- Beranda
- Stories from the Heart
Keris Telutas Jaja Laknat
...
TS
amriakhsan
Keris Telutas Jaja Laknat
Quote:
Quote:
Quote:
Quote:
PROLOG
i.
Kalau aku masih memiliki jiwa yang memang harus diteruskan maka ini adalah saatnya aku memiliki arti dimana aku kira diriku ini sebenarnya merasa sangatlah tidak berguna dan akan menjadi pengangguran terbesar sepanjang sejarah negara ini. Namun kali ini sesuatu hal yang selama ini ditutupi telah dibuka dan menjadikan diriku sangatlah bingung, kesal, dan juga mungkin sedikit rasa lega karena tidak lain dan tidak bukan adalah karena aku tidak hidup hanya untuk diriku. Namun diriku ada untuk hidup dengan membawa jiwa, kenangan, dan kisah masa lalu dan akan melanjutkannya untuk jiwa di masa mendatang.
Kali ini aku mendapatkan tugas yang harus dan memang ini akan menjadi peran utama pada perjalanan hidup baruku. Tugas yang sebenarnya tidak pernah kusangka dan menjelaskan pertanyaan-pertanyaan diriku di masa kecil.
Tugas yang menurutku sangat penting untuk keberlangsungan umat manusia, yang menjadikannya sebagai pembelajaran untuk masa depan. Tugas itu disebut dengan menulis.
ii.
Dito adalah saudaraku, pamannya membantuku dan membiayaiku dari masa aku kehilangan orang tuaku sejak SMP. Aku jarang sekali berbicara padanya dan mungkin kami bertemu baru kali ini sejak 4 tahun lalu,paling sering kami berinteraksi pada masa kecil. Itupun aku ingat waktu itu kami bertengkar hanya karena masalah sepele. Perbedaan yang sangat kulihat ketika saat aku masih bocah saat itu.
Wujud dirinya sekarang sudah layaknya menjadi gumpalan daging yang keras, dimana otot yang besar terlihat sangat tegas berada ada kedua tangannya yang mungkin agak terlalu besar dibanding badannya yang kekar, namun otot di dadanya tidak terlalu muncul dari kemejanya melebihi lengannya sendiri, seperti gorila tapi tidak gemuk. Hal yang biasa aku lihat saat menonton tinju. Ya, dia lebih terlihat seperti atlet tinju orang dengan pakaian kantoran biasa. Sulit bagiku untuk menggambarkan bagian fisik ototnya karena aku sendiri tidak memilikinya dan untuk bagian yang ini aku iri dengannya.
Dengan tubuh yang seperti itu ditambah lagi dengan wajahnya yang aku yakin tidak ada wanita yang menolaknya. Dengan wajah tampan berbentuk bulat agak lonjong, rambut 3 cm terpotong rapi tersisir ke belakang dengan pinggiran tipis, bagian rahang yang tegas dan tipis serta matanya yang bulat berbinar yang menampilkan dirinya sangat berenergi, menampilkan api pada dirinya. Bibir yang agak tipis membuatnya terlihat menjadi penarik wanita paling cepat jika melihat kesempurnaan yang ada pada tubuhnya dan wajahnya. Namun aku melihat sedikit detail noda sayatan yang cukup dalam pada wajahnya dari bagian pangkal hidung mancungnya lalu turun ke bagian bawah mata kanannya. Kalau yang satu ini aku sulit untuk memasukkannya sebagai bagian yang keren atau malah merusak wajahnya, atau malah menyempurnakannya.
Aku juga ingat bagian yang paling tidak bisa ditolak dari kesempurnaan semuanya adalah jumlah uang yang dimilikinya. Dengan pakaian yang tidak mewah dan sederhana namun rapi, sangat menipu jika hanya sekedar melihatnya berjalan di antara banyak orang orang kaya yang biasa kulihat. Permasalahannya adalah sifat aslinya yang menyebalkan, lebih tepatnya kesombongannya itu yang tidak bisa dihentikan. Hal juga menjadi alasan mengapa wajahnya selalu terlihat menampilkan kebanggaan namun disisi lain menampakan keseriusannya dalam banyak hal.
Salah satu kebanggannya yang nyata adalah bisa meneruskan perusahaan ayahnya yang sebenarnya aku sendiri tidak paham secara detail perusahaan apa ini. Namun yang pasti kuketahui adalah ini seperti perusahaan peralatan elektronik untuk medis. Disamping itu aku pernah mencuri dengar saat ayahnya menceritakan sebaran sahamnya pada banyak perusahaan besar di seluruh dunia. Benar benar akalku tidak akan masuk jika memiliki uang dan tanggung jawab sebanyak itu. Dari yang sudah kubilang sejak awal bahwa aku ini merasa masa depanku sudah habis, pasti aku tidak tahu harus berbuat apa dengan uang sebanyak itu.
