Sovia waktu untuk berpikir.” Gadis itu menyeret langkahnya menuju kamar, meninggalkan Pak Asep yang di hatinya tengah berharap sang putri mau menerima rencana perjodohan ini.
Satu jam berlalu. Namun, tak ada tanda-tanda Sopi keluar dari kamarnya. Pak Asep pun merasa heran. Ia mulai mengetuk pintu kamar Sopi.

“Sopi, Neng, sarapan yuk.” Tak ada sahutan. “Geulis, Bapak udah bikinin telor ceplok kesukaan kamu. Kita makan bareng yuk.” Tetap tak ada sahutan. “Sopi, lagi apa di dalam? Masih dandan atau lanjutin mimpi? Masa baru juga bangun udah tidur lagi.”

Karena tak terdengar juga sahutan dari Sopi, Pak Asep membuka pintu kamar yang ternyata tak dikunci oleh pemiliknya. Namun, betapa kagetnya Pak Asep saat ia tak menemukan putrinya di dalam kamar itu. Ia mendapati jendela kamar putrinya terbuka lebar.

“Sopi? Kamu di mana, Nak? Ini mah ngajak Bapak main petak umpet ya?” Pak Asep mulai berkeliling ke seluruh ruangan, tetapi tetap saja ia tak menemukan putrinya. “Duh, Sopi. Kamu teh ke mana atuh? Bapak jadi kuatir.” Pak Asep memutuskan kembali ke kamar Sopi, siapa tahu di sana dia bisa menemukan petunjuk. Netra Pak Asep jatuh pada secarik kertas di atas nakas yang berisi tulisan tangan Sopi.

Daddy, maaf, Sovia gak bermaksud bikin Daddy cemas. Sovia hanya kesal mendengar rencana Daddy. Biarlah Sovia bertemu jodoh Sovia dengan sendirinya. Dan Sovia akan menikah setelah benar-benar merasa siap. Don’t worry Daddy, saat Daddy membaca surat ini, Sovia sudah berada di rumah Grandma.

Setelah membaca surat itu, Pak Asep yang sedari tadi pikirannya kalut, kini merasa lega. Bergegas lelaki itu melangkah ke luar hendak menyusul Sopi ke rumah Mak Onah. Wanita itu tampak sedang menjemur pakaian di halaman rumahnya. Ia merasa heran saat dari kejauhan tampak putranya sedang berlari tergopoh-gopoh menghampirinya. Wanita itu pun menyuruh putranya masuk dan menyodorkan segelas air putih yang langsung diteguk habis oleh Pak Asep.

“Heh, nyari apaan kamu teh? Tuh minum udah Emak ambilin. Kalau cemilan mah kebetulan lagi kosong.” Mak Onah memandang heran putranya yang mengedarkan pandangan ke seluruh sudut rumahnya.

“Mak, Sopi ada di sini?” Kembali Pak Asep mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan di rumah Emaknya.

Kening Mak Onah berkerut, heran dengan pertanyaan putranya. “Kalian kan tinggal serumah, kok nanya Sopi ke Emak?”
“Jadi, Sopi enggak ada di sini?” Pak Asep malah balik bertanya. Wajahnya mulai terlihat panik. Ia pun bangkit dari duduknya.

“Mau ke mana, Sep? Ada apa sebenarnya?” Asep menyerahkan surat yang ditulis Sopi kepada Mak Onah. Sejurus kemudian wanita itu membacanya dengan saksama. Raut wajahnya tampak serius.

“Seharusnya sudah sejam yang lalu dia tiba di sini,” ucap Mak Onah pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri.

“Duh, Sopi teh ke mana atuh ya, Mak?” Hati Pak Asep semakin diliputi rasa kuatir. Peluh mulai bercucuran di pelipisnya. Raut wajah Mak Onah pun sama-sama tegang, ikut merasakan kegelisahan yang sedang melanda putranya.

“Makanya, ini kan bukan zaman Siti Nurbaya. Kamu teh meuni seenaknya jodoh-jodohin Sopi.”

Pak Asep menyesali tindakannya, hingga membuat gadis itu pergi dari rumah. Kini entah di mana putrinya berada. Tak berapa lama, ia pun pamit untuk mencari putri kesayangannya. Namun, Mak Onah yang juga merasa sangat kuatir akan keberadaan cucunya, minta untuk ikut mencari. Akhirnya, mereka berdua berjalan menyusuri desa, berharap menemukan sosok cantik yang sangat dicintai.

