- Beranda
- Stories from the Heart
[cinta. horror. roman] - The Second
...
TS
abangruli
[cinta. horror. roman] - The Second
![[cinta. horror. roman] - The Second](https://s.kaskus.id/images/2019/11/14/10479605_20191114110217.jpg)
“Kamu tidak perlu memilih dia atau aku.
Pilih dia saja.
Tak perlu kamu khawatirkan aku.
Aku cuma minta satu hal.
Maukah kamu sebut namaku dalam doa-doamu?”
***
Chapter 1 – Awal Kisah
Pukul 01.34 dini hari. Aku sendirian di kamar. Duduk tegak lurus dengan pandangan penuh ke layar laptop. Jemari kubiarkan menari di keyboard, mengetik setiap detik kisah hidup yang aku alami. Tentu saja nama-namanya aku pilih yang lebih keren, kota tempat kejadian aku geser beberapa ratus kilometer dari aslinya dan penggambaran para tokoh aku percantik dan perganteng sekian persen. Seolah menjadi kisah fiksi. Padahal tidak. Hanya saja aku tak ingin mereka tahu bahwa itu kisah asli.
Jemariku terus mengetik hingga mendadak aku merasa dingin. Tercium wangi yang khas.
Aha. Dia sudah datang.
“Hai apa kabar..” tanyaku sambil terus menatap layar. Tak perlu menengok agar aku tak tebuai dalam keindahan yang memabukkan. Tapi dari bayang-bayang yang memantul di layar, bisa terlihat siluetnya yang menarik. Suara lembut menjawab terdengar seolah tepat disampingku, padahal dia masih dibelakang, “kangen kamu..”
Tanpa sadar aku tersenyum. Entah dari siapa mahluk itu belajar merayu orang. Teringat beberapa bulan lalu saat dia pertama kali menyapa aku.
***
“Hai..” suara lembut seorang wanita dari belakang. Aku kaget dan segera menoleh. Terlihat seorang gadis menatap mataku dengan ceria. Senyumnya mengembang sempurna memamerkan deretan giginya yang rapi. Kulitnya putih, tubuhnya wangi. Rambutnya lurus sepundak khas remaja yang energik, yang tak ingin gerak geriknya terganggu oleh rambut panjang. Poninya yang aduhai, yang bikin aku terpesona sekian detik menatapnya. Aku memang sangat mudah jatuh cinta pada poni yang menghias kening seorang gadis. Membuat ia terlihat lebih feminin. Bajunya pun casual, kaos pink sedikit ketat dengan celana jeans yang pas di kaki jenjangnya. Sepatu kets warna pink menghiasi ujungnya.
Indah.
Harusnya moment tersebut menjadi moment yang sangat indah. Sayang, keindahan tersebut agak ternoda dengan waktu dan lokasi pertemuan yang tidak tepat. Aku melihat angka digital pada pergelangan tangan.
Pukul 01.20 di pinggir kompleks.
Komplek perumahan? Sayangnya bukan. Aku sedang berjalan melewati komplek pemakaman. Dengan tergesa-gesa karena tak ingin mengganggu keheningan kompleks tersebut. Ini terjadi karena aku harus lembur, pulang malam, sialnya mobilku mogok kehabisan bensin 1 kilometer dari rumah. Panggil ojek online gak bisa gegara handphone yang mati. Terpaksa jalan toh hanya 1 kilometer. Hanya saja aku memang harus melewati pemakaman untuk mencapai rumah. Ya sudah daripada tidur di mobil aku pun memutuskan untuk jalan. Bertekad setengah berlari saat melewati kuburan.
Tapi kini aku dapati bukannya berjalan terburu-buru seperti rencana awal, aku malah sedang mematung memandang seorang gadis. Gadis yang indah tapi di waktu dan background lokasi yang salah.
“Kami jin ya?” aku bertanya sambil tertawa. Berharap ia tertawa dan menggeleng.
