- Beranda
- Stories from the Heart
SeKamar Kos Dengan "Dia"
...
TS
afryan015
SeKamar Kos Dengan "Dia"

Halo agan agan sekalian, selamat datang di thread terbaru ane, dimana ini bisa disebut kisah atau lanjutan dari thread ane yang sebelumnya.
Mungkin bisa agan agan yang belun baca thread ane silahkan dibaca dulu thread ane sebelumnya
"Hidup Berdampingan Dengan Mereka'
Nah monggo yang belum baca silahkan dibaca dulu
oh iya bagi yang belum kenal ane, kenalin nama ane ryan, pemuda biasa yang berasal dari jawa tengah
Seperti biasa tempat nama dan lokasi bakal ane ganti, untuk kenyamanan bersama
Ok langsung aja menuju ceritanya,oh iya ane bakal ganti sebutan kata ane jadi aku hehehe soalnya aneh rasanya
Mungkin bisa agan agan yang belun baca thread ane silahkan dibaca dulu thread ane sebelumnya
"Hidup Berdampingan Dengan Mereka'
Nah monggo yang belum baca silahkan dibaca dulu
oh iya bagi yang belum kenal ane, kenalin nama ane ryan, pemuda biasa yang berasal dari jawa tengah
Seperti biasa tempat nama dan lokasi bakal ane ganti, untuk kenyamanan bersama
Ok langsung aja menuju ceritanya,oh iya ane bakal ganti sebutan kata ane jadi aku hehehe soalnya aneh rasanya
Quote:
Awal Mula Ngekos
Cerita ini bermula saat aku mulai memasuki bangku kuliah, disini aku masuk ke sebuah kampus swasta ternama di provinsi ***ja, kampus ku berada dipinggir jalan **** road *****, saat itu aku bersama kakaku mencari tempat kos di daerah dekat kampus, tapi sayangnya ongkos yang di perlukan untuk sewa kos di dekat kampus merogoh kocek yang lumayan menguras isi dompet.
Akhirnya kakaku menyarankan untuk menyewa kos dimana dulu kakaku pernah ngekos disana, yah walaupun jarak dari kos itu sampai ke kampus memerlukan waktu 5 - 10 menit untuk sampai, kupikir nggak masalah lah.
Langsung aku dan kakaku mengendarai motor mulai berangkat ke alamat kos tersebut, setelah beberapa menit kami berjalan akhirnya kita sampai di lokasi kos yang dulu pernah tinggal.
Quote:
Ya memang waktu itu harga segitu sangatlah murah dengan fasilitas sudah termasuk listrik dan air,
Aku dan kakak ku menunggu orang yang keluar dari dalam rumah kos.
Nggak membutuhkan waktu lama kemudian keluarlah seorang cewek dari dalam rumah kos itu
Quote:
Setelah masuk,kakaku menjelaskan kalo dia sedang mencari untuk aku adiknya, kemudian mbak dera mengajak kami untuk berkeliling melihat kamar kos yang masih tersedia.
Kos disini berjumlah 12 kamar 2 kamar mandi, posisinya 5 kamar dan 1 kamar mandi di lantai bawah, kemudian 7 kamardan 1 kamarmandi di lantai 2, oh iya posisi rumah menghadap ke arah timur dengan di sampingkanan rumah ada 1 rumah yang cukup luas dan jarang di tinggali dan di samping kiri ada rumah sekaligus tempat penjual makan yang kami sebut burjonan
Untuk kamar bawah sudaj terisi semua, makanya kita langsung di arahkan ke lantai 2, disana sudah ada 1 kamar yang di tempati,tepatnya pas di tengah tengah.
Dan disitu mbak dera mempersilahkan untuk Memilij kira kira mana yang menurutku nyaman untuk dipakai
Quote:
Aku mulai melihat satu persatu kamar yang masih kosong itu, aku memasuki salah satu kamar disamping kanan kamar yang sudah ada yang pakai itu, didalam ane ngelihat ada sebuah lukisan yang menurut ane kuno, dan lukisan itu adalah lukisan seseorang yang kalau di perhatikan ada aura yang sedikit membuat bulu kuduku berdiri saat melihatnya.
