Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
Selamat Datang di Thread Gue 
(私のスレッドへようこそ)




TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI DUA TRIT GUE SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT SELANJUTNYA INI, GUE DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK GUE DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DISINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR

Spoiler for Season 1 dan Season 2:


Last Season, on Muara Sebuah Pencarian - Season 2 :
Quote:




INFORMASI TERKAIT UPDATE TRIT ATAU KEMUNGKINAN KARYA LAINNYA BISA JUGA DI CEK DI IG: @yanagi92055 SEBAGAI ALTERNATIF JIKA NOTIF KASKUS BERMASALAH


Spoiler for INDEX SEASON 3:


Spoiler for LINK BARU PERATURAN & MULUSTRASI SEASON 3:



Quote:


Quote:

Quote:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 83 suara
Perlukah Seri ini dilanjutkan?
Perlu
99%
Tidak Perlu
1%
Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 03:25
sehat.selamat.
JabLai cOY
al.galauwi
al.galauwi dan 142 lainnya memberi reputasi
133
331.7K
4.9K
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.4KAnggota
Tampilkan semua post
yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
#1943
Akhir . . .
Esok harinya gue menemani adik gue untuk prewed. Hanya saja suasana hati gue dengan Emi lagi nggak bagus banget. gue lebih banyak berbicara dengan kawan gue yang juga kawan Emi, kenalan di komunitas. Yayan adalah fotografer amatir yang baru aja memulai karir didunia fotografi profesional. Dia bersedia dibayar minimal, karena dia juga sedang mengumpulkan portfolio dia.

Hari itu kami menjalankan sesi foto didalam kawasan Taman Mini. Semuanya berjalan lancar, sayang sekali gue benar-benar lupa untuk foto berdua bareng sama Emi. mungkin karena gue disibukkan dengan berbagai macam permintaan dari Mama dan Dania. Mereka berdua kalau udah ada urusan seperti ini maunya diutamakan terus tanpa memikirkan orang lain disekitarnya.

Itulah yang seringkali membuat gue cekcok dengan mereka berdua. Selepas kepergian Papa, kontrol terhadap rumah diambil alih oleh Mama. Namun seringkali Mama bertindak tidak sesuai dengan ekspektasi gue. dan kalau sudah begitu, pasti gue akan bentrok pendapat dengan beliau. Ini juga yang membuat gue jadi nggak terlalu betah untuk pulang kerumah.

Dari segi pekerjaan saja selalu diributkan. Untuk S2 sempat ada kesenangan dan kebanggaan tersendiri karena gue berhasil membuktikan ke Mama kalau gue bisa membiayai kuliah gue dengan uang gue sendiri tanpa meminta sepeser pun dari keluarga. Ditambah lagi sekarang ini gue juga berencana untuk membeli sebuah kendaraan.

Memang investasinya agak aneh mengingat kendaraan roda empat maupun dua memiliki umur ekonomis yang nggak panjang plus setiap tahunnya selalu ada penyusutan. Tapi menurut gue, ini adalah salah satu pembuktian gue kalau pekerjaan gue juga bisa membuahkan hasil. Bukan yang seperti dipikirkan Mama dan Dania, yang selalu bilang kalau gue harus kerja yang benar. Memang selama ini gue jungkir balik kesana kemari sampai gue mulai terserang sakit pernapasan karena seringnya gue naik motor, itu bukan bekerja?

Soal gue yang saat ini seringkali batuk-batuk dan sempat ke dokter serta dinyatakan memiliki bronkhitis, Mama dan Dania sepakat untuk menyalahkan Emi. Menurut mereka, Emi lah yang membuat gue sering keluyuran sampai lupa waktu dan pulang malam menggunakan motor. Angin malam yang menyebabkan gue mendapatkan penyakit ini. Ditambah, belakangan mulai keluar pula gejala asma ringan.

Setelah ditelusuri ternayata keluarga Papa memiliki riwayat penyakit pernapasan ini. Kakek gue dari Papa adalah seorang yang menderita asma kronis. Sementara Om gue, adik Papa paling kecil juga pengidap asma kronis, dan anaknya si Emir, juga mengidap asma yang lebih berat daripada gue.

