Original Posted By julkernaut►aaa, saya sebagai seseorang yg tidak pernah tidak terlambat harus mengkalrifikasi...
"orang yang selalu terlambat kemungkinan lebih kreatif"
1. itu masih kemungkinan, sedangkan saya pernah juga membaca bahwa "hasil penelitian yg dilakukan seseorang cenderung mendukung hasil yg diinginkan oleh peneliti tersebut", apalagi jika penelitian tersebut bukan berasal dari ranah ilmu pasti (apa istilah ilmu pasti yg saya gunakan sesuai?), peneliti cenderung melakukan cerry picking dalam penelitian seperti ini, dan banyak faktor lain yg menyebabkan penelitian seperti ini tidak valid, seperti penggunaan pseudoscience untuk mendukung hasil penelitian dll
2. jika memang itu benar, prosesnya tidak boleh terbalik dan ada banyak alasan di balik itu semua, "bukan karena seseorang terlambat maka dia menjadi kreatif", tapi karena seseorang tersebut kreatif banyak hal yg membuat orang tersebut teralihkan perhatiannya sehingga pada akhirnya dia terlambat, sama seperti penelitian tentang "orang malas kemungkinan lebih cerdas dibandingkan orang pada umumnya", bukan karena dia malas kemudian dia menjadi cerdas, tapi karena dia cerdas, dia bisa menyelesaikan pekerjaannya dengan lebih cepat sehingga bisa lebih cepat beristirahat untuk menghemat tenaga dan dalam hal ini muncul persepsi dari orang lain yg beranggapan bahwa orang tersebut malas, kembali lagi sebenarnya masalah perspektif dan persepsi, orang lain menilai dia sebagai pemalas sedangkan dari sudut pandang lain, dia bukan malas, dia bekerja dengan efisien dan efektif, terdengar sepele, tapi penelitian seperti ini terkadang meracuni pikiran orang yg membacanya, seperti mendengar sebuah kutipan kata mutiara kemudian menerapkan secara harfiah, saya ambil contoh dari teman saya sendiri, dia pernah membaca mengenai "orang cerdas cenderung malas", you know what? dia sengaja memalas2kan dirinya, dengan harapan menjadi cerdas (dianggap cerdas) what the hell, terdengar tidak masuk akal, tapi itu benar2 dilakukan, mau seperti teman saya?
3. jika pada kemungkinan paling kecil orang terlambat tersebut memang orang yg kreatif, seperti pada point ke 2, ia bukan tidak menghargai waktu, ia hanya memiliki prioritas yg sedikit berbeda dengan orang pada umumnya, jika kondisinya memang merupakan suatu hal yg bersifat penting, maka dia akan sangat bisa untuk tidak terlambat, jika pun memang tidak bisa menghilangkan kebiasaan terlambatnya, dia tetap bisa dan mengapresiasi orang yg disiplin dan tepat waktu, saya rasa itu yg membedakan orang terlambat yg hanya malas atau orang terlambat karena memiliki prioritas yg berbeda
jika harus memilih, lebih baik memilih menjadi orang rajin yg disiplin dan berdedikasi pada apa yg dia lakukan...
OOT, saya tidak pernah keluar dari kebiasaan silent reader saya jika suatu topik tidak cukup menggelitik untuk saya komentari, dan terkadang jika dalam thread tersebut menyangkut kehidupan saya secara personal, saya rasa sangat jarang saya tidak ikut menceritakan pengalaman saya sendiri di dalamnya (curhat)
-ATTENTION-
(postingan di bawah ini sudah di luar dari topik, anda bisa mengabaikan tulisan di bawah ini, saya tidak bertanggungjawab jika waktu anda tersita karena komentar saya yg sudah di luar topik)
saya terlahir dari orang tua yg bersekolah di zaman sulit, ayah tidak pernah mengenyam pendidikan formal sedangkan ibu hanya lulus SLTP, ayah saya hanya lulus SR (sekolah rakyat, dan dalam hal ini jangan membayangkan sekolah rakyat yg "formal", ini murni sekolah yg dibentuk dari dasar pengabdian para pengajar, jika sekarang mungkin mirip sekolah yg didirikan sukarelawan tanpa kelembagaan), di SR tersebut tidak ada jam pasti karena banyak faktor, dan mentalitas seperti itu tetap dipertahankan almarhum ayah saya di era saya, saya pun tumbuh menjadi anak yg kurang paham disiplin, karena bagi saya saat itu yang penting bisa masuk sekolah, dan guru saat itu juga kurang mampu memberikan pemahaman mengenai arti kedisiplinan kepada saya (saya akui itu merupakan kesalahan saya pribadi), dan oknum guru SD saya juga hanya bisa mencemooh tanpa mencoba untuk memberikan pengertian, pada saat itu murid yg lain juga cuek dengan keterlambatan, bullyan yg saya alami dari sesama siswa terkait dengan hal di luar keterlambatan (bullyan yg saya alami saat SD itu cerita yg lain), dan terlebih lagi pada zaman itu, tidak ada hukuman untuk keterlambatan, pada hari ujian nasional (dahulu cerelac, eh dahulu EBTANAS) pun saya saat itu terlambat dan bahkan tidur saat ujian (kurang brutal apa coba?)
