- Beranda
- Stories from the Heart
AKU, KAMU, DAN LEMON : SETELAH SEMUANYA BERAKHIR
...
TS
beavermoon
AKU, KAMU, DAN LEMON : SETELAH SEMUANYA BERAKHIR
Setelah beberapa tahun memutuskan untuk beristirahat, akhirnya Beavermoon kembali untuk menyelesaikan apa yang seharusnya bisa diselesaikan lebih cepat.
Sedikit bercerita bahwa cerita ini adalah akhir dari serial Aku, Kamu, dan Lemon. Cerita ini tidak lagi mengisahkan tentang Bram, Widya, Dinda, dan yang lainnya. Cerita ini akan mengisahkan tentang sang penulis dari Aku, Kamu, dan Lemon setelah seri Buku Harian Airin berakhir. Bagaimana ia harus menjalani hidup setelah semuanya berakhir, bagaimana ia harus menyelesaikan dan menjelaskan semua cerita yang sudah ia tulis.
Lalu kenapa cerita ini masih menjadi bagian Aku, Kamu, dan Lemon jika sudah tidak ada lagi para tokoh utama dari cerita tersebut? Mungkin, apa yang dirasakan oleh sang penulis bisa menjadi penutup dari serial ini, dengan catatan telah mendapatkan izin dari beberapa orang yang "namanya" pernah tercantum di cerita sebelumnya.
Untuk kalian yang baru bergabung, mungkin bisa baca seri sebelumnya terlebih dahulu sebelum membaca seri terakhir ini.
AKU, KAMU, DAN LEMON
AKU, KAMU, DAN LEMON : BUKU HARIAN AIRIN
Dan bagi kalian yang sudah mengikuti dari seri pertama, selamat datang kembali. Semoga apa yang menjadi pertanyaan selama ini bisa terjawab, jika tidak terjawab maka lebih baik bertanya di kolom komentar. Satu info terakhir, seri ini akan update 3X dalam seminggu (Senin, Rabu, Jum'at) agar tidak terlalu lama. Enjoy!

Spoiler for Index:
Episode 1
Episode 2
Episode 3
Episode 4
Episode 5
Episode 6
Episode 7
Episode 8A
Episode 8B
Episode 9
Episode 10
Episode 11
Episode 12
Episode 13
Episode 14
Episode 15
Episode 16
Episode 17
Episode 18A
Episode 18B
Episode 19
Episode 20
Episode 21
Episode 22
Episode 23
Episode 24
Episode 25
Episode 26
Episode 27
Episode 28
Episode 29
Episode 30
Episode 31
Episode 32
Episode 33
Episode 34 (Finale)
Episode 35A (Extended)
Episode 35B (Extended)
Episode 2
Episode 3
Episode 4
Episode 5
Episode 6
Episode 7
Episode 8A
Episode 8B
Episode 9
Episode 10
Episode 11
Episode 12
Episode 13
Episode 14
Episode 15
Episode 16
Episode 17
Episode 18A
Episode 18B
Episode 19
Episode 20
Episode 21
Episode 22
Episode 23
Episode 24
Episode 25
Episode 26
Episode 27
Episode 28
Episode 29
Episode 30
Episode 31
Episode 32
Episode 33
Episode 34 (Finale)
Episode 35A (Extended)
Episode 35B (Extended)
Diubah oleh beavermoon 27-06-2020 18:27
i4munited dan 31 lainnya memberi reputasi
32
27.1K
Kutip
395
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
beavermoon
#172
Spoiler for Episode 25:
Apakah semua yang pergi benar-benar tidak akan kembali? Sebuah pertanyaan yang terdengar seperti penyangkalan untuk membuatku bisa meyakinkan bahwa Renata akan kembali. Entah kenapa aku masih saja percaya bahwa ia akan kembali dalam waktu yang cepat, meskipun sudah setahun berlalu. Sebentar? Aku menyadari bahwa itu bukanlah waktu yang sebentar. Terlalu lama?
Aku tetap menjalani hidupku seperti biasa, masih dengan keseharianku, masih dengan teman-temanku, entah dengan perasaanku.
"Mas Adrian..."
Aku menoleh ke arah Rara, "Kenapa Ra?"
"Ada yang mau ketemu, katanya dari orang media sama dari orang perkumpulan petani kopi. Mereka duduk di sana yang minum Almond Latte." Jelas Rara.
Aku sempat melihat ke arah mereka, "Yaudah nanti selesai urusan di belakang baru aku samperin. Ngomong-ngomong si Ferdi kemana?"
"Bang Fer lagi di luar Mas, tuh." Kata Bella.
Aku melihat ke mana jari Bella menunjuk, aku melihat Ferdi sedang berbincang dengan beberapa orang yang tidak ku kenal. Aku mengangguk beberapa kali, kemudian aku kembali ke halaman belakang untuk menyelesaikan pekerjaanku.
Beberapa menit berlalu, aku pun menghampiri dua orang yang katanya sedang mencariku. Kami saling berjabat tangan dan memperkenalkan diri, aku pun ikut duduk bersama dengan mereka. Satu bahasan dan dilanjutkan dengan bahasan lain yang membuatku pun bisa merasakan kenyamanan untuk berbincang.