Tapi ia hanya tertawa. Renyah. Tawa yang bikin lega, karena jauh dari kesan menakutkan. Masa sih kuntilanak ketawanya bikin gemes gitu.
“Kamu tinggal dimana sih, kok jam segini masih disini..” tanyaku. Pertanyaan bodoh yang seharusnya tak pernah aku lontarkan.
“Aku tinggal disini” jawabnya sambil tersenyum.
Anjay! Aku terdiam, seketika aku bisa merasakan rona hangat dari wajahku seperti terhisap habis dan menyisakan pucat pasi yang luar biasa, “ka.. kamu becanda?”
Ayo mengangguklah! Angguklah!
Sayang seribu sayang, bukannya mengangguk ia malah mengegeleng. Sambil terus tersenyum ia berkata “aku gak becanda, aku memang tinggal disini...”
Seolah belum puas melihat kengerianku, ia perjelas dimana ia tinggal, “itu di pohon kamboja sebelah sana”
Sungguh ingin rasanya kutempeleng bocah kurang ajar itu, seenaknya bikin air pipisku mendadak ingin keluar. Walaupun cantik tapi kalau bikin aku kencing dicelana harus diberi pelajaran. Tapi jangankan menampar, menggerakkan tangan saja aku gagal, “ini prank ya?”
“kalau prank aku pasti pakai kostum pocong atau suster ngesot atau apalah yang serem-serem..” ia terdiam sebentar, seolah sedang berpikir, “atau kamu mau lihat aku berubah pakai kostum itu?”
Aku terdiam bagai lumpuh. Lututku lemas, lidahku kelu.
“Gak lah, aku gak mau kamu takut. Aku begini karena aku tahu selera kamu. Aku tahu kamu suka cewek berponi, aku tahu kamu suka cewek casual, aku tahu kamu suka cewek yang ceria. Karena itu aku menjadi seperti ini...karena aku...”
Terdiam sejenak, “karena aku suka kamu..” jawabnya dengan mata yang luar biasa indah.
Aku ternganga. Aku pasti mimpi. Berdiri mematung di pinggir kuburan dengan sesosok mahluk entah apa yang sedang menyatakan cinta padaku. Ini pasti mimpi.
Mimpi romantis yang sayangnya bergenre horror.
Akhirnya aku merasakan kehangatan dipangkal celanaku. Anjay!
[bersambung]
INDEX
Chapter 2 - Pingsan
Chapter 3 - Rumah Sakit
Chapter 4 - Namaku Danang
Chapter 5 - Namanya Rhea
Chapter 6 - Maudy dan 'Maudy'
Chapter 7 - The Second
Chapter 8 - Konser
Chapter 9 - Bertemu Wulan
Chapter 10 - Rumah Sakit (Lagi)
Chapter 11 - Aku dan Rhea dan Satunya Lagi
Chapter 12 - Menggapai Dirinya
Chapter 13 - Dinner with Rhea
Chapter 14 - Wulan versus Rhea Featuring Vania
Chapter 15 - ..........................
Chapter 16 - Rindu
Chapter 17 - Semakin Rindu
Chapter 18 - Melepas Rindu
Chapter 19 - Maafkan Aku lah Bang!
Chapter 20 - Menusuk Tepat di Hati
Chapter 21 - Seribu Alasan Satu Jawaban
Chapter 22 - Belajar Mencintai
Chapter 23 - Would You?
Chapter 24 - The Show Must Go On
Chapter 25 - Tragedi
Chapter 26 - Mimpi
Chapter 27 - Arti Cinta
Chapter 28 - Sad Session
Chapter 29 - Stories of My Life
Chapter 30 - Dua Puluh Tahun Lalu
Chapter 31 - Who Are You?
Chapter 32 - Mya dan Temannya
Chapter 33 - Tok Tok Tok!
