Kaskus

Story

papahmuda099Avatar border
TS
papahmuda099
Pelet Orang Banten
Pelet Orang Banten





Assalamualaikum wr.wb.



Perkenalkan, aku adalah seorang suami yang saat kisah ini terjadi, tepat berusia 30 tahun. Aku berasal dari Jawa tengah, tepatnya disebuah desa kecil yang dikelilingi oleh perbukitan, yang masih termasuk kedalam wilayah kabupaten Purbalingga.

Aku, bekerja disebuah BUMN sebagai tenaga kerja outsourcing di pinggiran kota Jakarta.


Kemudian istriku, adalah seorang perempuan Sumatra berdarah Banten. Kedua orang tuanya asli Banten. Yang beberapa tahun kemudian, keduanya memutuskan untuk ber-transmigrasi ke tanah Andalas bagian selatan. Disanalah kemudian istriku lahir.

Istriku ini, sebut saja namanya Rara ( daripada sebut saja mawar, malah nantinya jadi cerita kriminal lagi emoticon-Leh Uga), bekerja disebuah pabrik kecil, di daerah kabupaten tangerang, sejak akhir tahun 2016. Istriku, karena sudah memiliki pengalaman bekerja disebuah pabrik besar di wilayah Serang banten, maka ia ditawari menduduki jabatan yang lumayan tinggi dipabrik tersebut.


Dan alhamdulillah, kami sudah memiliki seorang anak perempuan yang saat ini sudah berusia 8 tahun. Hanya saja, dikarenakan kami berdua sama-sama sibuk dalam bekerja, berangkat pagi pulang malam, jadi semenjak 2016 akhir, anak semata wayang kami ini, kami titipkan ditempat orang tuaku di Jawa sana.


Oya, sewaktu kejadian ini terjadi (dan sampai saat ini), kami tinggal disebuah kontrakan besar dan panjang. Ada sekitar 15 kontrakan disana. Letak kontrakan kami tidak terlalu jauh dari pabrik tempat istriku bekerja. Jadi, bila istriku berangkat, ia cukup berjalan kaki saja. Pun jika istirahat, istriku bisa pulang dan istirahat dirumah.


Oke, aku kira cukup untuk perkenalannya. Kini saatnya aku bercerita akan kejadian NYATA yang aku alami. Sebuah kejadian yang bukan saja hampir membuat rumah tangga kami berantakan, tapi juga nyaris merenggut nyawaku dan istriku !
emoticon-Takut

Aku bukannya ingin mengumbar aib rumah tanggaku, tapi aku berharap, agar para pembaca bisa untuk setidaknya mengambil hikmah dan pelajaran dari kisahku ini
emoticon-Shakehand2


*


Bismillahirrahmanirrahim



Senin pagi, tanggal 10 februari 2020.


Biasanya, jam 7 kurang sedikit, istriku pamit untuk berangkat bekerja. Tapi hari ini, ia mengambil cuti 2 hari ( Senin dan selasa ), dikarenakan ia hendak pergi ke Balaraja untuk melakukan interview kerja. Istriku mendapatkan penawaran kerja dari salah satu pabrik yang ada disana dan dengan gaji yang lebih besar dari gaji yang ia terima sekarang.


Karena hanya ada 1 motor, dan itu aku gunakan untuk kerja, ia memutuskan untuk naik ojek online saja.


Awalnya aku hendak mengantarnya
emoticon-Ngacir tapi jam interview dan jam aku berangkat kerja sama. Akhirnya, aku hanya bisa berpesan hati-hati saja kepadanya.


Pagi itu, kami sempat mengobrol dan berandai-andi jika nantinya istriku jadi untuk bekerja di balaraja.

"Kalau nanti bunda jadi kerja disana, gimana nanti pulang perginya ?" kataku agak malas. Karena memikirkan bagaimana aku harus antar jemput.

"Nanti bunda bisa bisa ajak 1 anak buah bunda dari pabrik lama, yah," jawab istriku, "nanti dia bunda ajak kerja disana bareng. Kebetulan rumah dia juga deket disini-sini juga."

Wajahku langsung cerah begitu tahu, kalau aku nantinya tidak terlalu repot untuk antar jemput.