"Jadi seperti itu Mas Adrian kira-kira untuk planningke depannya." Ucap salah satu orang tersebut.
"Seru juga sih kayaknya kalau emang bisa direalisasiin Mas, jadi dari mulai petani-petani yang ada di daerah bisa kita kasih ilmu lagi supaya ke depannya jadi lebih baik dari mulai sebelum produksi sampai pasca panennya." Kataku.
"Iya, makanya kami dari media pun sangat setuju dan akan support dengan penuh untuk acara itu. Ngomong-ngomong tempat ini udah lama juga ya Mas, udah sampai 3 tahun." Katanya.
"Kalau dibilang ngga berasa, bohong juga sih..."
Kami pun sempat tertawa, "...Tahun pertama mungkin yang paling berasa, di mana lagi berdarah-darahnya mulai usaha. Tahun-tahun berikutnya kayak udah nikmatin hasilnya aja sampai sekarang."
Perbincangan kami berlanjut, hingga kedua orang ini meninggakkan kedai. Aku kembali ke belakang bar, di sana sudah ada Ferdi yang melihat catatan.
"Gimana cuk?" Tanyanya.
"Biasa lah rencana-rencana tali persaudaraan." Jawabku.
Ferdi menatap ke arahku, "Sebenernya ada yang pengen gue bilangin sih ke lu, cuma gue takut dipukulin abis ngomong."
"Yaelah Fer kayak baru pertama kali aja dipukulin." Kataku.
"Bajing*n, tapi serius nih jangan mukulin gue abis gue ngomong." Ucapnya.
"Apaan?" Tanyaku singkat.
"Bang Fer..." Rara memotong pembicaraan, "ada yang mau ketemu, katanya dari apa ya tadi aku lupa. Orangnya nunggu di luar."
Ferdi sempat melihat ke arah luar, nampaknya ia mengenal orang tersebut yang kemudian ia sambangi. Aku pun mendekat ke arah Bella yang sedang membuat pesanan pelanggan. Setelah selesai, ia kembali berdiri di dekatku sambil membersihkan mesin kopi.
"Ngga kerasa ya Mas." Ucap Bella.
"Apanya nih yang ngga berasa Bel?" Tanyaku.
"Jangan marah tapi Mas, janji dulu." Katanya lagi.
"Ngga kamu, ngga Ferdi, daritadi nyuruh jangan marah. Emang kenapa sih?" Tanyaku penasaran.
"Hmm... ngga berasa udah setahun ngga ada Ka Renata." Ucapnya.
Aku tersenyum, "Bener juga ya, udah setahun."
"Are you okay now?" Tanyanya.
Aku mengangukkan kepalaku, kemudian aku kembali tersenyum kepada Bella. Ia pun sempat menggenggam tanganku sambil mengusap punggung tanganku, dan juga Bella ikut tersenyum. Setelah itu, ia melepas genggamannya lalu menepuk pundakku beberapa kali.
"Kalian ngapain sih?" Kata Rara.
Aku dan Bella bersamaan menatap ke arahnya, "Eh, ngga ini ada debu di bajunya Mas Adrian. Nanti bisa masuk ke minuman lagi."
Rara mengangukkan kepalanya beberapa kali kemudian ia kembali menatap mesin kasir. Aku dan Bella hanya bisa saling tersenyum sambil membereskan pekerjaan kami. Bella mendekat sambil berbisik, "Aku salut sama Mas Adrian.", aku pun hanya bisa kembali tersenyum untuk menanggapinya.
Hari pun berlanjut, tak terasa kami sudah menutup kedai ini. Aku sudah di perjalanan pulang, melewati jalanan yang sama, hanya saja sesekali aku melihat bangunan-bangunan baru yang berdiri tegak di beberapa tempat. Dan akhirnya aku kembali tiba di rumah.
Kegiatan yang masih sama semenjak beberapa tahun yang lalu, aku masuk ke dalam melalui ruang tamu yang gelap, pergi menuju kulkas mengambil minuman botolan, berlalu menuju lantai atas ke kamarku. Aku pun duduk di atas kursi, meletakkan tas di atas meja, ku sempatkan untuk menyalakan sebatang rokok.
Krek! beberapa tegukan terasa masuk melalui tenggorokanku, ku letakkan botol di atas meja. Kemudian aku menatap ke arah laci meja, rasanya aku ingin membukanya. Ku tarik secara pelan hingga laci itu menunjukkan apa saja isi yang ada di dalamnya.
"Buku Harian Airin..." Kataku seorang diri.
Ku ambil buku tersebut, aku menatapnya dalam diam untuk beberapa saat. Sebuah buku yang bisa dikatakan berhasil merubah hidupku, entah lebih baik entah lebih buruk. Sebuah buku yang berhasil merubah jalan pikiranku untuk menatap lebih luas. Dan juga, sebuah buku yang berhasil mempertemukan aku dengan orang yang tidak pernah aku sangka sebelumnya.