“Sep, ngapain kamu bawa Emak ke kedai ini? Kamu belum sarapan? Kenapa tadi enggak makan di rumah Emak atuh?!” Mak Onah tampak kesal saat putranya membawa dia ke kedai serabi milik orang yang sangat dibencinya. Dulu, Mak Otih pernah berusaha merebut sang suami. Untunglah almarhum suaminya itu setia, sehingga tidak tergoda sedikit pun. Matanya menerawang, senyumnya terkembang ketika membayangkan sosok gagah perkasa sang suami yang mirip Gatotkaca.

Pak Asep memandang heran Mak Onah yang memasang muka cemberut. Sungguh, ia tak mengerti mengapa Ibunya begitu membenci Mak Otih dan sama sekali tak mau makam kue serabi yang terkenal lezat ini.

“Assalamuaalaikum, Mak. Aden ada?” Pak Asep mencium takzim punggung tangan Mak Otih. Mak Onah memalingkan wajah melihatnya. Sebal.

“Waalaikumsalam, ada, sebentar ya, Den, Aden, ada yang nyari nih!” teriak Mak Otih. Tidak berapa lama, Aden pun keluar.

“Eh, Pak Asep, ada apa Pak?” Aden mencium tangan Pak Asep, kemudian ia hendak mencium punggung tangan Mak Onah, namun Neneknya Sopi itu tak membalas uluran tangan pemuda ganteng itu.

“Sep, Emak mah pulang aja ya, panas lama-lama berada di sini. Kabari Emak kalau Sopi sudah ditemukan.” Mak Onah melangkahkan kakinya lebar-lebar, bergegas meninggalkan kedai itu, diiringi tatapan bengong Pak Asep dan pandangan heran Aden juga Mak Otih.
“Maafin Emak saya, ya. Beliau lagi sakit gigi, jadinya agak sensitif begitu.” Pak Asep mencoba mencari alasan atas sikap Mak Onah.

Aden memandang heran ke wajah mantan guru pencak silatnya yang kelihatan tegang itu. Pak Asep menceritakan tentang kepergian Sopi dari rumah yang katanya mau minggat ke rumah Nenek, tetapi gadis itu tak diketahui ke mana rimbanya. Setelah pamit pada Mak Otih, mereka berdua pun berangkat menyusuri setiap sudut desa mencari keberadaan gadis cantik itu.
***
“Duh, Den, kita harus cari ke mana lagi ya? Belum terlihat tanda-tanda keberadaan Sopi. Kamu di mana atuh Geulis? Baik-baik aja kan di sana?” Pak Asep terlihat sangat cemas. Wajahnya membiaskan kelelahan. Namun, ia tepiskan rasa itu. Kuatir akan keadaan putrinya lebih besar dibandingkan apapun juga.

“Sabar, Pak, kita belum menyusuri seluruh ruas jalan desa ini. Udah Zuhur, Pak. Kita salat dulu di masjid itu yuk, sambil memanjatkan doa buat Neng Sopi juga.” Aden menunjuk sebuah mesjid besar yang terletak di ujung gang.

Pak Asep mengangguk lemah. Tidak berapa lama, mereka berdua sudah berbaur dengan orang-orang, khusyuk menunaikan salat Zuhur berjamaah di mesjid itu serta memanjatkan doa untuk Sopi.

“Den, kita istirahat sebentar di sini.” Pak Asep menenggak air mineral di dalam botol, kemudian ia menyodorkan satu botol lagi pada Aden. “Nih, minum dulu, Den.”

“Terima kasih, Pak. Oh, ya, boleh Aden tanya-tanya tentang Neng Geulis?” ucap Aden dengan nada ragu dan malu-malu.

“Tentu saja, biar lebih tahu tentang calon istrimu.” Pak Asep memandang wajah pemuda calon menantunya itu, yang raut wajahnya sedang tampak merah jambu itu.

Pipi Aden bersemu merah, hatinya berdesir aneh. “Pak, ngomong-ngomong sejak kapan Ibunya Neng Sopi meninggal?”

“Ibunya meninggal saat melahirkan dia. Makanya Bapak selalu berusaha membahagiakan dia, kasihan sejak kecil dia enggak merasakan kasih sayang seorang Ibu.” Netra Pak Asep berkaca-kaca. Sekelebat bayang wajah sang istri muncul di pelupuk matanya.

Aden manggut-manggut, “Lantas, Pak—maaf sebelumnya kalau Aden lancang, tetapi Aden penasaran sama dandanan juga gaya bicara Neng Geulis yang—maaf, terlihat aneh.”