Chapter 34 - Menjelang Pertemuan
Chapter 35 - Wajah Itu
Chapter 36 - Pending
Chapter 37 - Dinner for Three
Chapter 38 - Bla Bla Bla
Chapter 39 - Little Heart
Chapter 40 - This Will Be a Long Nite
Chapter 41 - Story from My Side
Chapter 42 - Story from Vania's Side
Chapter 43 - Deja Vu
Chapter 44 - Permintaan Terakhir
Chapter 45 - One Last Dance
Bonus - Behind The Story [Road to Final Chapter]
Chapter 46 - Reality
Chapter 47 - No More Mr. Nice Guy
Chapter 48 - Shocking Reality
Session 2 - The Second - The Killing Rain
Klik dimari bro untuk lanjut ke Session 2
Enjoy the stories gaesss..
Jangan lupa cendol, subcribe dan shareee yaaaaa...
Ruli Amirullah
Diubah oleh abangruli 21-07-2024 16:25
pulaukapok dan 89 lainnya memberi reputasi
88
52.4K
945
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
abangruli
#309
Chapter 38 – Bla Bla Bla
“Va... Vania...? Kamu udah ketemu lagi ama dia?” tanyaku
“Sudah..”
“Kapan?”
“Di bandara, saat jemput kang Hamid, dia ada. Waktu mas Firdaus manggil aku, kang Hamid liat aku sedang menelepon kan?”
“Iya....” jawabku tanpa perlu susah-susah mengingat kejadian itu, karena masih terekam jelas di benak. Bahkan kadang aku reply dalam adegan slow motion saat Mya memutar wajahnya kayak di iklan-iklan shampo.
“Itu aku lagi pura-pura nelepon, karena sebenarnya aku sedang bicara dengan Vania.. dia ada di hadapanku dan memberi tahu aku.. bahwa kang Hamid sedang ada dibelakangku...”
Aku terkejut, What the..... ,”jadi dia waktu itu ada??”
“Yup.. saat itu dia bilang gini.. saat kang Hamid undang kamu untuk bicara berdua, tolong bilang dia ya.. aku juga ingin hadir disana. Hanya sejenak kok... gitu katanya”
Aku merinding. Ini Mya sejak kenal sering banget bikin aku merinding dengan kisah-kisahnya. Ada bakat jadi penulis cerita misteri kayaknya, “Oh.. ya sudah.. trus jadi nanti kamu harus tambah kursi dong. Kan tadinya kita pesan meja dengan dua kursi..”
“Ya gak perlu lah kang Hamid..” jawab Mya dengan nada suara gemas, seolah aku begitu tolol telah menanyakan hal itu, “Vania itu kan teman imajinerku, dia gak perlu bangku. Andai dia mau duduk pun dia bisa nangkring di meja tanpa mengganggu kita atau tamu lain.. hahaha...”
Aku Cuma bisa tertawa garing mendengar candanya itu. agak males juga membayangkan sosok Vania duduk nangkring di atas meja makan. Huff..
***
Angka masih menunjukkan angka 18.45 saat ponselku berdering. Terlihat nomer Firdaus di layar. Jam segini udah nelepon, hebat sekali. Bukan sekedar ontime malah early.
“Ya Hallo...”
“Assalamualaikum Kang... ini saya sudah di lobby, tapi kang Hamid gak perlu buru-buru, yang penting jam 19.00 kita sudah bisa berangkat...”
“Oh okay..” jawabku. Aku sih tak masalah berangkat sekarang juga karena bahkan aku sudah selesai bersiap-siap sejak pukul 18.30 tadi. Tapi aku tak yakin Emon sudah siap. Mandi dan memilih baju saja bisa memakan waktu setengah jam, “saya hubungi manajer saya dulu nanti jika sudah siap kami akan turun..”
“Baik kang...”
Setelah memutus pembicaraan dengan Firdaus aku segera menelepon Emon. Kalau gak diangkat juga aku akan berangkat aja sendiri. Baru dua kali nada dering ternyata sudah diangkat
“Iyeee... eike sudah cantiik... siap meluncur ke kamar yey...”