Walau kondisi kamar serasa nyaman tapi aku tetap merasa ada yang aneh dengan kamar itu, sehingga aku memutuskan untuk tidak menempati kamar itu, dan aku pikir untuk langsung keluar dari kamar itu,
Aku mulai keliling lagi kali ini aku memasuki kamar di sebelah kiri kamar yang sudah ada penghininya itu, kondisi kamar cukup luas dibandingkan dengan kamar kamar yang lain, untuk akses turun pun enak soalnya tangga untuk turun tepat di depan kamar ini dan dari sekian banyak kamar,hanya kamar ini saja yang memiliki 2 jendela,yang satu di depan berjejer dengan pintu masuk kamar dan satunya berada di sisi belakang,
Tanpa pikir panjang aku langsung memutuskan untuk memilih kamar itu untuk di sewa
Quote:
Nah disini kita langsung deal dan kita langsung mau pamit pulang dan buat besok bawa barang barang untuk di letakan di kos,
Dan kita langsung pamit pulang, posisi kita masih di lantai 2.
tapi setelah aku membalikan badan dan mulai melangkah turun, samar samar aku melihat ada sesuatu masuk dan berjalan di samping ku, sesosok makhluk berwarna abu abu, tidak terlalu tinggi tapi gerakannya lumayan cepat jadinya aku hanya bisa melihatnya sekejap tapi belum jelas wujud apa itu.
Aku cuek aja dengan apa yang barusan kewat, lanjut kita jalan keluar, dari bawah kita bisa melihat keatas dan melihat kamar kamar yang ada di atas,
Iseng ane lihat keatas buat ngliat kamar ku nanti yang akan menjadi tempat istirahat selama aku di kota ini.
Waktu aku ngliat ke atas, aku ngliat ada cewek berambut panjang dengan pakaian santai, wajahnya cantik, hanya saja dia seperti orang sakit dengan wajah sedikit pucat, sosok cewek itu tersenyum kepadaku.
Quote:
Oh iya di sini aku udah nggak bisa ngrasain itu hantu atau bukan,soalnya kepala ku yang biasanya terasa pusing jika akan menemui hal seperti itu sudah tidak terasa lagi sejak akhir Ujian SMK waktu itu, ntah karna konlet kebanyakan mikir atau giman aku juga kurang tau.
Aku cuek saja dengan sosok cewek di lantai 2 itu dan aku tetap berjalan keluar untuk pulang. Dan di jalan aku menanyakan hal pada kakak ku
Quote:
Tapi di perjalanan aku merasa jadi bimbang gimana kalo itu bukan orang, dan gimana kalo iti beneran dan dia mau ganggu aku terus disana.
Sempat terfikir buat membatalkan ngekos si sana, tapi mau gimana lagi kita terlanjur sidah deal dan kita juga sudah membayar uang kosnya, jadi kalo mau di minta lagi yang jelas nggak enak apalagi mas bono udah kenal akhrab dengan pemiliknya
Akhirnya aku nggak kehilangan akal, buat nyari temen kos, dan ternyata ada satu temen kos ku yang mencari kos dan aku ajak dia buat ngekos disana. Dan syukurnya dia mau buat ngekos disana.
Aman batinku, ada temen yang bisa aku mintai tolong kalo bener akan terjadi sesuatu disana. Dan dia ku kirimi alamat buat dia kesana dan melihat kamarnya.
Keesokan harinya dia memberi kabar kalo dia jadi ngekos disana dan posisi kamarnya tepat di samping kamar ku. Lega rasanya kalo ada temen.
Dan 2 hari kemudian aku mulai menempati kamar itu, dan temenku yang ngekos di sebelahku kayanya sore hari baru dia sampai di kos kosan.
Karna hari waktu itu terasa panas, jam menunjukan pukul 1 siang, aku putuskan buat mandi karna merasa gerah, yah maklum aja daerahku di pegunungan jadi mungkin tubuh ini merasa kaget dan belum terbiasa, suasana membuat tubuhku penuh kringat,
Aku langsung berjalan menuju kamar mandi, dan langsung ane melaksanakan kegiatan mandi,
Sesuai dugaan ku kemarin pasti akan ada gangguan disini, waktu aku mandi tiba tiba ....
Bersambung.....
