- Beranda
- Stories from the Heart
SeKamar Kos Dengan "Dia"
...
TS
afryan015
SeKamar Kos Dengan "Dia"

Halo agan agan sekalian, selamat datang di thread terbaru ane, dimana ini bisa disebut kisah atau lanjutan dari thread ane yang sebelumnya.
Mungkin bisa agan agan yang belun baca thread ane silahkan dibaca dulu thread ane sebelumnya
"Hidup Berdampingan Dengan Mereka'
Nah monggo yang belum baca silahkan dibaca dulu
oh iya bagi yang belum kenal ane, kenalin nama ane ryan, pemuda biasa yang berasal dari jawa tengah
Seperti biasa tempat nama dan lokasi bakal ane ganti, untuk kenyamanan bersama
Ok langsung aja menuju ceritanya,oh iya ane bakal ganti sebutan kata ane jadi aku hehehe soalnya aneh rasanya
Mungkin bisa agan agan yang belun baca thread ane silahkan dibaca dulu thread ane sebelumnya
"Hidup Berdampingan Dengan Mereka'
Nah monggo yang belum baca silahkan dibaca dulu
oh iya bagi yang belum kenal ane, kenalin nama ane ryan, pemuda biasa yang berasal dari jawa tengah
Seperti biasa tempat nama dan lokasi bakal ane ganti, untuk kenyamanan bersama
Ok langsung aja menuju ceritanya,oh iya ane bakal ganti sebutan kata ane jadi aku hehehe soalnya aneh rasanya
Quote:
Awal Mula Ngekos
Cerita ini bermula saat aku mulai memasuki bangku kuliah, disini aku masuk ke sebuah kampus swasta ternama di provinsi ***ja, kampus ku berada dipinggir jalan **** road *****, saat itu aku bersama kakaku mencari tempat kos di daerah dekat kampus, tapi sayangnya ongkos yang di perlukan untuk sewa kos di dekat kampus merogoh kocek yang lumayan menguras isi dompet.
Akhirnya kakaku menyarankan untuk menyewa kos dimana dulu kakaku pernah ngekos disana, yah walaupun jarak dari kos itu sampai ke kampus memerlukan waktu 5 - 10 menit untuk sampai, kupikir nggak masalah lah.
Langsung aku dan kakaku mengendarai motor mulai berangkat ke alamat kos tersebut, setelah beberapa menit kami berjalan akhirnya kita sampai di lokasi kos yang dulu pernah tinggal.
Quote:
Ya memang waktu itu harga segitu sangatlah murah dengan fasilitas sudah termasuk listrik dan air,
Aku dan kakak ku menunggu orang yang keluar dari dalam rumah kos.
Nggak membutuhkan waktu lama kemudian keluarlah seorang cewek dari dalam rumah kos itu
Quote:
Setelah masuk,kakaku menjelaskan kalo dia sedang mencari untuk aku adiknya, kemudian mbak dera mengajak kami untuk berkeliling melihat kamar kos yang masih tersedia.
Kos disini berjumlah 12 kamar 2 kamar mandi, posisinya 5 kamar dan 1 kamar mandi di lantai bawah, kemudian 7 kamardan 1 kamarmandi di lantai 2, oh iya posisi rumah menghadap ke arah timur dengan di sampingkanan rumah ada 1 rumah yang cukup luas dan jarang di tinggali dan di samping kiri ada rumah sekaligus tempat penjual makan yang kami sebut burjonan
Untuk kamar bawah sudaj terisi semua, makanya kita langsung di arahkan ke lantai 2, disana sudah ada 1 kamar yang di tempati,tepatnya pas di tengah tengah.
Dan disitu mbak dera mempersilahkan untuk Memilij kira kira mana yang menurutku nyaman untuk dipakai
Quote:
Aku mulai melihat satu persatu kamar yang masih kosong itu, aku memasuki salah satu kamar disamping kanan kamar yang sudah ada yang pakai itu, didalam ane ngelihat ada sebuah lukisan yang menurut ane kuno, dan lukisan itu adalah lukisan seseorang yang kalau di perhatikan ada aura yang sedikit membuat bulu kuduku berdiri saat melihatnya.
Walau kondisi kamar serasa nyaman tapi aku tetap merasa ada yang aneh dengan kamar itu, sehingga aku memutuskan untuk tidak menempati kamar itu, dan aku pikir untuk langsung keluar dari kamar itu,
Aku mulai keliling lagi kali ini aku memasuki kamar di sebelah kiri kamar yang sudah ada penghininya itu, kondisi kamar cukup luas dibandingkan dengan kamar kamar yang lain, untuk akses turun pun enak soalnya tangga untuk turun tepat di depan kamar ini dan dari sekian banyak kamar,hanya kamar ini saja yang memiliki 2 jendela,yang satu di depan berjejer dengan pintu masuk kamar dan satunya berada di sisi belakang,
Tanpa pikir panjang aku langsung memutuskan untuk memilih kamar itu untuk di sewa
Quote:
Nah disini kita langsung deal dan kita langsung mau pamit pulang dan buat besok bawa barang barang untuk di letakan di kos,
Dan kita langsung pamit pulang, posisi kita masih di lantai 2.
tapi setelah aku membalikan badan dan mulai melangkah turun, samar samar aku melihat ada sesuatu masuk dan berjalan di samping ku, sesosok makhluk berwarna abu abu, tidak terlalu tinggi tapi gerakannya lumayan cepat jadinya aku hanya bisa melihatnya sekejap tapi belum jelas wujud apa itu.