Aku terkejut, “eh muka gile lu.. meluncur ke lobby! Siapa yang nyuruh ke kamer gue?! Ke lobby!”
Dia tertawa terbahak-bahak. Senang mendengar aku kaget beneran. Dasar edan.
***
Aku turun dari mobil kedutaan dan mengamati gedung KBRI untuk beberapa saat. Ada rasa bangga melihat lambang burung Garuda Pancasila bertengger di bagian atas gedung. Aku memasuki gedung dan meninggalkan Emon yang sedang asyik berselfie ria di depan pintu masuk demi mendapatkan spot foto papan bertuliskan Embassy of The Republic of Indonesia Rabat. Saat masuk beberapa staf KBRI datang menyalami ku dengan hangat. Kebanyakan mengenakan batik tangan panjang, beberapa terlihat memakai jas lengkap dengan dasi. Aku tersenyum simpul dan merasa senang karena tidak salah memilih dress code. Walaupun Firdaus membebaskan aku pakai apa saja asal rapi, aku lebih memilih bermain aman dengan mengenakan batik. Sesantai-santainya acara di kedutaan akan tetap terasa resmi bagiku. Emon memilih mengenakan sweater warna ungu. Tadinya dia mau pakai yang kembang-kembang, tapi karena aku ancam akan menendang dia keluar dari mobil bila ngotot pakai sweater itu, diapun sambil misuh-misuh ganti warna ungu.
Yang pertama menyalami ada pimpinan tertinggi KBRI, seharusnya Duta Besar yang paling tinggi, tapi karena Dubes sedang ada kepentingan di Indonesia maka yang bertugas adalah the second man di Kedutaan. Orangnya sudah berumur dibuktikan dengan rambut putih yang mendominasi, tapi terlihat sangat berwibawa dengan suara yang berat. Tubuhnya pun tinggi dan terlihat sehat.
“Kang Hamid apa kabar... selamat datang di Maroko. Saya Wahyu..” sambutnya sambil erat menyalamiku. Senyumnya terbuka lebar dengan tatapan mata yang hangat. Dia terus menggenggam tanganku. Sementara ada seorang staf lain yang sibuk mengabadikan moment ini dengan menggunakan kamera DSLR lengkap dengan tambahan blitz lumayan besar. Aku merasa jadi artis saja. Haha..
“Baik Alhamdulillah... terima kasih pak Wahyu atas sambutannya yang luar biasa ini..” balasku dengan sopan. Melihat tangannya yang seolah tak ingin melepaskan jabat tangan, aku sadar bahwa ia tipe orang yang tak ingin lebih dulu melepas. Aku pun melonggarkan jabatan tangaku agar ia juga melepaskan tangannya.
“Ah biasa saja kang.. mari saya perkenalkan ke staf dan tamu yang lain..” ujarnya sambil mengiringi langkahku. Dan kemudian aku diperkenalkan satu per satu kepada staf dan tamu undangan lain yang hadir. Selesai bersalaman aku diajak masuk keruangan yang sudah diatur bagai ruang ball room dengan beberapa meja bundar. Tampak sejumlah hidangan tersajikan terpisah di meja panjang yang mepet ke tembok. Owh ini dinner ala prasmanan berarti.
Aku duduk dibangku yang sudah disediakan untukku. Sambil tersenyum memandang sekeliling. Menyenangkan sekali bertemu dengan sesama warga negara Indonesia di tempat yang jaraknya ribuan kilometer dari tanah air. Kalau tidak salah menghitung mungkin jumlah tamu yang hadir saat itu sekitar 30 orang. Itu belum termasuk Mya.. eh sebentar Mya mana? Aku kembali melayangkan pandang ke penjuru ruangan mencari sosok Mya. Tak ada. Mau bertanya pada Firdaus, tapi jauh. Firdaus duduknya beda meja denganku. Aku duduk bersama Pak Wahyu dan istri, kemudian entah pak siapa juga dengan istrinya, dan juga seorang tokoh WNI juga dengan istri. Hanya aku dimeja ini yang tidak bawa istri. Malah bawa Emon dengan sweater ungunya.