Diubah oleh afryan015 17-10-2023 13:21
3.maldini dan 311 lainnya memberi reputasi
288
493.7K
5.5K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
afryan015
#2097
Revisi
<
Sudah beberapa hari ini Aruna mengikuti aktivitasku. Masih meneruskan kegiatan setelah ujian. Memang setelah ujian itu nilai sudah keluar, tapi aku masih harus mengerjakan beberapa revisi yang diberikan oleh dosen penguji. Sudah tiga kali ini aku janjian dengan dosen pengujiku yang bernama Pak Adi. Namun, tiga kali itu juga aku batal bertemu dengan beliau karena beliau ada urusan di luar kampus. Entah beliau sengaja atau tidak, tapi setiap kami sudah janjian dan aku sudah berada di depan ruangan beliau, pasti beliau ada saja acara beliau.
Hingga malam tadi Aruna memperhatikanku. Sepertinya dia melihat aku seperti sedang kesusahan. Malam itu Sinta sedang tidak berada di sana dan aku hanya berada di kamar bersama Aruna.
“Ryan, kamu kenapa kok wajahnya seperti sedang memikiran sesuatu? Ah, aku tahu. Kamu pasti lagi mikirin aku, ‘kan? Pasti masih membandingkan aku sama Sinta cantikan siapa, ‘kan? Hihihi ....” Aruna bertanya sambil menggodaku.
“Ah, kamu ini sama aja kaya Sinta, sama-sama centil. Ini, Ar, aku lagi mikirin gimana cara ketemu sama dosen. Dari tiga hari kemarin aku janjian, tapi akhirnya pasti batal karena si dosen ada acara terus di luar,” keluhku pada Aruna.
“Hihihi ... ‘kan kali aja. Memang kenapa? ‘Kan santai aja enggak apa-apa. Enggak usah diselesaikan, ‘kan masih bisa besok-besok. Lagian, kamu ini terlalu cepat selesai dibanding yang lainya.”
“Ya percuma dong jadinya, Ar, kalau aku tunda menyelesaikan revisi ini. Aku penginnya cepat selesai aja. ‘Kan tinggal nyusun rencana ke depan kalau kuliah udah selesai.”
“Sepertinya kamu pengin cepat selesai, ya? Ya udah, tenang aja. Besok dosennya enggak ke mana-mana kok.”
“Tahu dari mana kamu, Ar? Emang kamu tahu siapa dosen yang mau aku temui?”
“Hihihi ... enggak tahu siapa.” Dengan tertawa sok imut, dia menjawabnya.
“Huu ... dasar! Kayaknya kamu emang kopiannya Sinta, ya.”
“Ih, jangan samain aku sama si centil itu. Buru kasih tahu siapa nama dosenmu?” Dengan sedikit manyun dia menjawabku.
“Hahaha ... tuh ‘kan ... emang mirip. Ngambekan juga.”
“Ah, tauk, ah. Jadi malas bantuinya.” Dengan nada jengkel dan bertingkah seperti anak kecil yang ngambek tidak dibelikan mainan dia bertingkah.
“Hahaha ... benar-benar mirip.” Aku tertawa cukup kencang karena memang benar-benar mirip dengan Sinta. Hanya saja, mukanya lebih cantik Sinta, tapi dia tetep imut.
“Benar, ya, mau nyamain terus. Aku enggak jadi deh bantuin.” Terlihat bibirnya semakin manyun seperti Sinta saat sedang ngambek.
“Iya, iya, enggak deh. Tapi, bantuin, ya? Namanya Pak Adi,” jawabku sambil menahan tawa.
“Awas aja kalo masih nyamain aku sama dia. Huft ....” Dengan wajah kesal dia meliriku.
Tak lama setelah itu, semerbak wangi yang menandakan Sinta datang pun mulai tercium. Setiap Sinta dan Aruna datang, pasti akan memunculkan tanda berupa harum wangi. Namun, wangi mereka berdua beda. Jika Sinta memiliki wangi yang sangat membuat aku nyaman, wangi Aruna ini wangi yang tercium seperti bunga yang sangat segar. Akan tetapi, aku lebih suka harum yang muncul dari pertanda Sinta datang karena tidak ada yang menyerupai.
“Hai, kalian berdua. Lagi ngapain tuh? Maaf baru datang. Hehehe ....” Sinta datang dan menyapa kami.
“Hmm ...,” jawab Aruna cuek.
“Hai, Sinta,” jawabku sambil menahan tawa karena tingkah Aruna seperti sedang ngambek.
“Situ kalau kamu mau ketawa. Awas aja enggak bakal aku bantuin,” ancam Aruna padaku saat mendengar aku menahan ketawa.