lanjut SMP pun saya tetap terlambat, sekali lagi belum ada yg mampu menggerakkan hati saya dan membuat saya menyadari pentingnya arti kedisiplinan, hanya saja yg bertambah adalah jumlah pembully tentang kebiasaan saya, selain diteruskan oleh beberapa oknum guru dan secara tidak langsung ditiru oleh sesama siswa, jika dahulu bullyan terlepas dari keterlambatan, sekarang terlambat juga jadi alasan baru untuk membully, tapi sebagai anak kecil itu tidak terlalu saya pikirkan, sehingga tidak banyak berdampak pada aktifitas saya sehari2 di sekolah
di SMA sebenarnya ada perubahan dari diri saya, saya mulai memahami kebiasaan saya yg salah tersebut, tapi beda SD beda SMP beda pula SMA, yg namanya oknum guru selalu saja ada (walaupun sebenarnya istilah oknum ini juga tidak tepat, terkadang seorang guru hanya sedikit lupa pada tujuannya), oknum guru di masa saya SMA menganggap terlambat merupakan suatu pelanggaran berat, bukan karena beban dalam pelanggaran itu sendiri, tapi lebih pada mertabat sekolah, SMA saya dahulu berada di pinggir jalan, banyak orang yg memperhatikan jika siswanya terlambat dan harus ditahan di luar gerbang, itu seperti mencoreng martabat dari SMA tersebut, bukan berarti saya tidak berusaha, tapi merubah suatu kebiasaan yg sudah dilakukan bertahun2 itu tidak semudah membalikkan tangan, dan keadaan berkata lain, saya hanya diberi kesempatan dalam hitungan jari, berhenti terlambat atau dianggap siswa bermasalah, dan bisa ditebak apa yg terjadi, justru saat itulah dalam diri saya saya memutuskan untuk melawan, dengan sengaja lebih sering terlambat (saya tahu ini konyol, tapi saat itu pemikiran tersebut saya anggap menarik, saat sudah mulai memahami kebiasaan saya salah, saya justru memilih untuk sengaja terlambat), yg menarik di SMA ini saya justru aman dari bullyan dari sesama siswa, hanya bercandaan yg wajar (ataukah toleransi saya tentang bullyan sudah lebih besar? saya tidak tahu) tapi tindakan tidak menyenangkan justru lebih besar dari para oknum guru (kebanyakan guru tatib), cap atau tuduhan sebagai seorang pembuat onar, pelanggar aturan, anggota perkumpulan terlarang, pengguna narkoba, pemabuk (what?), itu sudah menjadi cap yg menempel pada diri saya, walaupun tuduhan tersebut tidak pernah terbukti dan percaya atau tidak semua itu memang tidak saya lakukan, tapi hasilnya tidak ada teman yg mau mendekati saya, terlebih pada awal kelas 3 salah satu teman saya dari kelas 2 ditangkap karena penyalahgunaan narkoba (saya bahkan tidak tahu karena hanya dekat saat di kelas, dan tidak tahu pergaulannya di luar sekolah), kelas 3 benar2 seperti siksaan bagi saya, selain segala tuduhan tersebut ancaman dikeluarkan dari sekolah saya dengar hampir tiap hari, intimidasi juga saya dapatkan dari oknum tersebut, ditantang berkelahi tanpa alasan (oleh guru? iya, oleh guru), hampir dipukul dengan bola takraw yg dipegang seperti senjata (walaupun uniknya memang seingat saya hampir tidak pernah ada serangan fisik yg saya dapatkan), hampir selama setahun terakhir hanya duduk sendirian karena tidak ada teman yg berani mendekati saya, tiap awal pelajaran selalu disindir oleh oknum guru, terkenal di kalangan adik kelas sebagai kakak kelas yg gagal karena dalam beberapa kali kesempatan diumumkan seperti sebuah tropi kegagalan oleh oknum guru di acara terbuka dalam sekolah tersebut, bahkan di hari terakhir kelulusan masih juga diremehkan di depan mata sendiri dengan telinga saya sendiri