Mya kemana ya? dia bilang dia akan hadir di acara malam ini. Tapi aku belum melihat sosoknya. Mau bertanya lewat WA tapi gak enak dengan pak Wahyu yang dengan sangat ramah terus menemaniku bicara.
“Untuk acara besok, rencananya akan hadir 100 orang peserta lho..” kata pak Wahyu dengan raut wajah yang antusias.
Njir. Keren! “Ohya? Banyak sekali pak.. “
“Begitulah...soalnya jumlah pelajar WNI disini mencapai... bla bla bla..”
Kami meneruskan percakapan. Hingga akhirnya terdengar suara notifikasi dari ponselku. Tanda ada pesan masuk. Mendengar bunyi tersebut Pak Wahyu dengan baik hati mempersilahkan aku untuk membaca dulu pesan itu.
“Silahkan kang.. dibaca dulu itu ada pesan masuk..”
Aku mengangguk berterima kasih sambil meraih ponselku. Biasanya aku akan mendiamkan pesan masuk bila sedang bicara tapi untuk kali ini aku sungguh penasaran dan sangat berharap itu pesan dari Mya. Benar saja, ada pesan dari Mya masuk.
“Kang maaf ya, aku ga bisa hadir. Temen sekamarku mendadak sakit dan minta anter ke dokter..”
Aku membalasnya dengan cepat, “oh oke.. take care ya..”
“makasih kang.. tapi besok jadi kok kang..”
Tadinya aku memang mau bertanya itu, tapi sempat aku tahan karena khawatir dianggap terlalu egois masih mikirin acara esok ditengah temannya yang sedang sakit. Namun sepertinya ia tahu keegoisanku. Hahaha.. terbukti dia menenangkan aku dengan pernyataan itu.
“Oh iya, santai aja, urus aja temen kamu. Semoga cepat sembuh ya..” tulisku membalas WA nya.
Akupun kemudian kembali memasukkan ponsel ke saku. Sepertinya aku harus menahan diri hingga esok hari. Huh menyebalkan.
“Jadi gimana pak Wahyu? Maaf tadi kepotong..”
“Iya kang.. jadi nanti kita.. bla bla bla...”
Aku tak sabar menanti esok!
Sungguh!
[Bersambung]
“Va... Vania...? Kamu udah ketemu lagi ama dia?” tanyaku
“Sudah..”
“Kapan?”
“Di bandara, saat jemput kang Hamid, dia ada. Waktu mas Firdaus manggil aku, kang Hamid liat aku sedang menelepon kan?”
“Iya....” jawabku tanpa perlu susah-susah mengingat kejadian itu, karena masih terekam jelas di benak. Bahkan kadang aku reply dalam adegan slow motion saat Mya memutar wajahnya kayak di iklan-iklan shampo.
“Itu aku lagi pura-pura nelepon, karena sebenarnya aku sedang bicara dengan Vania.. dia ada di hadapanku dan memberi tahu aku.. bahwa kang Hamid sedang ada dibelakangku...”
Aku terkejut, What the..... ,”jadi dia waktu itu ada??”
“Yup.. saat itu dia bilang gini.. saat kang Hamid undang kamu untuk bicara berdua, tolong bilang dia ya.. aku juga ingin hadir disana. Hanya sejenak kok... gitu katanya”
Aku merinding. Ini Mya sejak kenal sering banget bikin aku merinding dengan kisah-kisahnya. Ada bakat jadi penulis cerita misteri kayaknya, “Oh.. ya sudah.. trus jadi nanti kamu harus tambah kursi dong. Kan tadinya kita pesan meja dengan dua kursi..”