Ku nyalakan laptop di atas meja, beberapa saat aku menunggu hingga aku mulai mencari sebuah file yang sudah ku simpan. Aku kembali membuka file tersebut, sudah ada beberapa halaman dengan entah sudah berapa kata yang terangkai di dalamnya.
"Mungkin... harus mulai lagi." Kataku.
Dan akhirnya aku kembali memulai untuk merangkai kata-kata dan melanjutkan apa yang seharusnya sudah ku selesaikan beberapa tahun yang lalu.
*
Drrt! Drrt! Drrt! Aku membuka mataku, dengan cepat aku bangun dari tidurku untuk berlalu ke kamar mandi. Setelah itu aku berlalu menuju meja, ku lihat laptopku masih menyala. Beberapa halaman sudah bertambah semenjak aku mulai mengerjakannya lagi semalam. Ku tutup laptop tersebut, lalu ku nyalakan sebatang rokok. Aku berlalu menuju lantai bawah, menyempatkan diri ke dapur untuk sekedar mengisi air dingin ke dalam gelas.
Ckrek! Aku membuka kunci pintu, aku berlalu menuju halaman rumah lalu duduk menatapi sekeliling yang masih sepi. Tak berselang lama, pemandangan ini berubah karena terhalang oleh mobil Ferdi yang parkir di depan rumah. Ia keluar dari dalam mobil lalu masuk dan duduk di sampingku.
"Selamat pagi Ad..."
"Bisa ngga sih ngga ganggu pemandangan pagi dengan ngga parkir mobil di situ?" Kataku memotong pembicaraannya.
"Edan, pagi-pagi udah diomelin gue." Ucap Ferdi.
"Udah lama kan ngga denger gue ngomel pagi-pagi?" Tanyaku.
"Kalau dipikir-pikir, iya juga ya udah lama gue ngga denger lu ngomel pas pagi. Eh iya ngomong-ngomong, bagaimana kita menghabiskan hari libur kita kali ini? Gue bosen tiap minggu jalan-jalan sendirian mulu." Kata Ferdi.
"Sendirian? Bukannya lu suka ngajak Bella?" Tanyaku.
"Nah! Pas banget lu ngomongin soal Bella, gue kok ngerasa ada yang aneh ya sama dia, ngga tau perasaan gue doang apa beneran ada yang aneh sama dia. " Kata Ferdi.
"Aneh gimana maksudnya?" Tanyaku lagi.
"Iya, akhir-akhir ini gue ngerasa kayak dia itu ngejaga jarak sama gue. Beda sama Bella yang beberapa tahun lalu, lu ngerasain juga ngga sih? Apa gue doang yang ngerasain?" Jelasnya.
"Perasaan lu doang kali, dia masih baik-baik aja sampai sekarang." Kataku.
"Apa jangan-jangan dia suka sama gue ya Dri?" Tanya Ferdi.
"Udah tau pakai nanya lagi." Kataku pelan.
"Lu ngomong apaan barusan?" Tanyanya lagi.
"Ngga kok. Perasaan lu aja kali, lagian juga sejak kapan dia suka sama lu, jangan kepedean jadi orang." Jawabku.
"Mending gue kepedean, dari pada ada nih temen gue. Gue cerita dikit kali ya, dia suka sama cewe terus cewe itu juga suka sama dia. Gobl*knya lagi dua-duanya tuh sama-sama mendem perasaan sampai akhirnya, ya lu tau lah..."
"Bajing*n!..." aku memukul lengannya, "biar mati aja dimakan belalang!"
Ferdi tertawa sambil mengusap lengannya, "Damai Dri damai, bercanda doang elah. Yaudah jadi ke mana kita... Eh, siapa tuh Dri berhenti di belakang mobil gue?"
Aku pun melihat sebuah taksi berhenti di belakang mobil Ferdi, beberapa saat taksi itu diam hingga keluarlah dari pintu belakang penumpang tersebut. Dengan cepat dan secara bersamaan, aku dan Ferdi bangun dari duduk lalu menghampiri taksi tersebut.
"Nah gitu dong bawain barang-barang di bagasi." Kata Ayah.
"Apaan sih Om, orang saya mau nyamperin Tante." Ejek Ferdi.
"Nyokap gue cuk!" Kataku sambil memukul lengannya pelan.
"Yaampun pagi-pagi udah berantem aja." Kata Ibu.
Kami pun membawakan barang-barang bawaan Ayah dan Ibu keluar dari taksi, kemudian taksi itu pun pergi meninggalkan kami. Aku dan Ferdi menyempatkan diri untuk menyalami mereka.
"Ngomong-ngomong kok barang bawaannya cuma sedikit Om? Ngga lama lagi baliknya?" Tanya Ferdi.
Ayah menyalakan sebatang rokok, "Om pun ngga paham kenapa makin ke sini malah makin susah buat dapet libur. Om pikir kalau udah naik jabatan bakalan makin banyak libur, ternyata malah makin susah."
"Naik jabatan?" Tanyaku heran.
"Ayah abis naik jabatan beberapa bulan yang lalu." Jawab Ibu.
