- Beranda
- Stories from the Heart
AKU, KAMU, DAN LEMON : SETELAH SEMUANYA BERAKHIR
...
TS
beavermoon
AKU, KAMU, DAN LEMON : SETELAH SEMUANYA BERAKHIR
Setelah beberapa tahun memutuskan untuk beristirahat, akhirnya Beavermoon kembali untuk menyelesaikan apa yang seharusnya bisa diselesaikan lebih cepat.
Sedikit bercerita bahwa cerita ini adalah akhir dari serial Aku, Kamu, dan Lemon. Cerita ini tidak lagi mengisahkan tentang Bram, Widya, Dinda, dan yang lainnya. Cerita ini akan mengisahkan tentang sang penulis dari Aku, Kamu, dan Lemon setelah seri Buku Harian Airin berakhir. Bagaimana ia harus menjalani hidup setelah semuanya berakhir, bagaimana ia harus menyelesaikan dan menjelaskan semua cerita yang sudah ia tulis.
Lalu kenapa cerita ini masih menjadi bagian Aku, Kamu, dan Lemon jika sudah tidak ada lagi para tokoh utama dari cerita tersebut? Mungkin, apa yang dirasakan oleh sang penulis bisa menjadi penutup dari serial ini, dengan catatan telah mendapatkan izin dari beberapa orang yang "namanya" pernah tercantum di cerita sebelumnya.
Untuk kalian yang baru bergabung, mungkin bisa baca seri sebelumnya terlebih dahulu sebelum membaca seri terakhir ini.
AKU, KAMU, DAN LEMON
AKU, KAMU, DAN LEMON : BUKU HARIAN AIRIN
Dan bagi kalian yang sudah mengikuti dari seri pertama, selamat datang kembali. Semoga apa yang menjadi pertanyaan selama ini bisa terjawab, jika tidak terjawab maka lebih baik bertanya di kolom komentar. Satu info terakhir, seri ini akan update 3X dalam seminggu (Senin, Rabu, Jum'at) agar tidak terlalu lama. Enjoy!

Spoiler for Index:
Episode 1
Episode 2
Episode 3
Episode 4
Episode 5
Episode 6
Episode 7
Episode 8A
Episode 8B
Episode 9
Episode 10
Episode 11
Episode 12
Episode 13
Episode 14
Episode 15
Episode 16
Episode 17
Episode 18A
Episode 18B
Episode 19
Episode 20
Episode 21
Episode 22
Episode 23
Episode 24
Episode 25
Episode 26
Episode 27
Episode 28
Episode 29
Episode 30
Episode 31
Episode 32
Episode 33
Episode 34 (Finale)
Episode 35A (Extended)
Episode 35B (Extended)
Episode 2
Episode 3
Episode 4
Episode 5
Episode 6
Episode 7
Episode 8A
Episode 8B
Episode 9
Episode 10
Episode 11
Episode 12
Episode 13
Episode 14
Episode 15
Episode 16
Episode 17
Episode 18A
Episode 18B
Episode 19
Episode 20
Episode 21
Episode 22
Episode 23
Episode 24
Episode 25
Episode 26
Episode 27
Episode 28
Episode 29
Episode 30
Episode 31
Episode 32
Episode 33
Episode 34 (Finale)
Episode 35A (Extended)
Episode 35B (Extended)
Diubah oleh beavermoon 27-06-2020 18:27
i4munited dan 31 lainnya memberi reputasi
32
27.1K
Kutip
395
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
beavermoon
#200
Spoiler for Episode 27:
"Kalau aku pikir sih kayaknya si Monster udah bisa ngelupain Renata, yang aku pikir sih itu bagus buat hidupnya dia. Kasian aja ngeliat dia harus nungguin sesuatu yang ngga pasti untuk waktu yang lama." Jelas Ferdi.
"Tapi kok kayaknya Mas Adrian udah akrab banget sama... siapa tadi namanya aku lupa." Kata Gigi.
"Bulan..." Ferdi menjawab, "yang dipanggil sama Adrian itu Bubu. Mereka udah kenal jauh sebelum aku kenal sama Adrian, mereka dulu satu SD dan baru ketemu lagi sekarang."
"Bubu? Kalau Ka Bulan manggil Mas Adrian apa?" Tanya Mita.
"Ayi kalau aku ngga salah denger waktu itu, kayak panggilan pas mereka kecil gitu sih." Jelas Ferdi lagi.
"Udah ayo fokus kerja lagi, ntar ketahuan Mas Adrian bisa marah dia." Kata Bella.
"Oh iya, bener juga kamu Bel. Ayo semua sudahi pergunjingan kali ini, nanti malem baru kita lanjut lagi." Kata Ferdi.
Mereka pun tertawa dan kemudian mereka kembali pada pekerjaan mereka masing-masing. Meninggalkan mereka yang sudah bergunjing tentangku, kali ini aku dan Bulan sedang duduk di bangku halaman belakang. Bulan masih melihat-lihat sekeliling halaman belakang, aku pun menyalakan sebatang rokok.
"Halaman belakang ini emang sengaja ngga kamu buka buat umum? Padahal bagus loh Yi." Katanya.
"Emang sengaja sih aku ngga mau buka ini untuk umum. Dulu pas pertama buka tuh aku ngerasa kayak butuh tempat buat istirahat sama temen-temen yang lain, sampai akhirnya ya tempat ini jadi privateuntuk kita aja." Jelasku.
"Ngomong-ngomong aku nggapapa di sini? Soalnya kata Ferdi aku di suruh ke sini aja nunggunya." Kata Bulan.
"Nggapapa kok kalau emang disuruh ke sini." Kataku.