"Siapa emang, bun?" tanyaku, "Diki?"

Diki adalah salah satu anak buah istriku dipabrik ini. Diki juga sudah kami anggap sebagai adik sendiri. Selain sesama orang lampung, juga karena kami sudah mengenal sifat anak muda itu.

"Bukan," jawab istriku.

Aku langsung memandang istriku dengan heran.

"Terus siapa?"

"Sukirman, yah. Dia anak buah bunda juga. Kerjanya bagus, makanya mau bunda ajak buat bantu bunda nanti disana."

"Kenapa bukan diki aja, bun?" tanyaku setengah menuntut.

Istriku menggelengkan kepalanya.

"Diki masih diperluin dipabrik bunda yang lama. Gak enak juga main asal ambil aja sama bos. Kalo kirman ini, dia emang anak buah bunda. Kasihan, yah. Dia disini gajinya harian. Mana dia anak udah 2 masih kecil-kecil lagi." Istriku menerangkan panjang lebar.

Aku akhirnya meng-iyakan perkataannya tersebut. Aku berfikir, "ah, yang penting aku gak susah. Gak capek bolak balik antar jemput. Lagian maksud istriku juga baik, membantu anak buahnya yang susah."

"Ya udah, bun. Asalkan jaga kepercayaan ayah ya sayang," aku akhirnya memilih untuk mempercayainya.


Jam 09:00 pas, aku berangkat kerja. Tak lupa aku berpamitan kepada istriku. Setelah itu aku berangkat dengan mengendarai sepeda motor berjenis matic miliku.


Waktu tempuh dari kontrakanku ketempat kerja sekitar 40-50 menit dengan jalan santai. Jadi ya seperti biasa, saat itu aku menarik gas motorku diantara kecepatan 50 km/jam.


Tapi tiba-tiba, saat aku sudah sampai disekitaran daerah Jatiuwung. Motorku tiba-tiba saja mati
emoticon-Cape deeehh


"Ya ampun, kenapa nih motor. Kok tau-tau mati," kataku dalam hati.


Aku lalu mendorong motorku kepinggir. Lalu aku coba menekan stater motor, hanya terdengar suara "cekiskiskiskis...," saja
emoticon-Ngakak


Gagal aku stater, aku coba lagi dengan cara diengkol. 


Motor aku standar 2. Lalu aku mulai mengengkol.


Terasa enteng tanpa ada angin balik ( ya pokoknya ngemposlah ) yang keluar dari motor.


"Ya elah, masa kumat lagi sih ini penyakit," ujarku mengetahui penyebab mati mendadaknya motorku ini.


Penyebabnya adalah los kompresi
emoticon-Cape d... Penyakit ini, memang dulu sering motorku alami. Tapi itu sudah lama sekali, kalau tidak salah ingat, motorku terakhir mengalami los kompresi adalah sekitar tahun 2017.


Lalu, entah mengapa. Aku tiba-tiba saja merasakan perubahan pada moodku. 


Yang awalnya baik-baik saja sedari berangkat, langsung berubah menjadi jelek begitu mengalami kejadian los kompresi ini.


Hanya saja, aku mencoba untuk bersabar dengan cara memilih langsung mendorong motorku mencari bengkel terdekat.


Selama mendorong motor ini, aku terus menerus ber-istighfar didalam hati. Soalnya, gak tau kenapa, timbul perasaan was-was dan pikiran-pikiran buruk yang terus melintas dibenak ini.


"Astaghfirullah...Astaghfirullah...semoga ini bukan pertanda buruk," kalimat itu terus kuulang-ulang didalam hati.


Alhamdulillah, tak lama kemudian, aku menemukan sebuah bengkel. Aku langsung menjelaskan permasalahan motorku.


Oleh si lay, aku disarankan untuk ganti busi. Aku sih oke-oke saja. Yang penting cepet beres. Karena aku tidak mau terlambat dalam bekerja.


"Bang, motornya nanti lubang businya aku taruh oli sedikit ya," kata si lay itu padaku. Lalu lanjutnya, "nanti agak ngebul sedikit. Tapi tenang aja, bang. Itu cuman karena olinya aja kok. Nanti juga ilang sendiri."


"Atur aja bang," kataku cepat.


