Kaskus

Story

yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
Selamat Datang di Thread Gue 
(私のスレッドへようこそ)


Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3


TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI DUA TRIT GUE SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT SELANJUTNYA INI, GUE DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK GUE DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DISINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR

Spoiler for Season 1 dan Season 2:


Last Season, on Muara Sebuah Pencarian - Season 2 :
Quote:




INFORMASI TERKAIT UPDATE TRIT ATAU KEMUNGKINAN KARYA LAINNYA BISA JUGA DI CEK DI IG: @yanagi92055 SEBAGAI ALTERNATIF JIKA NOTIF KASKUS BERMASALAH


Spoiler for INDEX SEASON 3:


Spoiler for LINK BARU PERATURAN & MULUSTRASI SEASON 3:



Quote:


Quote:

Quote:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 83 suara
Perlukah Seri ini dilanjutkan?
Perlu
99%
Tidak Perlu
1%
Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 10:25
sehat.selamat.Avatar border
JabLai cOYAvatar border
al.galauwiAvatar border
al.galauwi dan 142 lainnya memberi reputasi
133
342.8K
4.9K
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.8KAnggota
Tampilkan semua post
yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
#1890
Beres Satu
Keputusan gue untuk meninggalkan kostan Emi malam itu tepat. Daripada berlarut-larut ributnya. Gue sadar gue sudah salah bersikap terhadap Emi. tapi yaudah mau gimana lagi, nasi sudah menjadi bubur. Winda juga kenapa pakai bilang mau janjian berenang? Gilanya lagi pakai acara sekalian mau mengenalkan gue ke orang tuanyal. Gue nggak ada sama sekali menjanjikan hal tersebut.

Gue pun mendadak malas untuk manggung hari minggu ini. Bertemu dengan WInda pun jadi malas sekali. Rencananya gue juga mau ketemu dengan yang namanya Yulia ini. Tapi nggak jadi karena gue capek makin panjang lagi urusan dengan cewek-cewek yang sudah mulai kegeeran ini.

“Kang, gue daftar S2 juga. dikampus yang sama kayak lo. hehehe.” Sebuah chat dari Alya yang cukup bikin gue kaget.

“Hah? Seriusan? Ngambil kelas apaan lo?” tanya gue.

“Gue ngambil kelas eksekutif sama kayak lo. kan lumayan gue bisa jadi ketemu sama lo.” jawabnya riang.

“Ngambil kelas eksekutif? Haha. Ya nggak bakalan juga bisa bareng sama gue. kan pelajarannya beda karena kita beda tingkatan. Gue kan masuk duluan.”

“Ya nggak apa-apa, setidaknya gue bisa ketemu aja sama lo.”

“Gila lo Al. Segitunya banget. emang lo ngeliat apaan sih dari gue?”

“Ya nggak gila. Gue emang pingin sekolah lagi kok.”

“Sekolah bisa dimana aja. kenapa mesti sama kayak gue Al? Dari almamater lo kan juga bisa itu? Apalagi ditempat lo dulu kan emang jagoannya pendidikan manajemen, ekonomi dan juga bisnis Al.”

“Ya karena ada lo makanya gue coba ngambil ditempat yang sama kayak lo. Untung aja gue lolos tesnya. Haha.”

“Sadis lo Al. hahaha. Yaudah selamat bergabung ya Al.”

“Hahaha iya kang. Makasih. Nggak sabar gue mau sekampus sama lo.”

“Hahaha. Bebas Al.”

Belum lagi urusan dengan Winda yang mau gue sudahi segera ini selesai, eh sekarang malah ada Alya yang tiba-tiba kasih kabar seperti ini. Gila banget dia. sekolah ditempat gue itu nggak murah kalau alasannya biar bisa ketemu dengan gue lebih sering.

Gue sudah bilang ke Alya kalau gue itu sudah punya pacar. Tapi katanya dia nggak mau ganggu hubungan gue dengan pacar gue. Dia hanya mau gue lebih dekat dengan dia. Udah mulai konslet otaknya ini anak. Padahal dulu dia nggak begini banget. Entah apa yang ada di benaknya.
Selain dari Winda dan Alya, yang sudah menunjukkan tanda ketertarikan adalah Yulia. Dia juga berencana mau ketemu dengan gue tapi nggak mau sendirian. Gue pribadi sebenarnya malas ketemu dengan siapapun, termasuk Winda. Tapi karena sudah terlanjur gue iyakan, mau bagaimana lagi.

--

Hari H manggung sudah tiba, dan gue sudah berada dikostan Emi. Gue kesini bukan dalam rangka kasihan dengan Emi. tapi dia adalah manajer band gue. Jadi dia harus datang. Gue sengaja bersikap dingin dulu dengan dia.