Bulan mengangguk beberapa kali, "Oh iya aku liat di depan ada empat orang selain Ferdi, itu yang udah gantiin posisi kamu? Berarti tempat ini udah ngalamin perubahan drastis dong Yi?"
"Kalau perubahan drastis... mungkin bisa dibilang tempat ini jadi lebih besar sih, aku jujur ngga bisa buat sendirian di balik mesin kopi. Sampai akhirnya aku dan Ferdi mutusin buat nyari beberapa orang lagi. Oh iya, ngomong-ngomong aku kan belum ngasih tau tempat aku di sini. Kok kamu bisa tau?" Kataku.
Bulan mengeluarkan handphone miliknya, "Aku tau dari sini. Kamu hebat banget bisa diliput sama media elektronik."
"Oh ini..." aku mengambil handphone Bulan, "sebenernya sih karena ini ada kerja sama aja waktu itu dan yang aku ngga tau kalau mereka bakalan masukin ini ke berita mereka."
Bulan kembali memasukkan handphonenya ke dalam tas yang ia bawa. Batang rokok yang ku hisap pun akhirnya habis, aku mengajak Bulan untuk masuk ke dalam. Setelah berpindah ke dalam, aku memutuskan untuk membuatkannya sebuah minuman andalan yang ada di kedai ini.
Ckrek! Aku melihat ke arah Bulan yang sedang mengambil gambar dengan kamera miliknya, kami pun saling beradu senyum satu sama lain. Hingga akhirnya minuman yang ku buat jadi, aku pun mengantarkan kepadanya.
"Silahkan..." ku letakkan gelas di atas meja, "masih suka foto?"
"Eh makasih Yi. Masih kok, malah sekarang kayak momen yang pas aja. Kalau emang aku lagi terbang ke daerah mana jadi bisa sekalian foto gitu, dan bisa nambah ilmu juga." Jelasnya.
Aku mengangguk beberapa kali, Bulan pun meminum minuman yang ku buat. Mungkin aku sudah hafal dengan ekspresi orang yang baru pertama kali meminum minuman andalan dari kedai ini, jadi aku pun bisa tersenyum sebelum orang itu memberi tau bagaimana rasanya.
"Waw!..." Bulan menatap ke arahku, "ini serius enak Yi, pasti ini jadi menu andalan kedai ini."
Aku menganguk beberapa kali, kemudian aku mulai menjelaskan bagaimana akhirnya aku bisa menemukan resep yang pas untuk minuman tersebut dan bagaimana itu berpengaruh kepada kedai ini. Aku seperti mengetahui bagaimana Bulan bereaksi ketika aku berbicara kepadanya, ia tidak pernah melepas pandangannya. Tatapannya yang serius membuatku semakin ingin bercerita lebih, seperti aku mendapat sebuah perhatian yang lebih dari biasanya.
"Aku bener-bener ngga nyangka Yi kalau kamu bakalan terjun ke dunia ini, aku pikir dulu nih kayak aku suka ngebayangin temen-temen aku kalau udah gede bakalan kerja di bidang apa. Dan kamu yang bener-bener out of the box dari pemikiran aku." Jelas Bulan.
"Apa yang kamu bayangin emang?" Tanyaku.
"Kayak yang pernah aku bilang sih, kamu itu bakalan kerja sebagai akademisi entah apapun itu. Tapi semuanya salah, kamu bisa terjun ke dunia bisnis kayak gini." Ucapnya lagi.
Perbincangan kami berlanjut, dan tak terasa hari sudah malam. Bulan sedang membereskan barang bawaannya ke dalam tas, kami pun berdiri lalu menuju ke mesin kasir di mana Ferdi dan Rara sedang berdiri.
"Eh aku belum bayar tadi." Ucap Bulan.
"Totalnya..."
"Ngga usah, biar aku aja yang bayarin." Kataku.
Bulan menatap ke arahku, "Eh ngga usah dong Yi, aku kan ke sini sebagai pelanggan."
"Udah nggapapa Bul..." Ferdi ikut berbicara, "eh mending lu anter sekalian si Bulan daripada harus naik ojol dia."
"Iya Mas, lagian juga udah jam segini. Sebentar lagi kita juga tutup." Kata Bella.
"Eh kok malah aku yang jadi ngerepotin? Udah ngga usah aku naik ojol aja nggapapa." Kata Bulan.
"Kamu tunggu sebentar." Kataku.
Aku berjalan menuju loker untuk mengambil tas dan barang bawaanku, kemudian aku kembali ke hadapan Bulan sambil berpamitan dengan yang lain. Aku dan Bulan pun keluar dari gedung ini.
"Semoga lu bahagia sama yang ini Dri." Ucap Ferdi seorang diri.
Bella yang mendengar itu pun setuju dengan menampakkan senyumnya secara sembunyi-sembunyi. Meninggalkan mereka di dalam, aku sedang berdiri bersama Bulan di dekat Syailendra parkir.
"Eh kamu ngga bawa jaket?" Tanyaku.
Bulan hanya menggelengkan kepalanya, dan akhirnya aku pun memberikan sweater yang ku bawa untuk ia kenakan. Beberapa kali terjadi penolakan, akhirnya ia pun setuju untuk mengenakan sweater yang ku berikan. Setelah itu ku kenakan helm kepadanya, ku atur agar talinya tidak terlalu ketat atau terlalu longgar.
Aku pun menyalakan mesin motor, kemudian Bulan duduk di bangku belakang. Setelah memastikan semuanya aman, kami pun meninggalkan ruko ini. Jalanan masih cukup ramai, namun tidak semacet beberapa jam sebelumnya.