Sekitar 5 menit motorku diperbaiki olehnya. Dan benar saja, motorku memang langsung menyala, tapi kulihat ada asap yang keluar dari knalpot motorku.


"Nanti jangan kau gas kencang dulu, bang," katanya.


"Oke,"


Setelah membayar biaya ganti busi dan lainnya. Aku langsung melanjutkan perjalananku.


Aku sampai dikantor telat 5 menit. Yakni jam 10:05. Jam operasional kantorku sudah buka. Aku langsung menjelaskan penyebab keterlambatanku kepada atasanku. Syukurnya, merek mengerti akan penjelasan ku. Hanya saja, kalau nanti ada apa-apa lagi, aku dimintanya untuk memberikan kabar lewat telepon atau WA.


Aku lalu, mulai bekerja seperti biasa lagi.


Jam menunjukan pukul 12:00 wib.


Itu adalah jam istirahat pabrik istriku. Aku lalu menulis chat untuknya. Contreng 2, tapi tak kunjung dibacanya. Aku lalu berinisiatif untuk menelponnya. Berdering, tapi tak diangkat juga.


"Kemana ini orang....," kataku agak kesal.


"Ya udahlah, nanti juga ngabarin balik," ujarku menghibur diri.


Jam 13:30 siang, disaat aku hendak melaksanak ibadah solat Dzuhur. HPku berdering. 


Kulihat disana tidak tertera nama, hanya nomer telpon saja.


"Nomer siapa nih," desisku.


Awalnya aku malas untuk mengangkatnya.


Tapi sekali lagi nomer itu meneleponku.


Dan, entah kenapa jantungku tiba-tiba saja berdetak lebih cepat. Hatiku langsung merasakan ada sesuatu yang tidak menyenangkan akan aku dapatkan, bila aku mengangkat telpon ini.


Dengan berdebar, aku lalu menekan tombol hijau di HPku.


"Halo, Assalamualaikum...," jawabku.


"Halo, waalaikumsalam...," kata si penelpon.


"Maaf, ini siapa ya ?" tanyaku.


"Ini saya, mas. Sumarno," jawabnya.


"Oh, mas Sumarno," kataku.


Sumarno adalah laki-laki yang diserahi tanggung jawab untuk mengawasi dan mengurus kontrakan tempatku tinggal.


"Ada apa ya, mas ?" tanyaku dengan jantung berdebar-debar.


"Maaf mas sebelumnya," jawab mas Sumarno.


Aku menunggu kelanjutan kalimat mas Sumarno ini dengan tidak sabar.


Lalu, penjaga kontrakan kami ini melanjutkan ucapannya. Ucapan yang membuat lututku lemas, tubuhku menggigil hebat. Sebuah ucapan yang rasanya tidak akan terjadi selama aku mengenal istriku. Dari sejak kami berpacaran sampai akhirnya kami menikah.


Mas Sumarno berkata, "Mbak Rara berduaan sama laki-laki didalam kontrakan sekarang. Dan pintu dikunci dari dalam."



***



Part 1

Pelet Orang Banten




Quote:




Part 2

Teror Alam Ghaib


Quote:




Terima kasih kepada agan zafin atas bantuannya, dan terutama kepada para pembaca thread ini yang sudah sudi untuk mampir dilapak saya

emoticon-Nyepi






*


Silahkan mampir juga dicerita saya yang lainnya


Diubah oleh papahmuda099 05-04-2024 04:27
ridom203Avatar border
sampeukAvatar border
bebyzhaAvatar border
bebyzha dan 248 lainnya memberi reputasi
235
333.7K
3.1K
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.9KAnggota
Tampilkan semua post
papahmuda099Avatar border
TS
papahmuda099
#315
Pengalaman kami bag.3






Dengan sedikit was-was, aku berbalik badan.


Dan...


Pocong itu masih ada dong...
kaskus-image


"Kampret!"


Aku dengan cepat berbalik arah kembali. 


Soleh masih memandangiku dengan tersenyum.


Dengan sedikit heran tapi lebih banyak takutnya, karena dibelakangku ada Mr. Poci, aku memandang kearahnya dengan penuh tanda tanya.