“Hahaha, iya dia memang unik. Logat bicaranya dan dandanannya seperti itu sejak lulus kuliah jurusan sastra Inggris. Bapak juga enggak tahu dia dapat pengaruh dari mana.” Pak Asep tergelak membayangkan style dandanan dan gaya bicara putri semata wayangnya itu.
Oh, pantesan atuh si Eneng teh begitu. Sekali lagi Aden manggut-manggut.

“Makanya, Den, kalau memang kalian ditakdirkan berjodoh, Bapak titip Sopi ya. Selama ini Bapak belum maksimal membimbing dia, terutama dalam hal agamanya. Tolong, bimbing dia untuk lebih mengenal Islam.” Pak Asep menepuk-nepuk pundak Aden.

Aden mengangguk. “Pak, udah enggak capek kan? Kita lanjutkan mencari Neng Sopi yuk.”

Pak Asep mengangguk, kemudian dua laki-laki itu beranjak dari teras mesjid. Berdua mereka melangkah meninggalkan mesjid, melanjutkan pencarian.
***
Baca cerpen lainnya di sini:
[Link DISINI[URL=]link di sini[/URL]

Cinta Bersemi di Kedai Serabi
Diubah oleh suciasdhan 30-06-2020 02:33
lianasari993
firdainayah
novianalinda
novianalinda dan 79 lainnya memberi reputasi
80
13.8K
634
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread43KAnggota
Tampilkan semua post
suciasdhanAvatar border
TS
suciasdhan
#136
Platonic
Friendship is Priceless

Cinta Bersemi di Kedai Serabi

Sumber gambar: Di sini


“Eh La, hari ini aku punya cerita buat kamu,” ucap Dara pada sahabat karibnya, di suatu siang yang terik saat mereka tengah duduk-duduk di kantin kampus sambil menikmati pesanan masing-masing.

“Bukan cuma kamu saja, Ra, aku juga punya sesuatu yang akan diceritakan,” ujar Sheila tak kalah berbinarnya.

“Jadi siapa duluan nih yang mau bercerita?” tanya Dara setelah masing-masing larut dalam keheningan sejenak.

“Siapa aja boleh deh, tapi aku yakin ceritaku lebih seru dari ceritamu,” ungkap Sheila antusias kemudian menyeruput jus jeruk kesukaannya.

“Baiklah, kalau memang ceritamu lebih seru, simpan dulu saja, aku duluan yang gak terlalu seru yang mulai ya, gimana?” tawar Dara setelah menyesap minuman favoritnya, vanilla latte. Sheila menanggapinya dengan anggukan kepala, “okay, go ahead.”
“Thanks pal!” seru Dara aambil memeluk Sheila.

Sejurus kemudian, tampang Dara tampak serius, ia mulai buka suara, “tadi pagi pas mau berangkat ngampus, aku ketemu sama seorang cowok, yang bikin aku gemetar gak karuan, dia keren banget, kalau aku perhatikan sih, romannya mirip-mirip Juna, chef idola aku itu, cara dia berdiri, gaya mengempit kedua tangan diantara ketiaknya, semuanya hampir mirip chef Juna, deh.”

Kedua mata Dara terpejam, namun senyumnya mengembang, Sheila menerka, mungkin Dara sedang membandingkan cowok itu dengan chef Juna. Sheila tertawa menyaksikan tingkah sahabatnya itu.

“Terus, kamu udah tahu nama dia?” Pertanyaan Sheila membuyarkan lamunan Dara tentang sosok cowok itu, dia menggeleng lemah.

“Aku belum sempat kenalan, malu dong harus mulai duluan, berharap sih besok bisa ketemu lagi di halte bus.” Binar di wajah Dara penuh harap.

“Kok bisa yakin gitu, memangnya dia bakal tiap hari naik bus? Kali aja tadi pagi cuma kebetulan doang,” cecar Sheila.

“Gak lah, aku yakin dia pasti naik bus itu lagi besok, sepertinya dia salah satu mahasiswa di kampus seberang cafe Cherry deh, soalnya aku lihat dia masuk ke gerbang itu, dan pake jas almamater warna biru khas kampus itu,” terang Dara penuh keyakinan.

“Wah, mantap, good luck ya, semoga besok bisa bertemu dengan dia lagi dan bisa saling bertegur sapa.”

“Aamiin. Now it’s your turn.

“Oke .... Oke .... Debentar, duh aku harus mulai dari mana ya?” ungkap Sheila, matanya menerawang.