Melewati jalan yang sama, melewati beberapa bangunan yang sama, berhenti di perempatan yang sama, yang berbeda hanya siapa yang ada di bangku belakang. Beberapa waktu ke belakang, ada seseorang yang pernah menemani hari-hariku. Namun, semuanya berubah begitu saja. Dan saat ini, ada seorang teman lama yang kembali bertemu.
"Yi, nanti mampir dulu ya ke rumah." Ucap Bulan.
"Ke rumah?..." aku sempat menoleh ke belakang, "udah..."
Srrt! Aku menarik tuas rem dengan cepat hingga membuat ban depan dan belakang Syailendra terhenti dan bergesek dengan aspal jalan. Ada pengendara motor yang membuatku terkejut hingga harus memaksa pengereman kali ini, ia pun juga ikut kaget melihat ada motor di sampingnya.
"Eh! Maaf Pak." Ucapnya.
Aku pun tersenyum sambil menganggukkan kepalaku, karena takut membuat kemacetan aku pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan setelah melambaikan tangan kepada pengendara tersebut.
"Kamu nggapapa?" Tanyaku.
"Nggapapa kok Yi cuma kaget aja tadi." Jawab Bulan.
"Maaf ya." Kataku.
"Ngomong-ngomong begini nggapapa kan?" Tanyanya.
Awalnya aku sempat tak mengerti apa maksud pembicaraannya, hingga kemudian aku menyadari ke mana arah pembicaraannya. Aku mengangguk beberapa kali, pertanda aku mengizinkan Bulan untuk memelukku.
Kami pun memasuki komplek perumahan di mana Bulan tinggal, beberapa rumah dari pintu masuk dan akhirnya aku menghentikan motorku tepat di depan rumahnya. Aku membantu Bulan untuk turun dari motor kemudian membukakan helm yang ia kenakan. Setelah itu aku pun ikut turun dari motor.
"Ayo masuk dulu."
Bulan memegang tanganku lalu mengarahkanku untuk masuk ke dalam halaman rumahnya, aku hanya bisa mengikutinya tanpa ada sepatah kata pun yang keluar dariku. Aku pun memutuskan untuk duduk di halaman rumah dengan alasan ingin merokok.
"Aku masuk dulu ya ke dalem." Katanya.
Aku mengangguk dalam diam, ia pun masuk ke dalam rumah. Aku berdiri untuk melihat halaman rumah sambil menyalakan sebatang rokok. Tak lama berselang, keluarlah Bulan membawakan minum kepadaku.
"Ayah sama Ibu udah tidur ternyata Yi." Ucapnya.
"Yaudah nggapapa kok." Kataku.
Kami pun berpindah ke kursi yang ada di halaman depan rumah, aku pun meminum minuman yang diuatkan oleh Bulan.
"Temen-temen kamu seru banget keliatannya." Kata Bulan.
"Beruntung sih aku bisa ketemu sama mereka semua, terlebih Ferdi sama Bella yang bener-bener dari awal kita bangun itu bareng-bareng." Kataku.
Bulan menganggukkan kepalanya, "Ngomong-ngomong kamu belum ngenalin aku ke pacar kamu Yi."
"Mana ada pacar Bu, kamu tuh yang harusnya ngenalin pacar kamu." Kataku.
"Apalagi aku Yi, pada males kali mereka buat deketin aku." Jawabnya.
"Loh males kenapa?" Tanyaku heran.
"Kamu kenal aku kan orangnya gimana? Mereka pasti males buat ngedeketin aku." Katanya.
"Ngomong-ngomong soal itu, kenapa kita bisa deket ya waktu SD? Padahal kan kamu orangnya ngejaga banget sama yang namanya cowo, tapi kok kita bisa ya?" Kataku.
"Bentar..." Bulan berfikir, "oh iya aku inget. Dulu pernah sekali seumur hidup aku, aku baru ngerasain yang namanya pingsan. Dan saat itu kita lagi upacara di Sekolah, aku pingsan dan aku tau kamu yang nolongin aku waktu itu. Dan semenjak itu ya akhirnya kita bisa deket."
"Aku jadi inget sekarang. Pertanyaannya sih kenapa kamu selalu jaga jarak banget sama cowo dari dulu? Padahal kamu cantik, harusnya bisa gampang buat punya cowo. Tuh kan aku jadi penasaran lagi." Kataku.
"Males aja tau Yi. Sebenernya sih bukan itu alasan utamanya, ada alasan yang bikin aku males buat deket-deket sama cowo dari dulu." Ucapnya.
Aku mulai mendengarkan apa yang akan ia katakan.
"Dulu tuh ada satu orang di SD kita yang... apa ya aku nyebutnya takut kasar banget. Aku bilang aja dia merasa paling cantik deh orangnya." Katanya.
"Kayaknya aku tau deh siapa orangnya." Kataku.
"Semoga siapa yang kamu pikirin sama apa yang aku mau ceritain. Nah terus dulu kan kita temenan, sampai akhirnya aku tau selama kita temenan itu dia selalu ngomongin di belakang. Itu yang bikin aku jadi males banget sama dia dan bikin aku males buat dideketin sama cowo." Jelasnya.
"Kedengerennya sih sederhana ya cuma bisa bikin kamu berubah." Kataku.
"Dan kebiasaan sih, karena dari dulu udah males deket sama cowo ya kebawa deh sampai sekarang. Makanya kalau ada yang nanya pacar aku mana, aku cuma bisa jawab do'ain aja." Jawabnya.
Aku mengangguk beberapa kali, ku sempatkan untuk menyalakan sebatang rokok lagi sebelum aku memutuskan untuk pulang ke rumah.
"Kalau kamu sendiri, kenapa kamu ngga punya pacar?" Tanyanya.