Rumah dengan model layaknya keraton di kota luas ini kurasa sangatlah pas, ditambah halaman yang ia miliki sangatlah luas baik dari bagian halamannya yang hijau dan rindang ditumbuhi banyak pepohonan buah buahan hingga bagian belakang rumah yang dipenuhi tumbuh tumbuhan hias seperti bunga dan juga pohon beringin besar. Namun yang parah adalah bagian dalam rumahnya yang memiliki banyak cabang dan lorong dengan bentukan dan terlihat yang sama yaitu perempatan dengan kayu jati besar menghadap secara vertikal di bagian bawah dan anyaman rotan tebal di atasnya dengan ornamen elang berjambul kecil di sudut sudut rumah. Terburuknya yaitu yang tidak diberi tanda untuk masing masing ruangan sehingga banyak orang pasti bisa kebingungan dan tersasar di dalam sebuah rumah ini serta banyak ruangan kosong di dalamnya yang aku sendiri tidak paham kenapa banyak ruangan kosong padahal ia hanya tinggal dengan adik serta ayahnya.
Setelah perjalanan membingungkan dan berputar putar, tubuhku menyerah dan berakhir di sebuah balkon rumah, menghadap langsung ke depan pohon rindang dengan daun hijau panjang dan lurus namun ujungnya berkelok kelok, pasti ini daun pohon mangga, mataku berusaha mencari dan akhirnya terfokus dengan mangga kecil yang tumbuh di bagian dahan lain. Setelah menghirup beberapa udara yang tercampur baunya dari daun daun serta getah pohon, diriku sedang duduk di kursi panjang dari baja ringan yang dibentuk menyerupai batang kayu, sambil melihat dan memperhatikan pepohonan yang hijau yang membuat seluruh pandanganku menjadi kabur saat melihat, hal hal yang kurasa ini pernah aku membacanya di suatu buku, namun … satu satunya yang kuingat adalah … ingatanku buruk soal mengingat. Lalu disaat seluruh pandanganku sudah buyar dengan seluruh benda benda hijau di depanku, tubuhku bersandar dan melempar kedua lenganku ke bagian atas kursi, sekarang keduanya tingginya sejajar dengan kepalaku. Kemudian suara geser bergulir masuk ke telingaku, mengganggu relaksasiku.
Langkah sepatu dari kayu yang berhentakan dengan kayu menghasilkan bunyi ketukan yang khas. Sosok itu berdiri disampingku melihatku sudah tidak berdaya tergeletak diatas kursi tanpa bisa berbuat apa apa, kemudian sejenak mataku mencoba meraih seluruh tenaga yang ada untuk memfokuskan pandanganku kepada sosok besar yang seharusnya kusadari dari awal itu adalah Dito. Dia datang kepadaku dengan dagu sedikit dinaikan ke atas, serta kedua tangan besarnya masuk ke kantong celananya.
“Hey kenapa kau di sini tanpa bilang bilang,” kata Dito dengan suara yang sedikit bergemuruh.
“Aku awalnya ingin pergi menemuimu namun aku tidak tahu dimana ruangan kau, setelah itu aku mencoba untuk mencarinya sendiri dan akhirnya aku tersesat disini,” balasku sambil menyindir rumah sialannya ini.
Dito terkekeh, “Memangnya apa yang ingin kau tanyakan hah?” Ditambah gerakan melipat kedua tangannya.
“Toilet,” balasku singkat.
“Kau sekarang sedang menatap toilet yang luas, kenapa kau tidak kencing saja sekarang di rumput,” sahutnya.
“Iya ... iya terserahlah,” balasku tanpa memerdulikan perkataannya barusan dengan memalingkan wajahku ke arah dedaunan di pohon.
“Karena kau sudah ada dan datang kemari, aku memiliki satu tugas untuk dirimu,” katanya namun kali ini dia telah menurunkan dagunya dan melembutkan sedikit pandangannya.
“Sebenarnya aku lebih suka nganggur seperti ini. Tapi … baiklah, asalkan jangan ambigu.”
“Tidak tentu saja karena tugas ini akan melekat pada dirimu untuk selamanya mulai dari sekarang, lagi pula tugas ini hanya kau yang bisa melakukannya,” jawab Dito dengan nada pelan layaknya orang tua menceramahi anaknya.
“Tugas seperti apa itu sampai kau tidak bisa melakukannya sendiri,” balasku dengan heran sambil kembali menaruh wajahku kearahnya
“Aku menyuruhmu untuk menuliskan cerita tentang perjalanan hidupmu dari sekarang.”
“Untuk melamar kerja?”
“Bukan, tapi untuk menjadi penyambung kisah generasi kita bersaudara,” jawab Dito kali ini dengan nada cukup berat.
“Apa maksudmu dengan kita?”
“Diriku tidak ingin bercerita panjang lebar sekarang, kau akan paham nanti.”
“Eleh … sekarang kau seperti orang tua saja.”
Dito mulai memicingkan matanya dengan tatapan tidak menyenangkan.
“Aku masih tidak paham sama sekali maksud tugas ini,” balasku dengan heran.