Aku cuek aja dengan apa yang barusan kewat, lanjut kita jalan keluar, dari bawah kita bisa melihat keatas dan melihat kamar kamar yang ada di atas,
Iseng ane lihat keatas buat ngliat kamar ku nanti yang akan menjadi tempat istirahat selama aku di kota ini.
Waktu aku ngliat ke atas, aku ngliat ada cewek berambut panjang dengan pakaian santai, wajahnya cantik, hanya saja dia seperti orang sakit dengan wajah sedikit pucat, sosok cewek itu tersenyum kepadaku.
Quote:
Oh iya di sini aku udah nggak bisa ngrasain itu hantu atau bukan,soalnya kepala ku yang biasanya terasa pusing jika akan menemui hal seperti itu sudah tidak terasa lagi sejak akhir Ujian SMK waktu itu, ntah karna konlet kebanyakan mikir atau giman aku juga kurang tau.
Aku cuek saja dengan sosok cewek di lantai 2 itu dan aku tetap berjalan keluar untuk pulang. Dan di jalan aku menanyakan hal pada kakak ku
Quote:
Tapi di perjalanan aku merasa jadi bimbang gimana kalo itu bukan orang, dan gimana kalo iti beneran dan dia mau ganggu aku terus disana.
Sempat terfikir buat membatalkan ngekos si sana, tapi mau gimana lagi kita terlanjur sidah deal dan kita juga sudah membayar uang kosnya, jadi kalo mau di minta lagi yang jelas nggak enak apalagi mas bono udah kenal akhrab dengan pemiliknya
Akhirnya aku nggak kehilangan akal, buat nyari temen kos, dan ternyata ada satu temen kos ku yang mencari kos dan aku ajak dia buat ngekos disana. Dan syukurnya dia mau buat ngekos disana.
Aman batinku, ada temen yang bisa aku mintai tolong kalo bener akan terjadi sesuatu disana. Dan dia ku kirimi alamat buat dia kesana dan melihat kamarnya.
Keesokan harinya dia memberi kabar kalo dia jadi ngekos disana dan posisi kamarnya tepat di samping kamar ku. Lega rasanya kalo ada temen.
Dan 2 hari kemudian aku mulai menempati kamar itu, dan temenku yang ngekos di sebelahku kayanya sore hari baru dia sampai di kos kosan.
Karna hari waktu itu terasa panas, jam menunjukan pukul 1 siang, aku putuskan buat mandi karna merasa gerah, yah maklum aja daerahku di pegunungan jadi mungkin tubuh ini merasa kaget dan belum terbiasa, suasana membuat tubuhku penuh kringat,
Aku langsung berjalan menuju kamar mandi, dan langsung ane melaksanakan kegiatan mandi,
Sesuai dugaan ku kemarin pasti akan ada gangguan disini, waktu aku mandi tiba tiba ....
Bersambung.....
Diubah oleh afryan015 17-10-2023 13:21
3.maldini dan 311 lainnya memberi reputasi
288
493.7K
5.5K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
afryan015
#2177
Kembali Pingsan
Via seperti sudah memaklumi dan mempercayai perkataanku. Setelah sampai di dalam perpus, kami menuju ke sebuah meja resepsionis. Di sana kami bertemu dengan seorang petugas perpustakaan, seorang cewek. Orangnya cantik dan ramah. Ya, setidaknya itu yang aku lihat. Begitu sampai di depan meja resepsionis Via diam saja. Tidak berhenti di sana, tapi dia langsung masuk ke dalam perpus, sedangkan aku yang memang ada urusan dengan resepsionis pun berhenti di sana.
Saat aku berdiam diri di depan meja resepsionis itu, Via seperti memberi kode untuk mengikutinya dengan cara melambaikan tangannya. Tapi, aku balas dengan perkataan lirih kalau nanti aku akan menyusulnya setelah urusanku dengan resepsionis perpustakaan selesai. Via pun langsung masuk ke dalam. Tinggal aku dengan cewek perpus itu dan satu lagi cowok yang sedang mencari data di komputer resepsionis. Ya, dia juga petugas perpustakaan. Aku menyerahkan berkas-berkas yang sudah aku siapkan tadi dan beberapa kertas yang harus ditandatangani di bagian perpustakaan ini. Aku memberikan berkas itu ke petugas cewek yang memang kebetulan dia yang bisa melayaniku.
“Maaf, mau ngumpulin berkas untuk syarat wisuda,” sapaku sopan pada mereka berdua.
Petugas cewek itu hanya tersenyum dan mengangguk, tapi dia hanya diam sambil bergerak ke arahku.
“Iya, Mas, duduk dulu! Sebentar saya lagi nyari data sebentar," jawab petugas cowok itu dengan ramah.