Kehidupan gue benar-benar nggak sama lagi ketika dokter menyatakan hal ini ke gue. otomatis Mama juga melihat hasil pemeriksaan gue. apalagi saat itu gue sempat juga melaksanakan rontgen, yang pada akhirnya dinyatakan mengidap bronkhitis.

Pada saat prosesi foto ini pula, Mama sangatlah mewanti-wanti agar gue tidak pulang malam. Gilanya, sempat menyuruh Emi untuk pulang sendirian. Gue sangat nggak terima dengan perkataan ini. Emi sudah membantu persiapan prewedding Dania dan mengonsep semuanya sendirian tanpa bantuan gue. Bahkan dia juga membuat crafting-crafting lucu dan unik yang berkaitan dengan nama Dania serta calon suaminya, demi mendapatkan hasil foto yang instagramable.

Tapi apa balasannya? Emi disuruh pulang sendiri. Inilah yang membuat gue sangat kecewa dan menjadi antipati dengan keluarga gue sendiri. Gue juga bingung karena hubungan gue dengan Emi sedang nggak baik banget. lebih banyak selisih paham berujung ribut. Seperti nggak pernah nemu kecocokan lagi. Jika dibilang tidak cocok sama sekali, kami masih selalu punya banyak bahasan untuk diobrolin, minimal lewat chat. Kami nggak pernah putus kalau chat, terus saja berlanjut dan ada aja bahasannya.

Pada akhir sesi foto, gue dan Emi memutuskan untuk pulang bareng. gue nggak mau pulang bareng keluarga gue. biarkan aja Mama yang menyetir pulang, sementara gue dan Emi pulang menggunakan kendaraan umum, naik turun kereta, angkot dan bis. Itu menyenangkan walaupun kondisi hubungan gue dengan Emi lagi nggak baik.

--

Ketika Emi sedang ada masalah dikantornya terkait dengan pengkhianat dan penjilat atasan, dikantor gue juga sama. kelakuan kawan gue yang bernama Dondi ini sudah sangat nggak wajar. Menjilat atasan dan kemudian berbicara tentang kejelekan kolega-koleganya dikantor, tentu aja ditambahkan bumbu, supaya terlihat bagus sendiri. Gilanya, atasan gue seperti nurut aja apa kata dia.

Disinilah gue melihat kehebatan Papa dimasa lalu dalam mengatasi segala macam masalah. Disinilah sosok pemimpin sejati dibutuhkan. Menurut gue, bos gue ini nggak wise banget hanya mendengar dari salah satu sisi aja dalam menentukan solusi sebuah masalah. Walaupun si bos ini baiknya minta ampun dan jarang marah-marah, tapi keputusan dia untuk mempercayai Dondi adalah sebuah blunder.

Dondi sendiri sebenarnya kinerjanya juga tidak jelek. Dia adalah orang yang sangat rajin dan cukup teliti. Hanya saja, dimata atasan dia menjadi sangat hebat karena dia berhasil merusak citra staf lainnya, terutama gue. Gue adalah satu-satunya yang dia anggap sebagai saingan utama untuk mendapatkan posisi strategis. Apalagi saat ini gue sedang menempuh pendidikan S2, dimana semua staf nggak ada yang S2, hanya si bos aja yang punya gelar S2.

Diantara kebingungan, kekecewaan yang besar dan mendalam terhadap keluarga, pasangan dan pekerjaan, gue seperti mendapatkan angin segar dengan adanya Lira dan Alya. Memang nggak banyak bahasan dengan mereka. Tapi setidaknya mereka, terutama Lira, menawarkan sesuatu yang fresh buat otak gue. jadi gue nggak merasa terus-terusan tertekan, kecewa dan bosan.

Gue nggak bisa melampiaskan kekesalan ke Emi. Bisa gawat nanti ke hubungan kami. Tapi disisi lain, gue selalu ingin menyerah menjalani hubungan ini. Bukan nggak menghargai semua perjuangan Emi, justru gue sebenarnya malu dengan diri gue sendiri yang nggak bisa membalas sepadan apa yang udah Emi kasih dan perjuangkan demi mempertahankan hubungan ini.

