- Beranda
- Stories from the Heart
AKU, KAMU, DAN LEMON : SETELAH SEMUANYA BERAKHIR
...
TS
beavermoon
AKU, KAMU, DAN LEMON : SETELAH SEMUANYA BERAKHIR
Setelah beberapa tahun memutuskan untuk beristirahat, akhirnya Beavermoon kembali untuk menyelesaikan apa yang seharusnya bisa diselesaikan lebih cepat.
Sedikit bercerita bahwa cerita ini adalah akhir dari serial Aku, Kamu, dan Lemon. Cerita ini tidak lagi mengisahkan tentang Bram, Widya, Dinda, dan yang lainnya. Cerita ini akan mengisahkan tentang sang penulis dari Aku, Kamu, dan Lemon setelah seri Buku Harian Airin berakhir. Bagaimana ia harus menjalani hidup setelah semuanya berakhir, bagaimana ia harus menyelesaikan dan menjelaskan semua cerita yang sudah ia tulis.
Lalu kenapa cerita ini masih menjadi bagian Aku, Kamu, dan Lemon jika sudah tidak ada lagi para tokoh utama dari cerita tersebut? Mungkin, apa yang dirasakan oleh sang penulis bisa menjadi penutup dari serial ini, dengan catatan telah mendapatkan izin dari beberapa orang yang "namanya" pernah tercantum di cerita sebelumnya.
Untuk kalian yang baru bergabung, mungkin bisa baca seri sebelumnya terlebih dahulu sebelum membaca seri terakhir ini.
AKU, KAMU, DAN LEMON
AKU, KAMU, DAN LEMON : BUKU HARIAN AIRIN
Dan bagi kalian yang sudah mengikuti dari seri pertama, selamat datang kembali. Semoga apa yang menjadi pertanyaan selama ini bisa terjawab, jika tidak terjawab maka lebih baik bertanya di kolom komentar. Satu info terakhir, seri ini akan update 3X dalam seminggu (Senin, Rabu, Jum'at) agar tidak terlalu lama. Enjoy!

Spoiler for Index:
Episode 1
Episode 2
Episode 3
Episode 4
Episode 5
Episode 6
Episode 7
Episode 8A
Episode 8B
Episode 9
Episode 10
Episode 11
Episode 12
Episode 13
Episode 14
Episode 15
Episode 16
Episode 17
Episode 18A
Episode 18B
Episode 19
Episode 20
Episode 21
Episode 22
Episode 23
Episode 24
Episode 25
Episode 26
Episode 27
Episode 28
Episode 29
Episode 30
Episode 31
Episode 32
Episode 33
Episode 34 (Finale)
Episode 35A (Extended)
Episode 35B (Extended)
Episode 2
Episode 3
Episode 4
Episode 5
Episode 6
Episode 7
Episode 8A
Episode 8B
Episode 9
Episode 10
Episode 11
Episode 12
Episode 13
Episode 14
Episode 15
Episode 16
Episode 17
Episode 18A
Episode 18B
Episode 19
Episode 20
Episode 21
Episode 22
Episode 23
Episode 24
Episode 25
Episode 26
Episode 27
Episode 28
Episode 29
Episode 30
Episode 31
Episode 32
Episode 33
Episode 34 (Finale)
Episode 35A (Extended)
Episode 35B (Extended)
Diubah oleh beavermoon 27-06-2020 18:27
i4munited dan 31 lainnya memberi reputasi
32
27.1K
Kutip
395
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
beavermoon
#189
Spoiler for Episode 26:
"Eh jangan, aku malah ngerepotin nanti." Ucapnya.
"Ngga ngerepotin dong, rumah kamu masih di perumahan sebelah perumahan aku kan?" Kataku.
"Iya sih masih di sana." Jawabnya.
"Yaudah ayo bareng aja nggapapa, kita samperin temen aku dulu di situ." Kataku.
Ia pun mengangguk, akhirnya kami pun berjalan berdampingan untuk menghampiri Ferdi. Bandara adalah tempat yang tidak pernah sepi, selalu saja ada kegiatan setiap harinya. Seperti hari ini, ada saja orang yang datang dan ada saja orang yang pergi. Beberapa kali kami sempat berhenti untuk menunggu orang-orang yang lalu lalang, aku pun meraih koper yang ia bawa.
"Sini aku bawain." Kataku.
"Kamu masih sama ya sifatnya, cuma penampilannya aja yang berubah." Katanya.
"Apa yang masih sama sifatnya?" Tanyaku.
"Dari SD kamu selalu baik, ngga berubah sedikitpun. Atau aku ketinggalan pas momen kamu berubah?" Katanya.
"Mungkin..." kami menyeberangi jalan, "aku ngga selalu baik lah."
Kami pun memasuki tempat makan di mana Ferdi menunggu, aku dapat melihat Ferdi sudah lebih dahulu makan dengan sajian yang ada di depannya. Aku pun menghampirinya, ia pun melihat ke arahku.
"Gue makan duluan ya, mendadak laper ngga tau kenapa." Ucapnya.
"Ya silahkan aja, tapi kenalin dulu nih. Temen gue pas SD namanya Bubu, eh Bulan." Kataku.
Ferdi dan Bulan pun saling berjabat tangan, kemudian kami pun duduk di hadapan Ferdi. Aku sempat menawarkan Bulan untuk makan, namun ia menolak karena sudah makan sebelum penerbangan.
"Oh iya, kamu abis nganterin atau baru pulang juga?" Tanya Bulan.
"Aku abis nganterin Ayah sama Ibu." Jawabku.