“Aku tidak bisa memberi detailnya sekarang, namun kali ini kau cukup ceritakan perjalanan hidupmu dari waktu yang kau inginkan. Seperti sejak kau lulus SMA ataupun kuliahmu,” jelas Dito.
Mataku memalihkan pandangannya kesebuah pohon selama beberapa saat sambil memikirkan semua kata katanya barusan. “Oke, aku mulai sedikit paham dengan apa yang kau mau, cukup cerita saja kan?”
“Tentu, ini seharusnya menjadi tugas anak anak namun seperti yang kubilang tadi. Hanya kau yang bisa melakukannya,” jawab Dito kali ini dengan nada yang puas.
“Apa semua orang yang datang kesini harus menulis cerita mereka semua?” tanyaku lagi, dengan nada agak serius.
“Tidak … ini spesial khusus kau saja,” jawab Dito dengan memejamkan matanya dan menurunkan sedikit dagunya, seperti sedang menahan rasa kesal.
“Baiklah, jadi dimana aku bisa mulai tugas ini?”
Dito merogoh isi sakunya dan mengambil sebuah kartu. ”Ini kunci kamarmu, kau tinggal lurus saja dari pintu ini lalu belok kanan hingga ke pokok lorong. Disanalah kau bisa mulai kerjamu,” jelas Dito sambil tangan besarnya kembali masuk ke kantongnya memperbaiki isi saku kosongnya yang keluar.
Aku menarik nafas dalam dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan. ”Hanya ini saja kan? Tidak ada batas waktu?” tiba tiba aku terhenti dan berfikir sejenak seperti layaknya membuat kesalahan tidak sengaja dengan menanyakan hal tersebut.
“Tenang saja ini bukan tugas kuliah, namun aku sarankan kau untuk cepat,” balas Dito dengan santai.
“Oke ... setelah kulihat tugas ini tidak terlalu menjengkelkan seperti perkiraanku,” balasku dengan senyum kecil muncul di samping bibirku.
Dito sejenak bergumam. “Mungkin kau belum tahu saja bocah betapa beratnya tugas ini,” Balas Dito kali ini dengan santai dan tidak seserius diawal.
“Sialan kau mengerjaiku.”
“Ini belum apa apa.” Ia lalu mengeluarkan tangannya dari sakunya sambil membalikan badannya dan berjalan perlahan pergi dengan suara hentakan sepatu yang cukup keras.
Aku sama sekali tidak paham apa tujuannya namun aku memang tidak tahu harus ngapain lagi. Aku menarik badanku ke posisi tegap dan mendorong tubuhku dengan memasang pondasi kedua lengan ke kursi dan mengambil tenaga berusaha naik, kemudian mencoba mengambil konsentrasi, berdiri tegak sambil membusungkan sedikit dadaku. Kakiku aku mengambil langkah dan berputar, masuk ke arah lorong yang tadi diberitahunya dan menuju kamarku untuk melakukan perintahnya tadi.
Diubah oleh amriakhsan 28-09-2020 00:15
aripinastiko612 dan 12 lainnya memberi reputasi
11
9K
67
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
amriakhsan
#33
i.
Tidak banyak yang kami lakukan dalam seminggu ini, menunggu kabar Dito sambil berharap tidak tewas dalam kurun waktu selama itu adalah hal yang sangat mudah jika mengingat betapa menganggurnya kami berada di rumah ini. Tepat setelah pemakaman tersebut, tidak terasa sama sekali perbedaan saat Dito mati atau tidak untuk kami, tidak sedikitpun.
Saat kami pamit pun aku dan Ardi tidak sempat bercakap cakap tindakan apa yang selanjutnya harus kami lakukan, tanpa kabar selama seminggu, berdua di kurung di dalam rumah seluas ini.
Alasan terbesar kenapa aku benci dikurung bukanlah karena aku benar benar dikurung dan dilarang keluar dan berkeliaran selama itu, namun Ardi yang membuat waktu itu berjalan sangatlah lambat, aku bahkan sempat menggunakan teknik rahasiaku yang kupelajari saat dulu, yaitu bekerja atau melakukan semua tindakan tanpa berpikir, dan hasilnya tetap saja tidak ada yang bisa menghentikan perasaan saat kau berlatih terus menerus oleh orang gila berkeringat itu.
Ardi mengajariku bagaimana caranya mengatasi kelemahan jarak serang yang ku berikan pada musuh dan berusaha seminimal mungkin menghindari konflik jarak jauh, ya yang seperti kita semua tahu kalau tidak mungkin membunuh musuh yang menggunakan senjata api melawan orang yang hanya bergantung dengan sebuah pisau dapur yang bahkan ibu ibu saja jauh lebih mengerikan dibandingkan saat benda ini berada di tanganku.
