- Beranda
- Stories from the Heart
CATATAN VIOLET
...
TS
drupadi5
CATATAN VIOLET

Perjalanan ini akan membawa pada takdir dan misteri hidup yang mungkin tak pernah terpikirkan.
Ketika sebuah kebetulan dan ketidaksengajaan yang kita sangkakan, ternyata adalah sebuah rencana tersembunyi dari hidup.
Bersiaplah dan arungi perjalananmu
Kota Kenangan1
Kota Kenangan 2
Ardi Priambudi
Satrya Hanggara Yudha
Melisa Aryanthi
Made Brahmastra Purusathama
Altaffandra Nauzan
Altaffandra Nauzan : Sebuah Insiden
Altaffandra Nauzan : Patah Hati
Altaffandra Nauzan : the man next door
Sepotong Ikan Bakar di Sore yang Cerah
Expired
Adisty Putri Maharani
November Rain
Before Sunset
After Sunrise
Pencundang, pengecut, pencinta
Pencundang, pengecut, pencinta 2
Time to forget
Sebuah Hadiah
Jimbaran, 21 November 2018
Lagi, sebuah kebaikan
Lagi, sebuah kebaikan 2
Perkenalan
Temanku Malam Ini
Keluarga
03 Desember 2018
Jimbaran, 07 Desember 2018
Looking for a star
Ketika daun yang menguning bertahan akan helaan angin
Pertemuan
BERTAHAN
Hamparan Keraguan
Dan semua berakhir
Fix you
One chapter closed, let's open the next one
Deja Vu
Deja Vu karena ingatan terkadang seperti racun
Karena gw lagi labil, tolong biarin gw sendiri...
Semua pasti berujung, jika kau belum menemukannya teruslah berjalan...
Kepercayaan, kejujuran, kepahitan...
Seperti karang yang tidak menyerah pada ombak...
Damar Yudha
I Love You
Perjanjian...
Perjanjian (2)
Christmas Eve
That Day on The Christmas Eve
That Day on The Christmas Eve (2)
That Day on The Christmas Eve (3)
Di antara
William Oscar Hadinata
Tentang sebuah persahabatan...
Waiting for me...
Kebohongan, kebencian, kemarahan...
Oh Mama Oh Papa
Showing me another story...
Menjelajah ruang dan waktu
Keterikatan
Haruskah kembali?
Kematian dan keberuntungan
The ambience of confusing love
The ambience of love
Kenangan yang tak teringat...
Full of pressure
Persahabatan tidak seperti kepompong
Menunggu, sampai nanti...
Catatan Violet 2 (end): Mari Jangan Saling Menepati Janji
Jakarta, 20 Juni 2019 Lupakanlah Sejenak
Menjaga jarak, menjaga hati
First lady, second lady...
Teman
Teman?
Saudara
Mantan
Mantan (2)
Pacar?
Sahabat
Diubah oleh drupadi5 14-05-2021 15:13
JabLai cOY dan 132 lainnya memberi reputasi
129
23.8K
302
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
drupadi5
#3
Jimbaran, 01 November 2018
Ardi Priambudi
Jam 5 pagi aku terbangun. Sambil mengumpulkan nyawa dan mengingat di mana aku berada sekarang, aku terduduk di pinggir ranjang. Ah, aku ga lagi di rumah. Terasa sepi. Aku berdiri dan menyibak tirai jendela kamarku. Di luar masih gelap. Udara pagi yang agak dingin menerpa badanku begitu kubuka pintu dan melangkah keluar dari kamar.
Suasana masih senyap, lampu teras di masing-masing kamar masih menyala, begitu juga beberapa lampu taman di bawah sana. Kamarku ada di lantai dua. Kost-kostan ini lumayan besar.
Bangunannya berbentuk U menghadap ke timur. Enam kamar ada di sebelah utara, enam kamar di sebelah barat, dan enam lagi di sebelah selatan, masing-masing ada tiga kamar di lantai satu dan lantai 2. Aku kebagian satu-satunya kamar yang masih kosong di pojokon lantai dua di sebelah selatan. Di bagian tengah di buat taman dengan sebuah kolam ikan lengkap dengan air mancurnya dan tepat disebelah pintu masuk ada bangunan untuk parkir motor di sebelah kiri dan parkir mobil di sebelah kanan meskipun parkir mobilnya hanya muat untuk dua mobil saja. Rumah pemilik kostan ini ada tepat di sampingnya dan dihubungkan dengan gerbang kecil di depan parkir motor. Ini juga alasan kenapa aku yakin memilih kostan ini, karena pemiliknya gampang di cari seandainya diperlukan.