"Kenapa bocil satu ini gak merasa takut sama sekali dengan hantu dibelakangku ini," begitulah pikirku.


Soleh menarik tanganku dengan keras.


Aku terpaksa mengikuti langkahnya. Meskipun ketakutan masih menyelimutiku, tapi aku merasa bersyukur sekali waktu itu. Karena berkat bantuan Soleh, aku bisa berjalan kembali. Menjauhi sosok putih terbungkus kain itu.


Disaat aku dan Soleh masih berjalan dikebun milik Abah, tiba-tiba diatasku kembali terdengar suara ketawa cekikikan seperti awal kami masuk.


Suara itu terdengar sangat jelas sekali. Bahkan, lama-lama suara itu seperti mendekat, dan semakin dekat kearah posisi kami berada.


Soleh yang berada didepanku berhenti. 


Hampir saja aku yang sedang berjalan agak cepat menabrak tubuhnya.


Soleh kulihat mengambil segenggam tanah. Ia lalu seperti membaca doa dengan tanah yang digenggam itu didepan wajahnya.


Setelah selesai, Soleh tiba-tiba saja melemparkan tanah yang ia genggam kearah sebuah pohon kapuk disebelah kiri kami.


Pohon kapuk itu berjarak kira-kira hanya 10 meteran dari posisi kami berada.


Entah mujarab atau bagaimana, suara kuntilanak yang tadi kami dengar itu menghilang. Tak ada suara ketawanya sama sekali disekitar kami.


Hanya saja, entah dari mana datangnya. Tiba-tiba saja ada angin yang sedikit kencang menabrak kami berdua.


Aku mengangkat tangan kiriku untuk sedikit mengurangi efek angin kencang itu. Mataku secara reflek melihat kearah kiri, arah dimana angin itu kurasakan datang.


"Astaghfirullah...,"


Aku terkejut dan kaget. 


Kedua pupil mataku tanpa kusuruh langsung membesar. Disana, kulihat ada beberapa makhluk dibungkus kain berdiri tegak. Tenang dan jelas.


Didekat beberapa pohon pisang yang tumbuh dikebun Abah, para Mr. Poci itu berbaris. Ada yang nyempil diantara pohon-pohon pisang, ada pula yang secara terang-terangan menampakan wujudnya.


Seingatku disana kulihat ada 4 Mr. Poci yang berbaris. 


Tapi aku sendiri tidak bisa memastikan jumlahnya. Bisa saja kurang atau mungkin lebih. Karena pohon-pohon pisang itu cukup banyak dan agak saling berdempetan. Jadi bisa saja karena ketakutan, batang pohon pisang pun kulihat sebagai pocong.


Aku langsung menundukkan kepalaku. Memandang kearah bawah.


Soleh sendiri langsung mengajakku berjalan lagi. 


"A, punten. Ini daunnya. Biar aa pegang aja. Takutnya nanti hilang atau bisa rusak sama Soleh," kata Soleh sambil mengulurkan sebuah daun bambu yang berhasil ia ambil.


Aku segera menerimanya dengan tangan agak sedikit gemetar. Syok dan takut.


Aku segera menyimpan daun itu disaku jaketku.


"Makasih ya Leh. Alhamdulillahnya kamu bisa nemuin daun ini dengan cepat," kataku setelah daun itu aku masukan kedalam jaket.


"Sama-sama, a," jawabnya sambil terus berjalan.


Hawa yang sangat amat tidak enak semakin kurasakan mengelilingi kami. Seolah-olah hawa itu adalah jelmaan berbagai sosok makhluk halus penunggu kebun Abah yang terus mengikuti perjalanan kami.


Apalagi dibagian belakangku. Seolah ada sesuatu yang terbang bolak-balik dibelakang tubuhku. 


Aku bisa berkata demikian karena yang kurasakan malam itu adalah, karena aku merasa ada angin dan juga sebuah benda halus tapi terasa panjang yang selalu bolak balik mengenai tengkuk dan kepalaku bagian belakang.


Dan hal itu terjadi semakin lama semakin sering saja. 


"Oya, Kalian pernah gak sih, kalian itu dilarang untuk melihat sesuatu. Sangat dilarang! Tapi didalam diri kalian malah timbul rasa ingin melihatnya. Jadi, semakin dilarang melihat, malah semakin penasaran untuk melakukannya"


Nah, itu jugalah yang terjadi kepadaku malam itu. 