“Ih, kalian ini kenapa sih kaya anak kecil gitu?” tanya Sinta penasaran.
“Ini nih Ryan. Masa iya sama-samain aku sama kamu, Ta.” Dengan raut muka yang cemberut berkata pada Sinta.
“Hey, hey, jangan pernah samain aku sama dia, ya. Kita ini beda.” Sinta memperjelasnya.
“Iya, enggak kok. Hahaha ....” Aku tak bisa menahan tawa saat mereka berdua menampakkan ekspresi muka yang hampir sama dengan cemberutnya.
“Tuh ‘kan ketawa lagi. Udah, ah, aku enggak jadi bantuin.” Aruna merajuk seperti anak kecil.
“Bantuin apaan sih, Yan? Hati-hati aja, ya, kalau kamu dibantuin Aruna, pasti ada yang enggak beres nantinya.”
“Jangan gituhlah, Aruna. Bantuin, ya. Janji deh enggak samain kamu sama Sinta lagi. Eh, emang apa enggak beresnya, Ta?”
“Udah enggak usah dengarin Sinta. Oke, aku bantu, tapi jangan samain kita lagi.”
Aku hanya mengangguk sambil menahan tawaku karena mereka masih menunjukkan ekspresi yang sama.
“Ya udah, kalau gitu, aku enggak ikutan, ya, Yan,” kata Sinta memperingatkanku.
Entah apa yang dimaksud Sinta, tapi aku tidak memedulikannya. Soalnya, aku beberapa kali minta Sinta untuk membantuku memperlancar bertemu dengan dosen dia pasti menolaknya. Dia beralasan bahwa dia ingin aku menyelesaikan sekolahku dengan usahaku sendiri. Kesusahan aku bertemu dengan dosen itu merupakan salah satu urusan yang harus bisa diatasi sendiri.
Setelah meladeni kekonyolan mereka berdua karena aku sama-samakan, aku memutuskan untuk pergi tidur. Ternyata, saat aku sedang berusaha untuk tidur, mereka berdua malah berdiskusi tentang kemiripan mereka. Aku yang masih terjaga dan mendengar obrolan mereka hanya bisa menahan tawa sambil berpura-pura sudah tertidur. Aruna yang sepertinya mendengar aku menahan tawa, tiba-tiba tangan Aruna menutup mulut dan hidungku yang membuatku tak dapat bernapas. Akhirnya, aku bangkit lagi dari kasur. Dan betapa kagetnya, ternyata tangan Aruna memanjang. Soalnya, dia berada agak jauh dari aku tidur tadi, kurang lebih 2 meter. Tangannya memanjang dan meraih hidung dan mulutku. Karena kaget dan tidak bisa bernapas, aku pun akhirnya bisa tidur secara instan alias aku pingsan.
Pagi hari, aku dibangunkan oleh Aruna. Dan masih dengan cara yang sama usilnya, dia menutup lubang hidungku dengan kedua jarinya yang dimasukan ke lubang hidungku dan ditarik kembali. Itu dia lakukan berulang kali dan itu sukses membangunkanku dengan tampang bloon karena sesak napas. Orang Jawa bilang cengap-cengap. Melihat aku yang terbangun dan dalam keadan susah napas, terlihat Aruna dan Sinta tertawa cekikikan. Entah sejak Aruna ikut nimbrung di sini, kejailan Sinta semakin bertambah. Mereka berdua memandangku sambil cekikikan dan terlihat sangat puas. Aku yang sedikit jengkel hanya bisa mengatur napas dan segera bangkit untuk pergi ke kamar mandi. Soalnya, jam sudah menunjukkan pukul 04.50. Aku berdiri kemudian melewati mereka berdua dengan memberi lirikan tajam untuk memberitahu kalau aku lagi sedikit emosi. Bukannya selesai cekikikan, mereka malah semakin puas tertawanya. Sial amat kayaknya hari ini, pagi-pagi sudah dikerjai dua makhluk centil. Aku pergi ke kamar mandi untuk mandi sekalian berwudu dan bergegas kembali ke kamar untuk salat. Aku sempat beres-beres kamar sebelum aku berangkat ke kampus jam 07.00 untuk bertemu dosen. Aku merasa ragu bahwa kali ini akan berhasil menemuinya.