"Yah aku telat dong ngga bisa ketemu mereka dulu." Katanya.
Aku dan Bulan melanjutkan perbincangan kami, setidaknya perbincangan kali ini berhasil membuatku lupa bahwa ada juga Ferdi di hadapan kami. Entah mungkin karena sudah lama tidak bertemu yang akhirnya membuat perbincangan kali ini lebih seru dari biasanya.
Hingga akhirnya kami pun memutuskan untuk pulang. Aku pun membiarkan Ferdi untuk duduk sendirian di depan sementara aku menemani Bulan di bangku tengah, tentu saja dengan perbincangan yang masih berlanjut. Beberapa jam menembus kemacetan pada malam ini, akhirnya kami pun tiba di rumahnya Bulan. Aku ikut turun untuk menurunkan koper miliknya dari bagasi mobil.
"Kamu mau ketemu sama Ayah Ibu dulu?" Tanyanya.
"Kayaknya ngga sekarang deh, udah malem juga ngga enak." Jawabku.
"Makasih ya Yi udah mau nganterin." Kata Bulan.
"Sama-sama. Aku pulang dulu ya." Kataku.
"Makasih ya Fer sebelumnya." Kata Bulan.
Ferdi mengacungkan ibu jari tangannya dari dalam mobil. Bulan masuk ke dalam pagar rumahnya, aku pun masuk ke dalam mobil lagi. Kami pun saling melambaikan tangan, hingga akhirnya aku pun meninggalkannya di rumah.
"Kayaknya..."
Suara Ferdi berhasil membuatku menatap ke arahnya, "...bakalan ada yang gantiin posisinya Renata nih dari kehidupan seorang Adrian."
"Maksud lu gimana?" Tanyaku bingung.
"Masa iya harus gue jelasin lagi Dri? Menurut gue sih kayaknya Bulan bisa gantiin posisinya Renata." Katanya.
"Mana ada kayak gitu Fer." Sanggahku.
"Mau sampai kapan lu nunggu Renata? Beberapa tahun kurang lama buat bikin sakit hati doang? Apa perlu beberapa tahun lagi biar bikin lu sadar kalau emang ngga cuma Renata perempuan di sini?..."
Aku terdiam menatap Ferdi.
"...Gue udah kenal lu lama Dri, gue tau gimana tanda-tandanya kalau lu suka sama perempuan. Ya ngga bisa dipungkiri kalau emang lu sama Renata punya hubungan spesial, tapi dia pergi begitu aja. Dan sekarang muncul Bulan entah dari mana, gue rasa lu juga ngga bakalan nyangka ketemu lagi sama dia. Akhirnya setelah beberapa tahun, gue bisa liat tatapan itu lagi. Ayolah Dri, lu ngga harus selalu nunggu." Jelas Ferdi.
"Semuanya kayaknya butuh proses Fer." Jawabku singkat.
"Oke, mungkin proses untuk membuka hati lagi dan membiarkan lu suka sama Bulan. Kalau urusan proses melupakan Renata, itu cuma buang-buang tenaga lu doang." Ucapnya.
Mobil pun berhenti tepat di depan rumah, hanya membutuhkan waktu sebentar karena rumah kami hanya berbeda satu perumahan saja. Aku pun turun dari mobil, Ferdi membuka kaca mobilnya.
"Inget, jangan buang-buang waktu. Ngga selamanya lu harus nunggu, kecuali buat bagi hasil bulan ini." Katanya.
Aku mengangguk beberapa kali, Ferdi pun meninggalkan rumahku entah ke mana. Aku kembali masuk ke dalam rumah, melakukan kegiatan yang sama hingga kembali masuk ke dalam kamar. Ku nyalakan TV untuk melihat acara pada malam ini, kemudian ku nyalakan rokok lalu ku hembuskan asapnya ke atas.
Ting!Ku ambil handphone dari dalam saku kemeja tanpa mengalihkan pandangan dari TV, beberapa saat aku hanya menggenggam handphone karena terganggu dengan acara ini. Kemudian aku menatap layar handphone untuk melihat pesan yang masuk.
"Siapa nih?" Tanyaku seorang diri.
Sebuah nomer tanpa nama yang mengirim pesan kepadaku, ia menanyakan apakah benar ini nomerku. Beberapa saat aku terdiam lalu aku pun membalas pesan tersebut. Tak butuh waktu lama untuk mendapatkan pesan balasan.
"Loh..." aku terkejut, "kok bisa tau?"
Aku pun menghubungi nomer tersebut, beberapa saat panggilan masuk hingga ia pun menjawab panggilanku.
"Halo Ayi..."
"Bubu, kamu tau nomer handphone aku dari mana?" Tanyaku.
"Kok kamu kayak kaget gitu tau aku bisa dapet nomer kamu?..." Bulan tertawa sebentar, "aku tadi lupa mau minta nomer kamu. Sampai rumah aku iseng-iseng buka buku tahunan kita dulu, aku liat kamu nyantumin nomer kamu di sana. Dan ngga nyangka aja nomer kamu dari dulu ngga pernah berubah."
"Oh, emang iya ya? Sebentar..."
Aku berlalu menuju rak buku, ku temukan sebuah buku tahunan lama milikku. Aku mulai membalikkan halaman demi halaman hingga aku menemukan fotoku beserta biodata lengkap, dan memang benar saja aku menyantumkan nomerku di sana.
"...Oh iya bener juga ya aku nyantumin nomer di sana." Kataku.
"Aku pun kaget pas tau ternyata kamu ngga ganti nomer, berasa mimpi aja." Kata Bulan.