"Alamakjang, mantap kali Om. Tapi ngomong-ngomong mending kita ngobrol di dalem aja, anggep aja rumah sendiri." Ucap Ferdi.
"Ini emang rumah mereka cuk!" Kataku.
Kami pun tertawa sesaat, kemudian kami pun masuk ke dalam rumah untuk melanjutkan perbincangaan yang tertunda. Memang benar saja, Ayah semakin sibuk setelah mendapatkan jabatan baru. Buktinya, baru saja mereka tiba pagi ini namun sore hari mereka harus kembali ke tempat kerja. Mereka pulang hanya meluangkan waktu untuk bertemu denganku dan juga untuk menghadiri sebuah undangan dari kerabat dekat. Acara Ferdi pada hari ini pun tercapai, ia bisa pergi keluar bersamaku dan juga keluargaku.
Sore hari, aku dan Ferdi selesai menemani Ayah dan Ibu untuk menghadiri undangan. Aku dan Ferdi sudah berdiri di samping mobil sambil menghisap sebatang rokok menunggu Ayah dan Ibu keluar dari gedung.
"Siapa Dri yang nikah?" Tanya Ferdi.
"Oh ini yang nikah tuh temen bokap pas pendidikan dulu." Jawabku.
"Nah kan, anak temen bokap lu aja udah ada yang nikah. Apa ngga jadi pertanyaan buat bokap sama nyokap lu Dri?" Tanyanya lagi.
"Brengs*k! Ngga bisa semuanya disamain dong." Bantahku.
"Kalau dipikir-pikir iya juga ya, kenapa di kita itu suka banget banding-bandingin? Gue masih ngga abis pikir aja, semisal kejadian ini. Anak temen bokap lu udah nikah, terus lu yang seumuran dibandingin sama dia. Padahal bener juga, semuanya ngga bsa disamain." Jelas Ferdi.
"Itu dia, mungkin dia nikah karena udah ada calon dan udah siap. Nah kalau gue?" Kataku.
"Baru juga patah hati ya?" Tanya Ferdi.
"Lama-lama gue tonjok beneran lu ya." Kataku.
"Damai dong damai..." Ferdi menatap ke arah gedung, "minggir lu cuk, ada cewe yang gue taksir tadi mau lewat."
Aku pun digeser paksa oleh Ferdi, ia sempat merapihkan kemeja yang ia kenakan dan bersiap-siap untuk kedatangan entah siapa. Aku melihat ke mana ia menatap, ada seorang wanita yang keluar dari gedung mengenakan setelan kebaya lengkap dan jujur saja memang cantik. Wanita itu semakin mendekat ke arah kami berdiri, kemudian datanglah seorang pria yang menghampiri wanita tersebut bersama dengan anak kecil. Ya, anak kecil yang bisa ku pastikan bahwa itu adalah anaknya.
"Edan! Anak satu cuk." Kataku pelan.
Mereka pun berlalu melewati kami menuju mobil mereka terparkir. Setelah itu aku menepuk pundak Ferdi beberapa kali sambil menghisap rokok yang masih menyala.
"Ngga nyangka gue kalau dia udah berkeluarga." Ucap Ferdi.
"Kecuali lu belagak gila mau masuk ke kehidupan mereka ya silahkan." Kataku.
"Matamu! Kenapa ya cewe yang menarik perhatian gue, semuanya udah ada yang punya? Apa ngga ada yang disisain satu buat gue ya Dri?" Ucapnya.
"Omongannya udah kayak perjaka umur 50an aja cuk! Lagian ngapain lu ngejar yang belum jelas padahal ada yang bener-bener jelas di depan mata, heran gue sama lu." Kataku.
"Di depan mata?..." Ferdi membalikkan badan ke arahku, "siapa cuk?"
"Kalian heboh sendiri..." Ayah datang bersama Ibu, "ngomongin apa sih?"
"Biasa Om, anak muda. Om udah ngga cocok kalau ngobrolin ginian." Ejek Ferdi.
"Temenmu ini Dri, minta dimasukin ke Lapas kayaknya." Kata Ayah.
"Masukin aja Yah, lumayan buat pengalaman." Kataku.
Kami pun tertawa, kemudian kami pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Bandara untuk mengantarkan Ayah dan juga Ibu. Selama di perjalanan cukup banyak yang diceritakan Ayah mengenai temannya yang sudah berhasil menikahkan anaknya, tentu saja aku menjadi bulan-bulanan Ayah dan Ferdi. Beruntungnya ada Ibu yang masih bisa membelaku dalam percakapan itu.
Beberapa jam berlalu, kami pun tiba di Bandara. Ferdi memutuskan untuk menunggu di mobil sementara aku mengantarkan Ayah dan Ibu sampai menuju pintu masuk.
"Ngga ada yang ketinggalan?" Tanyaku.
"Udah semua kok Ibu masukin ke dalam koper. Yaudah kalau gitu Ibu sama Ayah berangkat lagi ya, kamu baik-baik di sini." Kata Ibu.
"Kabarin kalau kamu udah siap nikah." Ejek Ayah.