Aku menutup mata dan merasakan suansana pagi di kota ini.
Semoga hari ini menjadi pembuka yang baik untuk hari-hariku selama di sini. Amin.
****
“Pagi Vio…”
Aku segera mengalihkan pandanganku ke arah suara yang menyebut namaku.
Di depanku sudah berdiri Ardi, dia adalah temanku sedivisi dulu di tempatku bekerja sekarang. Dia pindah ke kota ini karena ditawari menjadi Finance head di kantor cabang kota ini oleh salah satu perusahaan yang menjadi client tempat perusahaanku bekerja, dan dia dengan senang hati menerimanya. Selain naik jabatan, hidup di kota ini sudah lama jadi impiannya.
Ardi ini berperawakan tegap, punya kulit bersih dan tentu saja terawat, dan good looking banget, ga heran kalau dia punya banyak penggemar, termasuk aku. Tapi itu dulu, setelah makin dekat dan semakin kenal dengan pribadinya, aku merasa dia lebih cocok jadi teman daripada jadi pacar.
“Hei.. long time no see ah…” sambutku berdiri dan dia langsung memelukku.
“Apa kabar kamu? Akhirnya ya, kamu mau juga ke sini, emang harus dipaksa ya?!”
“Jangan bilang kamu nih yang punya ide request aku audit ke sini?”
“Exactly, that’s me!” ujarnya nyengir lebar, “And I insisted! Kalau ga gitu mana mau disapproved boss.”
“Kan emang lo spoilt child-nya Pak Herman, biarpun lo udah mengkhianati dia tetep aja dia tunduk sama lo ya, lagian tega banget lo minta gw ke sini”
“hahahaha, lagian kan enak lo bisa kerja sambil liburan. You must thank to me, dong.”
“Ga minat gw!”
“Vio…vio… santai aja kali, kerja di sini itu berasa liburan tau."
“Dimana-mana kalau kerja ya kerja, bukan liburan. Lagian Pak Herman ga curiga kan, lo minta gw kesini ntar di sangka kita kongkalikong secara gw kan audit lo nih!”
“hehehe udah ah, curigaan bgt, tenang aja gw jamin kerjaan lo beres dan ga bakalan ada masalah. Yuk ke ruangan gw, sekalian gw kenalin ke yang lain.” Ardi mengamit lenganku dan mengajakku masuk ke dalam.
Sebelum berkenalan dengan yang lainnya, Ardi mengajakku mampir ke pantry membuat secangkir kopi, untuk mengawali hari. Ternyata kegemarannya sama kopi belum hilang juga.
Jujur aja kantor ini nyaman banget. Stylenya bangunannya tidak seperti kantor lebih tepatnya seperti villa. Bahkan ada kolam renangnya pula di bagian samping. Dan tebakanku benar, menurut Ardi, ini memang bangunan villa, boss nya tertarik buat sewa sekalian biar bisa untuk tempat tinggal kalau dia main ke pulau ini. Dan sekalian mandorin kerjaan anak buahnya tentu saja.
Lagi-lagi info dari Ardi, si kepala cabang ternyata anak yang empunya villa ini. Kebetulan waktu perusahaan cari branch manager dia dapat info dari ortunya dan sangat kebetulan dia memiliki kualifikasi yang perusahaan perlukan.
“Masih muda dong?” tanyaku ketika Ardi ngegibahin si branch manager ini
“Yup, but not your style!” sahutnya sambil menyesap cappucinonya.
Meledaklah tawaku mendengarnya,”sialan lo!”
“Anyway, siapa cowok lo sekarang?”
“Kepo!” aku berdiri dan mengambil cangkir kopiku, “daripada lo kepoin hidup gw, mending sekarang ajak gw ke meja kerja gw, ok?!”
“Santai aja, Vi, si boss ga killer kok, nyantai mah dia.”
“Gw ga ngurus gimana boss lo itu, gw cm mau ngurus kerjaan gw, ayo cepetan!”
Aku tarik tangan tangan Ardi yang masih saja asik dengan kopinya.