"Hm... sesederhana ada luka yang belum sembuh mungkin." Jawabku.
"Itu ngga sederhana dong Yi kalau ada luka yang belum sembuh dalam kurun waktu yang lama. Tapi wajar aja sih, tiap orang kan punya waktu buat nyembuhin lukanya masing-masing." Jawabnya.
"Aku mau nanya sama kamu, gimana menurut kamu tentang..."
Ternyata tak cukup satu batang rokok untuk menemani pembicaraan kali ini, entah sudah beberapa batang pun aku lupa. Namun aku cukup senang mendapatkan teman untuk mencurahkan apa yang sebenarnya selama ini tertahankan.
Bulan termasuk orang yang bisa menerima bagaimana keadaan yang seharusnya terjadi, meskipun aku merahasiakan siapa sebenarnya Renata. Ia pun bisa memberikan saran-saran yang akhirnya bisa membukakan pikiranku yang selama ini tertutup, meskipun semuanya sudah terlambat. Terima kasih, Bulan.
*
"Jadi mereka selama ini mereka ngga pernah nikah?" Tanya Ferdi.
"Yang aku denger gitu sih Bang, soalnya kan mereka tiba-tiba punya anak tapi ngga ada kejelasannya." Ucap Bella.
"Aku ngga abis pikir sih, kok bisa-bisanya mereka kayak gitu? Maksud aku kan gini, ini kan Indonesia. Budaya kita beda banget kalau mau ngomongin gituan." Sahut Gigi.
"Bener juga sih, kalau di Eropa atau Amerika mungkin bisa aja." Lanjut Rara.
"Kalian ngomongin apa sih?"
Secara bersamaan mereka berlima menatap ke arahku, beberapa dari mereka pun terkejut mengetahui kedatanganku karena tidak ada suara bel dari pintu yang terbuka.
"Kok Mas Adrian bisa masuk tapi ngga ada suara bel sih? Tanya Mita.
"Ya bisa dong kan aku yang ngerancang ini semua jadi tau celahnya, kalian ngomongin apa sih tadi?" Kataku.
"Echa cuk, udah punya anak." Ucap Ferdi.
"Terus kenapa? Ya bagus dong suami-istri dikasih anak." Kataku.
"Dengerin dulu sempak! Jadi selama ini tuh si Echa ternyata ngga nikah sama cewenya." Kata Ferdi.
"Ha!..." Ekspresiku berubah drastis, "jangan bikin gosip yang ngga-ngga lu mentang-mentang kedainya udah pernah dikunjungin sama orang pemerintahan."
"Ngapain juga gue sampai ngegosipin kayak gitu, lagian gue juga tau dari Bella." Ucap Ferdi.
"Serius Bel?" Tanyaku cepat.
Bella mulai menceritakan bagaimana awal cerita itu, aku pun mendengar dengan seksama agar tidak terjadi sebuah berita yang mengada-ada.
"Lagian juga bener sih, emang lu pernah liat bininya si Echa?" Tanya Ferdi.
Aku menggelengkan kepala, "Tapi kan kalau sampai dia udah cerita ke banyak orang sih aneh juga kalau bukan beneran. Wah ini jadi misteri nih."
"Gimana kalau kita bikin tim investigasi?" Tanya Ferdi.
"Mata lu, mending pikirin buat service mesin." Kataku.
Seperti itulah kegiatan kami jika memang keadaan kedai tidak terlalu ramai, akan ada apa saja untuk menjadi paham pembicaraan kami alias bahan gosip. Tidak menutup kemungkinan juga untuk kami melakukannya, kami hanya manusia pada umumnya.
Sore pun tiba, aku sedang berada di halaman belakang. Tidak sendirian, ada Kivandra yang sedang menemaniku. Nama yang asing? Mungkin. Dia adalah nama yang ku berikan untuk mesin kopi yang kami gunakan saat ini. Beberapa hari belakangan performanya menurun, itulah yang membuatku membongkarnya pada sore hari ini. Kalau Kivandra sedang diperbaiki, bagaimana dengan mesin yang dipegang Bella? Jangan lupakan Simona, mesin pertama kami.
"Gimana cuk?" Tanya Ferdi.
"Selangnya bocor nih..." aku menunjukkan kepada Ferdi, "pantes aja psi nya ngga banget. Selebihnya aman, pesen gih sama Bang Isman."
"Santai, untung aja ngga parah-parah banget. Eh ngomong-ngomong kok gue jadi penasaran ya siapa bininya si Echa." Ucap Ferdi.
"Kenapa jadi penasaran? Kurang puas lu gosip tadi sama anak-anak?" Tanyaku.
"Bukan gitu, lu emang ngga penasaran sama istrinya setelah muncul kejadian yang tadi kita bicarain? Hebat juga sih kalau lu ngga penasaran, gue berani jamin semua yang udah tau cerita sebenernya pasti penasaran. Dan lagian, dia udah dua tahun nikah tapi ngga pernah ngasih liat istrinya." Jelas Ferdi.
"Brengs*k juga lu, lama-lama gue jadi kepikiran juga jadinya." Kataku.
"Nah! Udah ayo kita bikin investigasi buruan." Ajak Ferdi.
Aku hanya memandang malas ke arah Ferdi sambil membereskan alat-alat. Setelah itu aku kembali membawa masuk Kivandra ke dalam gudang sambil menunggu barang yang dipesan oleh Ferdi tiba. Setelah itu aku berdiri di samping Bella yang sedang membuatkan pesanan pelanggan.
"Untung banget ya Mas dulu Simona ngga dijual, aku ngga ngebayangin kalau Kivandra rusak terus ngga ada gantinya." Kata Bella.