Aku masih ingat dengan jelas perkataan Abah.


"Lalu satu hal lagi, jangan pernah mas menengok ke atas. Karena daun itu Abah lihat sejajar tingginya dengan kepala mas. Sekali lagi ingat, jangan sesekali melihat ke atas," 


Itulah kalimatnya. 


Sebuah kalimat yang ingin kuturuti. Tapi juga sangat amat ingin kulanggar.


Didalam hatiku, aku sangat ingin mematuhi perintah Abah tersebut. Karena aku yakin, itu adalah hal yang terbaik bagiku. Apalagi disituasi dan kondisi seperti sekarang. Aku hampir 100% sadar, apa maksud dari perkataan Abah.


Namun, disebuah sisi didalam hatiku. Ada sebuah suara yang semakin kutolak malah semakin kencang terdengar. Suara itu berusaha membuatku melanggar apa yang Abah pesankan. Suara itu berkata bahwa aku akan sangat menyesal bila aku tak melihat keatas. Karena diatas sana ada sesuatu yang sangat menarik menunggu untuk aku lihat.


Aku bertanya dalam hati.


"Sebenarnya apa sih, sesuatu yang sangat menarik itu?"


Dan set....aku mendongak keatas.


Begitu aku melihat keatas, mataku seolah lupa cara memejam. Mataku melotot keatas. Tak sanggup kupejamkan.


Aku seperti lupa dengan caranya bernafas ketika tatapan mataku, saling beradu pandang dengan sesuatu yang tepat berada diatasku ini. Dan hanya berjarak tak lebih dari sejengkal.


Dari jarak sedekat itu, aku bisa dengan jelas melihat kedua belah mata milik makhluk yang ternyata sedari tadi terbang melayang diatas kepalaku. 


kaskus-image
Mata dari kuntilanak!



Matanya besar, lalu bagian hitamnya itu bagaikan sebuah titik kecil diantara sebuah kertas putih besar. Mata itu seperti melotot melihat kearahku. 


Ya, mataku beradu pandang dengan sesosok kuntilanak yang tepat terbang diatas kepalaku.


Rambutnya yang panjang itu tergerai, jatuh tepat mengenai pundak dan leherku. Bergerak kekanan dan kiri, seirama dengan gerakan kepala pemiliknya yang juga tak bisa diam. Menoleh kekanan dan kekiri.


Hembusan angin juga membuat wajahnya jadi terlihat agak jelas. 


Aku melihat kulit yang cacat seperti bekas terbakar. Meninggalkan noda merah kehitaman. Dagingnya juga ada yang terkelupas keluar dari kulitnya. Hidung juga seperti bekas terbakar, lalu bagian mulutnya. Menyeringai menakutkan. Persis seperti seorang nenek-nenek. Dengan giginya yang agak jarang, lalu ada seperti cairan kental berwarna pekat didalam mulutnya.


Lendir berwarna pekat itu menggumpal hampir memenuhi rongga mulutnya. Dan, lendir itu kulihat mulai mengalir keluar dari mulutnya yang sudah mulai terbuka lebar.


Aku langsung berlari kencang kedepan. Takut cairan itu mengenaiku.


Dan...


"Bruk!"


Aku menabrak tubuh kecil Soleh.
emoticon-Ngacir Tubrukan


Kami berdua lantas terjatuh diatas tanah. Kepalaku sangat sakit sekali karena sewaktu jatuh, kepalaku terbentur sebuah batu kecil yang menyembul diatas tanah.


Kami berdua telentang diatas tanah.


Dengan sedikit kesal, Soleh bertanya kepadaku.


"Ada apa sih, a. Kok sampai nabrak-nabrak segala?"


Aku yang masih dilanda ketakutan masih belum bisa menjawab pertanyaannya. Aku masih sibuk mengatur nafas dengan mata yang jelalatan. Mencari kuntilanak yang tadi ada diatas kepalaku.


Hilang.


Sepi.


Tak ada makhluk apapun disekitar kami. Baik diatas, dibawah, maupun disamping kiri dan kanan kami.