“Eee ... apa harus sama masnya, ya, untuk ini? ‘Kan ada yang masih nganggur, Mas?”
Petugas itu diam dan masih fokus mencari berkas.
“Bentar, ya, Mas, saya kasih file ini ke kepala perpus dulu. Soalnya lagi butuh cepat. Enggak apa-apa ‘kan, Mas, tunggu bentar aja?” Petugas cowok itu meminta izin untuk pergi sebentar.
“Iya, Mas, enggak apa-apa. Eh, sama Mbaknya ini enggak apa-apa kali, ‘kan? Sepertinya perkataanku tidak didengar olehnya.
“Mbak, ini saya mau ngumpulin berkas wisudanya.” Aku mengarah ke arah petugas cewek itu.
“Hihihi ....” Dia hanya tertawa kecil sambil menunjuk ke arah meja. Mungkin dia memintaku untuk meletakkan berkas itu di sana. Dan setelah ketawa, dia beranjak pergi menjauh.
Aneh memang pikirku, apakah dia salah satu makhluk yang mau iseng kali ini? Tapi, kalau dilihat sepertinya dia normal. Tidak ada tanda aneh seperti melayang atau yang lainnya. Karena aku merasa aneh dengan sosok cewek itu, aku kemudian hanya meletakkan berkas itu dan beranjak pergi menyusul Via. Aku berjalan mengarah ke arah rak-rak buku yang bercat warna-warni. Aku menyusuri setiap lorong rak buku itu untuk mencari di mana Via. Lorong satu masih biasa. Di lorong kedua saat aku berjalan, tiba-tiba aku bertemu dengan cewek petugas perpustakaan yang tadi berada di resepsionis. Kini dia sedang membereskan atau merapikan buku. Aku tersenyum padanya dan dia pun tersenyum padaku.
Sambil berjalan terus, aku berpikir siapa yang mengurusi berkasku di sana. Aku berbalik arah untuk memastikan berkasku tidak hilang di meja resepsionis yang otomatis aku ketemu lagi dengan dia yang sedang merapikan buku. Saat aku berbalik arah, ternyata cewek itu ada di sana dan sedang mengecek berkas berkasku. Aku sempat bingung dengan ini. Setelah melihat dia sedang melihat berkasku, aku dengan cepat menoleh ke belakang, ke arah di mana sosok cewek yang satu lagi sedang membereskan buku. Dan saat aku menoleh, ternyata tidak ada siapa-siapa dan hanya satu buku yang terjatuh sendiri. Bruukkk. Apa lagi ini? Setelah melihat di belakangku, tidak ada siapa-siapa. Aku kembali lagi menengok ke arah meja resepsionis. Ternyata, tidak ada siapa-siapa di sana. Suasana perpus entah kenapa berubah menjadi sepi. Entah karena ini masih pagi atau bagaimana.
Karena aku merasa suasana di sini semakin aneh, aku mempercepat pencarianku untuk bertemu dengan Via. Lorong demi lorong rak buku aku telusuri hingga akhirnya aku berada di lorong paling akhir dan masih belum juga menemukan Via. Padahal, perpustakaan ini tidak begitu besar, tapi entah kenapa Via tidak bisa aku temukan. Apa dia sudah pergi duluan tadi atau bagaimana aku kurang tahu. Saat aku berada di lorong terakhir, aku berpikir untuk pergi kembali ke resepsionis saja mengambil berkasku dan aku bawa dulu saja sampai ada yang menemaniku kembali. Aku sudah berbalik arah bersiap kembali. Akan tetapi, belum juga rencana itu bisa aku kerjakan, tiba-tiba sosok cewek itu muncul lagi entah dari mana. Padahal, aku berada di lorong paling ujung, di mana di sana sudah tidak ada jalan lagi. Dia berada ditepat di belakangku.
“Mas, mau ke mana kok balik?” ucap wanita itu di belakangku sambil membawa berkas milikku.
Dengan kaget aku menengok ke arahnya. Dia berada persis di belakangku. Kali ini mukanya berubah menjadi pucat tidak seperti saat tadi di resepsionis.
“Mas, kok diam saja sih? Ini berkasmu masih ada yang kurang. Tolong dilengkapi dulu, ya.” Dia berkata kemudian menyeringai padaku.
Dengan perasaan yang tidak karuan, aku mencoba untuk mengambil berkas milikku yang berada di tangannya. Dan saat aku akan mengambil berkas itu, ada satu kertas yang terjatuh ke lantai. Tanpa basa-basi sosok itu berusaha mengambilnya. Dan saat menunduk, hal yang mengejutkanku kembali terjadi. Kepala wanita itu tiba-tiba bergerak seperti akan terpisah dari tubuhnya. Aku yang kaget hanya bisa terpaku diam di sana tanpa ada suara.
“Eh, Mas, maaf hampir copot. Hihihi ....”