“Iya, iya, sabar napa…”
Ardi memperkenalkan aku dengan para staff yang tidak terlalu banyak. Ada Wulan di bagian receptionist. Agus, Bayu, Sari, dan Agung di bagian data entry. Bu Yeni, Mega, Rahman di bagian finance dan accounting dengan Ardi sebagai kepala divisinya. Dan di bagian stock store ada Yudi, Burhan, Anisa, Satria, dan Lani.
Perusahaan Ardi ini bergerak di bidang penjualan fashion dengan beberapa merk ternama dari luar negeri. Office ini adalah back office, sedangkan store nya ada di beberapa tempat, menurut Ardi ada satu big main store dan dua additional store. Sebelumnya sudah ada audit untuk stock item yang di handle oleh teamku yang lain, dan yang bagianku adalah second audit untuk bagian finance sekalian reconciliation antara first audit dan second audit.
“Lo mau duduk di mana? Kalau kita di sini mah bebas, suka-suka aja, yang penting kerjaan kelar,” ujar Ardi begitu acara perkenalan selesai.
“Gw mau deket divisi lo aja, kan gw perlunya data-data dari lo.”
“Vio, Vio, segitu kangennya ya lo sama gw sampe ga mau jauh-jauh dari gw…”
Bugh!!! Dengan sukses aku meninju lengannya.
“Gila lo. Masih sakit aja kena tinju lo ya, “ ujarnya meringis memegangi lengannya yg baru aja kena tinjuku, “padahal gw udah ngegym tiap hari nih buat gedein badan.”
“Berarti badan lo belum berubah tuh, tinju gw masih mumpuni gitu.”
“Masalahnya tangan lo tuh, tulang aja, makanya montokin dikit tuh badan napa, biar seksieh dikit gitu!” reflex aku mencubit pinggangnya sampai dia berteriak kesakitan.
“Pagi Mas Ardi!” suara itu langsung meredam suara Ardi yang sibuk mengaduh kesakitan.
“Eh, pagi juga bos, maaf nih saya pagi-pagi sudah kena siksa auditor kita, bisa ga kita kirim dia balik aja?”
“Lagian siapa juga yang nyuruh gw datang ke sini!” semprotku kesal.
“Hehehe, kamu auditor dari Finance consultan kami?” Laki-laki itu langsung mengulurkan tangannya padaku mengajak berjabat tangan kemudian memperkenalkan diri, “saya Hanggara, head of chicken di sini, panggil aja Angga.”
Aku mengernyit bingung, “head of chicken?”
“Hehehe iya, head of chicken, saya lebih suka menyebutnya seperti itu, nama kamu siapa?”
“Oh ya, saya Violetta, panggil saja Vio,“ kataku lalu menarik tanganku karena sepertinya dia tidak ada tanda-tanda akan melepaskan genggamannya.
“Kayaknya kita pernah ketemu ya? Tapi dimana? Kok rasanya wajah kamu familiar ya?” ujarnya lagi sambil memandangku
“Uum… tapi aku ga pernah ngerasa kenal kamu…” balasku.
Agak risih menggunakan kata aku-kamu pada orang yang baru kenal apalagi dia memiliki jabatan, tapi berhubung dia memakai pilihan kata seperti itu ya aku pun mengimbanginya.
“Bos, udahlah, percuma ngerayu Vio, dia itu anti rayuan…” Ardi bergelagat seperti membisikkan sesuatu tapi kalimat yang keluar sengaja di suarakan dengan lantang. Aku hanya bisa mendengus kesal dibuatnya. Kulihat Hanggara, si bos hanya senyam senyum tanpa melepaskan matanya dariku.
Kalau dibandingkan dengan Ardi, Hanggara ini tidaklah begitu good looking, tapi dia menarik. Entah apa namanya, mungkin… kharisma. Iya, dia berkharisma. Apalagi pagi ini dia ke kantor dengan pakaian kasual, berkemeja krem dipadu dengan celana jeans dan sepatu kets. Rambutnya yang coklat gelap bergelombang dan agak gondrong disisr asal. Tubuhnya proporsional setara dengan Ardi hanya saja dia memiliki kulit yang lebih gelap, seperti ada darah blasteran kalau ditilik dari warna kulitnya. Sungguh pemandangan pagi yang membuat semangat kerja meningkat. Apalagi ketika dia menawarkan diri, mengantarkan berkeliling kantor, yah meski pun kantor ini ga terlalu luas.