Gue sangat ketergantungan dengan Emi. ini yang sebenarnya gue nggak mau sama sekali. tapi Emi seperti selalu memberikan gue candu yang nggak bisa dihilangkan. Perasaan gue benar-benar dalam dilema besar pada titik ini.

Seperti sukses membaca soal kegalauan gue, Lira selalu menawarkan obrolan hangat setiap chat. Beberapa kali juga dia mengajak untuk ketemu sekedar jadi teman ngobrol. Gue selalu iyakan dan ini membuat gue nyaman. Gue banyak cerita juga tentang hubungan gue dan ketidaksukaan gue akan sikap Emi terhadap gue. terutama soal privasi.

“Aku itu bingung sama hubungan kalian Mas.” Kata Lira.

“Ya begitulah, tarik ulur nggak jelas begini.” Ujar gue.

“Terus mau kamu gimana? Putusin gitu?”

“Ya nggak tau, maunya begitu daripada aku nggak jelas gini nanti malah makin nyakitin dia. aku nggak bisa ngimbangin dia. dia baik banget dan mau ngebantuin aku disaat apapun selama dia bisa. Tapi justru itu yang bikin aku jadi tertekan dan kecewa sama diri sendiri. Aku udah terlalu banyak ngecewain dia.”

“Ya kan semuanya masih bisa diperbaikin. Asal kamu tau Mas. Kamu itu baik banget sama aku. Beneran deh.”

Lira tiba-tiba mendekat ke gue dan memeluk gue. Tangannya melingkar dileher gue. Posisi yang sangat pas kalau langsung mau nyosor bibirnya. Dia juga sepertinya nggak menolak. Tapi gue yang nggak bisa. Cuma disini ada yang merusak konsentrasi gue. Dada Lira ini gede banget ternyata. Haha.

Ini juga yang membuat gue jadi seperti kesetanan. Apa gue macarin dia aja? toh dia juga nyaman sama gue kan. Gue udah terlanjur kecewa dengan sikap gue sendiri ke Emi. dan gue nggak mau sama sekali Emi terus tersakiti karena ketidakmampuan gue berbuat yang terbaik untuk dia.

Alih-alih mau berbuat kebaikan, atau minimal membalas kebaikan yang Emi perbuat, gue malah selalu mengecewakan dia dan nggak pernah bisa memenuhi ekspektasi dia. sedangkan Lira, dia mau menerima keadaan gue. walaupun saat itu dia juga lagi nggak jelas hubungannya dengan cowoknya yang ada diluar negeri sana.

Emi sebenarnya juga nggak menuntut apapun dari gue. dia mau melakukan segala macam hal karena dia hanya ingin gue bahagia. Nah ini justru yang membuat gue jadi terbebani sendiri. Gue juga mau membuat dia bahagia. Tapi selalu nggak bisa, dan ujung-ujungnya malah nyari pelarian iseng dengan dalih menyelamatkan hubungan yang pada akhirnya malah membuat Emi jadi kecewa berat.

Kalaupun dengan Lira nanti Emi juga tahu, ya mau gimana lagi. Lebih baik dia tau, agar dia berhenti untuk mencintai gue. Gue sangat mencintai Emi. Gue hanya nggak bisa membahagiakan dia. sepertinya sampai kapanpun gue nggak bakal bisa. Apalagi dengan kebiasaan gue yang berawal dari luka lama akibat pengkhianatan Zalina dan Keket, yang selalu punya keinginan menaklukan berbagai macam tipe cewek, gue rasa itu sangat sulit diterima oleh cewek manapun, termasuk Emi.

Emi terlalu baik buat gue yang hidupnya nggak jelas ini. Apalagi kenyataannya, Mama dan Dania sepertinya juga nggak terlalu setuju dengan hubungan gue dengan Emi. Emi yang dikatakan menyebabkan perubahan kebiasaan gue, membuat gue jadi sakit permanen, dan segala macam alasan lainnya, membuat gue sangat kecewa dengan keadaan yang ada.

Emi yang selalu jadi pahlawan buat gue, dimata keluarga kecil gue bahkan dituduh sebagai penyebab rusaknya kehidupan gue, menurut pandangan mereka. Padahal, hidup gue udah nggak benar dari sejak dulu sebelum bertemu Emi. justru Emi yang mengarahkan dan menuntun gue kembali ke trek yang benar.