Entah kenapa suara yang tadinya terdengar lembut berubah menjadi suara yang berat seperti sosok lelaki. Tubuh yang tadinya kaku tiba-tiba lemah seperti semua sendi terlepas dari posisinya. Kembali tubuhku tersungkur dan saat itu kesadaran masih tersisa. Aku belum pingsan saat itu. Tas kecil yang aku bawa terjatuh tepat di depanku dan terlihat cincin Mbah Margono berkedip cepat membuat pandanganku buyar karena warna kedipan dari cincin itu. Belum sampai aku pingsan betul, ada sosok yang meraih punggungku. Aku merasakan tangan itu seperti mempunyai kuku yang panjang dengan tangan yang besar. Dan saat tangan itu menyentuh tubuhku, cincin Mbah Margono pun bereaksi. Aku merasa ada angin besar atau hempasan yang sangat keras hingga sosok itu terpental. Saat itu, tangan sosk itu belum terlepas dariku hingga aku terseret sedikit. Saat itu juga, kesadarnku sepenuhnya hilang.
***
Aku terbangun di sebuah ruangan yang sudah aku hafal, ruangan berdinding warna biru, komputer di samping ranjang yang aku tempati, di depanku terdapat lemari kecil yang di atasnya ada sebuah patung wanita bergaya Jepang. Ya, aku terbangun di kamar kosku. Aku melihat ke sekelilingku. Di sana ternyata sudah ramai. Ada orang tuaku, ada tanteku, ada Via, dan ada Mbah Margono. Ya, Mbah Margono sampai datang ke kosku. Melihat aku sudah tersadar, Mbah Margono mendekatiku.
“Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar, Yan. Udah jangan bergerak dulu. Udah dua hari ini kamu tidak sadarkan diri,” ucap Mbah Margono kepadaku.
“Dua hari, Mbah?” tanyaku dengan suara lirih karena masih lemah.
“Iya. mbah datang ke sini bareng sama ortumu. Soalnya, kata Mas kamu yang ngabarin ortumu bilang kalau tubuhmu panas dan sering ngigau enggak jelas. Makanya, ortumu ngajak mbah.”
“Bapak mana, Mbah?” tanyaku pada Mbah Margono.
“Itu lagi di luar. Mau panggil mbak, mbak siapa, ya, Ega, Aga, Rega. Eh, itulah pokoknya anak tantemu. Kalau ibu sama tantemu masih di luar ngobrol. Tantemu enggak bisa hubungin anaknya karena lupa enggak bawa HP.”
“Mbah, minum, Mbah,” pintaku dengan suara lirih.
Mbah Margono pun mengambilkan dengan cekatan. Setelah itu, karena aku masih merasa sangat lemah, aku pun tertidur lagi. Bahkan, aku belum sampai melihat di mana Via dan Sinta.
Dalam tidurku, aku bermimpi bertemu dengan makhluk-makhluk aneh, dari badut yang menyeramkan, beberapa tangan yang berjalan tanpa ada bagian lain, beberapa mbak K, dan ada juga permen sugus. Ditambah lagi, ada satu sosok yang sangat besar yang entah kenapa semua menunduk saat sosok itu datang. Terlihat juga sosok Sinta dan Aruna yang sepertinya sedang berusaha menolongku dari sekumpulan makhluk ini. Ingin rasanya berlari, tapi tubuh ini sangat susah untuk digerakkan. Ditambah lagi, beberapa pasang tangan itu mulai merambat ke tubuhku dan mencengkeram kedua tangan dan kakiku.
Saat melihat Sinta dan Aruna, sepertinya Arunalah yang sangat bersemangat menolongku. Tapi, entah ini mimpi yang terlihat nyata atau hanya bunga tidur saja karena badanku yang tidak fittidak vit sehingga aku bermimpi seperti ini. Selain itu, mana mungkin Sinta terlihat sangat lemah dan kewalahan menghadapi makhluk ini di mimpi ini. Aku berpikir ini hanya bunga tidur saja karena suasana ini berbeda. Harusnya, Sinta lebih over power kalau di sini, tapi kenapa dia bisa malah terlihat lemah.
Saat sedang bermimpi itu, terdengar suara lirih memanggilku. Entah suara dari mana karena terdengar sangat lirih dan samar. Aku perkuat indra pendengaranku untuk mencari sumber suara itu. Dan aku melihat sebuah cahaya. Aku yakin dari sana suara itu berasal. Dengan kekuatan penuh, aku mencoba merangkak ke arah cahaya itu. Terdengar suara yang memanggilku semakin jelas.
“Ryan, bangun, Yan. Bangun, Yan, bapak di sini. Bangun, Yan. Ryan istigfar, Yan.”
Suara menyebut namaku terus bersahutan dengan suara yang berbeda-beda. Perlahan aku menggapai cayaha itu dan perlahan pula aku mulai terbangun. Aku mulai perlahan melihat samar-samar orang tuaku dan beberapa saudaraku mulai berkumpul. Dan tak ketinggalan Mbah Margono berada di sampingku. Namun, kali ini tempat di mana aku terbangun berbeda dari awal. Aku kembali terbangun di sebuah ruangan di mana di sana tergantung botol infus yang selangnya mengulur ke arah tanganku. Ya, aku kembali masuk rumah sakit karena suhu tubuhku yang sangat tinggi, ditambah keringat dingin yang terus keluar dari tubuhku kala itu. Aku melihat Mbah Margono menuju ke arah bapak dan berbisik padanya. Sepertinya Mbah Margono meminta semua keluar dulu dan membiarkan aku dan Mbah Margono berdua. Setelah semua orang pergi, hanya tinggal aku dan Mbah Margono saja diruangan itu. Mbah Margono menanyakan apa yang sebelumnya terjadi sampai bisa buat aku pingsan seperti ini. Belum sampai aku menjawab, tiba-tiba Sinta dan Aruna datang.