Aku kembali membalikkan halaman buku ini, ku temukan sebuah foto milik Bulan beserta biodata lengkapnya. Sesekali aku tersenyum melihat bagaimana ia dulu.
"Tuh kan bener kamu ngga berubah sama sekali, aku lagi liat foto kamu nih di buku tahunan." Kataku.
"Jangan diliatin, malu tau." Katanya.
"Loh kenapa harus malu? Kamu juga bisa liat foto aku sama yang lain kan." Kataku.
"Tetep aja malu tau. Eh iya ngomong-ngomong makasih ya tadi udah mau nganterin aku pulang. Aku beneran ngga enak udah ngerepotin kamu, dari di Bandara sampai ke rumah." Kata Bulan.
"Ngga ngerepotin dong kan aku udah bilang tadi." Kataku.
"Ayi, makasih ya." Ucapnya singkat.
"Sama-sama." Jawabku juga singkat.
Beberapa saat kami terdiam, kami hanya saling mendengar suara nafas kami masing-masing.
"Hm... kamu lagi ngapain?" Tanya Bulan.
Aku pun menutup buku tahunan lama itu dan ku letakkan di atas meja. Ku sandarkan tubuhku kepada sofa tanpa memperdulikan acara TV yang masih berlanjut. Perbincangan kami terus berlanjut, entah sudah berapa lama. Sampai akhirnya kami pun menyudahi perbincangan via handphone, ku letakkan handphone di atas meja kemudian aku kembali menyalakan sebatang rokok. Ku hembuskan asapnya ke arah TV hingga berhasil menutupi acara kali ini.
"Apa mungkin..."
*
"Bangun tidur ku terus mandi, tidak lupa menggosok gigi. Tapi jangan kayak si Ferdi, tiap hari kerjanya c*li."
Sepenggal lagu yang ku nyanyikan ketika selesai mandi pada pagi hari ini. Aku keluar dari dalam kamar mandi, masih mengenakan handuk untuk menutupi bagian yang harus tertutup. Ku ambil pakaian yang akan ku kenakan hari ini, butuh beberapa menit hingga akhirnya semua lengkap terpasang.
Ku periksa kembali barang bawaan di dalam tas, setelah yakin aku pun keluar dari kamar untuk turun ke lantai bawah. Aku sempat berhenti menatap dapur sesampainya di bawah, aku melihat sebuah kotak berisi roti tawar yang setiap hari selalu menjadi menu sarapanku.
"Tumben hari ini bosen makan roti." Kataku seorang diri.
Aku pun berlalu meninggalkan dapur, dan juga aku berlalu meninggalkan ruang tamu yang biasanya ku singgahi sebelum berangkat. Aku sudah mengunci pintu, mengenakan sepatu, dan sudah mengeluarkan Syailendra dari dalam garasi. Ku nyalakan mesinnya sambil menyalakan sebatang rokok, beberapa menit berlalu aku pun meninggalkan rumah.
Ku parkirkan motorku di antara beberapa deretan motor lain, ku lepas helm dan ku matikan rokok di aspal. Aku berjalan beberapa langkah kemudian aku pun tersenyum.
"Pak De, biasa ya." Kataku.
"Eh Mas Adrian, nasi kuning tanpa tempe orek pakai telur dadar sambelnya 3 sendok." Ucap Beliau.
Ku acungkan ibu jari tanganku, kemudian aku berlalu menuju kursi yang masih kosong. Tak membutuhkan waktu lama untuk mendapatkan apa yang ku pesan, aku pun mulai memakan nasi kuning ini. Suapan pertama, suapan kedua, dan beberapa suapan lainnya, aku belajar tentang sebuah konsistenti dalam menjaga rasa dari tempat ini. Bayangkan saja, sudah lebih dari 17 tahun ia menjual nasi kuning, dengan rasa yang sama namun dengan pelanggan yang semakin bertambah.
"Ayi?"
Aku menegakkan kepalaku masih dengan nasi di mulut, "Bhubhu?"
Ia sempat tertawa, "Di telen dulu baru ngomong, kamu masih suka ke sini juga? Aku kira kamu udah ngga pernah ke sini lagi."
Ku telan nasi di dalam mulut, "Ngga sesering dulu sih, cuma ada lah beberapa kali aku ke sini. Ngomong-ngomong kamu sendirian?"
"Iya aku sendirian, Ibu udah makan duluan..." pesanan Bulan pun tiba, "makasih ya Pak De."
"Ngga kerasa ya kalian udah pada gede, Pak De pun ngga berasa udah makin tua. Semoga pada sukses ya, silahkan lanjutin makannya." Ucap Beliau.
Aku dan Bulan pun tersenyum setelah mendengar perkataannya. Kami pun melanjutkan kegiatan makan kami. Semakin lama tempat ini semakin ramai, mungkin ini yang membuat aku dan Bulan selalu datang lebih dahulu agar masih mendapat tempat duduk untuk makan.
"Kamu kerja jam berapa?" Tanya Bulan.
"Sekarang sih jam 8 paling telat, beberapa tahun lalu aku udah harus standby dari jam setengah 7." Jawabku.
"Setengah 7? Kamu kerja di mana kok udah masuk jam segitu?" Tanyanya heran.
"Aku buka kedai kopi Bu, usaha kecil-kecilan lah." Jawabku.
"Oh aku baru tau loh kamu punya kedai. Ngomong-ngomong kalau kamu udah ngga perlu dateng jam setengah 7 lagi berarti sekarang udah nambah banyak dong pegawainya?" Katanya.