Dia mengajakku berkeliling mengenalkanku sekali lagi pada staffnya. Ruangan kerja di sini jadi satu ruangan besar, tidak ada sekat antar divisi satu dengan yang lainnya. Hanya meja-meja mereka saja yang diberikan jarak, duduk berkelompok per divisi. Kecuali meja si bos yang ada paling ujung belakang dibatasi dengan dinding kaca transparan, persis di samping pintu yang menghubungkan ke taman belakang. Ada sekitar 4 kamar yang lebih kecil dari ruang utama, dan sebuah teras mungil yang disekat menjadi lobby. Empat ruangan itu dibagi menjadi, satu ruangan meeting yang lumayan besar dengan TV led 42 inchi lengkap dengan home theaternya, satu ruangan untuk pantry, satu ruangan untuk gudang, dan satu lagi kamar tidur. Ya, bahkan ada kamar tidur di sini. Kemudian ada 2 toilet dan satu shower room yang posisinya menempel di bagian belakang dari bagunan utama di dekat kolam renang. Dan yang paling favorite adalah taman belakang yang lumayan luas dan rindang dengan beberapa tempat duduk santai dan kolam renang yang membentang dengan gemericik air yg dibuat seperti pancuran
“This is the favorite place,” katanya sambil tersenyum ketika kami mengakhiri tur singkat ini dengan duduk di salah satu bangku di taman belakang yang dinaungi pohon mangga.
“Nyaman banget kantornya, ada kolam renangnya juga,” kataku mengambil tempat di depannya.
“Yah, aku maunya ya seperti ini, biar temen-temen kerja juga nyaman, kalau mereka nyaman dan betah di kantor kan akan lebih produktif dan semangat kerjanya.”
Ah, liat bos nya kayak gini aja pasti selalu semangat staffnya, terutama staff cewek.
“Saya dikasi tahu Ardi kalau keluarga bapak yg punya villa ini, kenapa ngga bisnis property aja, kenapa harus gabung di perusahaan orang lain?”
Tiba-tiba dia tertawa, “Jangan panggil bapak ah, tua bgt kesannya, sama Mas Ardi aja masih mudaan aku lho.”
Aku jadi canggung dengan sikapnya dia.
“Kamu seumuran kan sama mas Ardi?” tanyanya lagi. Sepertinya dia mencoba menccari tahu berapa umurku.
“Beda, masi tuaan Ardi kok.”
“hmm…,” dia tampak berpikir, “Mas Ardi lebih tuaan empat tahun dariku, kalau sama kamu tuaan berapa tahun?”
“Dua tahun.” Benar dugaanku.
“Berarti kamu dua tahun lebih tua dari aku dong?”
Aku hanya tersenyum kecil. Sedikit malu. Ketahuan tua.
Kulirik jam dipergelangan tanganku, ga terasa sudah jam setengah satu, beberapa staf sudah ada yang keluar makan, sebagian besar mereka bawa bekal dan makan bareng di taman belakang.
“Mbak ga makan?” tiba2 Mega sudah ada di sampingku.
“Makan dong, cuma aku ga bawa makanan.”
“Beli aja, aku juga mau beli, barengan aja ya?”
“Boleh banget.” Bergegas aku menutup laptopku dan mengambil dompet di dalam tas.
“Jauh ga?”
“Ga terlalu sih, kita naik motorku aja, panas bgt nih,” kata Mega ketika kami berjalan menuju garasi.
Sampai di garasi, ternyata ada Hanggara di sana, rupanya dia baru saja datang.
“Pada mau ke mana?” tanyanya ketika melihat Mega hendak ngeluarin motornya
“Mau makan Pak.”
“Kamu ikut?” tanyanya kali ini padaku. Aku mengangguk mengiyakan.
“Meg, kamu sendiri aja, Vio sama aku aja.” Katanya tiba-tba pada Mega
Aku tidak bisa berkata-kata hanya diam saja, melihat Mega berlalu keluar dari pintu gerbang dan Hanggara yang kemudian menghampiriku.
“Tunggu bentar ya,” ujarnya tersenyum lalu berlalu masuk ke dalam kantor.
Entah kenapa aku merasa deg-degan.