Aku memandang malas ke arah Ayah. Akhirnya aku pun mencium tangan mereka satu per satu, kemudian mereka pun masuk ke dalam pintu pemeriksaan.
Ting! Ada pesan masuk, aku membaca pesan tersebut sambil berjalan keluar. Ferdi mengabarkan bahwa ia sedang berada di tempat makan yang tidak jauh dari mobil, aku pun disuruh untuk menyusulnya. Ku masukkan handphone kembali ke dalam saku kemeja, aku menyempatkan diri untuk menyalakan sebatang rokok. Entah kenapa rasanya aku ingin menengok ke arah kanan, padahal aku tau aku sedang sendirian. Aku pun akhirnya menengok ke arah kanan.
Mata kami saling beradu satu sama lain, dalam diam aku mencoba menerka. Hingga akhirnya jari telunjuk kami saling menunjuk satu sama lain.
"Ayi? Tanyanya.
"Bubu?" Tanyaku.
"Ih, ini beneran Ayi?" Tanyanya lagi.
Aku mengangguk beberapa kali, kami pun berpelukan singkat.
"Apa kabar? Kamu jadi pramugari?" Tanyaku.
"Kabar aku baik kok. Iya, aku banting setir jadi pramugari. Kamu banyak berubah ya? Sekarang udah brewokan terus ngga segemuk dulu." Ucapnya.
"Nah, yang aku tau kan kamu jurnalis. Kalau ngomongin penampilan mungkin iya aku banyak berubah, tapi kok kamu masih ngenalin aja? Dan hebatnya kamu masih tetep sama kayak dulu." Kataku.
"Aku kayak mau nengok ke kamu aja, berasa kenal gitu. Oh ya? Masa sih? Tapi kayaknya iya deh aku ngga banyak berubah." Katanya.
Aku mengangguk beberapa kali, "Oh iya, kamu mau pulang ke asrama?"
"Ngga kok, aku mau balik ke rumah soalnya libur dua hari." Jawabnya.
"Hm... mau pulang bareng?"
***
Aku tetap menjalani hidupku seperti biasa, masih dengan keseharianku, masih dengan teman-temanku, entah dengan perasaanku.
"Mas Adrian..."
Aku menoleh ke arah Rara, "Kenapa Ra?"
"Ada yang mau ketemu, katanya dari orang media sama dari orang perkumpulan petani kopi. Mereka duduk di sana yang minum Almond Latte." Jelas Rara.
Aku sempat melihat ke arah mereka, "Yaudah nanti selesai urusan di belakang baru aku samperin. Ngomong-ngomong si Ferdi kemana?"
"Bang Fer lagi di luar Mas, tuh." Kata Bella.
Aku melihat ke mana jari Bella menunjuk, aku melihat Ferdi sedang berbincang dengan beberapa orang yang tidak ku kenal. Aku mengangguk beberapa kali, kemudian aku kembali ke halaman belakang untuk menyelesaikan pekerjaanku.
Beberapa menit berlalu, aku pun menghampiri dua orang yang katanya sedang mencariku. Kami saling berjabat tangan dan memperkenalkan diri, aku pun ikut duduk bersama dengan mereka. Satu bahasan dan dilanjutkan dengan bahasan lain yang membuatku pun bisa merasakan kenyamanan untuk berbincang.
"Jadi seperti itu Mas Adrian kira-kira untuk planningke depannya." Ucap salah satu orang tersebut.
"Seru juga sih kayaknya kalau emang bisa direalisasiin Mas, jadi dari mulai petani-petani yang ada di daerah bisa kita kasih ilmu lagi supaya ke depannya jadi lebih baik dari mulai sebelum produksi sampai pasca panennya." Kataku.
"Iya, makanya kami dari media pun sangat setuju dan akan support dengan penuh untuk acara itu. Ngomong-ngomong tempat ini udah lama juga ya Mas, udah sampai 3 tahun." Katanya.
"Kalau dibilang ngga berasa, bohong juga sih..."
Kami pun sempat tertawa, "...Tahun pertama mungkin yang paling berasa, di mana lagi berdarah-darahnya mulai usaha. Tahun-tahun berikutnya kayak udah nikmatin hasilnya aja sampai sekarang."
Perbincangan kami berlanjut, hingga kedua orang ini meninggakkan kedai. Aku kembali ke belakang bar, di sana sudah ada Ferdi yang melihat catatan.
"Gimana cuk?" Tanyanya.
"Biasa lah rencana-rencana tali persaudaraan." Jawabku.
Ferdi menatap ke arahku, "Sebenernya ada yang pengen gue bilangin sih ke lu, cuma gue takut dipukulin abis ngomong."
"Yaelah Fer kayak baru pertama kali aja dipukulin." Kataku.
"Bajing*n, tapi serius nih jangan mukulin gue abis gue ngomong." Ucapnya.
"Apaan?" Tanyaku singkat.
"Bang Fer..." Rara memotong pembicaraan, "ada yang mau ketemu, katanya dari apa ya tadi aku lupa. Orangnya nunggu di luar."