“Yan, sekarang Sinta enggak sendiri, ya? Aiapa yang ikut datang bareng Sinta?”
“Dia Aruna, Mbah, teman Sinta.”
“Oh, gitu. Bentar mbah ambil posisi dulu biar bisa berbicara sama mereka berdua.” Mbah Margono kemudian duduk bersilah dan memejamkan mata.
“Oke, kita lanjut, Yan. Sebenarnya, kamu ini kenapa kemarin kok bisa pingsan?”
“Aku kemarin ‘kan ngumpulin tugas buat wisuda. Nah, saat itu tiba-tiba ada yang ganggu dengan melepaskan kepalanya, Mbah.”
“Hmm ... terus?”
“Ya, karena kaget, aku jadi lemas, Mbah. Dan saat aku mau pingsan, aku merasakan seperti ada yang memegang punggungku dan karena itu cincin Mbah Margono bereaksi mentalin sosok itu, Mbah.”
“Lah, untung aja kamu bawa bawa cincin itu. Kalau enggak, pasti jiwamu udah kebawa, Yan. Kemarin itu bukan kamu belum pingsan, tapi kamu udah merasakan sosok itu mencengkeram jiwamu. Untung dilempar sama cincin itu.”
“Lagian, kenapa kamu bisa gitu sih, Yan? Bukannya udah sama Via?” tanya Sinta padaku.
“Sebenarnya Via sudah memberi kode buat ngikutin dia. Tapi, karena fokus dengan tugas, makanya aku nggak ikutin dia. Malah, aku terus sama sosok itu.”
“Emang dasar udah kebiasaan kamu. Enggak bisa jaga diri,” omel Sinta padaku.
Aruna hanya sesekali tersenyum saja. Aku merasa ada yang disembunyikan sama Aruna.
“Hahaha ... sudah, sudah, jangan diomelin dulu, Ta. Kasihan baru aja bangun ini.”
“Abis kebiasaan dia enggak pernah jaga diri, Margono,” kata Sinta terus mengomel.
“Kamu ini, Ta, ngawur aja nyebut nama Mbah Margono cuma namanya aja.”
“Udah, udah, enggak apa-apa. Kamu harus hati-hati, dia masih terus mau membawamu.”
“Lah, kenapa gitu, Mbah?”
“Seperti yang mbah katakan dulu, kamu ini memiliki aura yang diminati sama bangsanya Sinta.”
“Jangan samain aku sama makhluk rendahan itu, Margono!” protes Sinta pada Mbah Margono.
“Pfftttttt ....”
“Enggak usah ketawa!” Kompak Mbah Margono dan Sinta membentakku dan dengan sekejap aku terdiam.
“Sinta, aku mau tanya tentang temanmu. Sepertinya dia tahu dengan sosok itu.”
“Silakan saja kalau kamu mau berbicara pada si centil itu.”
“Apaan centil, centil. Lebih centil juga kamu,” protes Aruna pada Sinta.
“Sudah, sudah, kalian itu sama saja centilnya enggak usah diperpanjang. Oh iya, kamu tahu tentang sosok itu, ‘kan?”
“Tidak, aku tidak tahu. Tapi, yang pasti dia sangat tertarik dengan Ryan. Aetelah terlempar saja, dia terus mengincar dia. Untung aku tepat datang setelah cincinmu menolongnya. Hingga saat ini dia pun masih mengincarnya. Menunggu waktu yang tepat.”
“Terus kenapa kamu enggak mengusirnya saja?”
“Lah, untuk apa? Lagian, ‘kan aku enggak ada tanggung jawab atas Ryan. Makanya, aku cuma menahan dia saja.”
“Terus kamu ke mana, Ta, saat kejadian?”
“Aku sedang pergi. Dan itu karena aku sudah memasrahkan pada Via. Tapi, ternyata si penakut ini malah enggak ngikutin dia dan balik-balik udah seperti ini. Beberapa kali juga aku pernah bertemu sosok ini, tapi aku tak tahu itu. Makanya, aku biarkan. Andai ketemu lagi, aku buang dia jauh dari sini.” Terlihat Sinta sangat emosi.
Saat aku berdiam diri di depan meja resepsionis itu, Via seperti memberi kode untuk mengikutinya dengan cara melambaikan tangannya. Tapi, aku balas dengan perkataan lirih kalau nanti aku akan menyusulnya setelah urusanku dengan resepsionis perpustakaan selesai. Via pun langsung masuk ke dalam. Tinggal aku dengan cewek perpus itu dan satu lagi cowok yang sedang mencari data di komputer resepsionis. Ya, dia juga petugas perpustakaan. Aku menyerahkan berkas-berkas yang sudah aku siapkan tadi dan beberapa kertas yang harus ditandatangani di bagian perpustakaan ini. Aku memberikan berkas itu ke petugas cewek yang memang kebetulan dia yang bisa melayaniku.