“Nih!” aku kaget ketika tiba-tiba Hanggara sudah ada di sebelahku dan menyodorkan helm padaku.
“Ga apa-apakan klo naik motor?” Dia bertanya sambil meraih helmnya
“Emang mau kemana?”
“Ya makan lah, tadi kamu mau beli makan, kan?”
“Iya.”
“Hari ini aku yang traktir, setelah itu aku ajak lihat-lihat toko, biar kamu tahu kayak gimana toko yang di sini, mungkin bisa buat laporan kamu juga, nanti aku jelasin juga gimana system sales nya kita.”
Aku hanya mengangguk mengiyakan. Tapi sekali lagi aku ragu, ketika dia sudah siap di motornya dan aku masih bingung harus naik atau ngga. Jujur baru kali ini aku berboncengan dengan laki-laki yang bukan pacar atau pun teman dekat, yah boleh dibilang laki-laki yang belum terlalu kukenal. Terakhir kali mungkin sekitar 5 atau 6 tahun yang lalu dengan….ah, aku ga mau ingat lagi.
“Vio….!” Suara panggilan dari Hanggara membuyarkan lamunanku, “Ayo naik!”
“Eh, iya… “ aku mendekat dan kemudian naik di belakangnya
“Helmnya di pakai, Non,” ujarnya lagi menoleh ke belakang. Tampak dia terlihat tersenyum geli dari balik helmnya
“Oh iya.” Terlihat sangat bodoh banget aku, semua jadi terlupakan.
Jam 5 pagi aku terbangun. Sambil mengumpulkan nyawa dan mengingat di mana aku berada sekarang, aku terduduk di pinggir ranjang. Ah, aku ga lagi di rumah. Terasa sepi. Aku berdiri dan menyibak tirai jendela kamarku. Di luar masih gelap. Udara pagi yang agak dingin menerpa badanku begitu kubuka pintu dan melangkah keluar dari kamar.
Suasana masih senyap, lampu teras di masing-masing kamar masih menyala, begitu juga beberapa lampu taman di bawah sana. Kamarku ada di lantai dua. Kost-kostan ini lumayan besar.
Bangunannya berbentuk U menghadap ke timur. Enam kamar ada di sebelah utara, enam kamar di sebelah barat, dan enam lagi di sebelah selatan, masing-masing ada tiga kamar di lantai satu dan lantai 2. Aku kebagian satu-satunya kamar yang masih kosong di pojokon lantai dua di sebelah selatan. Di bagian tengah di buat taman dengan sebuah kolam ikan lengkap dengan air mancurnya dan tepat disebelah pintu masuk ada bangunan untuk parkir motor di sebelah kiri dan parkir mobil di sebelah kanan meskipun parkir mobilnya hanya muat untuk dua mobil saja. Rumah pemilik kostan ini ada tepat di sampingnya dan dihubungkan dengan gerbang kecil di depan parkir motor. Ini juga alasan kenapa aku yakin memilih kostan ini, karena pemiliknya gampang di cari seandainya diperlukan.
Aku menutup mata dan merasakan suansana pagi di kota ini.
Semoga hari ini menjadi pembuka yang baik untuk hari-hariku selama di sini. Amin.
****
“Pagi Vio…”
Aku segera mengalihkan pandanganku ke arah suara yang menyebut namaku.
Di depanku sudah berdiri Ardi, dia adalah temanku sedivisi dulu di tempatku bekerja sekarang. Dia pindah ke kota ini karena ditawari menjadi Finance head di kantor cabang kota ini oleh salah satu perusahaan yang menjadi client tempat perusahaanku bekerja, dan dia dengan senang hati menerimanya. Selain naik jabatan, hidup di kota ini sudah lama jadi impiannya.
Ardi ini berperawakan tegap, punya kulit bersih dan tentu saja terawat, dan good looking banget, ga heran kalau dia punya banyak penggemar, termasuk aku. Tapi itu dulu, setelah makin dekat dan semakin kenal dengan pribadinya, aku merasa dia lebih cocok jadi teman daripada jadi pacar.
“Hei.. long time no see ah…” sambutku berdiri dan dia langsung memelukku.
“Apa kabar kamu? Akhirnya ya, kamu mau juga ke sini, emang harus dipaksa ya?!”
“Jangan bilang kamu nih yang punya ide request aku audit ke sini?”