"Pinter juga kamu. Kalau ngomongin pegawai sekarang ya Alhamdulillah udah ada beberapa pegawai." Kataku.
"Kok bisa sih kamu terjun ke dunia bisnis? Yang aku tau itu kamu anaknya akademisi banget dari dulu, makanya aku kaget pas tau kamu buka usaha." Katanya.
"Awalnya gini sih..."
Perbincangan tentang bagaimana awal mula aku bisa terjun ke dunia bisnis pun dimulai. Tak terasa makanan kami pun sudah habis, kami pun memutuskan untuk meninggalkan tempat ini. Dan juga aku memutuskan untuk membayarkan makanan Bulan yang sempat beberapa kali ia tolak.
"Eh ini Syailendra kan? Sekarang kamu yang bawa?" Tanyanya
"Iya sekarang mandat sudah dikasih ke aku, jadi ya aku jaga sebisa mungkin sampai umurnya tiba. Ngomong-ngomong..." aku melihat sekeliling, "kamu jalan kaki?"
"Iya, aku kan ngga bisa ngendarain motor Yi." Jawabnya.
"Yaudah naik, aku anterin ke rumah." Kataku.
"Ayi kamu kebiasaan ih, aku ngga enak." Ucap Bulan.
"Tapi itu kebiasaan yang tidak merugikan aku atau siapapun. Jadi ya kamu naik aja ke belakang." Kataku.
Bulan hanya bisa menggelengkan kepalanya sambil tersenyum, kemudian ia pun naik ke atas motorku. Setelah memastikan semuanya aman, aku pun mengantarkan Bulan untuk pulang ke rumahnya. Kurang dari 5 menit, kami pun tiba di rumahnya.
"Eh, ada Ibu..." Bulan turun dari motor, "masih kenal ngga Bu ini siapa?"
"Siapa ya? Ibu lupa." Ucap Beliau.
Aku turun dari motor sambil melepas helm, "Tante masih inget ngga? Aku Ayi."
"Ayi? Temen SD nya Bubu? Ya ampun kamu kok berubah banget penampilannya? Ibu sampai pangling loh ngeliatnya, sekarang udah kurus terus brewokan kayak bapak-bapak. Kamu apa kabar Nak?" Ucap Beliau.
Aku mencium tangan Beliau, "Baik Tante Alhamdulillah, kirain lupa sama Ayi. Kalau soal penampilan ya ngga tau deh."
"Beneran deh Ibu sampai pangling ngeliat kamu. Masuk dulu sama Bubu minum teh di dalem." Ucap Beliau.
"Ayi kerja Bu." Ucap Bulan singkat.
"Lain kali deh Tante aku main ke sini. Kalau gitu aku pamitan dulu ya Tante." Kataku.
Aku pun berpamitan kepada mereka, kemudian aku melanjutkan perjalanan menuju kedai seperti biasa. Beberapa waktu di perjalanan hingga akhirnya aku pun tiba di kedai. Aku masuk ke dalam sambil menyapa teman-teman yang lain, kemudian kegiatan yang ku lakukan selalu sama.
"Mas Adrian..."
Aku pun menengok ke sumber suara dengan cepat.
"Kayaknya ada yang beda nih sama Mas Adrian pagi ini." Ucap Bella.
"Beda? Apa yang beda?" Tanyaku heran.
"Iya juga ya, kayak ada yang beda sama Mas Adrian hari ini." Sahut Rara.
Gigi dan Mita pun akhirnya ikut menatap ke arahku, seakan-akan aku merubah total semua penampilanku yang padahal dari hari ke hari selalu sama. Keluarlah Ferdi dari dalam kamar mandi, ia pun bingung ketika melihat semua orang yang berada di Bar menatap ke arahku.
"Kalian ngeliatin Adrian segitunya ada apa sih?" Tanya Ferdi.
"Kayak ada yang beda Bang, coba liat deh." Sahut Bella.
Ferdi pun ikut melihat ke arahku, dan sekarang aku merasa seperti sebuah subjek dari pertunjukkan yang aneh. Hingga Ferdi pun membuka mulutnya sambil menganggukkan kepalanya beberapa kali.
"Gue paham sekarang, kalau dari yang gue terka-terka sih kayaknya hari ini lu lebih bahagia dari sebelumnya." Ucap Ferdi.
Aku pun menatap mereka dengan bingung, "Sejak kapan kalian jadi bisa baca raut wajah satu sama lain? Udah jangan ngaco."
Kami pun kembali pada pekerjaan masing-masing, aku pun berjalan menuju ke dekat tempat Bella berdiri. Beberapa catatan mulai ku periksa satu persatu, hingga akhirnya Bella pun menarik-narik lipatan lengan kemeja yang ku kenakan.
"Maaf ya Mas Adrian." Ucapnya pelan.
"Kamu minta maaf kenapa Bel?" Tanyaku dengan suara yang juga pelan.
"Harusnya aku ngomong tadi itu pas berdua aja sama Mas Adrian, tapi karena aku kaget ngeliat Mas Adrian jadinya pada tau semua. Tapi beneran loh Mas Adrian keliatan beda." Jelasnya.
"Apanya yang beda deh Bel? Aku masih ngga ngerti." Kataku.
"Bener kata Bang Ferdi, Mas Adrian keliatan bahagia kali ini. Ngga kayak hari-hari sebelumnya, apa ada sesuatu?" Ucap Bella.
"Sesuatu? Ngga ada ah Bel semuanya biasa aja." Kataku.