“Ya gak perlu lah kang Hamid..” jawab Mya dengan nada suara gemas, seolah aku begitu tolol telah menanyakan hal itu, “Vania itu kan teman imajinerku, dia gak perlu bangku. Andai dia mau duduk pun dia bisa nangkring di meja tanpa mengganggu kita atau tamu lain.. hahaha...”
Aku Cuma bisa tertawa garing mendengar candanya itu. agak males juga membayangkan sosok Vania duduk nangkring di atas meja makan. Huff..
***
Angka masih menunjukkan angka 18.45 saat ponselku berdering. Terlihat nomer Firdaus di layar. Jam segini udah nelepon, hebat sekali. Bukan sekedar ontime malah early.
“Ya Hallo...”
“Assalamualaikum Kang... ini saya sudah di lobby, tapi kang Hamid gak perlu buru-buru, yang penting jam 19.00 kita sudah bisa berangkat...”
“Oh okay..” jawabku. Aku sih tak masalah berangkat sekarang juga karena bahkan aku sudah selesai bersiap-siap sejak pukul 18.30 tadi. Tapi aku tak yakin Emon sudah siap. Mandi dan memilih baju saja bisa memakan waktu setengah jam, “saya hubungi manajer saya dulu nanti jika sudah siap kami akan turun..”
“Baik kang...”
Setelah memutus pembicaraan dengan Firdaus aku segera menelepon Emon. Kalau gak diangkat juga aku akan berangkat aja sendiri. Baru dua kali nada dering ternyata sudah diangkat
“Iyeee... eike sudah cantiik... siap meluncur ke kamar yey...”
Aku terkejut, “eh muka gile lu.. meluncur ke lobby! Siapa yang nyuruh ke kamer gue?! Ke lobby!”
Dia tertawa terbahak-bahak. Senang mendengar aku kaget beneran. Dasar edan.
***
Aku turun dari mobil kedutaan dan mengamati gedung KBRI untuk beberapa saat. Ada rasa bangga melihat lambang burung Garuda Pancasila bertengger di bagian atas gedung. Aku memasuki gedung dan meninggalkan Emon yang sedang asyik berselfie ria di depan pintu masuk demi mendapatkan spot foto papan bertuliskan Embassy of The Republic of Indonesia Rabat. Saat masuk beberapa staf KBRI datang menyalami ku dengan hangat. Kebanyakan mengenakan batik tangan panjang, beberapa terlihat memakai jas lengkap dengan dasi. Aku tersenyum simpul dan merasa senang karena tidak salah memilih dress code. Walaupun Firdaus membebaskan aku pakai apa saja asal rapi, aku lebih memilih bermain aman dengan mengenakan batik. Sesantai-santainya acara di kedutaan akan tetap terasa resmi bagiku. Emon memilih mengenakan sweater warna ungu. Tadinya dia mau pakai yang kembang-kembang, tapi karena aku ancam akan menendang dia keluar dari mobil bila ngotot pakai sweater itu, diapun sambil misuh-misuh ganti warna ungu.
Yang pertama menyalami ada pimpinan tertinggi KBRI, seharusnya Duta Besar yang paling tinggi, tapi karena Dubes sedang ada kepentingan di Indonesia maka yang bertugas adalah the second man di Kedutaan. Orangnya sudah berumur dibuktikan dengan rambut putih yang mendominasi, tapi terlihat sangat berwibawa dengan suara yang berat. Tubuhnya pun tinggi dan terlihat sehat.
“Kang Hamid apa kabar... selamat datang di Maroko. Saya Wahyu..” sambutnya sambil erat menyalamiku. Senyumnya terbuka lebar dengan tatapan mata yang hangat. Dia terus menggenggam tanganku. Sementara ada seorang staf lain yang sibuk mengabadikan moment ini dengan menggunakan kamera DSLR lengkap dengan tambahan blitz lumayan besar. Aku merasa jadi artis saja. Haha..