Ferdi sempat melihat ke arah luar, nampaknya ia mengenal orang tersebut yang kemudian ia sambangi. Aku pun mendekat ke arah Bella yang sedang membuat pesanan pelanggan. Setelah selesai, ia kembali berdiri di dekatku sambil membersihkan mesin kopi.
"Ngga kerasa ya Mas." Ucap Bella.
"Apanya nih yang ngga berasa Bel?" Tanyaku.
"Jangan marah tapi Mas, janji dulu." Katanya lagi.
"Ngga kamu, ngga Ferdi, daritadi nyuruh jangan marah. Emang kenapa sih?" Tanyaku penasaran.
"Hmm... ngga berasa udah setahun ngga ada Ka Renata." Ucapnya.
Aku tersenyum, "Bener juga ya, udah setahun."
"Are you okay now?" Tanyanya.
Aku mengangukkan kepalaku, kemudian aku kembali tersenyum kepada Bella. Ia pun sempat menggenggam tanganku sambil mengusap punggung tanganku, dan juga Bella ikut tersenyum. Setelah itu, ia melepas genggamannya lalu menepuk pundakku beberapa kali.
"Kalian ngapain sih?" Kata Rara.
Aku dan Bella bersamaan menatap ke arahnya, "Eh, ngga ini ada debu di bajunya Mas Adrian. Nanti bisa masuk ke minuman lagi."
Rara mengangukkan kepalanya beberapa kali kemudian ia kembali menatap mesin kasir. Aku dan Bella hanya bisa saling tersenyum sambil membereskan pekerjaan kami. Bella mendekat sambil berbisik, "Aku salut sama Mas Adrian.", aku pun hanya bisa kembali tersenyum untuk menanggapinya.
Hari pun berlanjut, tak terasa kami sudah menutup kedai ini. Aku sudah di perjalanan pulang, melewati jalanan yang sama, hanya saja sesekali aku melihat bangunan-bangunan baru yang berdiri tegak di beberapa tempat. Dan akhirnya aku kembali tiba di rumah.
Kegiatan yang masih sama semenjak beberapa tahun yang lalu, aku masuk ke dalam melalui ruang tamu yang gelap, pergi menuju kulkas mengambil minuman botolan, berlalu menuju lantai atas ke kamarku. Aku pun duduk di atas kursi, meletakkan tas di atas meja, ku sempatkan untuk menyalakan sebatang rokok.
Krek! beberapa tegukan terasa masuk melalui tenggorokanku, ku letakkan botol di atas meja. Kemudian aku menatap ke arah laci meja, rasanya aku ingin membukanya. Ku tarik secara pelan hingga laci itu menunjukkan apa saja isi yang ada di dalamnya.
"Buku Harian Airin..." Kataku seorang diri.
Ku ambil buku tersebut, aku menatapnya dalam diam untuk beberapa saat. Sebuah buku yang bisa dikatakan berhasil merubah hidupku, entah lebih baik entah lebih buruk. Sebuah buku yang berhasil merubah jalan pikiranku untuk menatap lebih luas. Dan juga, sebuah buku yang berhasil mempertemukan aku dengan orang yang tidak pernah aku sangka sebelumnya.
Ku nyalakan laptop di atas meja, beberapa saat aku menunggu hingga aku mulai mencari sebuah file yang sudah ku simpan. Aku kembali membuka file tersebut, sudah ada beberapa halaman dengan entah sudah berapa kata yang terangkai di dalamnya.
"Mungkin... harus mulai lagi." Kataku.
Dan akhirnya aku kembali memulai untuk merangkai kata-kata dan melanjutkan apa yang seharusnya sudah ku selesaikan beberapa tahun yang lalu.
*
Drrt! Drrt! Drrt! Aku membuka mataku, dengan cepat aku bangun dari tidurku untuk berlalu ke kamar mandi. Setelah itu aku berlalu menuju meja, ku lihat laptopku masih menyala. Beberapa halaman sudah bertambah semenjak aku mulai mengerjakannya lagi semalam. Ku tutup laptop tersebut, lalu ku nyalakan sebatang rokok. Aku berlalu menuju lantai bawah, menyempatkan diri ke dapur untuk sekedar mengisi air dingin ke dalam gelas.
Ckrek! Aku membuka kunci pintu, aku berlalu menuju halaman rumah lalu duduk menatapi sekeliling yang masih sepi. Tak berselang lama, pemandangan ini berubah karena terhalang oleh mobil Ferdi yang parkir di depan rumah. Ia keluar dari dalam mobil lalu masuk dan duduk di sampingku.
"Selamat pagi Ad..."
"Bisa ngga sih ngga ganggu pemandangan pagi dengan ngga parkir mobil di situ?" Kataku memotong pembicaraannya.
"Edan, pagi-pagi udah diomelin gue." Ucap Ferdi.
"Udah lama kan ngga denger gue ngomel pagi-pagi?" Tanyaku.
"Kalau dipikir-pikir, iya juga ya udah lama gue ngga denger lu ngomel pas pagi. Eh iya ngomong-ngomong, bagaimana kita menghabiskan hari libur kita kali ini? Gue bosen tiap minggu jalan-jalan sendirian mulu." Kata Ferdi.