Contohnya, ketika keinginan gue S2 sudah ada dari jaman gue masih bersama dengan Dee, tapi Dee nggak ada action untuk mendukung gue secara nyata, Emi selalu support secara nyata dan menawarkan bantuan apapun yang dia bisa untuk mewujudkan keinginan gue untuk sekolah lagi.

Lalu band. Sejak ada Emi, gue bisa ngeband lagi. Dari sejak band lama gue vakum, Dee nggak pernah support gue untuk ngeband lagi. Tapi Emi? dia bahkan menjadikan band ini mendapatkan tempat dihati pengunjung komunitas jaman sekarang dengan tampilan band yang berisi anak-anak dari komunitas masa lalu menjadi selalu enak dipandang dipanggung, dan tentunya berbeda dengan band-band yang ada saat ini.

Emi pula yang bisa memenuhi hasrat gue untuk travelling jauh bersama pasangan. Nggak cuma itu aja, dia juga jadi teman diskusi dan navigator yang mumpuni kalau kami sedang melakukan perjalanan jauh. Terbukti ketika mudik kemarin ini gue bisa sampai dengan selamat bersama Emi menggunakan sepeda motor. Sesuatu yang nggak pernah terbayangkan sebelumnya jadi pengalaman berharga dalam hidup gue.

Masih banyak kelebihan-kelebihan Emi lainnya yang justru menjadi bumerang buat gue. Gue pernah bilang secara terang-terangan ketika kami sedang ribut besar, kalau gue sebenarnya sangat iri dengan Emi karena Emi memiliki kemampuan otak yang super banget dan seimbang kanan kirinya.

Orang-orang menganggap gue punya kemampuan akademis yang baik, tapi gue nggak pernah bisa mengalahkan apa yang ada diotak Emi, bahkan dari segi logika berpikir, mengingat Emi adalah seorang cewek. Entah itu dari sisi akademik maupun sisi kreatifitas non sains. Apalagi usia gue enam tahun lebih tua dari Emi, dan gue merasa selalu menjadi pecundang yang nyata dihadapan Emi yang lebih muda dari gue.

Itulah yang menyebabkan gue berpikir untuk mengakhiri hubungan gue dengan Emi. Emi terlalu superior buat gue dan segala macam yang gue lakukan pasti bisa diprediksi olehnya. Untuk urusan privasi karena kemampuan sistem informasi dia sangat baik, jauh lebih dari gue, dia selalu bisa menembus ranah privasi gue. Logika-logika terapan yang selalu dia pakai untuk membaca perilaku gue dan ujung-ujungnya malah bisa mengetahui ada siapa aja yang berhubungan dengan gue, juga membuat gue semakin insecure.

--

Gue beralasan ada meeting dadakan pada suatu sore. Padahal gue mau ketempat Lira, hanya untuk mengobrol dengannya. Tapi sebelum ini, Lira sudah bilang kalau dia hanya mau berpacaran dengan pacarnya. Gue nggak masalah karena dari awal memang gue nggak ada niatan untuk pacaran dengan dia.

Gue hanya mau memandangi pemandangan yang menyejukkan, mengingat dia memiliki bodi yang sesuai dengan standar gue. Walaupun sebenarnya gue nggak pernah mementingkan urusan fisik dalam menjalani hubungan dengan siapapun. Tapi entah mengapa, Lira ini bodinya menggoda banget.

Gue mencoba untuk menghubunginya tapi dia bilang nggak mau ketemu lagi karena udah nggak ada lagi yang bisa diharapkan dari hubungan gue dengan dia. Gue kan memang nggak mengharapkan apapun. Gue cuma mau ngobrol dan melihat fisiknya aja.

Syukur-syukur dapat rejeki lebih biar gue nggak stres terus menghadapi cobaan perasaan yang datang terus menerus ini. Memang gue menggunakan bahasa seakan gue desperate untuk mendapatkan cintanya, padahal nggak ada itu sama sekali rasa cinta. Rasa mau mesum mungkin iya.