Come on, jangan buat aku penasaran deh, ceritamu katanya lebih seru.”

“Intinya sama seperti kamu sih, aku juga lagi suka sama cowok. Dia sepupu aku, baru pindah kesini seminggu yang lalu.”

“Hah, sepupu? Yang bener? Sepupu yang mana? Kamu gak pernah cerita punya sepupu cowok,” ujar Dara dengan nada sedikit kaget.

“Keluarga kami memang gak pernah cerita tentang dia, soalnya dia itu anak yang diadopsi sama Om Martin dan tante Rina dari sebuah panti asuhan, kamu tahu kan mereka gak punya keturunan? Tapi kami memang merahasiakan semua ini dari dia, aku juga gak nyangka, dipertemukan dengan dia setelah seumuran gini. Ternyata dia seganteng itu, dia pendiam lho, kesannya alim gitu, ini yang membuat aku tertarik,” ungkap Sheila tersenyum penuh arti.

“Waah, beneran seru ceritamu, La, soalnya kamu bisa tiap hari ketemu dia.”

“Iya, dan dia selalu berhasil membuatku salah tingkah. By the way, best wishes , deh buat gebetan kita masing-masing. Kalau udah seminggu berjalan, nanti kita saling nunjukkin cowok yang kita suka ya dan janji gak akan ada yang berubah dari persahabatan kita, deal?”

Deal.”

Mereka mengakhiri percakapan dengan saling memeluk erat. Sheila, gadis berambut panjang lurus berkulit putih dan Dara, gadis berambut ikal sebahu, berkulit sawo matang, namun keduanya memiliki lesung pipit. Mereka sudah bersahabat sejak kecil. Dari mulai TK, SD, SMP, dan SMA mereka selalu mengambil sekolah yang sama.
Begitu pula sekarang, ketika memasuki jenjang perkuliahan, mereka berada di kampus yang sama, mengambil jurusan yang sama, satu kelas pula.

Seantero kampus itu sudah mengetahui bagaimana kedekatan mereka dan mengagumi cara mereka berpandangan, bahwa persahabatan adalah hal yang paling berharga dalam hidup mereka, tak akan ada yang bisa merusak persahabatan mereka, seperti itulah kira-kira pemikiran Sheila dan Dara.
***
“La, tahu gak, aku tadi satu bus lho sama dia. Dia baik banget, lihat aku berdiri, dia ngasih tempat duduknya,” cerita Dara pagi ini di kampus dengan nada antusias.

“Wow, how sweet he is. Kamu udah tahu namanya, dong sekarang?”

Dara menggeleng. “Belum sih, aku jadi salah tingkah lihat tatapan matanya yang teduh, untuk mengucapkan terima kasih aja aku gak sanggup. Oh iya ada perkembangan gak sama sepupumu itu?”

Nothing special, as you know, dia itu pendiam banget, irit bicara, aku jadi canggung, padahal udah seminggu lebih tinggal satu atap. Kita jarang banget yang namanya bertegur sapa.”

“Jadi penasaran aku sama sepupu kamu. Boleh kenalan, gak?”

“Boleh aja sih, tapi sesuai perjanjian, setelah satu minggu, baru kita tunjukkin gebetan kita masing-masing.”

“Oh iya, hampir lupa,” ucap Dara sambil menepuk dahinya, kemudian melanjutkan ucapannya, “berarti besok ya? Kamu sih enak bisa langsung ngenalin ke aku sepupumu itu, aku? Kenal dia aja belum, paling aku nunjukkin dia ke kamu dari kejauhan ya.”

It’s okay, siapa tahu setelah nunjukkin cowok itu ke aku, ada perkembangan pesat diantara kalian.”

Ucapan Sheila diamini Dara dalam hati, senyumnya penuh harap dan arti.
***
Hari ini, tepat satu minggu, sesuai dengan janji yang telah disepakati Sheila dan Dara, masing-masing dari mereka akan memperkenalkan cowok yang sudah sepekan lamanya menjadi topik perbincangan diantara keduanya. Sheila memutuskan untuk memperkenalkannya terlebih dahulu.
Sesampainya di rumah Sheila, ia langsung menuju kamar saudara sepupunya. Dengan hati yang berdebar, Sheila mengetuk pintu kamar yang tertutup rapat itu.

“Arya, sudah pulang?” ucap Sheila ragu-ragu.

Setelah diketuk beberapa kali, barulah pintu kamar itu terbuka, tampak Arya dengan mimik wajah seperti baru saja bangun tidur.

“Maaf ganggu, boleh masuk, gak?” tanya Sheila dengan nada ragu.