Aku tidak begitu banyak paham soal cara membunuh, terutama jika tidak melihat langsung, hati kecilku selalu mengingatkanku kalau aku benar benar tidak ingin membunuh seseorang. Ardi menyarankanku pada dua pilihan saat aku mengungkapkannya pada beberapa hari yang lalu, lalu dia memberikan dua buah solusi untuk masalah tersebut. Lumpuhkan dan lari atau perbanyak untuk menonton film action, tentu saja tanpa banyak berpikir aku akan memilih keduanya saat itu juga.
Ditambah saat ini dia mengajarkanku cara menggunakan senjata ini dengan benar, aku yakin semuanya paham kalau gerakan yang dihasilkan oleh benda ini hanyalah berupa sayatan serta tebas menebas. Namun perkataanku benar benar salah dan terjadi baru sore ini, dimana aku malah merasakan kalau semakin lama berlatih dengannya, semakin serius dia melakukan segala daya upayanya untuk membunuhku secara perlahan dan mengakhirinya dengan satu tusukan.
Sarung tangan hitam ditarik sampai menutupi ujung kuku hingga ke pangkal pergelangan. “Apa kau sudah menamatkan semuanya?” tanya Ardi sambil mengelus pedangnya itu,Mandau dengan tangannya yang sudah terlindungi, namun hanya mengenakan kaos dan bercelana panjang.
“Malam ini semuanya akan kelar … cukup menarik, namun lama lama membosankan,” jawabku dengan menggenggam erat erat golok di tangan kananku dan wedhungku di tangan kiri dengan posisi terbalik. Aku cukup terbiasa denganposeku yang satu ini.
“Ya … alurnya terlalu mudah tertebak dan intinya tokoh utamanya seperti superior. Aku akan menghancurkan masing masing kenangan indah dari film yang kau tonton itu,” ujar Ardi memanas manasiku, namun terlambat, aku sudah panas sejak awal menginjakan kaki di tanah berumput ini.
“Tidak ada sama sekali yang indah, semuanya cumang darah.”
Tumpuan kakiku menekan tanah dengan sangat lalu melompat lurus langsung ke arah Ardi dengan kecepatan tinggi yang aku bisa, namun sebelum sampai di depannya, tumitku menancap tanah dan melompat ke sisi samping kurang dari sedetik. Ardi tidak main main saat itu dan saat pertama kali aku melompat, dia sudah menodongkan ujung bilah pedangnya itu tepat ke depan wajahku untuk menghalau serangan serudukanku, dan pasti aku tidak sebodoh itu untuk melakukan serangan terbuka seperti itu.
Lompatan ke sampingku rupanya sudah dibaca oleh gerakan mata pisaunya yang tetap mengarah lurus padaku. Gerakan selanjutnya adalah bagaimana caranya agar aku bisa masuk ke dalam jarak serangan lah yang sekarang ini kulakukan.
Tangan kiriku mengangkat, mendorong belati hingga ke bagian belakan telinga dan melemparkannya tepat menusuk tanah, tertancap persis di sebelah pijakan kaki Ardi yang telanjang. Namun dia sama sekali tidak bergeming dan tetap mengarahkan pedangnya itu kepadaku, dia sudah tahu kalau lemparanku sama sekali tidak serius.
Melihat perilakunya itu, aku terpaksa melompat mundur tanpa menoleh ke belakang sekitar satu meter dari tempatku tadi. Kemudian aku mengambil satu belati lagi dari bagian lengan kananku. Menatap tajam ke arahnya dan memperhatikan gerakan tangannya yang menurunkan pedangnya saat aku mundur, keringat mulai membanjiri wajahku, jujur saja ini tidak bagus mengingat terkadang air keringat masuk ke mataku lewat rambutku yang menutup dahi, namun nafasku belum selesai sampai sini dan kembali merencanakan teknik yang tepat untuk masuk.
Tidak begitu banyak pilihan dan ada dua cara yang kupikirkan saat ini juga, namun opsi pertama akan kupakai sekarang juga. Kembali melompat sama seperti tadi dan melihat respon Ardi yang sama kali ini tidak membuatku takut, dengan belati di tangan kiriku, aku berhasil masuk ke wilayah serangan ku dengan menebas tubuh pedangnya yang besar itu dan langsung membuat pertahanannya terbuka lebar saat pedangnya serta tangannya terlontar ke arah samping.
Gerakan itu terbilang sangat nekat dan Ardi membuktikannya saat itu juga, tubuhnya terbuka lebar dan tengan serta pedangnya terlontar, namun bukan terjatuh, disitulah kesalahan fatalku yang hampir membuatku kehilangan anggota tubuhku. Dia lalu merunduk dan melanjutkan lontaran pedangnya menjadi putaran 360 derajat, satu kakinya dalam posisi jongkok memaku ke tanah dan kaki lainnya lurus meluncur di atas permukaan rerumputan.
Benar benar di luar dugaan, namun aku tidak bisa menghindar lagi dan satu satunya cara adalah dengan menekan dalam dalam tangan kananku dan menusukkan golok, menancapkannya ke tanah hingga akhirnya aku berhasil menepisnya, lalu akhirnya dua buah pedang itu bertubrukan. Suaranya sangat kencang hingga membuat tangan kananku bergetar saking kerasnya tabrakan tersebut.