Akhirnya, aku berangkat ke kampus. Aku pacu motor sedikit cepat berharap dosen belum pergi. Sesampainya di kampus, terlihat gedung berwarna ungu dan kembali rasa ragu bertemu dosen kembali muncul. Akan tetapi, aku teringat dengan janji Aruna kalau dia mau membantu. Dengan sekuat mungkin, aku menghilangkan rasa ragu itu dan segera bertemu dengan dosen. Aku berjalan ke gedung satu untuk segera bertemu dengan dosen. Sesampainya di depan ruangan, aku bertanya pada satpam yang berjaga apakah Pak Adi sudah berada di ruangannya atau belum. Dan jawabannya pun membuat keraguanku muncul. Satpam itu berkata, “Tas nya sih ada, Mas, tapi enggak tahu orangnya di mana. Tapi setahu saya, dia belum keluar kok. Tunggu bentar aja dulu.”
Dengan menghela napas, aku pun duduk di kursi depan ruangan dosen itu. Tak berselang lama, akhirnya Pak Adi pun muncul. Namun, ada yang aneh dari gerak-gerik Pak Adi, dia berjalan sambil memegang perutnya dan terlihat keringat membasahi kepala dan badannya. Pak Adi pun langsung masuk ke ruangannya. Aku pun dipersilakan oleh satpam untuk masuk ke ruangan Pak Adi.
“Selamat pagi, Pak. Maaf mengganggu waktunya. Saya mau mengajukan hasil revisi skripsi, Pak.”
“Eee ... eh, iya silakan duduk!” Pak Adi mempersilakan aku duduk dengan nada seperti sedang menahan sesuatu.
“Eee ... maaf, Pak, Bapak sehat, ‘kan? Kok keringat Bapak banyak banget,” tanyaku keheranan dengan kondisi Pak Adi.
“Aduh, enggak tahu ini, Mas. Enggak biasa-biasanya kaya gini. Dari tadi pagi sejak sampai kampus kaya gini.” Dengan nada cemas, Pak Adi tetap memegang perutnya.
“Salah makan mungkin, Pak, atau malah belum makan.”
“Sudah kok. Biasanya juga enggak gini. Udah mana sini revisimu?” Pak Adi meminta hasil revisiku dengan duduk yang tak bisa diam alias goyang kanan goyang kiri seperti sedang menahan sesuatu.
Aku diam sambil melihat gerak-gerik Pak Adi yang sepertinya semakin parah dengan tak bisa duduk diam.
“Aduh, sakit amat nih perut. Udah kekuras abis kayaknya dalamnya.”
“Bapak, enggak apa-apa atau mau saya pAnggilkan satpam buat bawain obat, Pak?”
“Sudah, sudah, enggak usah. Oh iya, ini udah benar kok. Saya tanda tangani saja.”
Pak Adi kemudian menandatangani revisiku dan memberikannya padaku. Setelah selesai, aku pun berdiri dan kemudian menyalami Pak Adi dan berterima kasih. Pak Adi pun ikut berdiri dengan keringat yang semakin banyak. Saat Pak Adi berdiri dan menyalamiku, terdengar suara. Preeettt. Terlihat mimik muka Pak Adi berubah seketika. Dan saat itu juga, Pak Adi melepas tangannya dariku. Aku hanya tersenyum kecut dan segera pamit. Dan saat aku mulai melangkah meninggalkan Pak Adi, aku mendengar beliau bergumam, “Sial! Kali ini tembus.”
Saat aku sampai di pintu ruangan, Pak Adi kembali memAnggilku dan memintaku untuk memAnggilkan satpam masuk ke ruangannya. Aku mengiyakan dan sekalian pergi pulang ke kos.
Sesampainya di kos, aku sudah disambut oleh Sinta dan Aruna. Terlihat Sinta dengan senyumnya menyambutku dan Aruna seperti tertawa cekikikan.
“Hai, Ryan, gimana? Sukses ‘kan ketemu dosennya? ‘Kan aku udah bilang.” Dengan enteng Aruna bertanya padaku.
“Oh, jadi itu ulah kamu? Kasihan, lo, Pak Adi. Kamu ini ada-ada aja.”
“Lah, yang penting ‘kan kamu berhasil ketemu dia, ‘kan? Hihihi ....”