“Exactly, that’s me!” ujarnya nyengir lebar, “And I insisted! Kalau ga gitu mana mau disapproved boss.”
“Kan emang lo spoilt child-nya Pak Herman, biarpun lo udah mengkhianati dia tetep aja dia tunduk sama lo ya, lagian tega banget lo minta gw ke sini”
“hahahaha, lagian kan enak lo bisa kerja sambil liburan. You must thank to me, dong.”
“Ga minat gw!”
“Vio…vio… santai aja kali, kerja di sini itu berasa liburan tau."
“Dimana-mana kalau kerja ya kerja, bukan liburan. Lagian Pak Herman ga curiga kan, lo minta gw kesini ntar di sangka kita kongkalikong secara gw kan audit lo nih!”
“hehehe udah ah, curigaan bgt, tenang aja gw jamin kerjaan lo beres dan ga bakalan ada masalah. Yuk ke ruangan gw, sekalian gw kenalin ke yang lain.” Ardi mengamit lenganku dan mengajakku masuk ke dalam.
Sebelum berkenalan dengan yang lainnya, Ardi mengajakku mampir ke pantry membuat secangkir kopi, untuk mengawali hari. Ternyata kegemarannya sama kopi belum hilang juga.
Jujur aja kantor ini nyaman banget. Stylenya bangunannya tidak seperti kantor lebih tepatnya seperti villa. Bahkan ada kolam renangnya pula di bagian samping. Dan tebakanku benar, menurut Ardi, ini memang bangunan villa, boss nya tertarik buat sewa sekalian biar bisa untuk tempat tinggal kalau dia main ke pulau ini. Dan sekalian mandorin kerjaan anak buahnya tentu saja.
Lagi-lagi info dari Ardi, si kepala cabang ternyata anak yang empunya villa ini. Kebetulan waktu perusahaan cari branch manager dia dapat info dari ortunya dan sangat kebetulan dia memiliki kualifikasi yang perusahaan perlukan.
“Masih muda dong?” tanyaku ketika Ardi ngegibahin si branch manager ini
“Yup, but not your style!” sahutnya sambil menyesap cappucinonya.
Meledaklah tawaku mendengarnya,”sialan lo!”
“Anyway, siapa cowok lo sekarang?”
“Kepo!” aku berdiri dan mengambil cangkir kopiku, “daripada lo kepoin hidup gw, mending sekarang ajak gw ke meja kerja gw, ok?!”
“Santai aja, Vi, si boss ga killer kok, nyantai mah dia.”
“Gw ga ngurus gimana boss lo itu, gw cm mau ngurus kerjaan gw, ayo cepetan!”
Aku tarik tangan tangan Ardi yang masih saja asik dengan kopinya.
“Iya, iya, sabar napa…”
Ardi memperkenalkan aku dengan para staff yang tidak terlalu banyak. Ada Wulan di bagian receptionist. Agus, Bayu, Sari, dan Agung di bagian data entry. Bu Yeni, Mega, Rahman di bagian finance dan accounting dengan Ardi sebagai kepala divisinya. Dan di bagian stock store ada Yudi, Burhan, Anisa, Satria, dan Lani.
Perusahaan Ardi ini bergerak di bidang penjualan fashion dengan beberapa merk ternama dari luar negeri. Office ini adalah back office, sedangkan store nya ada di beberapa tempat, menurut Ardi ada satu big main store dan dua additional store. Sebelumnya sudah ada audit untuk stock item yang di handle oleh teamku yang lain, dan yang bagianku adalah second audit untuk bagian finance sekalian reconciliation antara first audit dan second audit.
“Lo mau duduk di mana? Kalau kita di sini mah bebas, suka-suka aja, yang penting kerjaan kelar,” ujar Ardi begitu acara perkenalan selesai.
“Gw mau deket divisi lo aja, kan gw perlunya data-data dari lo.”
“Vio, Vio, segitu kangennya ya lo sama gw sampe ga mau jauh-jauh dari gw…”
Bugh!!! Dengan sukses aku meninju lengannya.
“Gila lo. Masih sakit aja kena tinju lo ya, “ ujarnya meringis memegangi lengannya yg baru aja kena tinjuku, “padahal gw udah ngegym tiap hari nih buat gedein badan.”
“Berarti badan lo belum berubah tuh, tinju gw masih mumpuni gitu.”