“Zy, kita itu sebenernya gimana sih?” tanya Emi sebelum berangkat.

“Gimana apanya?” tanya gue balik.

“Ya hubungan kita. Maunya bagaimana?”

“Mau lo gimana ini hubungan?”

“Yaaa….gue nggak mau putus lah.”

“Sama..gue juga nggak mau putus. Udah nggak usah dibahas, cepetan berangkat, nanti kita telat Mi.”

Emi hanya diam saja. Dia membawakan gue bekal. Dalam hati gue sangat merasa lega, karena Emi nggak bilang ‘kita udahan aja’. Sesuatu yang sangat gue jaga jangan sampai itu terucap. Kami keluar kostan dalam diam sampai akhirnya tiba di lokasi. Nggak pernah sebelumnya gue diam-diaman dengan Emi sepanjang jalan seperti itu.

Sesampainya disana, masih belum terlalu ramai orang. Gue dan Emi sampai disana jam 12 siang kurang lebih. Kami mendapatkan jatah manggung setengah jam, ketiga terakhir sebelum acara selesai. Keunikan acara-acara dikomunitas ini saat ini adalah, acaranya cuma sampai sore. Nggak bisa sampai lebih dari magrib. Tapi nggak masalah, karena mungkin itu kebijakan kampus atau sekolahnya sebagai konsekuensi mengadakan acara dilingkungan kampus atau sekolah tersebut.

Berbeda sekali dengan jaman dulu, anak-anak kampus atau sekolah berani mengadakan acara diluar kampus atau sekolah mereka. Menyewa GOR atau bahkan kafe dibilangan Kemang, Jakarta Selatan untuk melangsungkan acara yang mereka rancang. Mungkin saat ini kemampuan para mahasiswa atau siswa terbatas dalam meyakinkan sponsor. Haha.

Gue dan Emi langsung menuju ke backstage untuk band kami. Kami bertanya ke panitia ada disebelah mana lokasinya dan pada saat itu pula gue melihat ada Yulia disana. Dia berada disana bersama beberapa orang yang gue kenali adalah anak-anak yang mungkin berada disatu wadah komunitas pecinta One Ok Rock.

Nggak masalah dengan itu semua. Memang gue nggak berencana bertemu dengan siapapun. Gue memang hanya nyari teman ngobrol di chat aja. Belum ada rencana mau bertemu apalagi jalan-jalan dan segala macamnya. Dengan adanya mereka menghiasi chat gue, itu bisa jadi pengobat rindu gue dengan sosok Emi. Sayangnya dalam beberapa kesempatan, rasa kangen itu buyar seketika ketika gue harus terus menerus beda pendapat dengan dia, dan terus menerus bertengkar.

Emi semacam menjadi benchmark gue menilai cewek-cewek ini. Dan mohon maaf sekali semuanya, checklistnya benar-benar nggak ada yang mendekati Emi sedikitpun. Utamanya adalah kemampuan akademik. Gue nggak berusaha untuk mencari yang pintar atau bagaimana, tapi memang dari segi bahan obrolan dan juga kemampuan pengetahuannya sangatlah tertinggal jauh dari Emi.

Tidak lama kemudian, lamunan gue buyar oleh kedatangan Arko dan Drian. Beberapa menit kemudian Vino muncul juga. dan yang terakhir tentu saja Rahman. Paling tua, tapi paling banyak alasan dia ini kalau urusan band. Lama-lama kami berlima agak gerah juga dengan banyaknya alasan dia ini. Ketika latihan untuk manggung aja dia bisa bilang belum lancar nguliknya, padahal yang lain sudah siap semua. Sering pula kami latihan tiga jam, dia datang satu jam terakhir dengan berbagai macam alasan.

Jika sudah begitu, yang pegang posisi bass adalah gue. Itu juga nggak selalu hafal dan karena gue nggak terbiasa nyanyi sambil main alat, jadinya kadangkala jadi agak berantakan mainnya. Ini sudah gue bicarakan sebelumnya secara personal ke Emi. dan Emi menyetujui pendapat gue kalau Rahman ini bisa jadi penghambat kemajuan band ini lama kelamaan dengan segala sikap dan alasannya itu.

Pemandangan di backstage cukup membuat gue agak panas juga hatinya. Apalagi ini bisa mengganggu konsentrasi gue ketika manggung. Kenapa? Karena gue melihat kedekatan Emi dan Drian yang begitu intens. Tapi gue berusaha untuk melihat secara profesional. Sedangkan hati gue nggak mau berkompromi soal itu.

Hati gue mengatakan kalau ini nggak bisa dibiarkan. Gue malah jadi berperang dengan hati gue sendiri melihat apa yang ada dihadapan gue. penenang gue adalah rasa bersalah gue ke Emi yang telah mencoba mengobrol dengan beberapa cewek dibelakang dia. ‘Lo itu nggak lebih baik dari dia, Ja.’ itu kurang lebih suara hati yang menenangkan gue.