Arya membuka pintu kamarnya agak lebar, pertanda mengizinkan Sheila untuk masuk.

Jantung Sheila berdegup, saat tak sengaja pandangan mata keduanya saling beradu.

“Ada teman kuliahku ingin berkenalan.” Bergetar Sheila mengucapkan kalimat itu, karena degup jantungnya kian kentara.

“Oke. Tunggu lima menitan lagi,” kata Arya sambil berlalu dari kamarnya menuju ke kamar mandi.

Dasar si pelit bicara, kenapa sih aku bisa suka sama cowok super dingin kayak gini? rutuk Sheila dalam hati.

Tak berapa lama sudut matanya jatuh pada sebuah buku bersampul biru yang tergeletak diatas meja belajar Arya. Sepertinya sebuah buku harian.

Tangan Sheila bergerak meraih buku itu dan mengambilnya. Senyumnya penuh arti. Mungkin, dengan membaca buku harian ini, dia akan lebih tahu tentang cowok dingin gebetannya itu, pikirnya.
Setelah beberapa lama Sheila dan Dara menunggu di ruang tamu, muncullah Arya di hadapan mereka.

“Oh iya, Ra, kenalin, ini sepupu aku, Arya.”

Arya mengulurkan tangannya ke arah Dara, tak lama kemudian mereka bersalaman. Tanpa basa-basi Arya melangkah menuju kamarnya meninggalkan mereka berdua.

“Bener, kan Ra, orangnya gitu? Kesannya jutek, kan? Tapi aku suka, hehehe. He’s cool right?” Sheila berbicara setengah berbisik pada Dara, kuatir Arya mendengarnya. Dara hanya mengangguk pelan, raut wajahnya berubah muram.

“Hei, what’s wrong? Kok jadi ketularan gini, irit bicaranya. Are you okay, Ra?”

Dara mengangguk, “Udah sore La, aku pulang dulu ya.”

“Kamu kenapa Ra, sakit? Aku antar ya,” tawar Sheila sambil meraba dahi sahabat karibnya itu.

Dara menggeleng sambil berlalu pergi, meninggalkan Sheila yang diam terpaku. Di dalam benaknya penuh tanya.

Malamnya Sheila tak mampu memejamkan mata, pikirannya masih bertanya-tanya tentang perubahan sikap Dara setelah dipertemukan dengan Arya. Sambil menanti kantuk yang tak kunjung tiba, dia mulai membuka lembar demi lembar buku harian milik Arya. Dari sinilah dia menemukan jawabnya ....
***
Seminggu kemudian

“Ra, aku mau bicara. Please, jangan menghindar terus.”

“Mau bicara apa La? Sorry, aku lagi sibuk,” ucap Dara berusaha menghindar.

“Ra, what’s the matter with you? Bukankah kita sudah berjanji gak akan ada yang bisa merusak persahabatan kita? Masalah sebesar apa pun pasti akan kita hadapi dan bicarakan baik-baik.”

“Justru itu aku begini, karena tak ingin merusak persahabatan kita, La. Aku ikut bahagia kalau kamu bahagia dengan Arya.”

“Kamu salah, Ra. Perubahan sikapmu ini karena cowok di halte bus itu adalah Arya, kan? Aku tahu dari buku harian milik Arya, Ra. Dia menyukaimu sejak pertama berjumpa denganmu di halte bus. Dia menceritakan semua di buku hariannya. Aku sengaja mengambilnya diam-diam karena aku penasaran dengan dia,” ungkap Sheila panjang lebar membuat Dara tercengang.

“La, tapi .... Bagaimana mungkin? Kamu juga suka, kan sama dia?”

“Iya, aku memang menyukainya. Tapi kalau dia gak suka, aku gak mungkin memaksakan perasaan. Aku bahagia kalau saudara sepupuku mendapatkan cewek baik hati sepertimu.” Sheila memeluk erat Dara, sahabatnya sejak kecil. Walau ada sedikit goresan luka di hatinya, namun ada kelegaan menyeruak dalam dada. Karena Sheila yakin, selamanya ia tak akan pernah kehilangan seorang sahabat terbaik dalam hidupnya. Ia ikhlas .... Demi persahabatan mereka .... Tak terasa, bulir bening menetes di pipi Sheila.

Baca cerpen lainnya: Di sini
Diubah oleh suciasdhan 15-04-2020 06:29
RetnoQr3n
embunsuci
abellacitra
abellacitra dan 13 lainnya memberi reputasi
14
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.