"Sendirian? Bukannya lu suka ngajak Bella?" Tanyaku.
"Nah! Pas banget lu ngomongin soal Bella, gue kok ngerasa ada yang aneh ya sama dia, ngga tau perasaan gue doang apa beneran ada yang aneh sama dia. " Kata Ferdi.
"Aneh gimana maksudnya?" Tanyaku lagi.
"Iya, akhir-akhir ini gue ngerasa kayak dia itu ngejaga jarak sama gue. Beda sama Bella yang beberapa tahun lalu, lu ngerasain juga ngga sih? Apa gue doang yang ngerasain?" Jelasnya.
"Perasaan lu doang kali, dia masih baik-baik aja sampai sekarang." Kataku.
"Apa jangan-jangan dia suka sama gue ya Dri?" Tanya Ferdi.
"Udah tau pakai nanya lagi." Kataku pelan.
"Lu ngomong apaan barusan?" Tanyanya lagi.
"Ngga kok. Perasaan lu aja kali, lagian juga sejak kapan dia suka sama lu, jangan kepedean jadi orang." Jawabku.
"Mending gue kepedean, dari pada ada nih temen gue. Gue cerita dikit kali ya, dia suka sama cewe terus cewe itu juga suka sama dia. Gobl*knya lagi dua-duanya tuh sama-sama mendem perasaan sampai akhirnya, ya lu tau lah..."
"Bajing*n!..." aku memukul lengannya, "biar mati aja dimakan belalang!"
Ferdi tertawa sambil mengusap lengannya, "Damai Dri damai, bercanda doang elah. Yaudah jadi ke mana kita... Eh, siapa tuh Dri berhenti di belakang mobil gue?"
Aku pun melihat sebuah taksi berhenti di belakang mobil Ferdi, beberapa saat taksi itu diam hingga keluarlah dari pintu belakang penumpang tersebut. Dengan cepat dan secara bersamaan, aku dan Ferdi bangun dari duduk lalu menghampiri taksi tersebut.
"Nah gitu dong bawain barang-barang di bagasi." Kata Ayah.
"Apaan sih Om, orang saya mau nyamperin Tante." Ejek Ferdi.
"Nyokap gue cuk!" Kataku sambil memukul lengannya pelan.
"Yaampun pagi-pagi udah berantem aja." Kata Ibu.
Kami pun membawakan barang-barang bawaan Ayah dan Ibu keluar dari taksi, kemudian taksi itu pun pergi meninggalkan kami. Aku dan Ferdi menyempatkan diri untuk menyalami mereka.
"Ngomong-ngomong kok barang bawaannya cuma sedikit Om? Ngga lama lagi baliknya?" Tanya Ferdi.
Ayah menyalakan sebatang rokok, "Om pun ngga paham kenapa makin ke sini malah makin susah buat dapet libur. Om pikir kalau udah naik jabatan bakalan makin banyak libur, ternyata malah makin susah."
"Naik jabatan?" Tanyaku heran.
"Ayah abis naik jabatan beberapa bulan yang lalu." Jawab Ibu.
"Alamakjang, mantap kali Om. Tapi ngomong-ngomong mending kita ngobrol di dalem aja, anggep aja rumah sendiri." Ucap Ferdi.
"Ini emang rumah mereka cuk!" Kataku.
Kami pun tertawa sesaat, kemudian kami pun masuk ke dalam rumah untuk melanjutkan perbincangaan yang tertunda. Memang benar saja, Ayah semakin sibuk setelah mendapatkan jabatan baru. Buktinya, baru saja mereka tiba pagi ini namun sore hari mereka harus kembali ke tempat kerja. Mereka pulang hanya meluangkan waktu untuk bertemu denganku dan juga untuk menghadiri sebuah undangan dari kerabat dekat. Acara Ferdi pada hari ini pun tercapai, ia bisa pergi keluar bersamaku dan juga keluargaku.
Sore hari, aku dan Ferdi selesai menemani Ayah dan Ibu untuk menghadiri undangan. Aku dan Ferdi sudah berdiri di samping mobil sambil menghisap sebatang rokok menunggu Ayah dan Ibu keluar dari gedung.
"Siapa Dri yang nikah?" Tanya Ferdi.
"Oh ini yang nikah tuh temen bokap pas pendidikan dulu." Jawabku.
"Nah kan, anak temen bokap lu aja udah ada yang nikah. Apa ngga jadi pertanyaan buat bokap sama nyokap lu Dri?" Tanyanya lagi.
"Brengs*k! Ngga bisa semuanya disamain dong." Bantahku.
"Kalau dipikir-pikir iya juga ya, kenapa di kita itu suka banget banding-bandingin? Gue masih ngga abis pikir aja, semisal kejadian ini. Anak temen bokap lu udah nikah, terus lu yang seumuran dibandingin sama dia. Padahal bener juga, semuanya ngga bsa disamain." Jelas Ferdi.
"Itu dia, mungkin dia nikah karena udah ada calon dan udah siap. Nah kalau gue?" Kataku.
"Baru juga patah hati ya?" Tanya Ferdi.