“Kak Emiii, 5 menit lagi ya! tolong kumpul disamping panggung.” Secara mendadak salah satu panitia memberitahu kami dari depan pintu ruangan kami.

“Oke, thanks infonya ya.” Sahut Emi.

Kami berkumpul sesuai instruksi Emi untuk berdoa bersama. Kebiasaan band ini dari dulu adalah berdoa bersama sebelum manggung. Harapannya tentu saja diberi kemudahan dan kelancaran untuk menghibur. Terhindar dari masalah teknis maupun non teknis.

Emi adalah orang yang sangat strict terhadap waktu. Dia juga tegas dalam memperlakukan semua personil band, termasuk gue. sangat profesional. Tapi itulah yang membuat band ini bisa menuju jalur guest star seperti band gue, Drian, dan Arko dimasa lalu dengan begitu cepat.

Rata-rata band besar di komunitas yang eksis terlebih dulu, diawal karir mereka sampai bisa mendapatkan panggungan rutin sebagai guest star perlu waktu sekitar tiga tahunan minimal. Tapi band ini bersama Emi bisa dipoles dalam sekejap, kurang dari satu tahun kami kembali ke jalur guest star.

“Hai Emi… Aku mau bantuin Kak Ija. Boleh ya?” tanya Winda yang tiba-tiba muncul didepan pintu.

“Bang Ija kan nggak bawa apa-apa, mau dibantuin apaan?” jawab Emi sambil menengok ke belakang.

“Hmm. Benerin penampilan dia boleh kok. Apapun deh. Misi ya, Mi.” dia sedikit mendorong Emi kesamping biar dia bisa lewat dan menuju kearah gue.

Alih-alih gue senang melihat dia muncul dihadapan gue, gue malah tidak senang dengan sikap Winda barusan ke Emi. Secara pribadi, gue nggak suka pacar gue didorong seperti itu walaupun memang sedikit aja. Secara profesional, ini yang lebih parah.

Bukannya gue mau sombong, tapi area backstage guest star itu harusnya steril. Nggak bisa sembarangan orang bisa keluar masuk seenaknya. Mungkin karena Winda ini sudah sok dekat Emi dan juga gue pastinya, dia jadi merasa punya privilege untuk bersikap seenaknya kayak gitu. Ini yang nggak bisa gue terima.

“Sini aku bantuin…” ujarnya.

“Berat, Win. Nggak usah…” kata gue.

“Aku cewek strong kok…” balas dia, dan mengambil barang yang gue bawa ditangan kiri gue.

Gue membawa barang-barang manggung Arko biasanya. Hal ini karena memang dia yang selalu membawa peralatan yang sangat banyak dan beragam. Sementara gue nggak bawa apa-apa. jadinya gue membantu dia untuk membawakan alat dia.

Winda ini seperti permaisuri sekali sikapnya. Yang tadinya gue direncanakan untuk keluar paling belakang, malah diajak keluar duluan. Gue melewati semua teman gue, dan tentunya Emi. disini gue sangat merasa bersalah ke semua orang yang ada didalam situ.

Gue sempat menengok ke belakang dan Emi berjalan bersebelahan dengan Drian. Ya, gue jealous. Tapi gue sadar, gue juga bikin Emi jealous pasti. Apalagi Winda ini parah banget agresifnya ketika ketemu langsung.

Segala macam yang berhubungan dengan Winda ini harus segera gue sudahi. Gue malas berurusan lagi dengan dia. Chat selalu nggak nyambung bahasannya, nggak banyak pula bahasannya. Sementara dia selalu bersikap seolah gue ini adalah calon suaminya. Banyak ngatur ini itu. Tapi gue nurut? Ya nggak lah. Mana ada gue nurut. Yang bisa bikin gue nurut itu hanya Emi. Jadi apalagi yang gue harapkan? Foto-foto syur? Udah nggak terlalu nafsu gue walaupun ada keinginan untuk mendapatkannya diawal gue mengenal cewek-cewek ini.

Manggung hari itu benar-benar menyenangkan. Kami sukses manggung membawakan lagu-lagu yang tingkat kesulitannya cukup tinggi. Lebih senangnya lagi mendapatkan apresiasi yang baik dari para penonton. Kami kembali ke backstage dengan hati senang dan ceria. Capeknya kebayar tunai.

Ketika itu hujan sangat deras. Kami pun jadi kesulitan untuk jajan disekitar lokasi acara. Kami berdiam di backstage saja dulu. Untungnya pesanan bekal gue sudah siap untuk dimakan. Emi adalah seorang cewek yang cukup jago memasak. Gue suka meminta dia memasak menu-menu yang nggak umum. Resikonya ya nggak enak. Tapi sejauh gue bersama dia selama ini, dia nggak pernah masak yang nggak enak rasanya.