"Mungkin Mas Adrian ngga sadar ada sesuatu yang bisa bikin bahagia, atau mungkin perasaan kita aja semua." Ucapnya.
Aku pun menanggapinya dengan cukup bingung, kemudian kami pun kembali pada pekerjaan kami masing-masing. Saat ini aku sedang berada di halaman belakang, aku sedang mengamati bagaimana hasil dari mesin penyangrai kali ini. Setelah melihat dengan teliti, aku pun memastikan bahwa biji kopi aman untuk dikonsumsi.
Ckrek! Ferdi masuk ke dalam ruangan, "Indahnya wangi-wangian biji kopi yang baru roasting, sedapnya aroma coklat dibalut dengan karamel."
"Ngomong apa sih ngga jelas." Kataku.
"Dan bahagianya jika hati sudah bisa menemukan seseorang yang bisa menyembuhkan luka lama. Mau puitis gue ngeliat temen gue sudah menemukan sosok yang baru." Jelasnya.
Aku sudah mengepal tanganku, "Ngomong ngga jelas sekali lagi gue tonjok beneran lu Fer."
"Santai dong, gue ngomong sesuatu pasti ada alasannya. Tuh ada yang nyariin di depan."
Ia meninggalkanku, aku pun masih bingung dengan apa yang baru saja ia katakan. Selesai dengan membersihkan mesin, aku pun meninggalkan ruangan ini. Langkahku terhenti, aku memandang dalam diam, hingga aku pun tersenyum.
"Hai Ayi..."
.
.
.
"Jadi itu yang bikin dia bahagia, pantesan hari ini beda." Ucap Ferdi.
Ferdi, Rara, Gigi, Mita, hingga Bella ternyata melihat ke arah kami tanpa aku sadari.
"Ngomong-ngomong..." Rara berbicara, "gimana sama Ka Renata?"
***
"Ngga ngerepotin dong, rumah kamu masih di perumahan sebelah perumahan aku kan?" Kataku.
"Iya sih masih di sana." Jawabnya.
"Yaudah ayo bareng aja nggapapa, kita samperin temen aku dulu di situ." Kataku.
Ia pun mengangguk, akhirnya kami pun berjalan berdampingan untuk menghampiri Ferdi. Bandara adalah tempat yang tidak pernah sepi, selalu saja ada kegiatan setiap harinya. Seperti hari ini, ada saja orang yang datang dan ada saja orang yang pergi. Beberapa kali kami sempat berhenti untuk menunggu orang-orang yang lalu lalang, aku pun meraih koper yang ia bawa.
"Sini aku bawain." Kataku.
"Kamu masih sama ya sifatnya, cuma penampilannya aja yang berubah." Katanya.
"Apa yang masih sama sifatnya?" Tanyaku.
"Dari SD kamu selalu baik, ngga berubah sedikitpun. Atau aku ketinggalan pas momen kamu berubah?" Katanya.
"Mungkin..." kami menyeberangi jalan, "aku ngga selalu baik lah."
Kami pun memasuki tempat makan di mana Ferdi menunggu, aku dapat melihat Ferdi sudah lebih dahulu makan dengan sajian yang ada di depannya. Aku pun menghampirinya, ia pun melihat ke arahku.
"Gue makan duluan ya, mendadak laper ngga tau kenapa." Ucapnya.
"Ya silahkan aja, tapi kenalin dulu nih. Temen gue pas SD namanya Bubu, eh Bulan." Kataku.
Ferdi dan Bulan pun saling berjabat tangan, kemudian kami pun duduk di hadapan Ferdi. Aku sempat menawarkan Bulan untuk makan, namun ia menolak karena sudah makan sebelum penerbangan.
"Oh iya, kamu abis nganterin atau baru pulang juga?" Tanya Bulan.
"Aku abis nganterin Ayah sama Ibu." Jawabku.
"Yah aku telat dong ngga bisa ketemu mereka dulu." Katanya.
Aku dan Bulan melanjutkan perbincangan kami, setidaknya perbincangan kali ini berhasil membuatku lupa bahwa ada juga Ferdi di hadapan kami. Entah mungkin karena sudah lama tidak bertemu yang akhirnya membuat perbincangan kali ini lebih seru dari biasanya.
Hingga akhirnya kami pun memutuskan untuk pulang. Aku pun membiarkan Ferdi untuk duduk sendirian di depan sementara aku menemani Bulan di bangku tengah, tentu saja dengan perbincangan yang masih berlanjut. Beberapa jam menembus kemacetan pada malam ini, akhirnya kami pun tiba di rumahnya Bulan. Aku ikut turun untuk menurunkan koper miliknya dari bagasi mobil.
"Kamu mau ketemu sama Ayah Ibu dulu?" Tanyanya.
"Kayaknya ngga sekarang deh, udah malem juga ngga enak." Jawabku.
"Makasih ya Yi udah mau nganterin." Kata Bulan.
"Sama-sama. Aku pulang dulu ya." Kataku.
"Makasih ya Fer sebelumnya." Kata Bulan.
Ferdi mengacungkan ibu jari tangannya dari dalam mobil. Bulan masuk ke dalam pagar rumahnya, aku pun masuk ke dalam mobil lagi. Kami pun saling melambaikan tangan, hingga akhirnya aku pun meninggalkannya di rumah.
"Kayaknya..."
Suara Ferdi berhasil membuatku menatap ke arahnya, "...bakalan ada yang gantiin posisinya Renata nih dari kehidupan seorang Adrian."
"Maksud lu gimana?" Tanyaku bingung.
"Masa iya harus gue jelasin lagi Dri? Menurut gue sih kayaknya Bulan bisa gantiin posisinya Renata." Katanya.