"Hilang Leh," desisku.


Soleh menoleh kepadaku. Masih tak mengerti.


"Apanya yang hilang, a?" Ia bertanya.


"Kuntilanak tadi,"


"Yang mana?"


"Yang tadi terbang diatas kepalaku," kataku dengan nafas yang masih ngos-ngosan.


Soleh ikut memandang keberbagai arah.


"Sudah gak ada apa-apa, a," kata Soleh kepadaku.


Aku masih berusaha meyakinkan pandangan mataku. Setelah beberapa saat, dan ternyata memang sudah tak ada apapun. Kami berdua lalu bangkit berdiri. 


Sambil mengibas-ngibaskan celana dan juga baju kami masing-masing, aku meminta maaf kepada Soleh.


"Iya, a. Gak apa-apa atuh, santai aja. Soleh cuma kaget aja. kok tadi tiba-tiba aa nabrak Soleh. Kirain ada apa-apa," jawabnya.


Aku tersenyum malu.emoticon-Malu


Malu karena kalah dengannya. Seorang bocah yang usianya masih setengah dari usiaku.


"Ayo, Leh. Kita jalan lagi," kataku sambil mengenyahkan perasaan malu ku.


Kami mulai melangkah kembali.


Namun, gangguan ternyata tak berhenti sampai situ saja.


Baru beberapa langkah kami berjalan, tiba-tiba.

"Slap!"

Hening.


Sangat hening. Tak terdengar sama sekali suara makhluk-makhluk alam. Seperti jangkrik ataupun hewan yang lainnya. Bahkan suara anginpun tak bisa kurasakan.


Aku saja, yang tak begitu paham akan hal-hal ghaib bisa tahu, bahwa gejala ini tidaklah normal. Aku yakin, pasti akan ada sesuatu yang segera datang. Entah dalam bentuk apa. Yang pasti, aku meyakini akan ada hal buruk datang menghampiri kami.


Soleh mundur satu langkah.


Aku sedikit kasihan padanya. Memang, kuakui kalau ia memiliki kelebihan lain yang tidak aku miliki. Tapi mentalnya. Sehebat apapun ia, ia masihlah seorang bocah belasan tahun. Yang mentalnya masih belumlah cukup untuk terus menerus menghadapi segala macam gangguan seperti ini. 


Kini, kami berdiri sejajar. Bersiap menghadapi apapun yang akan datang.


Lalu, entah dimana asal suaranya. 


Tiba-tiba saja terdengar suara seperti suara anak ayam yang menciap-ciap.


"CIAP...CIAP...CIAP!"


Suara itu terdengar sangat dekat dengan lokasi kami berdua berdiri.


"Asu," aku mengumpat didalam hati.


Aku langsung teringat akan cerita bapakku sewaktu beliau masih muda.


Bapak pernah bercerita bahwa pada saat ia masih muda, saat itu ia sedang meronda keliling kampung didekat perkuburan. Dan saat itu ia mendengar suara anak ayam yang entah dari mana asalnya.


Beliau berkata kepadaku.


"Nang, jika suatu saat kamu mendengar suara anak ayam ditempat dan waktu yang tidak sewajarnya, bapak minta kamu harus hati-hati. Siapkan diri kamu untuk lari. Tanda-tanda kamu harus lari adalah, jika suara anak ayam itu terasa menjauh,"


Saat itu aku heran lalu sempat berkata, "lha wong suaranya menjauh, ngapain juga kita harus lari. Bukannya malah tenang. Karena artinya, sesuatu itu sudah pergi menjauh."


Bapakku menggelengkan kepalanya. 


"Justru sebaliknya, nang. Kalau suara itu menjauh, artinya sipemilik suara makin dekat. Tapi kalau suara anak ayam itu mendekat, artinya sipemilik suara itu menjauh,"


Aku saat itu hanya mengiyakan saja nasehatnya. Hingga kejadian ini menimpaku.


Aku menahan tubuh Soleh. Aku memberinya isyarat agar diam tak bersuara. Mata lalu kupejamkan, berusaha berkonsentrasi, mengukur jarak posisi kami dengan suara anak ayam itu.


"CIAP...CIAP...CIAP!"