Setelah beberapa jam gue memohon untuk ketemu dan sabar menanti, dia tetap nggak mau keluar. Pada saat itu pula Emi berhasil menghubungi gue. Awalnya nggak gue tanggapi, baik telpon maupun chat. Tapi pada akhirnya gue membalas chat Emi.

Gue mengatakan baru selesai meeting dan langsung pulang menuju rumah. Memang iya gue langsung menuju rumah, tapi gue nggak meeting. Gue sudah curiga dititik ini kenapa Emi tau-tau menelpon dan banyak sekali mengirimkan chat.

Sesampainya dirumah, gue rebahan setelah bersih-bersih dan berganti pakaian. Gue selalu membiasakan diri untuk membersihkan segala macam barang atau tempat yang nantinya akan gue pakai. gue nggak bisa melihat segala sesuatu dalam kondisi berantakan.

Setelah semua selesai, gue melihat HP dan ada banyak notifikasi dari Emi. dia sepertinya udah tau apa yang terjadi antara gue dengan Lira. Entah dari mana dia tau. Ini yang selalu gue takutkan. Masalah privasi. Kami pun berlanjut dengan telponan. Lewat tengah malam.

To the pointaja. Mau ngebahas apaan?” ujar gue ketus

“Ya Allah, jawab dulu kek. Masa langsung ditembak begitu aja sih?” kata Emi.

“Buru deh. Apaan?”

“Tapi janji dulu sama aku mau?”

“Janji apaan lagi sih? Bertele-tele amat. Banyak aturan!”

“Janji sama aku, tolong Zy. Jangan tutup teleponnya sampai bahasan kita beres. Jangan blokir apapun kontak aku setelah aku ngebahas ini. Aku mohon. Aku cuman mau bahas santai aja.”

“Kenapa sih emangnya? Ngebahas apaan nih? Pasti ada urusan sama meeting barusan kan?”

“Janji dulu.”

“IYA IYA! BURUAN APAAN?!”

“Nggak usah bentak aku bisa?”

“Makanya jangan rese jadi orang! Buru apaan?”

“Iya, Zy. Sebentar. Janji ya.”

“Kan gue udah bilang tadi.”

“Zy, aku tau kamu nggak meeting tadi. Aku tau kamu nggak ke kantor.”

“Apaan? Emang gue nggak meeting di kantor kok! Gue meeting di daerah Lenteng Agung!”

Sesuai dugaan gue kan? Dia pasti tau semuanya.

“Serius? Meeting sama perusahaan apa dan dimana-nya?”

“Ada di cafe apaan tau tadi di Lenteng Agung pokoknya. Tanya aja bos aku kalau kamu nggak percaya.”

“Meeting sama perusahaan apa?”

“Kamu nggak akan tau. Lupa juga namanya aku.”

“Lupa? Masa ‘Lira’ aja lupa?”

“Lira siapa?”

“Aku tau kok, kamu nggak sebodoh itu. Aku yakin, kamu tau Lira mana yang lagi kita bahas. Apalagi Lira yang tinggal di daerah Lenteng Agung. Pantesan aku aneh, kok kamu suka banget kadang nyebut daerah Lenteng Agung. Bahkan sekarang ngebahas Lenteng Agung mulu. Ternyata kamu tuh lagi berhubungan sama Lira toh?”

“Terus? Tau apa lagi? Mau apa lagi sekarang?”

“Kok gitu?”

“Ya kalau udah tau banyak, perlu ngebahas apa lagi sama gue?”

“Terus ini mau berakhir kayak biasanya? Tanpa dibahas dan ngilang gitu aja? Dulu Dee begitu, Winda begitu, dan Yulia juga sama kemarin. Masa kali ini sama Lira juga mau dilupain gitu aja?”

“Zy? Kamu ga tidur kan?” Emi bertanya memastikan.

“Nggak tidur kok. Gue lagi mikir.”

“Mikirin apaan?”

“Mikirin tentang semuanya?”

“Maksudnya?”

“Gue nggak tahan begini terus, Mi…”

“Zy? nggak tahan kenapa?”

“Kita putus aja, Mi.”

“ZY?! KAMU SERIUS?!” dia tersentak dan suaranya bergetar.

“Daripada kita selalu berakhir begini terus. Lo sibuk nuduh gue dan gue terus berusaha cari cara biar gue nggak jenuh sama lo, jadi mending kita putus aja.”