“Sudah aku duga, pasti ada hal seperti itu,” ucap Sinta seperti sudah tahu yang dilakukan Aruna
Sudah beberapa hari ini Aruna mengikuti aktivitasku. Masih meneruskan kegiatan setelah ujian. Memang setelah ujian itu nilai sudah keluar, tapi aku masih harus mengerjakan beberapa revisi yang diberikan oleh dosen penguji. Sudah tiga kali ini aku janjian dengan dosen pengujiku yang bernama Pak Adi. Namun, tiga kali itu juga aku batal bertemu dengan beliau karena beliau ada urusan di luar kampus. Entah beliau sengaja atau tidak, tapi setiap kami sudah janjian dan aku sudah berada di depan ruangan beliau, pasti beliau ada saja acara beliau.
Hingga malam tadi Aruna memperhatikanku. Sepertinya dia melihat aku seperti sedang kesusahan. Malam itu Sinta sedang tidak berada di sana dan aku hanya berada di kamar bersama Aruna.
“Ryan, kamu kenapa kok wajahnya seperti sedang memikiran sesuatu? Ah, aku tahu. Kamu pasti lagi mikirin aku, ‘kan? Pasti masih membandingkan aku sama Sinta cantikan siapa, ‘kan? Hihihi ....” Aruna bertanya sambil menggodaku.
“Ah, kamu ini sama aja kaya Sinta, sama-sama centil. Ini, Ar, aku lagi mikirin gimana cara ketemu sama dosen. Dari tiga hari kemarin aku janjian, tapi akhirnya pasti batal karena si dosen ada acara terus di luar,” keluhku pada Aruna.
“Hihihi ... ‘kan kali aja. Memang kenapa? ‘Kan santai aja enggak apa-apa. Enggak usah diselesaikan, ‘kan masih bisa besok-besok. Lagian, kamu ini terlalu cepat selesai dibanding yang lainya.”
“Ya percuma dong jadinya, Ar, kalau aku tunda menyelesaikan revisi ini. Aku penginnya cepat selesai aja. ‘Kan tinggal nyusun rencana ke depan kalau kuliah udah selesai.”
“Sepertinya kamu pengin cepat selesai, ya? Ya udah, tenang aja. Besok dosennya enggak ke mana-mana kok.”
“Tahu dari mana kamu, Ar? Emang kamu tahu siapa dosen yang mau aku temui?”
“Hihihi ... enggak tahu siapa.” Dengan tertawa sok imut, dia menjawabnya.
“Huu ... dasar! Kayaknya kamu emang kopiannya Sinta, ya.”
“Ih, jangan samain aku sama si centil itu. Buru kasih tahu siapa nama dosenmu?” Dengan sedikit manyun dia menjawabku.
“Hahaha ... tuh ‘kan ... emang mirip. Ngambekan juga.”
“Ah, tauk, ah. Jadi malas bantuinya.” Dengan nada jengkel dan bertingkah seperti anak kecil yang ngambek tidak dibelikan mainan dia bertingkah.
“Hahaha ... benar-benar mirip.” Aku tertawa cukup kencang karena memang benar-benar mirip dengan Sinta. Hanya saja, mukanya lebih cantik Sinta, tapi dia tetep imut.
“Benar, ya, mau nyamain terus. Aku enggak jadi deh bantuin.” Terlihat bibirnya semakin manyun seperti Sinta saat sedang ngambek.
“Iya, iya, enggak deh. Tapi, bantuin, ya? Namanya Pak Adi,” jawabku sambil menahan tawa.
“Awas aja kalo masih nyamain aku sama dia. Huft ....” Dengan wajah kesal dia meliriku.
Tak lama setelah itu, semerbak wangi yang menandakan Sinta datang pun mulai tercium. Setiap Sinta dan Aruna datang, pasti akan memunculkan tanda berupa harum wangi. Namun, wangi mereka berdua beda. Jika Sinta memiliki wangi yang sangat membuat aku nyaman, wangi Aruna ini wangi yang tercium seperti bunga yang sangat segar. Akan tetapi, aku lebih suka harum yang muncul dari pertanda Sinta datang karena tidak ada yang menyerupai.
“Hai, kalian berdua. Lagi ngapain tuh? Maaf baru datang. Hehehe ....” Sinta datang dan menyapa kami.
“Hmm ...,” jawab Aruna cuek.
“Hai, Sinta,” jawabku sambil menahan tawa karena tingkah Aruna seperti sedang ngambek.
“Situ kalau kamu mau ketawa. Awas aja enggak bakal aku bantuin,” ancam Aruna padaku saat mendengar aku menahan ketawa.