"Masih jauh," kataku dalam hati.


Aku lalu membuka mata, dan berbisik ketelinga Soleh.


"Jalan keluar dari kebun Abah masih jauh, Leh?" Tanyaku.


Soleh menggeleng.


"Enggak jauh lagi, a. Sekitar 50 meteran lagilah. Kalau kita jalan lurus mengikuti jalan setapak ini, terus belok ditikungan depan itu, maka kita akan langsung keluar dari kebun Abah." Jawab Soleh sambil menunjuk kearah depan.


Aku melihat samar-samar didalam gelapnya malam, jalan setapak kecil yang kemudian berbelok kekanan. Hmm...lumayan juga jaraknya. Tapi tak akan memakan waktu lama bila aku dan Soleh segera berjalan. Palingan 5 menitan kami sudah sampai diluar kebun Abah ini.


"Ya udah, kalau gitu biar saya aja yang jalan didepan. Kamu jalan dibelakang," kataku kepada Soleh.


Aku merasa,kini saatnya aku harus membuang rasa takutku. Aku kasihan dengan Soleh, yang selalu membantuku. Dan kini adalah saat yang tepat bagiku untuk menuntun Soleh. Melindungi anak ini dari marabahaya yang entah kapan akan muncul.


"Saatnya orang dewasa yang memimpin," kataku dalam hati. Kata-kata yang kuharapkan bisa menyegel keberanianku agar tak hilang kemana-mana lagi.


Dengan perlahan, kami kembali berjalan. Mataku fokus memperhatikan jalan yang akan kami lalui. Sebodo amat sama apapun yang disamping, ataupun atas. Pokoknya aku harus fokus dengan jalan keluarnya.


Aku menggandeng tangan Soleh. Karena aku berpikir, bahwa dengan cara ini, maka Soleh akan merasa terlindungi. Sehingga mentalnya yang tadi down akan segera bangkit lagi.


Dan alasan yang lainnya adalah, agar aku merasa tak sendirian. Aku takutnya kalau tangan Soleh gak aku pegang, kalau nantinya ada apa-apa dan Soleh memilih lari? Bisa berabe urusannya. Karena aku sendiri tak yakin, bila muncul sesuatu secara tiba-tiba, aku akan bisa berlari menghindarinya.


Aku berjalan didepan Soleh dengan mata fokus kejalan. Aku yakin akan bisa keluar beberapa saat lagi.


Disaat aku tengah menghitung jarak dan waktu tempuh, telingaku mendengar lagi suara anak ayam.


"ciap...ciap...ciap,"


SUARANYA SUDAH MENJAUH!


tak menunggu waktu lama, aku segera menarik, lebih tepatnya menyeret tangan Soleh dengan keras sambil berteriak.


"LARI!"


Aku dan Soleh langsung berlari sekencang-kencangnya kami mampu. Jantungku memompa darahku dengan cepat, membuat aliran darahku mengalir cepat. Andrenalinku meningkat sampai titik tertingginya. Membuatku lupa akan rasa sakitnya tergores ranting tajam. Lupa akan rasa sakitnya terjatuh dan mengenai bebatuan. Solehpun sama.


Kami berdua lari jatuh bangun, berusaha secepat mungkin keluar dari kebun Abah ini.


Tikungan itu semakin dekat. 


Aku dan juga Soleh semakin bersemangat. Sebuah senyum kecil muncul diwajahku saat kami mulai berbelok.


Sebuah senyum juga kulihat muncul diwajah seorang perempuan, yang berdiri disisi kanan kami saat kami sudah masuk ditikungan.


Senyum yang langsung merenggut senyum diwajahku. Dan membuatku dan Soleh berhenti berlari. 


Kami berdua berdiri tegak mematung. Tepat disamping perempuan cantik bermuka pucat. Kedua kakiku terasa dipantek ditempat itu. Tak bisa kugerakan sama sekali. Otak dan pikiranku sadar, dan mereka memang menyuruhku untuk terus berlari. Hanya saja kedua kaki ini tak mau menurutinya.


Satu-satunya dari anggota tubuhku yang bisa bergerak hanyalah kedua bola mataku.