“Masalahnya tangan lo tuh, tulang aja, makanya montokin dikit tuh badan napa, biar seksieh dikit gitu!” reflex aku mencubit pinggangnya sampai dia berteriak kesakitan.
“Pagi Mas Ardi!” suara itu langsung meredam suara Ardi yang sibuk mengaduh kesakitan.
“Eh, pagi juga bos, maaf nih saya pagi-pagi sudah kena siksa auditor kita, bisa ga kita kirim dia balik aja?”
“Lagian siapa juga yang nyuruh gw datang ke sini!” semprotku kesal.
“Hehehe, kamu auditor dari Finance consultan kami?” Laki-laki itu langsung mengulurkan tangannya padaku mengajak berjabat tangan kemudian memperkenalkan diri, “saya Hanggara, head of chicken di sini, panggil aja Angga.”
Aku mengernyit bingung, “head of chicken?”
“Hehehe iya, head of chicken, saya lebih suka menyebutnya seperti itu, nama kamu siapa?”
“Oh ya, saya Violetta, panggil saja Vio,“ kataku lalu menarik tanganku karena sepertinya dia tidak ada tanda-tanda akan melepaskan genggamannya.
“Kayaknya kita pernah ketemu ya? Tapi dimana? Kok rasanya wajah kamu familiar ya?” ujarnya lagi sambil memandangku
“Uum… tapi aku ga pernah ngerasa kenal kamu…” balasku.
Agak risih menggunakan kata aku-kamu pada orang yang baru kenal apalagi dia memiliki jabatan, tapi berhubung dia memakai pilihan kata seperti itu ya aku pun mengimbanginya.
“Bos, udahlah, percuma ngerayu Vio, dia itu anti rayuan…” Ardi bergelagat seperti membisikkan sesuatu tapi kalimat yang keluar sengaja di suarakan dengan lantang. Aku hanya bisa mendengus kesal dibuatnya. Kulihat Hanggara, si bos hanya senyam senyum tanpa melepaskan matanya dariku.
Kalau dibandingkan dengan Ardi, Hanggara ini tidaklah begitu good looking, tapi dia menarik. Entah apa namanya, mungkin… kharisma. Iya, dia berkharisma. Apalagi pagi ini dia ke kantor dengan pakaian kasual, berkemeja krem dipadu dengan celana jeans dan sepatu kets. Rambutnya yang coklat gelap bergelombang dan agak gondrong disisr asal. Tubuhnya proporsional setara dengan Ardi hanya saja dia memiliki kulit yang lebih gelap, seperti ada darah blasteran kalau ditilik dari warna kulitnya. Sungguh pemandangan pagi yang membuat semangat kerja meningkat. Apalagi ketika dia menawarkan diri, mengantarkan berkeliling kantor, yah meski pun kantor ini ga terlalu luas.
Dia mengajakku berkeliling mengenalkanku sekali lagi pada staffnya. Ruangan kerja di sini jadi satu ruangan besar, tidak ada sekat antar divisi satu dengan yang lainnya. Hanya meja-meja mereka saja yang diberikan jarak, duduk berkelompok per divisi. Kecuali meja si bos yang ada paling ujung belakang dibatasi dengan dinding kaca transparan, persis di samping pintu yang menghubungkan ke taman belakang. Ada sekitar 4 kamar yang lebih kecil dari ruang utama, dan sebuah teras mungil yang disekat menjadi lobby. Empat ruangan itu dibagi menjadi, satu ruangan meeting yang lumayan besar dengan TV led 42 inchi lengkap dengan home theaternya, satu ruangan untuk pantry, satu ruangan untuk gudang, dan satu lagi kamar tidur. Ya, bahkan ada kamar tidur di sini. Kemudian ada 2 toilet dan satu shower room yang posisinya menempel di bagian belakang dari bagunan utama di dekat kolam renang. Dan yang paling favorite adalah taman belakang yang lumayan luas dan rindang dengan beberapa tempat duduk santai dan kolam renang yang membentang dengan gemericik air yg dibuat seperti pancuran
“This is the favorite place,” katanya sambil tersenyum ketika kami mengakhiri tur singkat ini dengan duduk di salah satu bangku di taman belakang yang dinaungi pohon mangga.