“Ih, kalian ini kenapa sih kaya anak kecil gitu?” tanya Sinta penasaran.
“Ini nih Ryan. Masa iya sama-samain aku sama kamu, Ta.” Dengan raut muka yang cemberut berkata pada Sinta.
“Hey, hey, jangan pernah samain aku sama dia, ya. Kita ini beda.” Sinta memperjelasnya.
“Iya, enggak kok. Hahaha ....” Aku tak bisa menahan tawa saat mereka berdua menampakkan ekspresi muka yang hampir sama dengan cemberutnya.
“Tuh ‘kan ketawa lagi. Udah, ah, aku enggak jadi bantuin.” Aruna merajuk seperti anak kecil.
“Bantuin apaan sih, Yan? Hati-hati aja, ya, kalau kamu dibantuin Aruna, pasti ada yang enggak beres nantinya.”
“Jangan gituhlah, Aruna. Bantuin, ya. Janji deh enggak samain kamu sama Sinta lagi. Eh, emang apa enggak beresnya, Ta?”
“Udah enggak usah dengarin Sinta. Oke, aku bantu, tapi jangan samain kita lagi.”
Aku hanya mengangguk sambil menahan tawaku karena mereka masih menunjukkan ekspresi yang sama.
“Ya udah, kalau gitu, aku enggak ikutan, ya, Yan,” kata Sinta memperingatkanku.
Entah apa yang dimaksud Sinta, tapi aku tidak memedulikannya. Soalnya, aku beberapa kali minta Sinta untuk membantuku memperlancar bertemu dengan dosen dia pasti menolaknya. Dia beralasan bahwa dia ingin aku menyelesaikan sekolahku dengan usahaku sendiri. Kesusahan aku bertemu dengan dosen itu merupakan salah satu urusan yang harus bisa diatasi sendiri.
Setelah meladeni kekonyolan mereka berdua karena aku sama-samakan, aku memutuskan untuk pergi tidur. Ternyata, saat aku sedang berusaha untuk tidur, mereka berdua malah berdiskusi tentang kemiripan mereka. Aku yang masih terjaga dan mendengar obrolan mereka hanya bisa menahan tawa sambil berpura-pura sudah tertidur. Aruna yang sepertinya mendengar aku menahan tawa, tiba-tiba tangan Aruna menutup mulut dan hidungku yang membuatku tak dapat bernapas. Akhirnya, aku bangkit lagi dari kasur. Dan betapa kagetnya, ternyata tangan Aruna memanjang. Soalnya, dia berada agak jauh dari aku tidur tadi, kurang lebih 2 meter. Tangannya memanjang dan meraih hidung dan mulutku. Karena kaget dan tidak bisa bernapas, aku pun akhirnya bisa tidur secara instan alias aku pingsan.
Pagi hari, aku dibangunkan oleh Aruna. Dan masih dengan cara yang sama usilnya, dia menutup lubang hidungku dengan kedua jarinya yang dimasukan ke lubang hidungku dan ditarik kembali. Itu dia lakukan berulang kali dan itu sukses membangunkanku dengan tampang bloon karena sesak napas. Orang Jawa bilang cengap-cengap. Melihat aku yang terbangun dan dalam keadan susah napas, terlihat Aruna dan Sinta tertawa cekikikan. Entah sejak Aruna ikut nimbrung di sini, kejailan Sinta semakin bertambah. Mereka berdua memandangku sambil cekikikan dan terlihat sangat puas. Aku yang sedikit jengkel hanya bisa mengatur napas dan segera bangkit untuk pergi ke kamar mandi. Soalnya, jam sudah menunjukkan pukul 04.50. Aku berdiri kemudian melewati mereka berdua dengan memberi lirikan tajam untuk memberitahu kalau aku lagi sedikit emosi. Bukannya selesai cekikikan, mereka malah semakin puas tertawanya. Sial amat kayaknya hari ini, pagi-pagi sudah dikerjai dua makhluk centil. Aku pergi ke kamar mandi untuk mandi sekalian berwudu dan bergegas kembali ke kamar untuk salat. Aku sempat beres-beres kamar sebelum aku berangkat ke kampus jam 07.00 untuk bertemu dosen. Aku merasa ragu bahwa kali ini akan berhasil menemuinya.