Aku dan Ardi kini dalam posisi yang menyulitkan, namun aku tidak mau mengambil resiko kembali untuk menyerangnya karena posisiku saat ini berada pada tumpuan golok di tanganku dan jika aku melempar belatinya sekarang, maka bisa bisa tubuhku malah tersungkur ke belakang karena daya yang kuberikan. Tangan kiriku kemudian meninju tanah di bawahku dengan kencang dan lalu mendorong kuat kuat tubuhku, tidak lupa untuk menarik kembali golokku yang sudah masuk setengah ke dalam tanah.
Menarik kembali keseimbangan tubuhku saat itu juga membuatku agak kehilangan pijakannya untuk sementara, dan yang paling tidak kusuka adalah melihat kotoran pada golokku yang timbul dari kecerobohanku sendiri. Sementara Ardi, dia kembali berdiri dengan satu kakinya yang digunakannya untuk jongkok tadi, kembali mengangkat tubuhnya perlahan lahan selama tiga detik, dai benar benar menggunakan seluruh ototnya kakinya hanya untuk melakukan hal tersebut.
“Yang tadi cukup bahaya, namun bagus juga kau bisa melakukan gerakan tersebut,” ujar Ardi sambil kembali menurunkan pedangnya.
“Aku tadi salah membuat perhitungan, tapi gerakan kali ini tidak akan gagal,” ucapku dengan rasa percaya diri tinggi.
“Jangan beritahu, nanti tidak malah tidak seru,” jawab Ardi kembali memancingku.
Mataku terpejam, udara dingin masuk menembus pori poriku, perasaan yang selama ini tidak nyaman untukku sekarang akan ku coba lakukan. Dengan tatapan tajam ke arahnya, bersiap menerkam dengan kuda kuda yang sudah terpasang dengan mantap, kepalan tanganku ku keraskan dan posisi tubuh kutegakkan, kemudian semuanya kulepaskan saat itu juga.
Ardi tiba tiba memasang kuda kudanya dan menodongkan pedangnya sambil menaruh tapak tangannya yang terbuka di samping benda besar itu. Wajahnya merunduk, dahinya mengerut dan matanya semakin menutup lebih dalam lagi, sekarang dia sedang waspada.
Tubuhku masih lemas dan tanpa tenaga. Hanya yang kurasakan saat itu juga adalah kepalan tanganku yang masih membungkus rapat pegangan golok dan belatiku serta kaki kakiku yang masih berusaha untuk berdiri tegak.
Semuanya kembali seperti normal beberapa detik setelah itu, kesadaranku kembali dan kali ini aku melakukan lompatan yang berbeda dari sebelumnya. Kakiku melontarkan tubuhku ke arah samping dan melakukannya sekali lagi dengan arah yang berlawanan, kemudian menembakan belati pada tangan kiriku langsung mengarah ke wajah Ardi. Dia bisa menghindarinya dengan mengangkat rahangnya, membuat wajahnya menatap langit sore yang jingga dengan awan berwarna merah muda. Kemudian aku menatap ke arah pedangnya dan meninjunya dengan keras dari atas, membuat pedang tersebut terdorong jatuh ke rerumputan.
Wajah Ardi kemudian kembali normal lagi dan menghilangkan wajah seriusnya barusan, namun dia sepertinya kaget saat ingin kembali mengangkat pedangnya lagi, dia tidak mampu melakukannya karena kakiku sudah menginjak ujung mata pedang itu dan membuatnya tertimbun ke tanah, sementara tangan kiriku sudah mencapai belakang pinggangku dan menggenggam erat erat belati ketigaku.
Tanganku mengepalkan pegangannya dengan sangat erat, dengan menggenggamnya pada posisi terbalik, berusaha tidak melepaskan atau melontarkan yang satu ini dan menyerahkan serangan terakhir ini sepenuhnya pada wedhungku. Aku yakin dengan ini hanya sisa satu tangan Ardi yang harus diwaspadai, dan itu bukan masalah bagiku karena saat ini karena posisi tangannya itu berada pada bagian bawah pedangnya itu.
Tanganku sudah hampir sampai pada bagian samping tubuhku, meluncur dengan kecepatan tercepat yang kubisa saat itu juga, bersiap mengarah ke lehernya. Namun suara seperti penutup botol kaca terbuka muncul entah dari mana, suara klep. Suara itu tidak datang sendirian, sebuah benda berbentuk kotak tiba tiba saja muncul di hadapan wajahku, ukurannya tidak besar, dan berbentuk persegi sama lurus setebal jari jempol, bersamaan dengan genggaman Ardi pada pedangnya yang ia lepaskan, dan langsung menyerbu dan menggenggam benda kotak itu.