"Mana ada kayak gitu Fer." Sanggahku.
"Mau sampai kapan lu nunggu Renata? Beberapa tahun kurang lama buat bikin sakit hati doang? Apa perlu beberapa tahun lagi biar bikin lu sadar kalau emang ngga cuma Renata perempuan di sini?..."
Aku terdiam menatap Ferdi.
"...Gue udah kenal lu lama Dri, gue tau gimana tanda-tandanya kalau lu suka sama perempuan. Ya ngga bisa dipungkiri kalau emang lu sama Renata punya hubungan spesial, tapi dia pergi begitu aja. Dan sekarang muncul Bulan entah dari mana, gue rasa lu juga ngga bakalan nyangka ketemu lagi sama dia. Akhirnya setelah beberapa tahun, gue bisa liat tatapan itu lagi. Ayolah Dri, lu ngga harus selalu nunggu." Jelas Ferdi.
"Semuanya kayaknya butuh proses Fer." Jawabku singkat.
"Oke, mungkin proses untuk membuka hati lagi dan membiarkan lu suka sama Bulan. Kalau urusan proses melupakan Renata, itu cuma buang-buang tenaga lu doang." Ucapnya.
Mobil pun berhenti tepat di depan rumah, hanya membutuhkan waktu sebentar karena rumah kami hanya berbeda satu perumahan saja. Aku pun turun dari mobil, Ferdi membuka kaca mobilnya.
"Inget, jangan buang-buang waktu. Ngga selamanya lu harus nunggu, kecuali buat bagi hasil bulan ini." Katanya.
Aku mengangguk beberapa kali, Ferdi pun meninggalkan rumahku entah ke mana. Aku kembali masuk ke dalam rumah, melakukan kegiatan yang sama hingga kembali masuk ke dalam kamar. Ku nyalakan TV untuk melihat acara pada malam ini, kemudian ku nyalakan rokok lalu ku hembuskan asapnya ke atas.
Ting!Ku ambil handphone dari dalam saku kemeja tanpa mengalihkan pandangan dari TV, beberapa saat aku hanya menggenggam handphone karena terganggu dengan acara ini. Kemudian aku menatap layar handphone untuk melihat pesan yang masuk.
"Siapa nih?" Tanyaku seorang diri.
Sebuah nomer tanpa nama yang mengirim pesan kepadaku, ia menanyakan apakah benar ini nomerku. Beberapa saat aku terdiam lalu aku pun membalas pesan tersebut. Tak butuh waktu lama untuk mendapatkan pesan balasan.
"Loh..." aku terkejut, "kok bisa tau?"
Aku pun menghubungi nomer tersebut, beberapa saat panggilan masuk hingga ia pun menjawab panggilanku.
"Halo Ayi..."
"Bubu, kamu tau nomer handphone aku dari mana?" Tanyaku.
"Kok kamu kayak kaget gitu tau aku bisa dapet nomer kamu?..." Bulan tertawa sebentar, "aku tadi lupa mau minta nomer kamu. Sampai rumah aku iseng-iseng buka buku tahunan kita dulu, aku liat kamu nyantumin nomer kamu di sana. Dan ngga nyangka aja nomer kamu dari dulu ngga pernah berubah."
"Oh, emang iya ya? Sebentar..."
Aku berlalu menuju rak buku, ku temukan sebuah buku tahunan lama milikku. Aku mulai membalikkan halaman demi halaman hingga aku menemukan fotoku beserta biodata lengkap, dan memang benar saja aku menyantumkan nomerku di sana.
"...Oh iya bener juga ya aku nyantumin nomer di sana." Kataku.
"Aku pun kaget pas tau ternyata kamu ngga ganti nomer, berasa mimpi aja." Kata Bulan.
Aku kembali membalikkan halaman buku ini, ku temukan sebuah foto milik Bulan beserta biodata lengkapnya. Sesekali aku tersenyum melihat bagaimana ia dulu.
"Tuh kan bener kamu ngga berubah sama sekali, aku lagi liat foto kamu nih di buku tahunan." Kataku.
"Jangan diliatin, malu tau." Katanya.
"Loh kenapa harus malu? Kamu juga bisa liat foto aku sama yang lain kan." Kataku.
"Tetep aja malu tau. Eh iya ngomong-ngomong makasih ya tadi udah mau nganterin aku pulang. Aku beneran ngga enak udah ngerepotin kamu, dari di Bandara sampai ke rumah." Kata Bulan.
"Ngga ngerepotin dong kan aku udah bilang tadi." Kataku.
"Ayi, makasih ya." Ucapnya singkat.
"Sama-sama." Jawabku juga singkat.
Beberapa saat kami terdiam, kami hanya saling mendengar suara nafas kami masing-masing.
"Hm... kamu lagi ngapain?" Tanya Bulan.
Aku pun menutup buku tahunan lama itu dan ku letakkan di atas meja. Ku sandarkan tubuhku kepada sofa tanpa memperdulikan acara TV yang masih berlanjut. Perbincangan kami terus berlanjut, entah sudah berapa lama. Sampai akhirnya kami pun menyudahi perbincangan via handphone, ku letakkan handphone di atas meja kemudian aku kembali menyalakan sebatang rokok. Ku hembuskan asapnya ke arah TV hingga berhasil menutupi acara kali ini.
"Apa mungkin..."
*
"Bangun tidur ku terus mandi, tidak lupa menggosok gigi. Tapi jangan kayak si Ferdi, tiap hari kerjanya c*li."