“Nyaman banget kantornya, ada kolam renangnya juga,” kataku mengambil tempat di depannya.
“Yah, aku maunya ya seperti ini, biar temen-temen kerja juga nyaman, kalau mereka nyaman dan betah di kantor kan akan lebih produktif dan semangat kerjanya.”
Ah, liat bos nya kayak gini aja pasti selalu semangat staffnya, terutama staff cewek.
“Saya dikasi tahu Ardi kalau keluarga bapak yg punya villa ini, kenapa ngga bisnis property aja, kenapa harus gabung di perusahaan orang lain?”
Tiba-tiba dia tertawa, “Jangan panggil bapak ah, tua bgt kesannya, sama Mas Ardi aja masih mudaan aku lho.”
Aku jadi canggung dengan sikapnya dia.
“Kamu seumuran kan sama mas Ardi?” tanyanya lagi. Sepertinya dia mencoba menccari tahu berapa umurku.
“Beda, masi tuaan Ardi kok.”
“hmm…,” dia tampak berpikir, “Mas Ardi lebih tuaan empat tahun dariku, kalau sama kamu tuaan berapa tahun?”
“Dua tahun.” Benar dugaanku.
“Berarti kamu dua tahun lebih tua dari aku dong?”
Aku hanya tersenyum kecil. Sedikit malu. Ketahuan tua.
Kulirik jam dipergelangan tanganku, ga terasa sudah jam setengah satu, beberapa staf sudah ada yang keluar makan, sebagian besar mereka bawa bekal dan makan bareng di taman belakang.
“Mbak ga makan?” tiba2 Mega sudah ada di sampingku.
“Makan dong, cuma aku ga bawa makanan.”
“Beli aja, aku juga mau beli, barengan aja ya?”
“Boleh banget.” Bergegas aku menutup laptopku dan mengambil dompet di dalam tas.
“Jauh ga?”
“Ga terlalu sih, kita naik motorku aja, panas bgt nih,” kata Mega ketika kami berjalan menuju garasi.
Sampai di garasi, ternyata ada Hanggara di sana, rupanya dia baru saja datang.
“Pada mau ke mana?” tanyanya ketika melihat Mega hendak ngeluarin motornya
“Mau makan Pak.”
“Kamu ikut?” tanyanya kali ini padaku. Aku mengangguk mengiyakan.
“Meg, kamu sendiri aja, Vio sama aku aja.” Katanya tiba-tba pada Mega
Aku tidak bisa berkata-kata hanya diam saja, melihat Mega berlalu keluar dari pintu gerbang dan Hanggara yang kemudian menghampiriku.
“Tunggu bentar ya,” ujarnya tersenyum lalu berlalu masuk ke dalam kantor.
Entah kenapa aku merasa deg-degan.
“Nih!” aku kaget ketika tiba-tiba Hanggara sudah ada di sebelahku dan menyodorkan helm padaku.
“Ga apa-apakan klo naik motor?” Dia bertanya sambil meraih helmnya
“Emang mau kemana?”
“Ya makan lah, tadi kamu mau beli makan, kan?”
“Iya.”
“Hari ini aku yang traktir, setelah itu aku ajak lihat-lihat toko, biar kamu tahu kayak gimana toko yang di sini, mungkin bisa buat laporan kamu juga, nanti aku jelasin juga gimana system sales nya kita.”
Aku hanya mengangguk mengiyakan. Tapi sekali lagi aku ragu, ketika dia sudah siap di motornya dan aku masih bingung harus naik atau ngga. Jujur baru kali ini aku berboncengan dengan laki-laki yang bukan pacar atau pun teman dekat, yah boleh dibilang laki-laki yang belum terlalu kukenal. Terakhir kali mungkin sekitar 5 atau 6 tahun yang lalu dengan….ah, aku ga mau ingat lagi.
“Vio….!” Suara panggilan dari Hanggara membuyarkan lamunanku, “Ayo naik!”
“Eh, iya… “ aku mendekat dan kemudian naik di belakangnya
“Helmnya di pakai, Non,” ujarnya lagi menoleh ke belakang. Tampak dia terlihat tersenyum geli dari balik helmnya
“Oh iya.” Terlihat sangat bodoh banget aku, semua jadi terlupakan.
Diubah oleh drupadi5 16-04-2020 20:18
JabLai cOY dan 5 lainnya memberi reputasi
6