“Maaf, mau ngumpulin berkas untuk syarat wisuda,” sapaku sopan pada mereka berdua.
Petugas cewek itu hanya tersenyum dan mengangguk, tapi dia hanya diam sambil bergerak ke arahku.
“Iya, Mas, duduk dulu! Sebentar saya lagi nyari data sebentar," jawab petugas cowok itu dengan ramah.
“Eee ... apa harus sama masnya, ya, untuk ini? ‘Kan ada yang masih nganggur, Mas?”
Petugas itu diam dan masih fokus mencari berkas.
“Bentar, ya, Mas, saya kasih file ini ke kepala perpus dulu. Soalnya lagi butuh cepat. Enggak apa-apa ‘kan, Mas, tunggu bentar aja?” Petugas cowok itu meminta izin untuk pergi sebentar.
“Iya, Mas, enggak apa-apa. Eh, sama Mbaknya ini enggak apa-apa kali, ‘kan? Sepertinya perkataanku tidak didengar olehnya.
“Mbak, ini saya mau ngumpulin berkas wisudanya.” Aku mengarah ke arah petugas cewek itu.
“Hihihi ....” Dia hanya tertawa kecil sambil menunjuk ke arah meja. Mungkin dia memintaku untuk meletakkan berkas itu di sana. Dan setelah ketawa, dia beranjak pergi menjauh.
Aneh memang pikirku, apakah dia salah satu makhluk yang mau iseng kali ini? Tapi, kalau dilihat sepertinya dia normal. Tidak ada tanda aneh seperti melayang atau yang lainnya. Karena aku merasa aneh dengan sosok cewek itu, aku kemudian hanya meletakkan berkas itu dan beranjak pergi menyusul Via. Aku berjalan mengarah ke arah rak-rak buku yang bercat warna-warni. Aku menyusuri setiap lorong rak buku itu untuk mencari di mana Via. Lorong satu masih biasa. Di lorong kedua saat aku berjalan, tiba-tiba aku bertemu dengan cewek petugas perpustakaan yang tadi berada di resepsionis. Kini dia sedang membereskan atau merapikan buku. Aku tersenyum padanya dan dia pun tersenyum padaku.
Sambil berjalan terus, aku berpikir siapa yang mengurusi berkasku di sana. Aku berbalik arah untuk memastikan berkasku tidak hilang di meja resepsionis yang otomatis aku ketemu lagi dengan dia yang sedang merapikan buku. Saat aku berbalik arah, ternyata cewek itu ada di sana dan sedang mengecek berkas berkasku. Aku sempat bingung dengan ini. Setelah melihat dia sedang melihat berkasku, aku dengan cepat menoleh ke belakang, ke arah di mana sosok cewek yang satu lagi sedang membereskan buku. Dan saat aku menoleh, ternyata tidak ada siapa-siapa dan hanya satu buku yang terjatuh sendiri. Bruukkk. Apa lagi ini? Setelah melihat di belakangku, tidak ada siapa-siapa. Aku kembali lagi menengok ke arah meja resepsionis. Ternyata, tidak ada siapa-siapa di sana. Suasana perpus entah kenapa berubah menjadi sepi. Entah karena ini masih pagi atau bagaimana.
Karena aku merasa suasana di sini semakin aneh, aku mempercepat pencarianku untuk bertemu dengan Via. Lorong demi lorong rak buku aku telusuri hingga akhirnya aku berada di lorong paling akhir dan masih belum juga menemukan Via. Padahal, perpustakaan ini tidak begitu besar, tapi entah kenapa Via tidak bisa aku temukan. Apa dia sudah pergi duluan tadi atau bagaimana aku kurang tahu. Saat aku berada di lorong terakhir, aku berpikir untuk pergi kembali ke resepsionis saja mengambil berkasku dan aku bawa dulu saja sampai ada yang menemaniku kembali. Aku sudah berbalik arah bersiap kembali. Akan tetapi, belum juga rencana itu bisa aku kerjakan, tiba-tiba sosok cewek itu muncul lagi entah dari mana. Padahal, aku berada di lorong paling ujung, di mana di sana sudah tidak ada jalan lagi. Dia berada ditepat di belakangku.
“Mas, mau ke mana kok balik?” ucap wanita itu di belakangku sambil membawa berkas milikku.
Dengan kaget aku menengok ke arahnya. Dia berada persis di belakangku. Kali ini mukanya berubah menjadi pucat tidak seperti saat tadi di resepsionis.
“Mas, kok diam saja sih? Ini berkasmu masih ada yang kurang. Tolong dilengkapi dulu, ya.” Dia berkata kemudian menyeringai padaku.
Dengan perasaan yang tidak karuan, aku mencoba untuk mengambil berkas milikku yang berada di tangannya. Dan saat aku akan mengambil berkas itu, ada satu kertas yang terjatuh ke lantai. Tanpa basa-basi sosok itu berusaha mengambilnya. Dan saat menunduk, hal yang mengejutkanku kembali terjadi. Kepala wanita itu tiba-tiba bergerak seperti akan terpisah dari tubuhnya. Aku yang kaget hanya bisa terpaku diam di sana tanpa ada suara.