"Lama-lama gue tonjok beneran lu ya." Kataku.
"Damai dong damai..." Ferdi menatap ke arah gedung, "minggir lu cuk, ada cewe yang gue taksir tadi mau lewat."
Aku pun digeser paksa oleh Ferdi, ia sempat merapihkan kemeja yang ia kenakan dan bersiap-siap untuk kedatangan entah siapa. Aku melihat ke mana ia menatap, ada seorang wanita yang keluar dari gedung mengenakan setelan kebaya lengkap dan jujur saja memang cantik. Wanita itu semakin mendekat ke arah kami berdiri, kemudian datanglah seorang pria yang menghampiri wanita tersebut bersama dengan anak kecil. Ya, anak kecil yang bisa ku pastikan bahwa itu adalah anaknya.
"Edan! Anak satu cuk." Kataku pelan.
Mereka pun berlalu melewati kami menuju mobil mereka terparkir. Setelah itu aku menepuk pundak Ferdi beberapa kali sambil menghisap rokok yang masih menyala.
"Ngga nyangka gue kalau dia udah berkeluarga." Ucap Ferdi.
"Kecuali lu belagak gila mau masuk ke kehidupan mereka ya silahkan." Kataku.
"Matamu! Kenapa ya cewe yang menarik perhatian gue, semuanya udah ada yang punya? Apa ngga ada yang disisain satu buat gue ya Dri?" Ucapnya.
"Omongannya udah kayak perjaka umur 50an aja cuk! Lagian ngapain lu ngejar yang belum jelas padahal ada yang bener-bener jelas di depan mata, heran gue sama lu." Kataku.
"Di depan mata?..." Ferdi membalikkan badan ke arahku, "siapa cuk?"
"Kalian heboh sendiri..." Ayah datang bersama Ibu, "ngomongin apa sih?"
"Biasa Om, anak muda. Om udah ngga cocok kalau ngobrolin ginian." Ejek Ferdi.
"Temenmu ini Dri, minta dimasukin ke Lapas kayaknya." Kata Ayah.
"Masukin aja Yah, lumayan buat pengalaman." Kataku.
Kami pun tertawa, kemudian kami pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Bandara untuk mengantarkan Ayah dan juga Ibu. Selama di perjalanan cukup banyak yang diceritakan Ayah mengenai temannya yang sudah berhasil menikahkan anaknya, tentu saja aku menjadi bulan-bulanan Ayah dan Ferdi. Beruntungnya ada Ibu yang masih bisa membelaku dalam percakapan itu.
Beberapa jam berlalu, kami pun tiba di Bandara. Ferdi memutuskan untuk menunggu di mobil sementara aku mengantarkan Ayah dan Ibu sampai menuju pintu masuk.
"Ngga ada yang ketinggalan?" Tanyaku.
"Udah semua kok Ibu masukin ke dalam koper. Yaudah kalau gitu Ibu sama Ayah berangkat lagi ya, kamu baik-baik di sini." Kata Ibu.
"Kabarin kalau kamu udah siap nikah." Ejek Ayah.
Aku memandang malas ke arah Ayah. Akhirnya aku pun mencium tangan mereka satu per satu, kemudian mereka pun masuk ke dalam pintu pemeriksaan.
Ting! Ada pesan masuk, aku membaca pesan tersebut sambil berjalan keluar. Ferdi mengabarkan bahwa ia sedang berada di tempat makan yang tidak jauh dari mobil, aku pun disuruh untuk menyusulnya. Ku masukkan handphone kembali ke dalam saku kemeja, aku menyempatkan diri untuk menyalakan sebatang rokok. Entah kenapa rasanya aku ingin menengok ke arah kanan, padahal aku tau aku sedang sendirian. Aku pun akhirnya menengok ke arah kanan.
Mata kami saling beradu satu sama lain, dalam diam aku mencoba menerka. Hingga akhirnya jari telunjuk kami saling menunjuk satu sama lain.
"Ayi? Tanyanya.
"Bubu?" Tanyaku.
"Ih, ini beneran Ayi?" Tanyanya lagi.
Aku mengangguk beberapa kali, kami pun berpelukan singkat.
"Apa kabar? Kamu jadi pramugari?" Tanyaku.
"Kabar aku baik kok. Iya, aku banting setir jadi pramugari. Kamu banyak berubah ya? Sekarang udah brewokan terus ngga segemuk dulu." Ucapnya.
"Nah, yang aku tau kan kamu jurnalis. Kalau ngomongin penampilan mungkin iya aku banyak berubah, tapi kok kamu masih ngenalin aja? Dan hebatnya kamu masih tetep sama kayak dulu." Kataku.
"Aku kayak mau nengok ke kamu aja, berasa kenal gitu. Oh ya? Masa sih? Tapi kayaknya iya deh aku ngga banyak berubah." Katanya.
Aku mengangguk beberapa kali, "Oh iya, kamu mau pulang ke asrama?"
"Ngga kok, aku mau balik ke rumah soalnya libur dua hari." Jawabnya.
"Hm... mau pulang bareng?"
***
oktavp dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Kutip
Balas
Tutup