Sepenggal lagu yang ku nyanyikan ketika selesai mandi pada pagi hari ini. Aku keluar dari dalam kamar mandi, masih mengenakan handuk untuk menutupi bagian yang harus tertutup. Ku ambil pakaian yang akan ku kenakan hari ini, butuh beberapa menit hingga akhirnya semua lengkap terpasang.
Ku periksa kembali barang bawaan di dalam tas, setelah yakin aku pun keluar dari kamar untuk turun ke lantai bawah. Aku sempat berhenti menatap dapur sesampainya di bawah, aku melihat sebuah kotak berisi roti tawar yang setiap hari selalu menjadi menu sarapanku.
"Tumben hari ini bosen makan roti." Kataku seorang diri.
Aku pun berlalu meninggalkan dapur, dan juga aku berlalu meninggalkan ruang tamu yang biasanya ku singgahi sebelum berangkat. Aku sudah mengunci pintu, mengenakan sepatu, dan sudah mengeluarkan Syailendra dari dalam garasi. Ku nyalakan mesinnya sambil menyalakan sebatang rokok, beberapa menit berlalu aku pun meninggalkan rumah.
Ku parkirkan motorku di antara beberapa deretan motor lain, ku lepas helm dan ku matikan rokok di aspal. Aku berjalan beberapa langkah kemudian aku pun tersenyum.
"Pak De, biasa ya." Kataku.
"Eh Mas Adrian, nasi kuning tanpa tempe orek pakai telur dadar sambelnya 3 sendok." Ucap Beliau.
Ku acungkan ibu jari tanganku, kemudian aku berlalu menuju kursi yang masih kosong. Tak membutuhkan waktu lama untuk mendapatkan apa yang ku pesan, aku pun mulai memakan nasi kuning ini. Suapan pertama, suapan kedua, dan beberapa suapan lainnya, aku belajar tentang sebuah konsistenti dalam menjaga rasa dari tempat ini. Bayangkan saja, sudah lebih dari 17 tahun ia menjual nasi kuning, dengan rasa yang sama namun dengan pelanggan yang semakin bertambah.
"Ayi?"
Aku menegakkan kepalaku masih dengan nasi di mulut, "Bhubhu?"
Ia sempat tertawa, "Di telen dulu baru ngomong, kamu masih suka ke sini juga? Aku kira kamu udah ngga pernah ke sini lagi."
Ku telan nasi di dalam mulut, "Ngga sesering dulu sih, cuma ada lah beberapa kali aku ke sini. Ngomong-ngomong kamu sendirian?"
"Iya aku sendirian, Ibu udah makan duluan..." pesanan Bulan pun tiba, "makasih ya Pak De."
"Ngga kerasa ya kalian udah pada gede, Pak De pun ngga berasa udah makin tua. Semoga pada sukses ya, silahkan lanjutin makannya." Ucap Beliau.
Aku dan Bulan pun tersenyum setelah mendengar perkataannya. Kami pun melanjutkan kegiatan makan kami. Semakin lama tempat ini semakin ramai, mungkin ini yang membuat aku dan Bulan selalu datang lebih dahulu agar masih mendapat tempat duduk untuk makan.
"Kamu kerja jam berapa?" Tanya Bulan.
"Sekarang sih jam 8 paling telat, beberapa tahun lalu aku udah harus standby dari jam setengah 7." Jawabku.
"Setengah 7? Kamu kerja di mana kok udah masuk jam segitu?" Tanyanya heran.
"Aku buka kedai kopi Bu, usaha kecil-kecilan lah." Jawabku.
"Oh aku baru tau loh kamu punya kedai. Ngomong-ngomong kalau kamu udah ngga perlu dateng jam setengah 7 lagi berarti sekarang udah nambah banyak dong pegawainya?" Katanya.
"Pinter juga kamu. Kalau ngomongin pegawai sekarang ya Alhamdulillah udah ada beberapa pegawai." Kataku.
"Kok bisa sih kamu terjun ke dunia bisnis? Yang aku tau itu kamu anaknya akademisi banget dari dulu, makanya aku kaget pas tau kamu buka usaha." Katanya.
"Awalnya gini sih..."
Perbincangan tentang bagaimana awal mula aku bisa terjun ke dunia bisnis pun dimulai. Tak terasa makanan kami pun sudah habis, kami pun memutuskan untuk meninggalkan tempat ini. Dan juga aku memutuskan untuk membayarkan makanan Bulan yang sempat beberapa kali ia tolak.
"Eh ini Syailendra kan? Sekarang kamu yang bawa?" Tanyanya
"Iya sekarang mandat sudah dikasih ke aku, jadi ya aku jaga sebisa mungkin sampai umurnya tiba. Ngomong-ngomong..." aku melihat sekeliling, "kamu jalan kaki?"
"Iya, aku kan ngga bisa ngendarain motor Yi." Jawabnya.
"Yaudah naik, aku anterin ke rumah." Kataku.
"Ayi kamu kebiasaan ih, aku ngga enak." Ucap Bulan.
"Tapi itu kebiasaan yang tidak merugikan aku atau siapapun. Jadi ya kamu naik aja ke belakang." Kataku.
Bulan hanya bisa menggelengkan kepalanya sambil tersenyum, kemudian ia pun naik ke atas motorku. Setelah memastikan semuanya aman, aku pun mengantarkan Bulan untuk pulang ke rumahnya. Kurang dari 5 menit, kami pun tiba di rumahnya.
"Eh, ada Ibu..." Bulan turun dari motor, "masih kenal ngga Bu ini siapa?"