“Baik Alhamdulillah... terima kasih pak Wahyu atas sambutannya yang luar biasa ini..” balasku dengan sopan. Melihat tangannya yang seolah tak ingin melepaskan jabat tangan, aku sadar bahwa ia tipe orang yang tak ingin lebih dulu melepas. Aku pun melonggarkan jabatan tangaku agar ia juga melepaskan tangannya.
“Ah biasa saja kang.. mari saya perkenalkan ke staf dan tamu yang lain..” ujarnya sambil mengiringi langkahku. Dan kemudian aku diperkenalkan satu per satu kepada staf dan tamu undangan lain yang hadir. Selesai bersalaman aku diajak masuk keruangan yang sudah diatur bagai ruang ball room dengan beberapa meja bundar. Tampak sejumlah hidangan tersajikan terpisah di meja panjang yang mepet ke tembok. Owh ini dinner ala prasmanan berarti.
Aku duduk dibangku yang sudah disediakan untukku. Sambil tersenyum memandang sekeliling. Menyenangkan sekali bertemu dengan sesama warga negara Indonesia di tempat yang jaraknya ribuan kilometer dari tanah air. Kalau tidak salah menghitung mungkin jumlah tamu yang hadir saat itu sekitar 30 orang. Itu belum termasuk Mya.. eh sebentar Mya mana? Aku kembali melayangkan pandang ke penjuru ruangan mencari sosok Mya. Tak ada. Mau bertanya pada Firdaus, tapi jauh. Firdaus duduknya beda meja denganku. Aku duduk bersama Pak Wahyu dan istri, kemudian entah pak siapa juga dengan istrinya, dan juga seorang tokoh WNI juga dengan istri. Hanya aku dimeja ini yang tidak bawa istri. Malah bawa Emon dengan sweater ungunya.
Mya kemana ya? dia bilang dia akan hadir di acara malam ini. Tapi aku belum melihat sosoknya. Mau bertanya lewat WA tapi gak enak dengan pak Wahyu yang dengan sangat ramah terus menemaniku bicara.
“Untuk acara besok, rencananya akan hadir 100 orang peserta lho..” kata pak Wahyu dengan raut wajah yang antusias.
Njir. Keren! “Ohya? Banyak sekali pak.. “
“Begitulah...soalnya jumlah pelajar WNI disini mencapai... bla bla bla..”
Kami meneruskan percakapan. Hingga akhirnya terdengar suara notifikasi dari ponselku. Tanda ada pesan masuk. Mendengar bunyi tersebut Pak Wahyu dengan baik hati mempersilahkan aku untuk membaca dulu pesan itu.
“Silahkan kang.. dibaca dulu itu ada pesan masuk..”
Aku mengangguk berterima kasih sambil meraih ponselku. Biasanya aku akan mendiamkan pesan masuk bila sedang bicara tapi untuk kali ini aku sungguh penasaran dan sangat berharap itu pesan dari Mya. Benar saja, ada pesan dari Mya masuk.
“Kang maaf ya, aku ga bisa hadir. Temen sekamarku mendadak sakit dan minta anter ke dokter..”
Aku membalasnya dengan cepat, “oh oke.. take care ya..”
“makasih kang.. tapi besok jadi kok kang..”
Tadinya aku memang mau bertanya itu, tapi sempat aku tahan karena khawatir dianggap terlalu egois masih mikirin acara esok ditengah temannya yang sedang sakit. Namun sepertinya ia tahu keegoisanku. Hahaha.. terbukti dia menenangkan aku dengan pernyataan itu.
“Oh iya, santai aja, urus aja temen kamu. Semoga cepat sembuh ya..” tulisku membalas WA nya.
Akupun kemudian kembali memasukkan ponsel ke saku. Sepertinya aku harus menahan diri hingga esok hari. Huh menyebalkan.
“Jadi gimana pak Wahyu? Maaf tadi kepotong..”
“Iya kang.. jadi nanti kita.. bla bla bla...”
Aku tak sabar menanti esok!
Sungguh!
[Bersambung]
namakuve dan 21 lainnya memberi reputasi
22
Tutup