“Eh, Mas, maaf hampir copot. Hihihi ....”
Entah kenapa suara yang tadinya terdengar lembut berubah menjadi suara yang berat seperti sosok lelaki. Tubuh yang tadinya kaku tiba-tiba lemah seperti semua sendi terlepas dari posisinya. Kembali tubuhku tersungkur dan saat itu kesadaran masih tersisa. Aku belum pingsan saat itu. Tas kecil yang aku bawa terjatuh tepat di depanku dan terlihat cincin Mbah Margono berkedip cepat membuat pandanganku buyar karena warna kedipan dari cincin itu. Belum sampai aku pingsan betul, ada sosok yang meraih punggungku. Aku merasakan tangan itu seperti mempunyai kuku yang panjang dengan tangan yang besar. Dan saat tangan itu menyentuh tubuhku, cincin Mbah Margono pun bereaksi. Aku merasa ada angin besar atau hempasan yang sangat keras hingga sosok itu terpental. Saat itu, tangan sosk itu belum terlepas dariku hingga aku terseret sedikit. Saat itu juga, kesadarnku sepenuhnya hilang.
***
Aku terbangun di sebuah ruangan yang sudah aku hafal, ruangan berdinding warna biru, komputer di samping ranjang yang aku tempati, di depanku terdapat lemari kecil yang di atasnya ada sebuah patung wanita bergaya Jepang. Ya, aku terbangun di kamar kosku. Aku melihat ke sekelilingku. Di sana ternyata sudah ramai. Ada orang tuaku, ada tanteku, ada Via, dan ada Mbah Margono. Ya, Mbah Margono sampai datang ke kosku. Melihat aku sudah tersadar, Mbah Margono mendekatiku.
“Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar, Yan. Udah jangan bergerak dulu. Udah dua hari ini kamu tidak sadarkan diri,” ucap Mbah Margono kepadaku.
“Dua hari, Mbah?” tanyaku dengan suara lirih karena masih lemah.
“Iya. mbah datang ke sini bareng sama ortumu. Soalnya, kata Mas kamu yang ngabarin ortumu bilang kalau tubuhmu panas dan sering ngigau enggak jelas. Makanya, ortumu ngajak mbah.”
“Bapak mana, Mbah?” tanyaku pada Mbah Margono.
“Itu lagi di luar. Mau panggil mbak, mbak siapa, ya, Ega, Aga, Rega. Eh, itulah pokoknya anak tantemu. Kalau ibu sama tantemu masih di luar ngobrol. Tantemu enggak bisa hubungin anaknya karena lupa enggak bawa HP.”
“Mbah, minum, Mbah,” pintaku dengan suara lirih.
Mbah Margono pun mengambilkan dengan cekatan. Setelah itu, karena aku masih merasa sangat lemah, aku pun tertidur lagi. Bahkan, aku belum sampai melihat di mana Via dan Sinta.
Dalam tidurku, aku bermimpi bertemu dengan makhluk-makhluk aneh, dari badut yang menyeramkan, beberapa tangan yang berjalan tanpa ada bagian lain, beberapa mbak K, dan ada juga permen sugus. Ditambah lagi, ada satu sosok yang sangat besar yang entah kenapa semua menunduk saat sosok itu datang. Terlihat juga sosok Sinta dan Aruna yang sepertinya sedang berusaha menolongku dari sekumpulan makhluk ini. Ingin rasanya berlari, tapi tubuh ini sangat susah untuk digerakkan. Ditambah lagi, beberapa pasang tangan itu mulai merambat ke tubuhku dan mencengkeram kedua tangan dan kakiku.
Saat melihat Sinta dan Aruna, sepertinya Arunalah yang sangat bersemangat menolongku. Tapi, entah ini mimpi yang terlihat nyata atau hanya bunga tidur saja karena badanku yang tidak fittidak vit sehingga aku bermimpi seperti ini. Selain itu, mana mungkin Sinta terlihat sangat lemah dan kewalahan menghadapi makhluk ini di mimpi ini. Aku berpikir ini hanya bunga tidur saja karena suasana ini berbeda. Harusnya, Sinta lebih over power kalau di sini, tapi kenapa dia bisa malah terlihat lemah.
Saat sedang bermimpi itu, terdengar suara lirih memanggilku. Entah suara dari mana karena terdengar sangat lirih dan samar. Aku perkuat indra pendengaranku untuk mencari sumber suara itu. Dan aku melihat sebuah cahaya. Aku yakin dari sana suara itu berasal. Dengan kekuatan penuh, aku mencoba merangkak ke arah cahaya itu. Terdengar suara yang memanggilku semakin jelas.
“Ryan, bangun, Yan. Bangun, Yan, bapak di sini. Bangun, Yan. Ryan istigfar, Yan.”