"Siapa ya? Ibu lupa." Ucap Beliau.
Aku turun dari motor sambil melepas helm, "Tante masih inget ngga? Aku Ayi."
"Ayi? Temen SD nya Bubu? Ya ampun kamu kok berubah banget penampilannya? Ibu sampai pangling loh ngeliatnya, sekarang udah kurus terus brewokan kayak bapak-bapak. Kamu apa kabar Nak?" Ucap Beliau.
Aku mencium tangan Beliau, "Baik Tante Alhamdulillah, kirain lupa sama Ayi. Kalau soal penampilan ya ngga tau deh."
"Beneran deh Ibu sampai pangling ngeliat kamu. Masuk dulu sama Bubu minum teh di dalem." Ucap Beliau.
"Ayi kerja Bu." Ucap Bulan singkat.
"Lain kali deh Tante aku main ke sini. Kalau gitu aku pamitan dulu ya Tante." Kataku.
Aku pun berpamitan kepada mereka, kemudian aku melanjutkan perjalanan menuju kedai seperti biasa. Beberapa waktu di perjalanan hingga akhirnya aku pun tiba di kedai. Aku masuk ke dalam sambil menyapa teman-teman yang lain, kemudian kegiatan yang ku lakukan selalu sama.
"Mas Adrian..."
Aku pun menengok ke sumber suara dengan cepat.
"Kayaknya ada yang beda nih sama Mas Adrian pagi ini." Ucap Bella.
"Beda? Apa yang beda?" Tanyaku heran.
"Iya juga ya, kayak ada yang beda sama Mas Adrian hari ini." Sahut Rara.
Gigi dan Mita pun akhirnya ikut menatap ke arahku, seakan-akan aku merubah total semua penampilanku yang padahal dari hari ke hari selalu sama. Keluarlah Ferdi dari dalam kamar mandi, ia pun bingung ketika melihat semua orang yang berada di Bar menatap ke arahku.
"Kalian ngeliatin Adrian segitunya ada apa sih?" Tanya Ferdi.
"Kayak ada yang beda Bang, coba liat deh." Sahut Bella.
Ferdi pun ikut melihat ke arahku, dan sekarang aku merasa seperti sebuah subjek dari pertunjukkan yang aneh. Hingga Ferdi pun membuka mulutnya sambil menganggukkan kepalanya beberapa kali.
"Gue paham sekarang, kalau dari yang gue terka-terka sih kayaknya hari ini lu lebih bahagia dari sebelumnya." Ucap Ferdi.
Aku pun menatap mereka dengan bingung, "Sejak kapan kalian jadi bisa baca raut wajah satu sama lain? Udah jangan ngaco."
Kami pun kembali pada pekerjaan masing-masing, aku pun berjalan menuju ke dekat tempat Bella berdiri. Beberapa catatan mulai ku periksa satu persatu, hingga akhirnya Bella pun menarik-narik lipatan lengan kemeja yang ku kenakan.
"Maaf ya Mas Adrian." Ucapnya pelan.
"Kamu minta maaf kenapa Bel?" Tanyaku dengan suara yang juga pelan.
"Harusnya aku ngomong tadi itu pas berdua aja sama Mas Adrian, tapi karena aku kaget ngeliat Mas Adrian jadinya pada tau semua. Tapi beneran loh Mas Adrian keliatan beda." Jelasnya.
"Apanya yang beda deh Bel? Aku masih ngga ngerti." Kataku.
"Bener kata Bang Ferdi, Mas Adrian keliatan bahagia kali ini. Ngga kayak hari-hari sebelumnya, apa ada sesuatu?" Ucap Bella.
"Sesuatu? Ngga ada ah Bel semuanya biasa aja." Kataku.
"Mungkin Mas Adrian ngga sadar ada sesuatu yang bisa bikin bahagia, atau mungkin perasaan kita aja semua." Ucapnya.
Aku pun menanggapinya dengan cukup bingung, kemudian kami pun kembali pada pekerjaan kami masing-masing. Saat ini aku sedang berada di halaman belakang, aku sedang mengamati bagaimana hasil dari mesin penyangrai kali ini. Setelah melihat dengan teliti, aku pun memastikan bahwa biji kopi aman untuk dikonsumsi.
Ckrek! Ferdi masuk ke dalam ruangan, "Indahnya wangi-wangian biji kopi yang baru roasting, sedapnya aroma coklat dibalut dengan karamel."
"Ngomong apa sih ngga jelas." Kataku.
"Dan bahagianya jika hati sudah bisa menemukan seseorang yang bisa menyembuhkan luka lama. Mau puitis gue ngeliat temen gue sudah menemukan sosok yang baru." Jelasnya.
Aku sudah mengepal tanganku, "Ngomong ngga jelas sekali lagi gue tonjok beneran lu Fer."
"Santai dong, gue ngomong sesuatu pasti ada alasannya. Tuh ada yang nyariin di depan."
Ia meninggalkanku, aku pun masih bingung dengan apa yang baru saja ia katakan. Selesai dengan membersihkan mesin, aku pun meninggalkan ruangan ini. Langkahku terhenti, aku memandang dalam diam, hingga aku pun tersenyum.
"Hai Ayi..."
.
.
.
"Jadi itu yang bikin dia bahagia, pantesan hari ini beda." Ucap Ferdi.
Ferdi, Rara, Gigi, Mita, hingga Bella ternyata melihat ke arah kami tanpa aku sadari.
"Ngomong-ngomong..." Rara berbicara, "gimana sama Ka Renata?"
***
oktavp dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Kutip
Balas