Kami berdua sekarang sudah sampai pada ujungnya, di tanganku, belatiku sudah sampai berada pada ujung jakun tenggorokan Ardi yang sedang menahan ludah dengan keringatnya yang mengalir. Dan tepat di depan mataku saat ini, ujung tombak persegi yang cukup tebal dan runcing sudah menodongku, bersiap untuk menusukku kapan saja jika Ardi mau. Kuakui jika melihat semua yang kulakukan saat ini ini, posisi kami berdua sudah bisa kubilang seimbang.
Kami membeku beberapa saat hingga aku bisa melihat Ardi membasahi bibirnya.
“Aku tidak menyangka kau sudah bisa sejauh itu,” ucap Ardi dengan napas teregah egah.
“Yang tadi belum benar benar sempurna, hanya kebetulan merembes saja,” jawabku mengerti maksud kata katanya tadi.
Semua ketegangan yang barusan akhirnya kami akhiri dengan jabat tangan untuk mengakhiri latihan sore ini, sarung tangan kami saling bergesekan, menggenggam erat masing masing tangan. Aku melakukan hal itu karena rasa puasku dan rasa terima kasihku yang tidak sepenuhnya ikhlas pada Ardi yang sudah mengajariku selama ini, sampai bisa sejauh ini.
Kemudian Ardi aku yakin juga puas dengan hasil latihanku, aku yakin diriku sudah siap untuk menghadapi musuh yang akan kulawan nanti, semoga saja tidak ada yang modelnya sama seperti Ardi, dia yang tadi benar benar sama sekali hanya murni menggunakan instingnya tidak untuk teknik lain lainnya yang pernah ia tunjukan selama ini padaku.
Tidak banyak yang kami lakukan dalam seminggu ini, menunggu kabar Dito sambil berharap tidak tewas dalam kurun waktu selama itu adalah hal yang sangat mudah jika mengingat betapa menganggurnya kami berada di rumah ini. Tepat setelah pemakaman tersebut, tidak terasa sama sekali perbedaan saat Dito mati atau tidak untuk kami, tidak sedikitpun.
Saat kami pamit pun aku dan Ardi tidak sempat bercakap cakap tindakan apa yang selanjutnya harus kami lakukan, tanpa kabar selama seminggu, berdua di kurung di dalam rumah seluas ini.
Alasan terbesar kenapa aku benci dikurung bukanlah karena aku benar benar dikurung dan dilarang keluar dan berkeliaran selama itu, namun Ardi yang membuat waktu itu berjalan sangatlah lambat, aku bahkan sempat menggunakan teknik rahasiaku yang kupelajari saat dulu, yaitu bekerja atau melakukan semua tindakan tanpa berpikir, dan hasilnya tetap saja tidak ada yang bisa menghentikan perasaan saat kau berlatih terus menerus oleh orang gila berkeringat itu.
Ardi mengajariku bagaimana caranya mengatasi kelemahan jarak serang yang ku berikan pada musuh dan berusaha seminimal mungkin menghindari konflik jarak jauh, ya yang seperti kita semua tahu kalau tidak mungkin membunuh musuh yang menggunakan senjata api melawan orang yang hanya bergantung dengan sebuah pisau dapur yang bahkan ibu ibu saja jauh lebih mengerikan dibandingkan saat benda ini berada di tanganku.
Aku tidak begitu banyak paham soal cara membunuh, terutama jika tidak melihat langsung, hati kecilku selalu mengingatkanku kalau aku benar benar tidak ingin membunuh seseorang. Ardi menyarankanku pada dua pilihan saat aku mengungkapkannya pada beberapa hari yang lalu, lalu dia memberikan dua buah solusi untuk masalah tersebut. Lumpuhkan dan lari atau perbanyak untuk menonton film action, tentu saja tanpa banyak berpikir aku akan memilih keduanya saat itu juga.
Ditambah saat ini dia mengajarkanku cara menggunakan senjata ini dengan benar, aku yakin semuanya paham kalau gerakan yang dihasilkan oleh benda ini hanyalah berupa sayatan serta tebas menebas. Namun perkataanku benar benar salah dan terjadi baru sore ini, dimana aku malah merasakan kalau semakin lama berlatih dengannya, semakin serius dia melakukan segala daya upayanya untuk membunuhku secara perlahan dan mengakhirinya dengan satu tusukan.
Sarung tangan hitam ditarik sampai menutupi ujung kuku hingga ke pangkal pergelangan. “Apa kau sudah menamatkan semuanya?” tanya Ardi sambil mengelus pedangnya itu,Mandau dengan tangannya yang sudah terlindungi, namun hanya mengenakan kaos dan bercelana panjang.
“Malam ini semuanya akan kelar … cukup menarik, namun lama lama membosankan,” jawabku dengan menggenggam erat erat golok di tangan kananku dan wedhungku di tangan kiri dengan posisi terbalik. Aku cukup terbiasa denganposeku yang satu ini.
“Ya … alurnya terlalu mudah tertebak dan intinya tokoh utamanya seperti superior. Aku akan menghancurkan masing masing kenangan indah dari film yang kau tonton itu,” ujar Ardi memanas manasiku, namun terlambat, aku sudah panas sejak awal menginjakan kaki di tanah berumput ini.