Akhirnya, aku berangkat ke kampus. Aku pacu motor sedikit cepat berharap dosen belum pergi. Sesampainya di kampus, terlihat gedung berwarna ungu dan kembali rasa ragu bertemu dosen kembali muncul. Akan tetapi, aku teringat dengan janji Aruna kalau dia mau membantu. Dengan sekuat mungkin, aku menghilangkan rasa ragu itu dan segera bertemu dengan dosen. Aku berjalan ke gedung satu untuk segera bertemu dengan dosen. Sesampainya di depan ruangan, aku bertanya pada satpam yang berjaga apakah Pak Adi sudah berada di ruangannya atau belum. Dan jawabannya pun membuat keraguanku muncul. Satpam itu berkata, “Tas nya sih ada, Mas, tapi enggak tahu orangnya di mana. Tapi setahu saya, dia belum keluar kok. Tunggu bentar aja dulu.”
Dengan menghela napas, aku pun duduk di kursi depan ruangan dosen itu. Tak berselang lama, akhirnya Pak Adi pun muncul. Namun, ada yang aneh dari gerak-gerik Pak Adi, dia berjalan sambil memegang perutnya dan terlihat keringat membasahi kepala dan badannya. Pak Adi pun langsung masuk ke ruangannya. Aku pun dipersilakan oleh satpam untuk masuk ke ruangan Pak Adi.
“Selamat pagi, Pak. Maaf mengganggu waktunya. Saya mau mengajukan hasil revisi skripsi, Pak.”
“Eee ... eh, iya silakan duduk!” Pak Adi mempersilakan aku duduk dengan nada seperti sedang menahan sesuatu.
“Eee ... maaf, Pak, Bapak sehat, ‘kan? Kok keringat Bapak banyak banget,” tanyaku keheranan dengan kondisi Pak Adi.
“Aduh, enggak tahu ini, Mas. Enggak biasa-biasanya kaya gini. Dari tadi pagi sejak sampai kampus kaya gini.” Dengan nada cemas, Pak Adi tetap memegang perutnya.
“Salah makan mungkin, Pak, atau malah belum makan.”
“Sudah kok. Biasanya juga enggak gini. Udah mana sini revisimu?” Pak Adi meminta hasil revisiku dengan duduk yang tak bisa diam alias goyang kanan goyang kiri seperti sedang menahan sesuatu.
Aku diam sambil melihat gerak-gerik Pak Adi yang sepertinya semakin parah dengan tak bisa duduk diam.
“Aduh, sakit amat nih perut. Udah kekuras abis kayaknya dalamnya.”
“Bapak, enggak apa-apa atau mau saya pAnggilkan satpam buat bawain obat, Pak?”
“Sudah, sudah, enggak usah. Oh iya, ini udah benar kok. Saya tanda tangani saja.”
Pak Adi kemudian menandatangani revisiku dan memberikannya padaku. Setelah selesai, aku pun berdiri dan kemudian menyalami Pak Adi dan berterima kasih. Pak Adi pun ikut berdiri dengan keringat yang semakin banyak. Saat Pak Adi berdiri dan menyalamiku, terdengar suara. Preeettt. Terlihat mimik muka Pak Adi berubah seketika. Dan saat itu juga, Pak Adi melepas tangannya dariku. Aku hanya tersenyum kecut dan segera pamit. Dan saat aku mulai melangkah meninggalkan Pak Adi, aku mendengar beliau bergumam, “Sial! Kali ini tembus.”
Saat aku sampai di pintu ruangan, Pak Adi kembali memAnggilku dan memintaku untuk memAnggilkan satpam masuk ke ruangannya. Aku mengiyakan dan sekalian pergi pulang ke kos.
Sesampainya di kos, aku sudah disambut oleh Sinta dan Aruna. Terlihat Sinta dengan senyumnya menyambutku dan Aruna seperti tertawa cekikikan.
“Hai, Ryan, gimana? Sukses ‘kan ketemu dosennya? ‘Kan aku udah bilang.” Dengan enteng Aruna bertanya padaku.
“Oh, jadi itu ulah kamu? Kasihan, lo, Pak Adi. Kamu ini ada-ada aja.”
“Lah, yang penting ‘kan kamu berhasil ketemu dia, ‘kan? Hihihi ....”
“Sudah aku duga, pasti ada hal seperti itu,” ucap Sinta seperti sudah tahu yang dilakukan Aruna
Diubah oleh afryan015 27-10-2021 17:36
itkgid dan 47 lainnya memberi reputasi
48
Tutup