“Zy, Ya Allah! Aku mohon, Zy. Jangan putusin aku. Aku mohon ini semua becanda kan, Zy? Kamu becanda kan? Zy! Aku mohon. Aku sayang kamu, Zy.”

Ya. Gue juga sayang banget sama lo Mi.

“Gue juga TADINYA sayang banget sama lu, Mi. Tapi ternyata, ada yang lebih gue sayang.” Gue terpaksa harus berbohong untuk melepaskan Emi.

“Zy, kamu MASIH sayang aku. Kamu selalu sayang aku. Inget? Kamu janji kita nggak pernah pisah bukan?”

“Mi, gue nggak bisa ngelupain Lira gitu aja dari hidup gue. Gue nggak mau ngelepas Lira.”

“ZY! TOLONG! AKU MOHON! KAMU KENAPA? KENAPA MENDADAK MINTA PUTUS BEGINI?”

“Lo. Keluarga lo. Temen-temen lo. Gue ngerasa terlalu berat ngejalanin hubungan kita. Jadi, lebih baik kita pisah aja. Biar lo bisa nemuin yang lebih baik dari gue, Mi.”

“ZY! BOONG! BECANDA! SUMPAH! BOONG BANGET! ZY! MASA KAMU BISA SESINGKAT ITU SAYANG SAMA LIRA?”

“Hati gue udah memilih.”

“FIRZY! YA ALLAH! FIRZY!!!”

“Gue ngantuk, Mi. Gue istirahat ya. Lo jaga diri lo. Lo pasti bisa…”

“AT LEAST KASIH PENJELASAN KE AKU KENAPA KAMU NGERASA BERAT SAMA AKU-NYA? KENAPA KELUARGA AKU JUGA DIBAWA-BAWA? AKU KIRA MASALAH KITA CUMAN TEMEN AKU AJA?”

“Gue juga berharap begitu, Mi.”

“Zy, aku mohon. Kasih aku kesempatan. Kasih aku penjelasan. Kasih aku bukti untuk ngeyakinin kamu lagi.”

“Nggak bisa, Mi. Gue udah nggak bisa lagi.”

“ZY! Aku mohon banget!”

“Maaf ya. Yang gue mau sekarang cuman putus sama lo. Titik.”

“FIRZY!”

“Kalau lo teriak-teriak nangis begitu malem-malem, gue tutup teleponnya terus blokir lo juga nih.”

“Zy. Apa kita nggak break aja? Apa kita nggak ketemu dulu untuk ngomongin semuanya?”

“Gue belum mau ketemu lo lagi. Maaf ya. Gue nggak mau break begitu. Gue cuman mau putus sama lo. Gue mau fokus sama Lira dan ngejar kebahagiaan hidup gue. Maaf, Mi.”

“Kamu nggak bahagia sama aku?”

“Maaf, gue nggak merasa bahagia kayak dulu lagi…”

“Kenapa?”

“Udah malam. Kapan-kapan aja bahasnya, kalau gue udah siap ya.”

“Aku sayang kamu.”

“Makasih, Mi.”

“Zy, jangan tinggalin aku. Aku mohon.”

“Maaf, Mi. Jalan kita harus begini. Kita harus pisah, entah sampai kapan.”

“Aku sayang kamu banget, Zy.”

“Makasih, gue tidur dulu. Bye.”

Gue tutup telpon dengan hati yang sangat hancur berantakan. Gue menangis sejadi-jadinya. hal yang udah lama banget nggak gue lakukan. Gue harus berbohong kalau gue sayang Lira. Gue hanya sayang Emi. Gue nggak pernah mau kehilangan dia. Tapi nyatanya ini semua nggak berjalan dengan baik dan sesuai mau gue. Bahkan harus berakhir seperti ini. Gue harus kehilangan cinta sejati gue. Gue belum pernah merasakan kehilangan yang teramat dalam seperti ini.

Hidup harus terus berlanjut. Tapi yang pasti, gue tetap mencintai Emi.

yudhiestirafws
namikazeminati
khodzimzz
khodzimzz dan 19 lainnya memberi reputasi
18
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.