Baru saja gue mau memakan bekal gue, tiba-tiba Winda ini muncul didepan pintu dan menawarkan makanan ke gue. dia juga bawain bekal untuk gue. masalahnya siapa yang minta? Gue nggak minta dia membuatkan bekal untuk gue.

“Ini bekel gue sama Bang Drian, Bang Ija! Noh makan bekel lu yang dibikinin Winda…” Emi langsung menyahut.

Gue kaget dia bilang begitu. Gue juga kesal mendengar lagi nama Drian disebut oleh Emi. suasana di backstage yang harusnya dingin karena hujan diluar, jadi terasa sangat panas buat gue. Winda ini benar-benar nggak peka atau memang nggak tau aturan ya?

Kemudian Winda berbisik ke Emi yang nggak bisa gue dengar. Tapi setelah bisikan tersebut, gue melihat dengan jelas raut wajah Emi yang seketika berubah menjadi campuran kesal, sedih dan bingung. Nggak lama, dia berinisiatif keluar ruangan.

“Mi, mau kemana?” Drian berinisiatif tanya.

“Keluar.” Jawab Emi singkat.

“Kemana?” gue langsung sambar pertanyaan lagi.

“Suka-suka gue!” jawabnya ketus, dan kemudian menghilang dibalik pintu.

Ini sudah pasti Emi mendapatkan perkataan yang nggak benar dari Winda. Drian berinisiatif untuk keluar mengejar Emi. tadinya gue mau begitu, tapi berhubung Winda sudah ada diruangan. Jadi baiknya gue ngomong dengan dia aja.

“Enak nggak kak?” tanyanya sambil tersenyum manis.

“Iya enak.” Jawab gue tanpa melihat kearahnya.

“Kak aku seneng banget bisa ketemu kamu disini.”

“Oh gitu ya. bagus dong.”

“Iya mudah-mudahan aja ya kita bisa sering-sering ketemu. Biar nggak gampang kangen.”

“Ya nggak bisa, lagian aku kan kerja. Kamu juga kerja.”

“Demi kamu aku bisa ngatur kok jadwalnya.”

“Nggak usah repot-repot lah Win.”

“Aku nggak ngerasa direpotin kok.”

“Akunya yang nggak enak, karena pasti nggak punya banyak waktu.”

“Nggak masalah sih kak.”

“Ya itu sih terserah kamu.”

“Terus rencananya nanti kedepannya kita mau gimana?”

“Gimana apanya?”

“Ya hubungan ini kak. Mau gimana?”

“Ya nggak gimana-gimana Win. Biasa-biasa aja. emang mau digimanain?”

Dia terdiam sebentar dan mukanya terlihat kecewa.

“Emang kita nggak ada rencana mau serius?”

“Dari awal emang aku udah menyatakan kalau mau menjalani hubungan serius sama kamu Win? Coba pas kapan aku ngomong kayak gitu?”

“Hmmm..nggak ada sih kak sebenarnya.”

“Nah yaudah. Kalau gitu ya mending biasa-biasa aja dulu Win.”

“Biasa? Aku tuh suka sama kakak. Emang kakak nggak sadar?”


“Sadar kok.”

“Terus?”

“Ya nggak terus-terus Win. Ya begini aja hubungan kita.”

“Tapi nanti aku bisa buat kakak suka aku. Kakak mau nggak?”

“Lah ya itu sih terserah kamu Win. Hahaha.”

Sisanya adalah obrolan nggak penting tentang urusan band. Dia meminta gue untuk bertukar ilmu menyanyi. Gue sudah pernah memberikan tips-tips mengenai olah vokal yang baik menurut versi gue dan bagaimana menjaga kondisi vokal agar tetap prima. Tapi sepertinya dia masih nggak ngerti. Atau dari dua kali gue melihat dia manggung, sebenarnya Winda ini nggak bakat untuk jadi penyanyi. Hahaha.

Lalu gue menyuruh Winda untuk kembali ke ruangan bandnya. Bandnya berada diruangan band-band regist alias yang manggung tapi harus bayar. Band gue pun melakukan hal yang sama diawal-awal petualangan dikomunitas ini lagi.

Gue mencari Emi sampai acara berakhir tapi nggak ketemu. Akhirnya dia menampakkan diri di backstage ketika acara selesai. Gue mengantarkan Emi pulang, lagi-lagi dengan sikap dingin. Setidaknya, menurut gue, urusan dengan Winda telah gue anggap selesai.

namikazeminati
khodzimzz
itkgid
itkgid dan 13 lainnya memberi reputasi
14
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.