“Tidak ada sama sekali yang indah, semuanya cumang darah.”
Tumpuan kakiku menekan tanah dengan sangat lalu melompat lurus langsung ke arah Ardi dengan kecepatan tinggi yang aku bisa, namun sebelum sampai di depannya, tumitku menancap tanah dan melompat ke sisi samping kurang dari sedetik. Ardi tidak main main saat itu dan saat pertama kali aku melompat, dia sudah menodongkan ujung bilah pedangnya itu tepat ke depan wajahku untuk menghalau serangan serudukanku, dan pasti aku tidak sebodoh itu untuk melakukan serangan terbuka seperti itu.
Lompatan ke sampingku rupanya sudah dibaca oleh gerakan mata pisaunya yang tetap mengarah lurus padaku. Gerakan selanjutnya adalah bagaimana caranya agar aku bisa masuk ke dalam jarak serangan lah yang sekarang ini kulakukan.
Tangan kiriku mengangkat, mendorong belati hingga ke bagian belakan telinga dan melemparkannya tepat menusuk tanah, tertancap persis di sebelah pijakan kaki Ardi yang telanjang. Namun dia sama sekali tidak bergeming dan tetap mengarahkan pedangnya itu kepadaku, dia sudah tahu kalau lemparanku sama sekali tidak serius.
Melihat perilakunya itu, aku terpaksa melompat mundur tanpa menoleh ke belakang sekitar satu meter dari tempatku tadi. Kemudian aku mengambil satu belati lagi dari bagian lengan kananku. Menatap tajam ke arahnya dan memperhatikan gerakan tangannya yang menurunkan pedangnya saat aku mundur, keringat mulai membanjiri wajahku, jujur saja ini tidak bagus mengingat terkadang air keringat masuk ke mataku lewat rambutku yang menutup dahi, namun nafasku belum selesai sampai sini dan kembali merencanakan teknik yang tepat untuk masuk.
Tidak begitu banyak pilihan dan ada dua cara yang kupikirkan saat ini juga, namun opsi pertama akan kupakai sekarang juga. Kembali melompat sama seperti tadi dan melihat respon Ardi yang sama kali ini tidak membuatku takut, dengan belati di tangan kiriku, aku berhasil masuk ke wilayah serangan ku dengan menebas tubuh pedangnya yang besar itu dan langsung membuat pertahanannya terbuka lebar saat pedangnya serta tangannya terlontar ke arah samping.
Gerakan itu terbilang sangat nekat dan Ardi membuktikannya saat itu juga, tubuhnya terbuka lebar dan tengan serta pedangnya terlontar, namun bukan terjatuh, disitulah kesalahan fatalku yang hampir membuatku kehilangan anggota tubuhku. Dia lalu merunduk dan melanjutkan lontaran pedangnya menjadi putaran 360 derajat, satu kakinya dalam posisi jongkok memaku ke tanah dan kaki lainnya lurus meluncur di atas permukaan rerumputan.
Benar benar di luar dugaan, namun aku tidak bisa menghindar lagi dan satu satunya cara adalah dengan menekan dalam dalam tangan kananku dan menusukkan golok, menancapkannya ke tanah hingga akhirnya aku berhasil menepisnya, lalu akhirnya dua buah pedang itu bertubrukan. Suaranya sangat kencang hingga membuat tangan kananku bergetar saking kerasnya tabrakan tersebut.
Aku dan Ardi kini dalam posisi yang menyulitkan, namun aku tidak mau mengambil resiko kembali untuk menyerangnya karena posisiku saat ini berada pada tumpuan golok di tanganku dan jika aku melempar belatinya sekarang, maka bisa bisa tubuhku malah tersungkur ke belakang karena daya yang kuberikan. Tangan kiriku kemudian meninju tanah di bawahku dengan kencang dan lalu mendorong kuat kuat tubuhku, tidak lupa untuk menarik kembali golokku yang sudah masuk setengah ke dalam tanah.
Menarik kembali keseimbangan tubuhku saat itu juga membuatku agak kehilangan pijakannya untuk sementara, dan yang paling tidak kusuka adalah melihat kotoran pada golokku yang timbul dari kecerobohanku sendiri. Sementara Ardi, dia kembali berdiri dengan satu kakinya yang digunakannya untuk jongkok tadi, kembali mengangkat tubuhnya perlahan lahan selama tiga detik, dai benar benar menggunakan seluruh ototnya kakinya hanya untuk melakukan hal tersebut.
“Yang tadi cukup bahaya, namun bagus juga kau bisa melakukan gerakan tersebut,” ujar Ardi sambil kembali menurunkan pedangnya.
“Aku tadi salah membuat perhitungan, tapi gerakan kali ini tidak akan gagal,” ucapku dengan rasa percaya diri tinggi.
“Jangan beritahu, nanti tidak malah tidak seru,” jawab Ardi kembali memancingku.