"Bener kan apa yang aku bilang, jangan mentang-mentang udah ada yang baru terus kita ninggalin yang lama. Di simpen dulu, siapa tau emang masih ngebutuhin di keadaan-keadaan kayak gini." Jelasku.
"Aku jadi semakin ngerti sama konsep Mas Adrian..." Bella menyerahkan pesanan kepada Gigi lalu kembali ke sampingku, "tapi kalau urusan hati gimana Mas? Apa bisa diterapin juga?"
"Terlalu idealis sih kalau satu konsep dipakai buat semua permasalahan. Mungkin ada konsep-konsep yang bisa muncul, karena kalau terlalu idealis bisa mati." Kataku.
Bella mengangguk beberapa kali. Benar saja, akan ada satu konsep yang menjadi acuan kita dalam menjalani hidup, namun tidak semua aspek bisa menerima konsep tersebut. Idealis baik, namun terlaku idealis bisa membunuh kita secara perlahan.
Akan bermunculan konsep-konsep baru yang terasa asing namun cocok untuk mengatasi suatu permasalahan yang lain. Tidak salah memiliki beberapa konsep untuk menjalani hidup dan menyelesaikan masalah, selagi tidak merugikan pihak mana pun.
Seperti halnya urusan hati seperti apa yang baru saja Bella pertanyakan. Aku tidak bisa menggunakan konsep untuk menyimpan barang untuk menjawab tentang urusan hati karena itu adalah dua hal yang sangat berbeda.
Kling! Pintu terbuka, aku masih melihat catatan yang sudah dituliskan Bella. Ia pun menyenggol lengan tanganku beberapa kali hingga berhasil membuatku melihat ke arahnya.
"Kenapa sih Bel?" Tanyaku.
"Cantik banget ya Mas." Ucapnya tanpa memandangku.
Aku pun melihat ke mana Bella menatap, aku pun ikut tersenyum.
"Hai Ayi."
***
"Tapi kok kayaknya Mas Adrian udah akrab banget sama... siapa tadi namanya aku lupa." Kata Gigi.
"Bulan..." Ferdi menjawab, "yang dipanggil sama Adrian itu Bubu. Mereka udah kenal jauh sebelum aku kenal sama Adrian, mereka dulu satu SD dan baru ketemu lagi sekarang."
"Bubu? Kalau Ka Bulan manggil Mas Adrian apa?" Tanya Mita.
"Ayi kalau aku ngga salah denger waktu itu, kayak panggilan pas mereka kecil gitu sih." Jelas Ferdi lagi.
"Udah ayo fokus kerja lagi, ntar ketahuan Mas Adrian bisa marah dia." Kata Bella.
"Oh iya, bener juga kamu Bel. Ayo semua sudahi pergunjingan kali ini, nanti malem baru kita lanjut lagi." Kata Ferdi.
Mereka pun tertawa dan kemudian mereka kembali pada pekerjaan mereka masing-masing. Meninggalkan mereka yang sudah bergunjing tentangku, kali ini aku dan Bulan sedang duduk di bangku halaman belakang. Bulan masih melihat-lihat sekeliling halaman belakang, aku pun menyalakan sebatang rokok.
"Halaman belakang ini emang sengaja ngga kamu buka buat umum? Padahal bagus loh Yi." Katanya.
"Emang sengaja sih aku ngga mau buka ini untuk umum. Dulu pas pertama buka tuh aku ngerasa kayak butuh tempat buat istirahat sama temen-temen yang lain, sampai akhirnya ya tempat ini jadi privateuntuk kita aja." Jelasku.
"Ngomong-ngomong aku nggapapa di sini? Soalnya kata Ferdi aku di suruh ke sini aja nunggunya." Kata Bulan.
"Nggapapa kok kalau emang disuruh ke sini." Kataku.
Bulan mengangguk beberapa kali, "Oh iya aku liat di depan ada empat orang selain Ferdi, itu yang udah gantiin posisi kamu? Berarti tempat ini udah ngalamin perubahan drastis dong Yi?"
"Kalau perubahan drastis... mungkin bisa dibilang tempat ini jadi lebih besar sih, aku jujur ngga bisa buat sendirian di balik mesin kopi. Sampai akhirnya aku dan Ferdi mutusin buat nyari beberapa orang lagi. Oh iya, ngomong-ngomong aku kan belum ngasih tau tempat aku di sini. Kok kamu bisa tau?" Kataku.
Bulan mengeluarkan handphone miliknya, "Aku tau dari sini. Kamu hebat banget bisa diliput sama media elektronik."
"Oh ini..." aku mengambil handphone Bulan, "sebenernya sih karena ini ada kerja sama aja waktu itu dan yang aku ngga tau kalau mereka bakalan masukin ini ke berita mereka."
Bulan kembali memasukkan handphonenya ke dalam tas yang ia bawa. Batang rokok yang ku hisap pun akhirnya habis, aku mengajak Bulan untuk masuk ke dalam. Setelah berpindah ke dalam, aku memutuskan untuk membuatkannya sebuah minuman andalan yang ada di kedai ini.
Ckrek! Aku melihat ke arah Bulan yang sedang mengambil gambar dengan kamera miliknya, kami pun saling beradu senyum satu sama lain. Hingga akhirnya minuman yang ku buat jadi, aku pun mengantarkan kepadanya.
"Silahkan..." ku letakkan gelas di atas meja, "masih suka foto?"
"Eh makasih Yi. Masih kok, malah sekarang kayak momen yang pas aja. Kalau emang aku lagi terbang ke daerah mana jadi bisa sekalian foto gitu, dan bisa nambah ilmu juga." Jelasnya.