Aku hanya bisa meliriknya dengan perasaan takut. Padahal kalau diperhatikan, perempuan yang mengenakan kamben berwarna coklat itu memiliki paras yang cantik. Apalagi kamben yang ia gunakan kelihatan sedikit ketat. Sehingga tubuhnya tercetak jelas. Hanya saja, kulitnya yang pucat seperti tak dialiri darah, membuatnya terlihat cantik, tapi menakutkan.

mulustrasi gan
kaskus-image


Sosok perempuan dengan memakai kamben warna coklat berdiri disamping kananku dengan masih mengulum senyum.


Mungkin, di alam ghaib sana, senyum itu pasti sanggup membuat pocong, genderuwo, gundul pringis, banaspati, kolor ijo, kakek cangkul, kakek Sugiono terpikat hingga mau menyerahkan segalanya.


Tapi bagiku, senyum itu membuat tubuhku semakin kaku tak bergerak. Tapi anehnya, mataku tak bisa kualihakan kearah lain. Terpantek kesosok cantiknya saja.


Dalam hati aku hanya bisa berdoa dan membaca berbagai doa yang aku hapal.


"Ya Allah, bagaimana ini? Saya belum sempat membantu Abah menyembuhkan istri saya disana. Abah, tolong saya  abah...,"


Aku mencoba bermunajat kepada kekuasaan Allah, aku juga berserah diri, pasrah akan takdirku. Karena aku yakin, semua ini sudah ada digaris yang telah Allah tentukan.


Aku hanya bisa menggenggam erat tangan Soleh ketika perempuan itu perlahan mendekat. Bukan berjalan, melainkan melayang diatas tanah.


Tangannya perlahan terangkat sebatas dada. Lalu dengan lembut jari-jari itu meraba pinggangku. Ya, aku bisa merasakan sentuhan fisik sosok ini saat jari-jarinya menyentuh pinggangku, lebih tepatnya disaku jaketku. Dimana disana ada daun bambu yang dibutuhkan Abah.


Perempuan itu tersenyum, yang kalau menurutku lebih menyeringai, sambil menepuk-nepuk saku jaketku. 


"Jaga baik-baik daun ini. Karena banyak makhluk halus lain yang menginginkannya,"


Sebuah suara halus terdengar entah dari mana. Karena aku melihat bibir perempuan ini tidak bergerak sama sekali.


Tapi entah kenapa aku merasa yakin, kalau suara itu adalah milik perempuan pucat ini.


Tiba-tiba, dari arah belakangku terdengar suara menjerit sangat keras. Suara itu sendiri kalau kalian ingin bayangkan seperti ini.


Bayangkan kalau kalaian sedang memakan buah jambu yang agak berair dimulut. Dan sambil mengunyah, kalian langsung menjerit sekencang-kencangnya. Maka akan ada suara seperti tersedak disana. Pokoknya hampir mirip seperti itulah suara jeritan malam itu.


Seketika aku menoleh kebelakang. Soleh juga berbuat hal yang sama denganku.


Tapi segera kudengar sebuah suara lembut yang masuk ke pikiranku.


"Jangan hiraukan suara itu, nak. Pergilah segera. Karena gurumu sangat membutuhkan daun itu. Lebih tepatnya, isinya,"


Aku berpaling keperempuan pucat disampingku.


Ia masih tersenyum, senyum yang menurutku enggak banget.


Perempuan itu lalu mengelus kepalaku dan juga kepala Soleh. Dan anehnya, tubuh kami seperti bisa digerakan kembali.


Perempuan itu mengangguk. Ia lalu melayang menuju sumber suara yang menjerit tadi.


Aku memandang Soleh. 


"Ayo, a," katanya.


Kami berdua lalu kembali berlari dan terakhir, kami melompati sebuah pematang.


Dan, hup. 


Kami keluar dari kebun Abah.
emoticon-Kroasiaemoticon-Belgia




***


Nb: nantinya, banyak penjelasan dari abah kenapa sampai kami mengalami semua kejadian ini. Juga kenapa soleh seolah-olah tak takut dengan pocong yang ada dibelakangku.
Diubah oleh papahmuda099 14-04-2020 20:31
redrices
sulkhan1981
sampeuk
sampeuk dan 54 lainnya memberi reputasi
55
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.