di perkuliahan saya sudah tidak meyimpan dalam luka dari SMA, saya datang tepat waktu walaupun dengan segala keterbatasan yg saya miliki (lokasi kampus jauh dan tidak memiliki kendaraan, juga memutuskan tidak tinggal di asrama atau kostan karena untuk menghemat biaya), hingga pada tahun ke3 ayah saya sakit, di sinilah titik bagi saya untuk belajar memilih skala prioritas, dan prioritas utama saya jelas bukan perkuliahan, walaupun pada akhirnya memiliki kendaraan sendiri saya pada akhirnya kembali terlambat karena bertambah hal yg harus saya lakukan di luar perkuliahan (karena ayah sakit, motor tersebut bisa saya gunakan, dan masih saya gunakan hingga saat ini walaupun sudah seringkali disuruh untuk ganti motor baru, itu juga sebenarnya salah satu alasan saya tidak mau mengganti motor lama saya, walaupun tidak lama, motor itu pernah digunakan ayah saya), apakah berati kemudian saya berhenti kuliah? tidak, walaupun tertatih2 saya tetap mencoba peruntungan, berharap ayah bisa sembuh dan berharap perkuliahan bisa tetap saya selesaikan, bukannya memilih salah satu, saya berjalan di tengah, pada akhirnya tidak ada yg saya dapatkan, saya kurang bisa fokus merawat ayah begitu juga perkuliahan saya, karena sering terlambat dan terlambat dianggap tidak hadir, dan tidak hadir dianggap absen dan absen lebih dari 30% = tidak lulus, selain terlambat saya juga mulai sering berdebat dengan dosen karena banyak hal tanpa pernah mengatakan kondisi saya sebenarnya, selama beberapa tahun IP saya bukan lagi nasakom, IP saya 0 (baca IP NOL), saya menyerah? tidak, keadaan berlangsung sampai saya tidak sadar saya sudah berkuliah 7 tahun lamanya, tanpa tujuan yg jelas, lebih tepatnya kehilangan tujuan, hingga pada akhirnya ayah saya dipanggil tuhan, hancur, tapi masih bertahan kuliah, hingga 40 hari kemudian sahabat saya sendiri meninggal karena kecelakaan setelah pulang membantu di acara pembacaan doa ayah saya, sahabat saya meninggal di rumah sakit setelah berjuang beberapa jam dengan tangan saya masih menyentuh badannya, semester ke 14 pun saya tinggalkan, saya angkat bendera putih, secara teori saya di DO, tapi fakultas pada saat itu tidak mengenal adanya DO, secara teori masih bisa berkuliah 1 tahun lagi atau mengajukan pengunduran diri, secara teori sisa perkuliahan saya bisa diselesaikan di sisa 1 tahun tersebut, tapi dalam dialog terakhir dengan kaprodi, bahkan tanpa melihat draft nilai yg saya miliki kaprodi tidak mau memberikan saya kesempatan terakhir tersebut, bahkan tanpa pernah bertanya alasan kegagalan saya kuliah, saya dicap "pemalas tanpa keniatan" (kata2 sebenarnya menggunakan bahasa jawa), I give him my middle finger and say BYE!!! hingga akhir saya tidak pernah mengundurkan diri dan tanpa pernah di DO dari perkuliahan, sepertinya bahkan saya tidak diakui sebagai mahasiswa, hingga seperti yg saya duga saya masih diundang untuk menghadiri konsultasi bagi mahasiswa yg belum lulus di tahun berikutnya, pada saat itu akhirnya saya memilih tidak hadir, dan itulah undangan terakhir yg saya dapatkan, pada akhirnya keluar tanpa gelar, dan tanpa kejelasan apakah bisa melanjutkan di universitas yg lain...
sedikit kembali kepada topik, secara teori saya memenuhi semua kriteria "MALAS, NGARET, dan DO perguruan tinggi", apakah saya cerdas? apakah saya kreatif? apakah saya sukses? silahkan dipikirkan kembali, sekarang saya hanya menjalani kehidupan saya hari demi hari, bersama dengan ibu melanjutkan toko kelontong peninggalan ayah, jika boleh menyimpulkan kondisi saat itu, saya tidak cerdas untuk memilih prioritas, saya juga tidak kreatif untuk mencari penyelesaian masalah yg saya alami, mungkin sedikit kesuksesan yg saya capai adalah saya sukses tidak menjadi seorang kriminal, mungkin hanya itu, apakah itu bisa dihitung sebagai kesuksesan? silahkan disimpulkan sendiri...
1 hal yang ane dapet hikmah dari penggalan kisah hidup ente gan,, ente sukses mengakui,menerima, kekurangan yang ente punya & menjadikan nya senjata yang ampuh (PeDe) untuk kedepan nya.. semangat gann