Aku mengangguk beberapa kali, Bulan pun meminum minuman yang ku buat. Mungkin aku sudah hafal dengan ekspresi orang yang baru pertama kali meminum minuman andalan dari kedai ini, jadi aku pun bisa tersenyum sebelum orang itu memberi tau bagaimana rasanya.
"Waw!..." Bulan menatap ke arahku, "ini serius enak Yi, pasti ini jadi menu andalan kedai ini."
Aku menganguk beberapa kali, kemudian aku mulai menjelaskan bagaimana akhirnya aku bisa menemukan resep yang pas untuk minuman tersebut dan bagaimana itu berpengaruh kepada kedai ini. Aku seperti mengetahui bagaimana Bulan bereaksi ketika aku berbicara kepadanya, ia tidak pernah melepas pandangannya. Tatapannya yang serius membuatku semakin ingin bercerita lebih, seperti aku mendapat sebuah perhatian yang lebih dari biasanya.
"Aku bener-bener ngga nyangka Yi kalau kamu bakalan terjun ke dunia ini, aku pikir dulu nih kayak aku suka ngebayangin temen-temen aku kalau udah gede bakalan kerja di bidang apa. Dan kamu yang bener-bener out of the box dari pemikiran aku." Jelas Bulan.
"Apa yang kamu bayangin emang?" Tanyaku.
"Kayak yang pernah aku bilang sih, kamu itu bakalan kerja sebagai akademisi entah apapun itu. Tapi semuanya salah, kamu bisa terjun ke dunia bisnis kayak gini." Ucapnya lagi.
Perbincangan kami berlanjut, dan tak terasa hari sudah malam. Bulan sedang membereskan barang bawaannya ke dalam tas, kami pun berdiri lalu menuju ke mesin kasir di mana Ferdi dan Rara sedang berdiri.
"Eh aku belum bayar tadi." Ucap Bulan.
"Totalnya..."
"Ngga usah, biar aku aja yang bayarin." Kataku.
Bulan menatap ke arahku, "Eh ngga usah dong Yi, aku kan ke sini sebagai pelanggan."
"Udah nggapapa Bul..." Ferdi ikut berbicara, "eh mending lu anter sekalian si Bulan daripada harus naik ojol dia."
"Iya Mas, lagian juga udah jam segini. Sebentar lagi kita juga tutup." Kata Bella.
"Eh kok malah aku yang jadi ngerepotin? Udah ngga usah aku naik ojol aja nggapapa." Kata Bulan.
"Kamu tunggu sebentar." Kataku.
Aku berjalan menuju loker untuk mengambil tas dan barang bawaanku, kemudian aku kembali ke hadapan Bulan sambil berpamitan dengan yang lain. Aku dan Bulan pun keluar dari gedung ini.
"Semoga lu bahagia sama yang ini Dri." Ucap Ferdi seorang diri.
Bella yang mendengar itu pun setuju dengan menampakkan senyumnya secara sembunyi-sembunyi. Meninggalkan mereka di dalam, aku sedang berdiri bersama Bulan di dekat Syailendra parkir.
"Eh kamu ngga bawa jaket?" Tanyaku.
Bulan hanya menggelengkan kepalanya, dan akhirnya aku pun memberikan sweater yang ku bawa untuk ia kenakan. Beberapa kali terjadi penolakan, akhirnya ia pun setuju untuk mengenakan sweater yang ku berikan. Setelah itu ku kenakan helm kepadanya, ku atur agar talinya tidak terlalu ketat atau terlalu longgar.
Aku pun menyalakan mesin motor, kemudian Bulan duduk di bangku belakang. Setelah memastikan semuanya aman, kami pun meninggalkan ruko ini. Jalanan masih cukup ramai, namun tidak semacet beberapa jam sebelumnya.
Melewati jalan yang sama, melewati beberapa bangunan yang sama, berhenti di perempatan yang sama, yang berbeda hanya siapa yang ada di bangku belakang. Beberapa waktu ke belakang, ada seseorang yang pernah menemani hari-hariku. Namun, semuanya berubah begitu saja. Dan saat ini, ada seorang teman lama yang kembali bertemu.
"Yi, nanti mampir dulu ya ke rumah." Ucap Bulan.
"Ke rumah?..." aku sempat menoleh ke belakang, "udah..."
Srrt! Aku menarik tuas rem dengan cepat hingga membuat ban depan dan belakang Syailendra terhenti dan bergesek dengan aspal jalan. Ada pengendara motor yang membuatku terkejut hingga harus memaksa pengereman kali ini, ia pun juga ikut kaget melihat ada motor di sampingnya.
"Eh! Maaf Pak." Ucapnya.
Aku pun tersenyum sambil menganggukkan kepalaku, karena takut membuat kemacetan aku pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan setelah melambaikan tangan kepada pengendara tersebut.
"Kamu nggapapa?" Tanyaku.
"Nggapapa kok Yi cuma kaget aja tadi." Jawab Bulan.
"Maaf ya." Kataku.
"Ngomong-ngomong begini nggapapa kan?" Tanyanya.
Awalnya aku sempat tak mengerti apa maksud pembicaraannya, hingga kemudian aku menyadari ke mana arah pembicaraannya. Aku mengangguk beberapa kali, pertanda aku mengizinkan Bulan untuk memelukku.
Kami pun memasuki komplek perumahan di mana Bulan tinggal, beberapa rumah dari pintu masuk dan akhirnya aku menghentikan motorku tepat di depan rumahnya. Aku membantu Bulan untuk turun dari motor kemudian membukakan helm yang ia kenakan. Setelah itu aku pun ikut turun dari motor.
"Ayo masuk dulu."