Mataku terpejam, udara dingin masuk menembus pori poriku, perasaan yang selama ini tidak nyaman untukku sekarang akan ku coba lakukan. Dengan tatapan tajam ke arahnya, bersiap menerkam dengan kuda kuda yang sudah terpasang dengan mantap, kepalan tanganku ku keraskan dan posisi tubuh kutegakkan, kemudian semuanya kulepaskan saat itu juga.
Ardi tiba tiba memasang kuda kudanya dan menodongkan pedangnya sambil menaruh tapak tangannya yang terbuka di samping benda besar itu. Wajahnya merunduk, dahinya mengerut dan matanya semakin menutup lebih dalam lagi, sekarang dia sedang waspada.
Tubuhku masih lemas dan tanpa tenaga. Hanya yang kurasakan saat itu juga adalah kepalan tanganku yang masih membungkus rapat pegangan golok dan belatiku serta kaki kakiku yang masih berusaha untuk berdiri tegak.
Semuanya kembali seperti normal beberapa detik setelah itu, kesadaranku kembali dan kali ini aku melakukan lompatan yang berbeda dari sebelumnya. Kakiku melontarkan tubuhku ke arah samping dan melakukannya sekali lagi dengan arah yang berlawanan, kemudian menembakan belati pada tangan kiriku langsung mengarah ke wajah Ardi. Dia bisa menghindarinya dengan mengangkat rahangnya, membuat wajahnya menatap langit sore yang jingga dengan awan berwarna merah muda. Kemudian aku menatap ke arah pedangnya dan meninjunya dengan keras dari atas, membuat pedang tersebut terdorong jatuh ke rerumputan.
Wajah Ardi kemudian kembali normal lagi dan menghilangkan wajah seriusnya barusan, namun dia sepertinya kaget saat ingin kembali mengangkat pedangnya lagi, dia tidak mampu melakukannya karena kakiku sudah menginjak ujung mata pedang itu dan membuatnya tertimbun ke tanah, sementara tangan kiriku sudah mencapai belakang pinggangku dan menggenggam erat erat belati ketigaku.
Tanganku mengepalkan pegangannya dengan sangat erat, dengan menggenggamnya pada posisi terbalik, berusaha tidak melepaskan atau melontarkan yang satu ini dan menyerahkan serangan terakhir ini sepenuhnya pada wedhungku. Aku yakin dengan ini hanya sisa satu tangan Ardi yang harus diwaspadai, dan itu bukan masalah bagiku karena saat ini karena posisi tangannya itu berada pada bagian bawah pedangnya itu.
Tanganku sudah hampir sampai pada bagian samping tubuhku, meluncur dengan kecepatan tercepat yang kubisa saat itu juga, bersiap mengarah ke lehernya. Namun suara seperti penutup botol kaca terbuka muncul entah dari mana, suara klep. Suara itu tidak datang sendirian, sebuah benda berbentuk kotak tiba tiba saja muncul di hadapan wajahku, ukurannya tidak besar, dan berbentuk persegi sama lurus setebal jari jempol, bersamaan dengan genggaman Ardi pada pedangnya yang ia lepaskan, dan langsung menyerbu dan menggenggam benda kotak itu.
Kami berdua sekarang sudah sampai pada ujungnya, di tanganku, belatiku sudah sampai berada pada ujung jakun tenggorokan Ardi yang sedang menahan ludah dengan keringatnya yang mengalir. Dan tepat di depan mataku saat ini, ujung tombak persegi yang cukup tebal dan runcing sudah menodongku, bersiap untuk menusukku kapan saja jika Ardi mau. Kuakui jika melihat semua yang kulakukan saat ini ini, posisi kami berdua sudah bisa kubilang seimbang.
Kami membeku beberapa saat hingga aku bisa melihat Ardi membasahi bibirnya.
“Aku tidak menyangka kau sudah bisa sejauh itu,” ucap Ardi dengan napas teregah egah.
“Yang tadi belum benar benar sempurna, hanya kebetulan merembes saja,” jawabku mengerti maksud kata katanya tadi.
Semua ketegangan yang barusan akhirnya kami akhiri dengan jabat tangan untuk mengakhiri latihan sore ini, sarung tangan kami saling bergesekan, menggenggam erat masing masing tangan. Aku melakukan hal itu karena rasa puasku dan rasa terima kasihku yang tidak sepenuhnya ikhlas pada Ardi yang sudah mengajariku selama ini, sampai bisa sejauh ini.
Kemudian Ardi aku yakin juga puas dengan hasil latihanku, aku yakin diriku sudah siap untuk menghadapi musuh yang akan kulawan nanti, semoga saja tidak ada yang modelnya sama seperti Ardi, dia yang tadi benar benar sama sekali hanya murni menggunakan instingnya tidak untuk teknik lain lainnya yang pernah ia tunjukan selama ini padaku.
aripinastiko612 dan ariefdias memberi reputasi
2
Tutup