Suara menyebut namaku terus bersahutan dengan suara yang berbeda-beda. Perlahan aku menggapai cayaha itu dan perlahan pula aku mulai terbangun. Aku mulai perlahan melihat samar-samar orang tuaku dan beberapa saudaraku mulai berkumpul. Dan tak ketinggalan Mbah Margono berada di sampingku. Namun, kali ini tempat di mana aku terbangun berbeda dari awal. Aku kembali terbangun di sebuah ruangan di mana di sana tergantung botol infus yang selangnya mengulur ke arah tanganku. Ya, aku kembali masuk rumah sakit karena suhu tubuhku yang sangat tinggi, ditambah keringat dingin yang terus keluar dari tubuhku kala itu. Aku melihat Mbah Margono menuju ke arah bapak dan berbisik padanya. Sepertinya Mbah Margono meminta semua keluar dulu dan membiarkan aku dan Mbah Margono berdua. Setelah semua orang pergi, hanya tinggal aku dan Mbah Margono saja diruangan itu. Mbah Margono menanyakan apa yang sebelumnya terjadi sampai bisa buat aku pingsan seperti ini. Belum sampai aku menjawab, tiba-tiba Sinta dan Aruna datang.
“Yan, sekarang Sinta enggak sendiri, ya? Aiapa yang ikut datang bareng Sinta?”
“Dia Aruna, Mbah, teman Sinta.”
“Oh, gitu. Bentar mbah ambil posisi dulu biar bisa berbicara sama mereka berdua.” Mbah Margono kemudian duduk bersilah dan memejamkan mata.
“Oke, kita lanjut, Yan. Sebenarnya, kamu ini kenapa kemarin kok bisa pingsan?”
“Aku kemarin ‘kan ngumpulin tugas buat wisuda. Nah, saat itu tiba-tiba ada yang ganggu dengan melepaskan kepalanya, Mbah.”
“Hmm ... terus?”
“Ya, karena kaget, aku jadi lemas, Mbah. Dan saat aku mau pingsan, aku merasakan seperti ada yang memegang punggungku dan karena itu cincin Mbah Margono bereaksi mentalin sosok itu, Mbah.”
“Lah, untung aja kamu bawa bawa cincin itu. Kalau enggak, pasti jiwamu udah kebawa, Yan. Kemarin itu bukan kamu belum pingsan, tapi kamu udah merasakan sosok itu mencengkeram jiwamu. Untung dilempar sama cincin itu.”
“Lagian, kenapa kamu bisa gitu sih, Yan? Bukannya udah sama Via?” tanya Sinta padaku.
“Sebenarnya Via sudah memberi kode buat ngikutin dia. Tapi, karena fokus dengan tugas, makanya aku nggak ikutin dia. Malah, aku terus sama sosok itu.”
“Emang dasar udah kebiasaan kamu. Enggak bisa jaga diri,” omel Sinta padaku.
Aruna hanya sesekali tersenyum saja. Aku merasa ada yang disembunyikan sama Aruna.
“Hahaha ... sudah, sudah, jangan diomelin dulu, Ta. Kasihan baru aja bangun ini.”
“Abis kebiasaan dia enggak pernah jaga diri, Margono,” kata Sinta terus mengomel.
“Kamu ini, Ta, ngawur aja nyebut nama Mbah Margono cuma namanya aja.”
“Udah, udah, enggak apa-apa. Kamu harus hati-hati, dia masih terus mau membawamu.”
“Lah, kenapa gitu, Mbah?”
“Seperti yang mbah katakan dulu, kamu ini memiliki aura yang diminati sama bangsanya Sinta.”
“Jangan samain aku sama makhluk rendahan itu, Margono!” protes Sinta pada Mbah Margono.
“Pfftttttt ....”
“Enggak usah ketawa!” Kompak Mbah Margono dan Sinta membentakku dan dengan sekejap aku terdiam.
“Sinta, aku mau tanya tentang temanmu. Sepertinya dia tahu dengan sosok itu.”
“Silakan saja kalau kamu mau berbicara pada si centil itu.”
“Apaan centil, centil. Lebih centil juga kamu,” protes Aruna pada Sinta.
“Sudah, sudah, kalian itu sama saja centilnya enggak usah diperpanjang. Oh iya, kamu tahu tentang sosok itu, ‘kan?”
“Tidak, aku tidak tahu. Tapi, yang pasti dia sangat tertarik dengan Ryan. Aetelah terlempar saja, dia terus mengincar dia. Untung aku tepat datang setelah cincinmu menolongnya. Hingga saat ini dia pun masih mengincarnya. Menunggu waktu yang tepat.”
“Terus kenapa kamu enggak mengusirnya saja?”
“Lah, untuk apa? Lagian, ‘kan aku enggak ada tanggung jawab atas Ryan. Makanya, aku cuma menahan dia saja.”
“Terus kamu ke mana, Ta, saat kejadian?”
“Aku sedang pergi. Dan itu karena aku sudah memasrahkan pada Via. Tapi, ternyata si penakut ini malah enggak ngikutin dia dan balik-balik udah seperti ini. Beberapa kali juga aku pernah bertemu sosok ini, tapi aku tak tahu itu. Makanya, aku biarkan. Andai ketemu lagi, aku buang dia jauh dari sini.” Terlihat Sinta sangat emosi.
Diubah oleh afryan015 27-10-2021 19:29
itkgid dan 44 lainnya memberi reputasi
45