Bulan memegang tanganku lalu mengarahkanku untuk masuk ke dalam halaman rumahnya, aku hanya bisa mengikutinya tanpa ada sepatah kata pun yang keluar dariku. Aku pun memutuskan untuk duduk di halaman rumah dengan alasan ingin merokok.
"Aku masuk dulu ya ke dalem." Katanya.
Aku mengangguk dalam diam, ia pun masuk ke dalam rumah. Aku berdiri untuk melihat halaman rumah sambil menyalakan sebatang rokok. Tak lama berselang, keluarlah Bulan membawakan minum kepadaku.
"Ayah sama Ibu udah tidur ternyata Yi." Ucapnya.
"Yaudah nggapapa kok." Kataku.
Kami pun berpindah ke kursi yang ada di halaman depan rumah, aku pun meminum minuman yang diuatkan oleh Bulan.
"Temen-temen kamu seru banget keliatannya." Kata Bulan.
"Beruntung sih aku bisa ketemu sama mereka semua, terlebih Ferdi sama Bella yang bener-bener dari awal kita bangun itu bareng-bareng." Kataku.
Bulan menganggukkan kepalanya, "Ngomong-ngomong kamu belum ngenalin aku ke pacar kamu Yi."
"Mana ada pacar Bu, kamu tuh yang harusnya ngenalin pacar kamu." Kataku.
"Apalagi aku Yi, pada males kali mereka buat deketin aku." Jawabnya.
"Loh males kenapa?" Tanyaku heran.
"Kamu kenal aku kan orangnya gimana? Mereka pasti males buat ngedeketin aku." Katanya.
"Ngomong-ngomong soal itu, kenapa kita bisa deket ya waktu SD? Padahal kan kamu orangnya ngejaga banget sama yang namanya cowo, tapi kok kita bisa ya?" Kataku.
"Bentar..." Bulan berfikir, "oh iya aku inget. Dulu pernah sekali seumur hidup aku, aku baru ngerasain yang namanya pingsan. Dan saat itu kita lagi upacara di Sekolah, aku pingsan dan aku tau kamu yang nolongin aku waktu itu. Dan semenjak itu ya akhirnya kita bisa deket."
"Aku jadi inget sekarang. Pertanyaannya sih kenapa kamu selalu jaga jarak banget sama cowo dari dulu? Padahal kamu cantik, harusnya bisa gampang buat punya cowo. Tuh kan aku jadi penasaran lagi." Kataku.
"Males aja tau Yi. Sebenernya sih bukan itu alasan utamanya, ada alasan yang bikin aku males buat deket-deket sama cowo dari dulu." Ucapnya.
Aku mulai mendengarkan apa yang akan ia katakan.
"Dulu tuh ada satu orang di SD kita yang... apa ya aku nyebutnya takut kasar banget. Aku bilang aja dia merasa paling cantik deh orangnya." Katanya.
"Kayaknya aku tau deh siapa orangnya." Kataku.
"Semoga siapa yang kamu pikirin sama apa yang aku mau ceritain. Nah terus dulu kan kita temenan, sampai akhirnya aku tau selama kita temenan itu dia selalu ngomongin di belakang. Itu yang bikin aku jadi males banget sama dia dan bikin aku males buat dideketin sama cowo." Jelasnya.
"Kedengerennya sih sederhana ya cuma bisa bikin kamu berubah." Kataku.
"Dan kebiasaan sih, karena dari dulu udah males deket sama cowo ya kebawa deh sampai sekarang. Makanya kalau ada yang nanya pacar aku mana, aku cuma bisa jawab do'ain aja." Jawabnya.
Aku mengangguk beberapa kali, ku sempatkan untuk menyalakan sebatang rokok lagi sebelum aku memutuskan untuk pulang ke rumah.
"Kalau kamu sendiri, kenapa kamu ngga punya pacar?" Tanyanya.
"Hm... sesederhana ada luka yang belum sembuh mungkin." Jawabku.
"Itu ngga sederhana dong Yi kalau ada luka yang belum sembuh dalam kurun waktu yang lama. Tapi wajar aja sih, tiap orang kan punya waktu buat nyembuhin lukanya masing-masing." Jawabnya.
"Aku mau nanya sama kamu, gimana menurut kamu tentang..."
Ternyata tak cukup satu batang rokok untuk menemani pembicaraan kali ini, entah sudah beberapa batang pun aku lupa. Namun aku cukup senang mendapatkan teman untuk mencurahkan apa yang sebenarnya selama ini tertahankan.
Bulan termasuk orang yang bisa menerima bagaimana keadaan yang seharusnya terjadi, meskipun aku merahasiakan siapa sebenarnya Renata. Ia pun bisa memberikan saran-saran yang akhirnya bisa membukakan pikiranku yang selama ini tertutup, meskipun semuanya sudah terlambat. Terima kasih, Bulan.
*
"Jadi mereka selama ini mereka ngga pernah nikah?" Tanya Ferdi.
"Yang aku denger gitu sih Bang, soalnya kan mereka tiba-tiba punya anak tapi ngga ada kejelasannya." Ucap Bella.
"Aku ngga abis pikir sih, kok bisa-bisanya mereka kayak gitu? Maksud aku kan gini, ini kan Indonesia. Budaya kita beda banget kalau mau ngomongin gituan." Sahut Gigi.
"Bener juga sih, kalau di Eropa atau Amerika mungkin bisa aja." Lanjut Rara.
"Kalian ngomongin apa sih?"
Secara bersamaan mereka berlima menatap ke arahku, beberapa dari mereka pun terkejut mengetahui kedatanganku karena tidak ada suara bel dari pintu yang terbuka.
"Kok Mas Adrian bisa masuk tapi ngga ada suara bel sih? Tanya Mita.
"Ya bisa dong kan aku yang ngerancang ini semua jadi tau celahnya, kalian ngomongin apa sih tadi?" Kataku.
"Echa cuk, udah punya anak." Ucap Ferdi.
"Terus kenapa? Ya bagus dong suami-istri dikasih anak." Kataku.
"Dengerin dulu sempak! Jadi selama ini tuh si Echa ternyata ngga nikah sama cewenya." Kata Ferdi.
"Ha!..." Ekspresiku berubah drastis, "jangan bikin gosip yang ngga-ngga lu mentang-mentang kedainya udah pernah dikunjungin sama orang pemerintahan."
"Ngapain juga gue sampai ngegosipin kayak gitu, lagian gue juga tau dari Bella." Ucap Ferdi.
"Serius Bel?" Tanyaku cepat.
Bella mulai menceritakan bagaimana awal cerita itu, aku pun mendengar dengan seksama agar tidak terjadi sebuah berita yang mengada-ada.
"Lagian juga bener sih, emang lu pernah liat bininya si Echa?" Tanya Ferdi.
Aku menggelengkan kepala, "Tapi kan kalau sampai dia udah cerita ke banyak orang sih aneh juga kalau bukan beneran. Wah ini jadi misteri nih."
"Gimana kalau kita bikin tim investigasi?" Tanya Ferdi.
"Mata lu, mending pikirin buat service mesin." Kataku.
Seperti itulah kegiatan kami jika memang keadaan kedai tidak terlalu ramai, akan ada apa saja untuk menjadi paham pembicaraan kami alias bahan gosip. Tidak menutup kemungkinan juga untuk kami melakukannya, kami hanya manusia pada umumnya.
Sore pun tiba, aku sedang berada di halaman belakang. Tidak sendirian, ada Kivandra yang sedang menemaniku. Nama yang asing? Mungkin. Dia adalah nama yang ku berikan untuk mesin kopi yang kami gunakan saat ini. Beberapa hari belakangan performanya menurun, itulah yang membuatku membongkarnya pada sore hari ini. Kalau Kivandra sedang diperbaiki, bagaimana dengan mesin yang dipegang Bella? Jangan lupakan Simona, mesin pertama kami.
"Gimana cuk?" Tanya Ferdi.
"Selangnya bocor nih..." aku menunjukkan kepada Ferdi, "pantes aja psi nya ngga banget. Selebihnya aman, pesen gih sama Bang Isman."
"Santai, untung aja ngga parah-parah banget. Eh ngomong-ngomong kok gue jadi penasaran ya siapa bininya si Echa." Ucap Ferdi.
"Kenapa jadi penasaran? Kurang puas lu gosip tadi sama anak-anak?" Tanyaku.
"Bukan gitu, lu emang ngga penasaran sama istrinya setelah muncul kejadian yang tadi kita bicarain? Hebat juga sih kalau lu ngga penasaran, gue berani jamin semua yang udah tau cerita sebenernya pasti penasaran. Dan lagian, dia udah dua tahun nikah tapi ngga pernah ngasih liat istrinya." Jelas Ferdi.
"Brengs*k juga lu, lama-lama gue jadi kepikiran juga jadinya." Kataku.
"Nah! Udah ayo kita bikin investigasi buruan." Ajak Ferdi.
Aku hanya memandang malas ke arah Ferdi sambil membereskan alat-alat. Setelah itu aku kembali membawa masuk Kivandra ke dalam gudang sambil menunggu barang yang dipesan oleh Ferdi tiba. Setelah itu aku berdiri di samping Bella yang sedang membuatkan pesanan pelanggan.
"Untung banget ya Mas dulu Simona ngga dijual, aku ngga ngebayangin kalau Kivandra rusak terus ngga ada gantinya." Kata Bella.
"Bener kan apa yang aku bilang, jangan mentang-mentang udah ada yang baru terus kita ninggalin yang lama. Di simpen dulu, siapa tau emang masih ngebutuhin di keadaan-keadaan kayak gini." Jelasku.
"Aku jadi semakin ngerti sama konsep Mas Adrian..." Bella menyerahkan pesanan kepada Gigi lalu kembali ke sampingku, "tapi kalau urusan hati gimana Mas? Apa bisa diterapin juga?"
"Terlalu idealis sih kalau satu konsep dipakai buat semua permasalahan. Mungkin ada konsep-konsep yang bisa muncul, karena kalau terlalu idealis bisa mati." Kataku.
Bella mengangguk beberapa kali. Benar saja, akan ada satu konsep yang menjadi acuan kita dalam menjalani hidup, namun tidak semua aspek bisa menerima konsep tersebut. Idealis baik, namun terlaku idealis bisa membunuh kita secara perlahan.
Akan bermunculan konsep-konsep baru yang terasa asing namun cocok untuk mengatasi suatu permasalahan yang lain. Tidak salah memiliki beberapa konsep untuk menjalani hidup dan menyelesaikan masalah, selagi tidak merugikan pihak mana pun.
Seperti halnya urusan hati seperti apa yang baru saja Bella pertanyakan. Aku tidak bisa menggunakan konsep untuk menyimpan barang untuk menjawab tentang urusan hati karena itu adalah dua hal yang sangat berbeda.
Kling! Pintu terbuka, aku masih melihat catatan yang sudah dituliskan Bella. Ia pun menyenggol lengan tanganku beberapa kali hingga berhasil membuatku melihat ke arahnya.
"Kenapa sih Bel?" Tanyaku.
"Cantik banget ya Mas." Ucapnya tanpa memandangku.
Aku pun melihat ke mana Bella menatap, aku pun ikut tersenyum.
"Hai Ayi."
***
oktavp dan 6 lainnya memberi reputasi
7
Kutip
Balas